Rabu, 12 Juli 2017




 Adik

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg









SEMENJAK zaman kuno, orang-orang kelas tertinggi dapat naik joli. Baru belakangan saja joli jenis sederhana dapat dipergunakan oleh orang kebanyakan. Joli itu sedikit lebih besar dari keranjang besar bersisi rendah yang diikatkan pada pikulan. Supaya penumpang tidak jatuh keluar, ia harus berpegangan erat pada tali di depan dan belakang. Para pemikul yang biasanya menyanyi berirama untuk menyamakan langkah, mempunyai kecenderungan memperlakukan penumpangnya sebagai muatan. Orang-orang yang memilih bentuk kendaraan ini dinasihatkan untuk menyesuaikan napasnya dengan irama pemikul, terutama apabila para pemikul berlari.

Joli yang berjalan cepat ke arah hutan pinus di Jalan Gojo itu diiringi tujuh atau delapan orang. Baik pemikul maupun orang-orang lainnya terengah-engah, seakan hendak memuntahkan jantung mereka.

"Kita sampai di Jalan Gojo."

"Apa ini bukan Matsubara?"

"Tidak jauh lagi."

Walaupun lentera-lentera yang mereka bawa berbulu jambul seperti yang biasa dipakai para pelacur bersurat ijin di wilayah Osaka, penumpangnya bukanlah kupu-kupu malam.

"Pak Denshichiro!" seru salah seorang pembantu di depan. "Kita hampir sampai di Jalan Shijo."

Denshichiro tidak mendengar. Ia tertidur, kepalanya berayun-ayun naik turun seperti kepala macan kertas. Kemudian keranjang itu tersentak, dan seorang pemikul mengeluarkan tangan untuk menahan penumpangnya agar tidak jatuh.

Sambil membuka matanya yang besar, Denshichiro berkata, "Aku haus. Kasih aku sake!"

Senang karena mendapat kesempatan beristirahat, para pemikul menurunkan joli ke tanah dan mulai menghapus keringat lengket dari wajah dan dada mereka yang berambut dengan saputangan.

"Sake tinggal sedikit lagi," kata seorang pembantu sambil menyerahkan tabung bambu pada Denshichiro.

Denshichiro mengosongkannya dengan sekali teguk, kemudian mengeluh. "Dingin sekali, sampai ngilu gigiku." Tapi sake itu cukup menyegarkannya karena ia menyatakan, "Masih gelap. Rupanya jalan kita cepat sekali."

"Kalau menurut kakak Bapak, tentunya lambat sekali. Dia begitu ingin bertemu dengan Bapak, hingga tiap menit seperti setahun."

"Kuharap dia masih hidup."

"Dokter bilang dia akan sembuh. Tapi dia gelisah, dan lukanya terus mengeluarkan darah. Itu berbahaya."

Denshichiro mengangkat tabung kosong itu ke bibirnya dan menjungkirkannya. "Musashi!" katanya muak sambil melemparkan tabung. "Mari jalan!" lenguhnya. "Lekas!"

Denshichiro memang peminum kuat, tapi ia pesilat yang lebih kuat lagi dan cepat marah. Ia hampir merupakan kebalikan dari kakaknya. Ketika Kempo masih hidup pun sudah ada orang-orang yang berani menyatakan bahwa ia lebih mampu daripada ayahnya. Pemuda itu sendiri sependapat dengan pandangan orang tentang bakat-bakatnya itu. Ketika ayah mereka masih hidup, kedua bersaudara tersebut berlatih bersama di dojo, dan di situ mereka dapat bekerja sama, tapi begitu Kempo meninggal, Denshichiro tidak lagi ambil bagian dalam kegiatan sekolah, dan bahkan sampai pernah langsung mengatakan kepada Seijuro bahwa Seijuro harus mundur dan menyerahkan segala yang menyangkut permainan pedang kepadanya.

Semenjak keberangkatannya ke Ise tahun lalu, orang memberitakan bahwa ia menghabiskan waktunya di Provinsi Yamato. Barulah sesudah terjadi bencana di Rendaiji, orang dikirim untuk mencarinya. Sekalipun tak suka kepada Seijuro, Denshichiro langsung sepakat untuk kembali.

Dalam perjalanan tergesa-gesa kembali ke Kyoto itu, ia memburu-buru para pemikul demikian hebatnya, hingga tiga atau empat kali mereka mesti diganti. Tapi ada saja waktunya buat berhenti di setiap pemberhentian di jalan raya untuk membeli sake. Barangkali alkohol itu dibutuhkannya untuk menenangkan saraf, karena memang ia dalam ketegangan luar biasa.

Ketika mereka baru akan berangkat lagi, anjing-anjing yang menggonggong di hutan gelap itu memikat perhatian mereka.

"Apa itu kira-kira?"

"Cuma segerombolan anjing."

Kota itu memang penuh anjing liar. Bergerombol-gerombol mereka masuk kota, karena tidak ada lagi pertempuran yang menyediakan daging manusia buat mereka.

Denshichiro berteriak marah agar orang-orang tidak membuang-buang waktu lagi, tapi salah seorang murid berkata, "Tunggu dulu; ada yang aneh di sana."

"Coba lihat, ada apa," kata Denshichiro yang kemudian pergi sendiri mendahului.

Sesudah Kojiro pergi, anjing-anjing itu datang kembali. Tiga atau empat kawanan anjing di sekitar Matahachi dan pohon tempat ia terikat itu heboh besar. Kalau saja anjing-anjing bisa mengungkapkan perasaan, mungkin dapat dibayangkan bahwa mereka sedang melakukan balas dendam atas kematian seekor dari kawannya.

Namun yang lebih mungkin adalah mereka sekadar menyiksa korban yang menurut mereka dalam keadaan tak berdaya. Semuanya tampak lapar, seperti serigala-perutnya cekung, tulang punggungnya tajam seperti pisau, dan giginya demikian tajam, seperti dikikir.

Matahachi jauh lebih takut pada anjing-anjing itu daripada kepada Kojiro atau Gempachi. Karena tak dapat menggunakan tangan dan kakinya, senjatanya tinggal wajah dan suaranya.

Semula dengan naif ia mencoba mengajak bicara binatang-binatang itu, tapi kemudian ia mengubah taktik. Ia melolong seperti binatang liar. Anjing-anjing itu menjadi takut dan mundur sedikit. Tapi kemudian hidung Matahachi mulai beringus dan efek lolongannya segera menurun.

Berikutnya ia membuka mulut dan mata selebar mungkin, dan menatap tanpa mengedip. Ia kerutkan muka dan ia julurkan lidahnya hingga dapat menyentuh ujung hidung, tapi ia justru jadi cepat kehabisan tenaga. Dengan mengerahkan kekuatan otaknya kembali, ia berpura-pura menjadi seekor dari mereka dan tidak memusuhi mereka. Ia menyalak, bahkan membayangkan dirinya memiliki ekor untuk dikibas-kibaskan.

Gonggongan makin lama makin keras. Anjing-anjing yang terdekat memperlihat-kan gigi ke muka Matahachi dan menjilati kakinya.

Dengan harapan dapat menenangkan anjing-anjing itu dengan musik, mulailah Matahachi menyanyikan bagian yang terkenal dari dongeng tentang Heike, menirukan tukang nyanyi yang biasa keliling membawakan cerita itu dengan iringan kecapi.  



Kemudian kaisar yang menyendiri itu memutuskan

Pada musim semi tahun kedua

Melihat vila luar kota Kenreimon'in,

Di pegunungan dekat Ohara.

Tetapi selama bulan kedua dan ketiga

Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengepung,

Dan salju putih di puncak gunung pun tidak mencair.



Dengan mata terpejam, muka menegang menyeringai kesakitan, Matahachi menyanyi keras hingga hampir memekakkan dirinya sendiri. Ia masih menyanyi ketika Denshichiro dan teman-temannya datang dan anjing-anjing itu lari cerai-berai.

Lupa akan harga dirinya, Matahachi berteriak, "Tolong! Selamatkan saya!"

"Saya pernah lihat orang ini di Yomogi," kata salah seorang samurai.

"Ya, ini suami Oko."

"Suami? Seharusnya dia tak punya suami."

"Itu ceritanya pada Toji."

Karena kasihan kepada Matahachi, Denshichiro memerintahkan orang-orang itu berhenti bergunjing dan membebaskannya.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, Matahachi mengarang cerita. Sifat-sifatnya yang luhur dilukiskan dengan baik sekali, sedangkan kelemahankelemahannya tak disinggung sama sekali. Mengambil keuntungan dari pembicaraannya dengan pengikut Yoshioka, ia menampilkan nama Musashi. Ia ungkapkan bahwa di masa kecil ia dan Musashi bersahabat, sampai kemudian Musashi melarikan tunangannya dan melumuri keluarganya dengan aib yang tak dapat dilukiskan. Ibunya yang gagah berani sudah bersumpah takkan pulang. Baik ibunya maupun dirinya bertekad akan menemukan Musashi dan menghancurkannya. Suatu hal yang jauh dari kebenaran kalau orang mengatakan bahwa ia suami Oko. Ia memang lama tinggal di Warung Teh Yomogi, tapi itu bukan karena ada hubungan pribadi dengan pemiliknya. Buktinya Oko jatuh cinta kepada Gion Toji.

Kemudian ia menjelaskan kenapa ia terikat pada pohon itu. Ia diserang kawanan perampok yang merampas uangnya. Tentu saja ia tidak melakukan perlawanan. Ia mesti berhati-hati agar tidak terluka justru karena kewajiban terhadap ibunya.

Dengan harapan mereka percaya akan semua itu, kata Matahachi, "Terima kasih. Saya merasa barangkali nasiblah yang mempertemukan kita. Ada satu orang yang sama-sama menjadi musuh kita, musuh yang tak bisa kita biarkan hidup di bawah naungan langit kita. Malam ini Anda sekalian datang justru pada saat yang tepat. Saya berterima kasih untuk selamanya.

"Dari penampilan Anda, saya menduga Anda Denshichiro. Saya merasa pasti Anda punya rencana menghadapi Musashi. Siapa di antara kita yang akan membunuhnya lebih dahulu tidak dapat saya katakan, tapi saya berharap akan mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Anda."

Ia tak ingin memberikan kesempatan pada mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, karena itu ia bergegas pergi. "Osugi, ibu saya, sedang berziarah ke Kiyomizudera untuk berdoa demi suksesnya pertempuran kami melawan Musashi. Saya dalam perjalanan menjumpainya sekarang. Tak lama lagi pasti saya berkunjung ke rumah di Jalan Shijo untuk menyatakan penghormatan saya. Sementara itu, izinkan saya memohon maaf karena menghambat Anda yang sedang demikian terburu-buru."

Dan pergilah ia cepat-cepat, hingga para pendengarnya terheran-heran, seberapa benar isi cerita itu.

"Siapa pula badut itu?" dengus Denshichiro sambil mendecapkan lidah, menyesali waktunya yang terbuang.



Seperti dikatakan dokter, beberapa hari pertama akan merupakan hari-hari terberat. Waktu itu hari keempat. Malam sebelumnya Seijuro sudah merasa sedikit lebih ringan.

Pelan-pelan ia membuka mata dan bertanya-tanya malamkah itu atau siang. Lampu bertutup kertas di samping bantalnya hampir mati. Dari kamar sebelah terdengar suara dengkur. Orang-orang yang menjaganya jatuh tertidur.

"Aku mestinya masih hidup," pikirnya. "Hidup tapi dalam keadaan malu sekali!" Ia menarik selimut ke wajahnya dengan jari-jari gemetar. "Bagaimana aku dapat menghadapi orang lain sesudah ini?" ia menelan ludah keraskeras untuk menindas air matanya. "Habislah semuanya!" rintihnya. "Ini akhir diriku dan akhir Keluarga Yoshioka."

Seekor ayam jantan berkokok dan lampu man dengan suara mendetik. Ketika cahaya fajar yang redup menjalar ke dalam ruangan, ia terkenang kembali akan pagi di Rendaiji itu. Pandangan mata Musashi! Kenangan itu membuatnya menggigil. Terpaksa ia mengakui bahwa ia bukanlah tandingan orang itu. Kenapa ia tidak membuang saja pedang kayunya, mengaku kalah, dan berusaha menyelamatkan reputasi keluarganya?

"Terlalu tinggi aku menilai diriku," rintihnya. "Padahal selain menjadi anak Yoshioka Kempo, apa yang pernah kulakukan untuk meningkatkan diriku?"

Bahkan ia menyadari bahwa cepat atau lambat akan tiba saat keruntuhan Keluarga Yoshioka jika ia tetap memegang kendalinya. Dengan terjadinya perubahan suasana, tidak mungkin keluarga itu terus sejahtera.

"Pertarunganku dengan Musashi itu sekadar mempercepat keruntuhan. Kenapa.aku tidak mati saja di sana? Kenapa pula aku hidup?"

Ia mengerutkan kening. Bahunya yang tak berlengan berdenyut-denyut sakit. Hanya beberapa detik sesudah terdengar ketukan di gerbang depan, satu orang masuk membangunkan samurai di kamar Seijuro. "Denshichiro?" tanya suatu suara kaget.

"Ya, dia baru saja datang."

Dua orang bergegas menjumpainya, seorang lagi berlari ke sisi Seijuro.

"Pak! Berita baik! Denshichiro pulang."

Daun jendela dibuka, arang dimasukkan ke anglo, dan sebuah bantal ditata di lantai. Sebentar kemudian suara Denshichiro terdengar dari sebelah shoji, "Kakakku ada di sini?"

Seijuro terkenang masa lalu. "Lama sudah waktu itu." Walaupun ia minta berjumpa dengan Denshichiro, ia takut dilihat dalam keadaannya sekarang, terutama oleh adiknya. Ketika Denshichiro masuk Seijuro menengadah lemah dan mencoba tersenyum, namun tak berhasil.

Denshichiro berbicara bersemangat. "Lihat, kan?" ia tertawa. "Kalau engkau dalam kesulitan, adikmu yang tak berguna ini datang menolongmu. Kutinggalkan segalanya dan aku datang selekas-lekasnya. Kami berhenti di Osaka untuk membeli perbekalan, kemudian jalan lagi sepanjang malam. Aku di sini sekarang, jadi engkau dapat merasa tenang. Apa pun yang terjadi, takkan kubiarkan seorang pun menjamahkan jari ke sekolah ini...

"Apa ini?" katanya kasar sambil menoleh pada seorang pelayan yang membawakan teh. "Aku tak perlu teh! Sana pergi ambil sake." Kemudian ia berteriak pada seseorang supaya menutup pintu-pintu luar. "Apa kalian semua gila? Apa tidak kalian lihat kakakku kedinginan?"

Ia duduk mencangkung ke anglo serta memandang diam wajah si sakit. "Jurus apa yang engkau pergunakan dalam pertarungan itu?" tanyanya. "Kenapa kau kalah? Mungkin saja Miyamoto Musashi sedang menanjak sekarang, tapi dia tak lebih dari pemula biasa, kan? Bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu lengah diserang oleh orang tak punya nama macam dia?"

Salah seorang murid menyebut nama Denshichiro dari pintu masuk. "Nah, ada apa?"

"Sake sudah siap."

"Bawa masuk!"

"Sudah saya siapkan di kamar lain. Tuan mau mandi dulu, kan?"

"Aku tak mau mandi! Bawa sake itu ke sini."

"Di samping tempat tidur Tuan Muda?"

"Kenapa tidak? Aku sudah beberapa bulan tidak melihat dia, dan aku ingin bicara dengannya. Hubungan kami memang selalu kurang baik, tapi tak ada yang lebih baik dari saudara, kalau kita memerlukannya. Aku minum di sini dengan dia."

Ia menuang untuk dirinya semangkuk penuh, kemudian semangkuk lagi. dan bermangkuk-mangkuk lagi. "Oh, enak. Kalau kau sehat, kutuangkan juga untukmu."

Seijuro menyabarkan diri beberapa menit lamanya, kemudian mengangkat mata dan katanya, "Bagaimana kalau kau tidak minum di sini?"

"Ha?"

"Bikin teringat hal-hal yang tak menyenangkan."

"Oh?"

"Terpikir olehku ayah kita. Dia takkan senang melihat caramu dan caraku memperturutkan hati. Dan apa gunanya bagi kita?"

"Kenapa kau ini?"

"Barangkali kau belum lagi melihatnya, tapi sementara berbaring di tempat ini, aku sudah sempat menyesali hidupku yang terbuang sia-sia."

Denshichiro tertawa. "Bicaralah atas nama dirimu sendiri! Sejak dulu kau selalu gugup dan sensitif. Itu sebabnya kau tak akan menjadi jago pedang sejati. Kalau kau mau mendengar yang sebenarnya, kupikir salah engkau menghadapi Musashi. Tapi sesungguhnya tak ada bedanya, apa itu Musashi atau yang lain. Berkelahi tak ada dalam darahmu. Kau mesti menganggap kekalahan ini sebagai pelajaran, dan kau mesti melupakan permainan pedang. Seperti kukatakan dulu, kau mesti mengundurkan diri. Kau masih mengepalai Keluarga Yoshioka. Jika ada orang menantangmu hingga engkau tak dapat menghindarinya, aku yang akan berkelahi untukmu. Tinggalkan dojo itu padaku dari sekarang. Akan kubuktikan aku dapat membuatnya beberapa kali lebih berhasil dari zaman ayah kita. Kalau engkau mau menyingkirkan kecurigaanmu bahwa aku mencoba merebut perguruanmu, akan kutunjukkan padamu apa yang dapat kulakukan." Ia tuangkan sisa sake yang terakhir ke dalam mangkuknya.

“Denshichiro?" teriak Seijuro. Ia mencoba bangkit dari kasur jeraminya, menepiskan selimut pun ia tak dapat. Ia rebah kembali, kemudian mengulurkan tangan dan menangkap pergelangan adiknya.

“Awas!" gerutu Denshichiro. "Bisa tumpah." Ia memindahkan mangkuknya ke tangan lain.

“Denshichiro, dengan senang hati akan kuserahkan perguruan ini kepadamu, tapi engkau mesti menerima juga kedudukanku sebagai kepala rumah.”

“Baik, kalau itu yang kaukehendaki."

“Engkau jangan menerima beban itu demikian gampang. Lebih baik pikirkan dulu. Aku sendiri lebih suka... menutup tempat ini daripada mengulangi kesalahan yang kuperbuat dan mendatangkan aib yang lebih besar lagi kepada ayah kita."

“Jangan edan begitu. Aku tidak seperti kau."

“Apa kau berjanji akan memperbaiki cara-cara hidupmu?"

“Tunggu! Aku akan minum kapan aku mau kalau itu yang kaumaksudkan."

“Aku tidak keberatan engkau minum, asalkan tidak sampai keterlaluan bagaimana, kesalahan-kesalahan yang telah kubuat sebenarnya tidak, babkan oleh sake”

“Aku berani bertaruh, kesulitanmu itu menyangkut perempuan. Yang mesti kaulakukan kalau nanti engkau sembuh adalah kawin dan menetap.

“Tidak. Aku memang akan meninggalkan pedang, tapi belum waktunya berpikir tentang beristri. Namun ada satu orang yang mesti mendapat perhatianku. Tapi kalau aku bisa mendapat keyakinan bahwa dia bahagia, tak ada lagi yang kuminta. Aku puas hidup sendiri di sebuah gubuk beratap ilalang di hutan."

"Siapa dia itu?"

"Tak usahlah, karena tak ada urusannya denganmu. Sebagai samurai aku mesti bertahan dan mencoba menebus diriku. Tapi aku bisa menindas harga diriku. Ambillah tanggung jawab perguruan ini."

"Akan kulakukan, aku berjanji. Aku juga bersumpah, tak lama lagi akan kujernihkan namamu. Tapi di mana Musashi sekarang?"

"Musashi?" Seijuro tercekik. "Kukira engkau takkan memerangi Musashi! Baru saja kuperingatkan engkau untuk tidak berbuat kesalahan yang sama dengan yang kubuat."

"Mana boleh aku memikirkan yang lain? Apa bukan ini sebabnya kau memanggilku? Kita mesti menemukan Musashi, sebelum dia meloloskan diri. Kalau bukan karena itu, ada urusan apa aku begini cepat pulang?"

"Kau tidak mengerti apa yang kubicarakan." Seijuro menggelengkan kepala. "Kularang engkau melawan Musashi!"

Nada bicara Denshichiro mengandung kebencian. Selamanya ia jengkel menerima perintah kakaknya.

"Kenapa?"

Rona merah muda muncul di pipi Seijuro yang pucat. "Engkau takkan bisa menang!" katanya singkat.

"Siapa takkan bisa menang?" Muka Denshichiro jadi kebiruan.

"Kau. Takkan bisa engkau melawan Musashi."

"Kenapa begitu?"

"Engkau tak cukup kuat."

"Omong kosong!" Dengan sengaja Denshichiro memperdengarkan tawanya hingga bahunya berguncang. Dilepaskannya tangannya dari Seijuro dan dibalikkannya guci sake. "Hei, bawa sake sini!" lenguhnya.

"Tak ada sisa lagi."

Ketika seorang murid masuk membawa sake, Denshichiro sudah tidak ada lagi di dalam kamar, sedangkan Seijuro tengkurap di bawah selimut. Ketika murid itu menelentangkannya dan menaruh kepalanya di atas bantal, kata Seijuro pelan, "Panggil dia lagi kemari. Ada yang mau kukatakan lagi kepadanya."

Merasa senang karena majikannya bicara jelas, orang itu berlari ke luar mencari Denshichiro. Ia menemukannya sedang duduk di lantai dojo dengan Ueda Ryohei dan Miike Jurozaemon, Nampo Yoichibei, Otaguro Hyosuke, dan beberapa murid senior.

Satu orang bertanya, "Bapak sudah ketemu Seijuro?"

"Ya, aku barusan di kamarnya."

"Dia tentu senang melihat Bapak."

"Kelihatannya tidak begitu senang. Sebelum masuk kamarnya, aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi dia sedang murung dan uring-uringan. karena itu kukatakan saja apa yang ingin kukatakan. Kami jadi bertengkar, seperti biasa."

"Bapak bertengkar dengannya? Mestinya tak usah. Dia baru mulai sembuh."

"Tunggu sampai kaudengar seluruh ceritanya."

Denshichiro dan murid-murid senior itu sudah seperti sahabat lama. Ia mencekal bahu Ryohei yang mencela tadi dan ia guncangkan bahu itu dengan sikap bersahabat.

"Dengar apa yang dikatakan kakakku," mulainya. "Dia bilang aku tak boleh menjernihkan namanya dengan melawan Musashi, karena aku tak dapat mengalahkan Musashi! Dan kalau aku kalah, Keluarga Yoshioka akan runtuh. Dia bilang dia akan mengundurkan diri dan menerima tanggung jawab aib yang terjadi. Dia tak ingin aku melakukan yang lain kecuali melanjutkan pekerjaannya dan kerja keras menegakkan kembali sekolah."

"Oh, begitu?"

"Apa maksudmu berkata begitu?" Ryohei diam saja.

Ketika mereka sedang duduk diam, murid itu masuk dan berkata pada Denshichiro, "Bapak Seijuro minta Anda kembali ke kamarnya."

Denshichiro memberengut. "Bagaimana dengan sake itu?" detapnya.

"Saya tinggalkan di kamar Pak Seijuro."

"Nah, bawa kemari."

"Bagaimana dengan kakak Anda?"

"Dia rupanya menderita kegugupan. Kerjakan seperti kukatakan."

Protes dari yang lain-lain bahwa mereka tak ingin minum dan bahwa ini bukan waktu minum, membikin jengkel Denshichiro, dan ia menyerang mereka. "Apa yang terjadi dengan kalian semua? Apa kalian takut kepada Musashi juga?"

Rasa terguncang, rasa sakit, dan rasa sedih tergambar jelas pada wajah mereka. Sampai tiba ajal mereka, mereka akan tetap ingat, bagaimana guru mereka dibikin cacat hanya dengan satu pukulan pedang kayu, dan perguruan mereka dibikin malu. Namun demikian, tak dapat mereka menyusun satu rencana aksi. Setiap pembicaraan tentang tiga hari lalu itu memecah mereka menjadi dua kelompok, sebagian menyetujui dilontarkannya tantangan kedua, sebagian lagi menyatakan lebih baik membiarkan saja pengalaman buruk yang lalu itu. Sekarang beberapa orang yang lebih tua dapat menerima pendapat Denshichiro, sedangkan sebagian lagi, termasuk Ryohei, cenderung setuju dengan guru mereka yang telah dikalahkan. Sayangnya, anjuran Seijuro untuk bersabar itu sukar sekali disetujui para murid, terutama di hadapan adik yang berkepala panas itu.

Melihat keraguan sikap mereka, Denshichiro mengatakan, "Biarpun kakakku sudah luka, tak perlu dia berlaku seperti pengecut. Macam perempuan saja! Bagaimana mungkin aku diminta mendengarkan kata-katanya, apalagi menyetujuinya?"

Sake datang, ia menuangkannya seorang semangkuk. Sekarang, karena ia yang akan memegang kendali, ia bermaksud membawakan gaya yang ia sukai: semua orang ini harus merupakan kesatuan manusia sejati.

"Dan inilah yang akan kulakukan," katanya mengumumkan. "Aku akan melawan Musashi dan mengalahkannya! Tak peduli apa yang dikatakan kakakku. Kalau menurutnya kita mesti membiarkan orang ini lepas setelah melakukan perbuatannya itu, tidak mengherankan kalau dia kalah. Jangan sampai siapa pun di antara kalian berbuat kesalahan dengan menyangka aku ini masih hijau macam dia."

Nampo Yoichibei angkat bicara. "Tak ada persoalan tentang kemampuan Anda. Kami semua yakin, tapi..."

"Tapi apa? Apa yang terpikir olehmu?"

"Nah, kakak Anda rupanya berpendapat Musashi tidak penting. Dia benar, kan? Pikirkan risikonya..."

"Risiko?" lolong Denshichiro.

"Eh, maksud saya bukan begitu! Saya cabut kembali kata-kata saya.,” gagap Yoichibei.

Tapi sudah terlambat. Denshichiro melompat dan menangkap tengkuk Yoichibei, lalu membenturkannya keras-keras ke dinding. "Keluar dari sini! Pengecut!"

"Saya tadi keliru mengucapkan. Yang saya maksud..."

"Tutup mulutmu! Keluar! Orang lemah tak pantas minum denganku."

Yoichibei pucat, kemudian diam berlutut menghadap semua yang lain. "Saya ucapkan terima kasih kepada Anda sekalian yang mengizinkan sava berada di tengah Anda sekalian demikian lama," katanya pendek. Ia pergi ke tempat suci Shinto di belakang kamar, membungkuk, dan pergi.

Tanpa menoleh lagi ke arahnya, Denshichiro berkata, "Mari sekarang kita semua minum. Sesudah itu, kuminta kalian mencari Musashi. Kukira dia belum meninggalkan Kyoto. Barangkali dia masih berkeliaran membanggakan kemenangannya.

"Dan satu hal lagi. Kita akan kembali memberikan semangat kepada dojo ini. Aku minta kalian masing-masing berlatih keras dan mengajak murid lain berbuat demikian juga. Sesudah beristirahat, aku sendiri mulai berlatih. Dan ingat satu hal ini: Aku bukan orang lunak macam kakakku. Murid yang termuda pun kuminta berusaha sebaik-baiknya."



Tepat seminggu kemudian, seorang di antara murid yang masih muda datang berlari-lari masuk dojo, membawa berita, "Saya sudah menemukannya!"

Sesuai dengan ucapannya, Denshichiro berlatih dengan keras hari demi hari. Tenaganya yang seakan tak ada habis-habisnya itu membikin para murid kagum. Sekelompok di antara mereka sedang memperhatikan bagaimana ia menangani Otaguro, salah seorang dari murid yang paling berpengalaman, seakan-akan murid itu masih kanak-kanak.

"Kita berhenti sekarang," kata Denshichiro sambil menarik pedang dan duduk di ujung petak latihan. "Kamu bilang sudah menemukannya?"

"Ya." Murid itu mendekat dan berlutut di depan Denshichiro.

"Di mana?"

"Di timur Jissoin, di Jalan Hon'ami. Musashi tinggal di rumah Hon'ami Koetsu. Saya yakin."

"Aneh. Bagaimana mungkin orang kasar macam Musashi sampai kenal orang macam Koetsu?"

"Saya tidak tahu, tapi dia di situ."

"Baiklah, mari mengejarnya. Sekarang!" salak Denshichiro sambil melangkah mempersiapkan diri. Otaguro dan Ueda yang mengikutinya mencoba mencegahnya.

"Menyergap dia bisa tampak seperti perkelahian umum. Orang-orang takkan menyetujuinya, biarpun kita menang."

"Tidak apa. Etiket itu untuk dojo. Dalam pertempuran sebenarnya yang menang itulah yang menang!"

"Betul, tapi bukan itu cara yang dipakai orang bebal itu mengalahkan kakak Anda. Apa menurut Anda tidak lebih cocok buat pemain pedang kalau mengirimkan surat kepadanya untuk menetapkan waktu dan tempat, kemudian mengalahkannya dengan adil dan jujur?"

"Barangkali juga engkau benar. Baik, akan kita lakukan demikian. Sementara itu, aku tak ingin siapa pun di antara kalian memberikan peluang kepada kakakku mempengaruhi kalian untuk melawanku. Aku akan melawan Musashi, apa pun yang dikatakan Seijuro atau yang lain lagi."

"Sudah kita singkirkan semua orang yang tidak sependapat dengan Anda, juga orang-orang yang tak kenal terima kasih dan ingin pergi."

"Bagus! Jadi, kita sudah jauh lebih kuat sekarang. Kita tidak butuh orang-orang brengsek macam Gion Toji atau orang-orang penakut macam Nampo Yoichibei."

"Apa akan kita sampaikan pada kakak Anda sebelum kita kirimkan surat?"

"Jangan! Aku sendiri tak akan menyampaikannya."

Ketika ia pergi ke kamar Seijuro, yang lain-lain pun berdoa semoga takkan terjadi lagi bentrokan antara dua bersaudara. Keduanya memang tak mau sedikit pun mundur dalam persoalan Musashi: Ketika ternyata tidak terdengar suara-suara dari kamar sesudah beberapa waktu lewat, para murid pun mulai membicarakan waktu dan tempat untuk konfrontasi kedua dengati musuh bebuyutan mereka.

Tapi waktu itulah suara Denshichiro terdengar berderai, "Ueda! Miike! Otaguro... semua kalian! Sini!"

Denshichiro berdiri di tengah kamar dengan pandangan murung dan air mata bercucuran. Tak seorang pun pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu.

"Coba kalian semua lihat ini."

Ia angkat tinggi-tinggi sepucuk surat yang sangat panjang, dan katanya dengan kemarahan dipaksakan, "Coba lihat apa yang sudah diperbuat kakakku yang goblok itu. Dia mengemukakan lagi pendapatnya padaku, tapi dia pergi selamanya.... Bahkan tidak menyebutkan ke mana perginya."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP