Adik
SEMENJAK zaman kuno,
orang-orang kelas tertinggi dapat naik joli. Baru belakangan saja joli jenis
sederhana dapat dipergunakan oleh orang kebanyakan. Joli itu sedikit lebih
besar dari keranjang besar bersisi rendah yang diikatkan pada pikulan. Supaya
penumpang tidak jatuh keluar, ia harus berpegangan erat pada tali di depan dan
belakang. Para pemikul yang biasanya menyanyi berirama untuk menyamakan
langkah, mempunyai kecenderungan memperlakukan penumpangnya sebagai muatan.
Orang-orang yang memilih bentuk kendaraan ini dinasihatkan untuk menyesuaikan
napasnya dengan irama pemikul, terutama apabila para pemikul berlari.
Joli yang berjalan
cepat ke arah hutan pinus di Jalan Gojo itu diiringi tujuh atau delapan orang.
Baik pemikul maupun orang-orang lainnya terengah-engah, seakan hendak
memuntahkan jantung mereka.
"Kita sampai di
Jalan Gojo."
"Apa ini bukan
Matsubara?"
"Tidak jauh
lagi."
Walaupun
lentera-lentera yang mereka bawa berbulu jambul seperti yang biasa dipakai para
pelacur bersurat ijin di wilayah Osaka, penumpangnya bukanlah kupu-kupu malam.
"Pak
Denshichiro!" seru salah seorang pembantu di depan. "Kita hampir
sampai di Jalan Shijo."
Denshichiro tidak
mendengar. Ia tertidur, kepalanya berayun-ayun naik turun seperti kepala macan
kertas. Kemudian keranjang itu tersentak, dan seorang pemikul mengeluarkan
tangan untuk menahan penumpangnya agar tidak jatuh.
Sambil membuka
matanya yang besar, Denshichiro berkata, "Aku haus. Kasih aku sake!"
Senang karena
mendapat kesempatan beristirahat, para pemikul menurunkan joli ke tanah dan
mulai menghapus keringat lengket dari wajah dan dada mereka yang berambut
dengan saputangan.
"Sake tinggal
sedikit lagi," kata seorang pembantu sambil menyerahkan tabung bambu pada
Denshichiro.
Denshichiro
mengosongkannya dengan sekali teguk, kemudian mengeluh. "Dingin sekali,
sampai ngilu gigiku." Tapi sake itu cukup menyegarkannya karena ia
menyatakan, "Masih gelap. Rupanya jalan kita cepat sekali."
"Kalau menurut
kakak Bapak, tentunya lambat sekali. Dia begitu ingin bertemu dengan Bapak,
hingga tiap menit seperti setahun."
"Kuharap dia
masih hidup."
"Dokter bilang
dia akan sembuh. Tapi dia gelisah, dan lukanya terus mengeluarkan darah. Itu
berbahaya."
Denshichiro
mengangkat tabung kosong itu ke bibirnya dan menjungkirkannya.
"Musashi!" katanya muak sambil melemparkan tabung. "Mari
jalan!" lenguhnya. "Lekas!"
Denshichiro memang
peminum kuat, tapi ia pesilat yang lebih kuat lagi dan cepat marah. Ia hampir
merupakan kebalikan dari kakaknya. Ketika Kempo masih hidup pun sudah ada
orang-orang yang berani menyatakan bahwa ia lebih mampu daripada ayahnya.
Pemuda itu sendiri sependapat dengan pandangan orang tentang bakat-bakatnya
itu. Ketika ayah mereka masih hidup, kedua bersaudara tersebut berlatih bersama
di dojo, dan di situ mereka dapat bekerja sama, tapi begitu Kempo meninggal,
Denshichiro tidak lagi ambil bagian dalam kegiatan sekolah, dan bahkan sampai
pernah langsung mengatakan kepada Seijuro bahwa Seijuro harus mundur dan
menyerahkan segala yang menyangkut permainan pedang kepadanya.
Semenjak
keberangkatannya ke Ise tahun lalu, orang memberitakan bahwa ia menghabiskan
waktunya di Provinsi Yamato. Barulah sesudah terjadi bencana di Rendaiji, orang
dikirim untuk mencarinya. Sekalipun tak suka kepada Seijuro, Denshichiro
langsung sepakat untuk kembali.
Dalam perjalanan
tergesa-gesa kembali ke Kyoto itu, ia memburu-buru para pemikul demikian
hebatnya, hingga tiga atau empat kali mereka mesti diganti. Tapi ada saja
waktunya buat berhenti di setiap pemberhentian di jalan raya untuk membeli
sake. Barangkali alkohol itu dibutuhkannya untuk menenangkan saraf, karena memang
ia dalam ketegangan luar biasa.
Ketika mereka baru
akan berangkat lagi, anjing-anjing yang menggonggong di hutan gelap itu memikat
perhatian mereka.
"Apa itu
kira-kira?"
"Cuma
segerombolan anjing."
Kota itu memang penuh
anjing liar. Bergerombol-gerombol mereka masuk kota, karena tidak ada lagi
pertempuran yang menyediakan daging manusia buat mereka.
Denshichiro berteriak
marah agar orang-orang tidak membuang-buang waktu lagi, tapi salah seorang
murid berkata, "Tunggu dulu; ada yang aneh di sana."
"Coba lihat, ada
apa," kata Denshichiro yang kemudian pergi sendiri mendahului.
Sesudah Kojiro pergi,
anjing-anjing itu datang kembali. Tiga atau empat kawanan anjing di sekitar
Matahachi dan pohon tempat ia terikat itu heboh besar. Kalau saja anjing-anjing
bisa mengungkapkan perasaan, mungkin dapat dibayangkan bahwa mereka sedang
melakukan balas dendam atas kematian seekor dari kawannya.
Namun yang lebih
mungkin adalah mereka sekadar menyiksa korban yang menurut mereka dalam keadaan
tak berdaya. Semuanya tampak lapar, seperti serigala-perutnya cekung, tulang
punggungnya tajam seperti pisau, dan giginya demikian tajam, seperti dikikir.
Matahachi jauh lebih
takut pada anjing-anjing itu daripada kepada Kojiro atau Gempachi. Karena tak
dapat menggunakan tangan dan kakinya, senjatanya tinggal wajah dan suaranya.
Semula dengan naif ia
mencoba mengajak bicara binatang-binatang itu, tapi kemudian ia mengubah
taktik. Ia melolong seperti binatang liar. Anjing-anjing itu menjadi takut dan
mundur sedikit. Tapi kemudian hidung Matahachi mulai beringus dan efek
lolongannya segera menurun.
Berikutnya ia membuka
mulut dan mata selebar mungkin, dan menatap tanpa mengedip. Ia kerutkan muka
dan ia julurkan lidahnya hingga dapat menyentuh ujung hidung, tapi ia justru
jadi cepat kehabisan tenaga. Dengan mengerahkan kekuatan otaknya kembali, ia
berpura-pura menjadi seekor dari mereka dan tidak memusuhi mereka. Ia menyalak,
bahkan membayangkan dirinya memiliki ekor untuk dikibas-kibaskan.
Gonggongan makin lama
makin keras. Anjing-anjing yang terdekat memperlihat-kan gigi ke muka Matahachi
dan menjilati kakinya.
Dengan harapan dapat
menenangkan anjing-anjing itu dengan musik, mulailah Matahachi menyanyikan
bagian yang terkenal dari dongeng tentang Heike, menirukan tukang nyanyi yang
biasa keliling membawakan cerita itu dengan iringan kecapi.
Kemudian kaisar yang
menyendiri itu memutuskan
Pada musim semi tahun
kedua
Melihat vila luar
kota Kenreimon'in,
Di pegunungan dekat
Ohara.
Tetapi selama bulan
kedua dan ketiga
Angin bertiup
kencang, dan udara dingin mengepung,
Dan salju putih di
puncak gunung pun tidak mencair.
Dengan mata terpejam,
muka menegang menyeringai kesakitan, Matahachi menyanyi keras hingga hampir
memekakkan dirinya sendiri. Ia masih menyanyi ketika Denshichiro dan
teman-temannya datang dan anjing-anjing itu lari cerai-berai.
Lupa akan harga
dirinya, Matahachi berteriak, "Tolong! Selamatkan saya!"
"Saya pernah
lihat orang ini di Yomogi," kata salah seorang samurai.
"Ya, ini suami
Oko."
"Suami?
Seharusnya dia tak punya suami."
"Itu ceritanya
pada Toji."
Karena kasihan kepada
Matahachi, Denshichiro memerintahkan orang-orang itu berhenti bergunjing dan
membebaskannya.
Menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka, Matahachi mengarang cerita. Sifat-sifatnya yang
luhur dilukiskan dengan baik sekali, sedangkan kelemahankelemahannya tak
disinggung sama sekali. Mengambil keuntungan dari pembicaraannya dengan
pengikut Yoshioka, ia menampilkan nama Musashi. Ia ungkapkan bahwa di masa
kecil ia dan Musashi bersahabat, sampai kemudian Musashi melarikan tunangannya
dan melumuri keluarganya dengan aib yang tak dapat dilukiskan. Ibunya yang
gagah berani sudah bersumpah takkan pulang. Baik ibunya maupun dirinya bertekad
akan menemukan Musashi dan menghancurkannya. Suatu hal yang jauh dari kebenaran
kalau orang mengatakan bahwa ia suami Oko. Ia memang lama tinggal di Warung Teh
Yomogi, tapi itu bukan karena ada hubungan pribadi dengan pemiliknya. Buktinya
Oko jatuh cinta kepada Gion Toji.
Kemudian ia
menjelaskan kenapa ia terikat pada pohon itu. Ia diserang kawanan perampok yang
merampas uangnya. Tentu saja ia tidak melakukan perlawanan. Ia mesti
berhati-hati agar tidak terluka justru karena kewajiban terhadap ibunya.
Dengan harapan mereka
percaya akan semua itu, kata Matahachi, "Terima kasih. Saya merasa
barangkali nasiblah yang mempertemukan kita. Ada satu orang yang sama-sama
menjadi musuh kita, musuh yang tak bisa kita biarkan hidup di bawah naungan
langit kita. Malam ini Anda sekalian datang justru pada saat yang tepat. Saya
berterima kasih untuk selamanya.
"Dari penampilan
Anda, saya menduga Anda Denshichiro. Saya merasa pasti Anda punya rencana
menghadapi Musashi. Siapa di antara kita yang akan membunuhnya lebih dahulu
tidak dapat saya katakan, tapi saya berharap akan mendapat kesempatan bertemu
lagi dengan Anda."
Ia tak ingin
memberikan kesempatan pada mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
karena itu ia bergegas pergi. "Osugi, ibu saya, sedang berziarah ke
Kiyomizudera untuk berdoa demi suksesnya pertempuran kami melawan Musashi. Saya
dalam perjalanan menjumpainya sekarang. Tak lama lagi pasti saya berkunjung ke
rumah di Jalan Shijo untuk menyatakan penghormatan saya. Sementara itu, izinkan
saya memohon maaf karena menghambat Anda yang sedang demikian
terburu-buru."
Dan pergilah ia
cepat-cepat, hingga para pendengarnya terheran-heran, seberapa benar isi cerita
itu.
"Siapa pula
badut itu?" dengus Denshichiro sambil mendecapkan lidah, menyesali
waktunya yang terbuang.
Seperti dikatakan
dokter, beberapa hari pertama akan merupakan hari-hari terberat. Waktu itu hari
keempat. Malam sebelumnya Seijuro sudah merasa sedikit lebih ringan.
Pelan-pelan ia
membuka mata dan bertanya-tanya malamkah itu atau siang. Lampu bertutup kertas
di samping bantalnya hampir mati. Dari kamar sebelah terdengar suara dengkur.
Orang-orang yang menjaganya jatuh tertidur.
"Aku mestinya
masih hidup," pikirnya. "Hidup tapi dalam keadaan malu sekali!"
Ia menarik selimut ke wajahnya dengan jari-jari gemetar. "Bagaimana aku
dapat menghadapi orang lain sesudah ini?" ia menelan ludah keraskeras untuk
menindas air matanya. "Habislah semuanya!" rintihnya. "Ini akhir
diriku dan akhir Keluarga Yoshioka."
Seekor ayam jantan
berkokok dan lampu man dengan suara mendetik. Ketika cahaya fajar yang redup
menjalar ke dalam ruangan, ia terkenang kembali akan pagi di Rendaiji itu.
Pandangan mata Musashi! Kenangan itu membuatnya menggigil. Terpaksa ia mengakui
bahwa ia bukanlah tandingan orang itu. Kenapa ia tidak membuang saja pedang
kayunya, mengaku kalah, dan berusaha menyelamatkan reputasi keluarganya?
"Terlalu tinggi
aku menilai diriku," rintihnya. "Padahal selain menjadi anak Yoshioka
Kempo, apa yang pernah kulakukan untuk meningkatkan diriku?"
Bahkan ia menyadari
bahwa cepat atau lambat akan tiba saat keruntuhan Keluarga Yoshioka jika ia
tetap memegang kendalinya. Dengan terjadinya perubahan suasana, tidak mungkin
keluarga itu terus sejahtera.
"Pertarunganku
dengan Musashi itu sekadar mempercepat keruntuhan. Kenapa.aku tidak mati saja
di sana? Kenapa pula aku hidup?"
Ia mengerutkan
kening. Bahunya yang tak berlengan berdenyut-denyut sakit. Hanya beberapa detik
sesudah terdengar ketukan di gerbang depan, satu orang masuk membangunkan
samurai di kamar Seijuro. "Denshichiro?" tanya suatu suara kaget.
"Ya, dia baru
saja datang."
Dua orang bergegas
menjumpainya, seorang lagi berlari ke sisi Seijuro.
"Pak! Berita
baik! Denshichiro pulang."
Daun jendela dibuka,
arang dimasukkan ke anglo, dan sebuah bantal ditata di lantai. Sebentar
kemudian suara Denshichiro terdengar dari sebelah shoji, "Kakakku ada di
sini?"
Seijuro terkenang
masa lalu. "Lama sudah waktu itu." Walaupun ia minta berjumpa dengan
Denshichiro, ia takut dilihat dalam keadaannya sekarang, terutama oleh adiknya.
Ketika Denshichiro masuk Seijuro menengadah lemah dan mencoba tersenyum, namun
tak berhasil.
Denshichiro berbicara
bersemangat. "Lihat, kan?" ia tertawa. "Kalau engkau dalam
kesulitan, adikmu yang tak berguna ini datang menolongmu. Kutinggalkan
segalanya dan aku datang selekas-lekasnya. Kami berhenti di Osaka untuk membeli
perbekalan, kemudian jalan lagi sepanjang malam. Aku di sini sekarang, jadi
engkau dapat merasa tenang. Apa pun yang terjadi, takkan kubiarkan seorang pun
menjamahkan jari ke sekolah ini...
"Apa ini?"
katanya kasar sambil menoleh pada seorang pelayan yang membawakan teh.
"Aku tak perlu teh! Sana pergi ambil sake." Kemudian ia berteriak
pada seseorang supaya menutup pintu-pintu luar. "Apa kalian semua gila?
Apa tidak kalian lihat kakakku kedinginan?"
Ia duduk mencangkung
ke anglo serta memandang diam wajah si sakit. "Jurus apa yang engkau
pergunakan dalam pertarungan itu?" tanyanya. "Kenapa kau kalah?
Mungkin saja Miyamoto Musashi sedang menanjak sekarang, tapi dia tak lebih dari
pemula biasa, kan? Bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu lengah diserang oleh
orang tak punya nama macam dia?"
Salah seorang murid
menyebut nama Denshichiro dari pintu masuk. "Nah, ada apa?"
"Sake sudah
siap."
"Bawa
masuk!"
"Sudah saya
siapkan di kamar lain. Tuan mau mandi dulu, kan?"
"Aku tak mau
mandi! Bawa sake itu ke sini."
"Di samping
tempat tidur Tuan Muda?"
"Kenapa tidak?
Aku sudah beberapa bulan tidak melihat dia, dan aku ingin bicara dengannya.
Hubungan kami memang selalu kurang baik, tapi tak ada yang lebih baik dari
saudara, kalau kita memerlukannya. Aku minum di sini dengan dia."
Ia menuang untuk dirinya
semangkuk penuh, kemudian semangkuk lagi. dan bermangkuk-mangkuk lagi.
"Oh, enak. Kalau kau sehat, kutuangkan juga untukmu."
Seijuro menyabarkan
diri beberapa menit lamanya, kemudian mengangkat mata dan katanya,
"Bagaimana kalau kau tidak minum di sini?"
"Ha?"
"Bikin teringat
hal-hal yang tak menyenangkan."
"Oh?"
"Terpikir olehku
ayah kita. Dia takkan senang melihat caramu dan caraku memperturutkan hati. Dan
apa gunanya bagi kita?"
"Kenapa kau
ini?"
"Barangkali kau
belum lagi melihatnya, tapi sementara berbaring di tempat ini, aku sudah sempat
menyesali hidupku yang terbuang sia-sia."
Denshichiro tertawa.
"Bicaralah atas nama dirimu sendiri! Sejak dulu kau selalu gugup dan
sensitif. Itu sebabnya kau tak akan menjadi jago pedang sejati. Kalau kau mau
mendengar yang sebenarnya, kupikir salah engkau menghadapi Musashi. Tapi
sesungguhnya tak ada bedanya, apa itu Musashi atau yang lain. Berkelahi tak ada
dalam darahmu. Kau mesti menganggap kekalahan ini sebagai pelajaran, dan kau
mesti melupakan permainan pedang. Seperti kukatakan dulu, kau mesti
mengundurkan diri. Kau masih mengepalai Keluarga Yoshioka. Jika ada orang
menantangmu hingga engkau tak dapat menghindarinya, aku yang akan berkelahi
untukmu. Tinggalkan dojo itu padaku dari sekarang. Akan kubuktikan aku dapat
membuatnya beberapa kali lebih berhasil dari zaman ayah kita. Kalau engkau mau
menyingkirkan kecurigaanmu bahwa aku mencoba merebut perguruanmu, akan
kutunjukkan padamu apa yang dapat kulakukan." Ia tuangkan sisa sake yang
terakhir ke dalam mangkuknya.
“Denshichiro?"
teriak Seijuro. Ia mencoba bangkit dari kasur jeraminya, menepiskan selimut pun
ia tak dapat. Ia rebah kembali, kemudian mengulurkan tangan dan menangkap
pergelangan adiknya.
“Awas!" gerutu
Denshichiro. "Bisa tumpah." Ia memindahkan mangkuknya ke tangan lain.
“Denshichiro, dengan
senang hati akan kuserahkan perguruan ini kepadamu, tapi engkau mesti menerima
juga kedudukanku sebagai kepala rumah.”
“Baik, kalau itu yang
kaukehendaki."
“Engkau jangan
menerima beban itu demikian gampang. Lebih baik pikirkan dulu. Aku sendiri
lebih suka... menutup tempat ini daripada mengulangi kesalahan yang kuperbuat
dan mendatangkan aib yang lebih besar lagi kepada ayah kita."
“Jangan edan begitu.
Aku tidak seperti kau."
“Apa kau berjanji
akan memperbaiki cara-cara hidupmu?"
“Tunggu! Aku akan
minum kapan aku mau kalau itu yang kaumaksudkan."
“Aku tidak keberatan
engkau minum, asalkan tidak sampai keterlaluan bagaimana, kesalahan-kesalahan
yang telah kubuat sebenarnya tidak, babkan oleh sake”
“Aku berani bertaruh,
kesulitanmu itu menyangkut perempuan. Yang mesti kaulakukan kalau nanti engkau
sembuh adalah kawin dan menetap.
“Tidak. Aku memang
akan meninggalkan pedang, tapi belum waktunya berpikir tentang beristri. Namun
ada satu orang yang mesti mendapat perhatianku. Tapi kalau aku bisa mendapat
keyakinan bahwa dia bahagia, tak ada lagi yang kuminta. Aku puas hidup sendiri
di sebuah gubuk beratap ilalang di hutan."
"Siapa dia
itu?"
"Tak usahlah,
karena tak ada urusannya denganmu. Sebagai samurai aku mesti bertahan dan
mencoba menebus diriku. Tapi aku bisa menindas harga diriku. Ambillah tanggung
jawab perguruan ini."
"Akan kulakukan,
aku berjanji. Aku juga bersumpah, tak lama lagi akan kujernihkan namamu. Tapi
di mana Musashi sekarang?"
"Musashi?"
Seijuro tercekik. "Kukira engkau takkan memerangi Musashi! Baru saja
kuperingatkan engkau untuk tidak berbuat kesalahan yang sama dengan yang
kubuat."
"Mana boleh aku
memikirkan yang lain? Apa bukan ini sebabnya kau memanggilku? Kita mesti
menemukan Musashi, sebelum dia meloloskan diri. Kalau bukan karena itu, ada
urusan apa aku begini cepat pulang?"
"Kau tidak
mengerti apa yang kubicarakan." Seijuro menggelengkan kepala.
"Kularang engkau melawan Musashi!"
Nada bicara
Denshichiro mengandung kebencian. Selamanya ia jengkel menerima perintah
kakaknya.
"Kenapa?"
Rona merah muda
muncul di pipi Seijuro yang pucat. "Engkau takkan bisa menang!"
katanya singkat.
"Siapa takkan
bisa menang?" Muka Denshichiro jadi kebiruan.
"Kau. Takkan
bisa engkau melawan Musashi."
"Kenapa
begitu?"
"Engkau tak
cukup kuat."
"Omong
kosong!" Dengan sengaja Denshichiro memperdengarkan tawanya hingga bahunya
berguncang. Dilepaskannya tangannya dari Seijuro dan dibalikkannya guci sake.
"Hei, bawa sake sini!" lenguhnya.
"Tak ada sisa
lagi."
Ketika seorang murid
masuk membawa sake, Denshichiro sudah tidak ada lagi di dalam kamar, sedangkan
Seijuro tengkurap di bawah selimut. Ketika murid itu menelentangkannya dan
menaruh kepalanya di atas bantal, kata Seijuro pelan, "Panggil dia lagi kemari.
Ada yang mau kukatakan lagi kepadanya."
Merasa senang karena
majikannya bicara jelas, orang itu berlari ke luar mencari Denshichiro. Ia
menemukannya sedang duduk di lantai dojo dengan Ueda Ryohei dan Miike
Jurozaemon, Nampo Yoichibei, Otaguro Hyosuke, dan beberapa murid senior.
Satu orang bertanya,
"Bapak sudah ketemu Seijuro?"
"Ya, aku barusan
di kamarnya."
"Dia tentu
senang melihat Bapak."
"Kelihatannya
tidak begitu senang. Sebelum masuk kamarnya, aku ingin sekali bertemu
dengannya. Tapi dia sedang murung dan uring-uringan. karena itu kukatakan saja
apa yang ingin kukatakan. Kami jadi bertengkar, seperti biasa."
"Bapak
bertengkar dengannya? Mestinya tak usah. Dia baru mulai sembuh."
"Tunggu sampai
kaudengar seluruh ceritanya."
Denshichiro dan murid-murid
senior itu sudah seperti sahabat lama. Ia mencekal bahu Ryohei yang mencela
tadi dan ia guncangkan bahu itu dengan sikap bersahabat.
"Dengar apa yang
dikatakan kakakku," mulainya. "Dia bilang aku tak boleh menjernihkan
namanya dengan melawan Musashi, karena aku tak dapat mengalahkan Musashi! Dan
kalau aku kalah, Keluarga Yoshioka akan runtuh. Dia bilang dia akan
mengundurkan diri dan menerima tanggung jawab aib yang terjadi. Dia tak ingin
aku melakukan yang lain kecuali melanjutkan pekerjaannya dan kerja keras
menegakkan kembali sekolah."
"Oh,
begitu?"
"Apa maksudmu
berkata begitu?" Ryohei diam saja.
Ketika mereka sedang
duduk diam, murid itu masuk dan berkata pada Denshichiro, "Bapak Seijuro
minta Anda kembali ke kamarnya."
Denshichiro memberengut.
"Bagaimana dengan sake itu?" detapnya.
"Saya tinggalkan
di kamar Pak Seijuro."
"Nah, bawa
kemari."
"Bagaimana
dengan kakak Anda?"
"Dia rupanya
menderita kegugupan. Kerjakan seperti kukatakan."
Protes dari yang
lain-lain bahwa mereka tak ingin minum dan bahwa ini bukan waktu minum,
membikin jengkel Denshichiro, dan ia menyerang mereka. "Apa yang terjadi
dengan kalian semua? Apa kalian takut kepada Musashi juga?"
Rasa terguncang, rasa
sakit, dan rasa sedih tergambar jelas pada wajah mereka. Sampai tiba ajal
mereka, mereka akan tetap ingat, bagaimana guru mereka dibikin cacat hanya
dengan satu pukulan pedang kayu, dan perguruan mereka dibikin malu. Namun
demikian, tak dapat mereka menyusun satu rencana aksi. Setiap pembicaraan
tentang tiga hari lalu itu memecah mereka menjadi dua kelompok, sebagian
menyetujui dilontarkannya tantangan kedua, sebagian lagi menyatakan lebih baik
membiarkan saja pengalaman buruk yang lalu itu. Sekarang beberapa orang yang
lebih tua dapat menerima pendapat Denshichiro, sedangkan sebagian lagi,
termasuk Ryohei, cenderung setuju dengan guru mereka yang telah dikalahkan.
Sayangnya, anjuran Seijuro untuk bersabar itu sukar sekali disetujui para
murid, terutama di hadapan adik yang berkepala panas itu.
Melihat keraguan
sikap mereka, Denshichiro mengatakan, "Biarpun kakakku sudah luka, tak
perlu dia berlaku seperti pengecut. Macam perempuan saja! Bagaimana mungkin aku
diminta mendengarkan kata-katanya, apalagi menyetujuinya?"
Sake datang, ia
menuangkannya seorang semangkuk. Sekarang, karena ia yang akan memegang
kendali, ia bermaksud membawakan gaya yang ia sukai: semua orang ini harus
merupakan kesatuan manusia sejati.
"Dan inilah yang
akan kulakukan," katanya mengumumkan. "Aku akan melawan Musashi dan
mengalahkannya! Tak peduli apa yang dikatakan kakakku. Kalau menurutnya kita
mesti membiarkan orang ini lepas setelah melakukan perbuatannya itu, tidak
mengherankan kalau dia kalah. Jangan sampai siapa pun di antara kalian berbuat
kesalahan dengan menyangka aku ini masih hijau macam dia."
Nampo Yoichibei
angkat bicara. "Tak ada persoalan tentang kemampuan Anda. Kami semua
yakin, tapi..."
"Tapi apa? Apa
yang terpikir olehmu?"
"Nah, kakak Anda
rupanya berpendapat Musashi tidak penting. Dia benar, kan? Pikirkan
risikonya..."
"Risiko?"
lolong Denshichiro.
"Eh, maksud saya
bukan begitu! Saya cabut kembali kata-kata saya.,” gagap Yoichibei.
Tapi sudah terlambat.
Denshichiro melompat dan menangkap tengkuk Yoichibei, lalu membenturkannya
keras-keras ke dinding. "Keluar dari sini! Pengecut!"
"Saya tadi
keliru mengucapkan. Yang saya maksud..."
"Tutup mulutmu!
Keluar! Orang lemah tak pantas minum denganku."
Yoichibei pucat,
kemudian diam berlutut menghadap semua yang lain. "Saya ucapkan terima
kasih kepada Anda sekalian yang mengizinkan sava berada di tengah Anda sekalian
demikian lama," katanya pendek. Ia pergi ke tempat suci Shinto di belakang
kamar, membungkuk, dan pergi.
Tanpa menoleh lagi ke
arahnya, Denshichiro berkata, "Mari sekarang kita semua minum. Sesudah
itu, kuminta kalian mencari Musashi. Kukira dia belum meninggalkan Kyoto.
Barangkali dia masih berkeliaran membanggakan kemenangannya.
"Dan satu hal
lagi. Kita akan kembali memberikan semangat kepada dojo ini. Aku minta kalian
masing-masing berlatih keras dan mengajak murid lain berbuat demikian juga.
Sesudah beristirahat, aku sendiri mulai berlatih. Dan ingat satu hal ini: Aku
bukan orang lunak macam kakakku. Murid yang termuda pun kuminta berusaha
sebaik-baiknya."
Tepat seminggu
kemudian, seorang di antara murid yang masih muda datang berlari-lari masuk
dojo, membawa berita, "Saya sudah menemukannya!"
Sesuai dengan
ucapannya, Denshichiro berlatih dengan keras hari demi hari. Tenaganya yang
seakan tak ada habis-habisnya itu membikin para murid kagum. Sekelompok di
antara mereka sedang memperhatikan bagaimana ia menangani Otaguro, salah
seorang dari murid yang paling berpengalaman, seakan-akan murid itu masih
kanak-kanak.
"Kita berhenti
sekarang," kata Denshichiro sambil menarik pedang dan duduk di ujung petak
latihan. "Kamu bilang sudah menemukannya?"
"Ya." Murid
itu mendekat dan berlutut di depan Denshichiro.
"Di mana?"
"Di timur
Jissoin, di Jalan Hon'ami. Musashi tinggal di rumah Hon'ami Koetsu. Saya
yakin."
"Aneh. Bagaimana
mungkin orang kasar macam Musashi sampai kenal orang macam Koetsu?"
"Saya tidak
tahu, tapi dia di situ."
"Baiklah, mari
mengejarnya. Sekarang!" salak Denshichiro sambil melangkah mempersiapkan
diri. Otaguro dan Ueda yang mengikutinya mencoba mencegahnya.
"Menyergap dia
bisa tampak seperti perkelahian umum. Orang-orang takkan menyetujuinya, biarpun
kita menang."
"Tidak apa.
Etiket itu untuk dojo. Dalam pertempuran sebenarnya yang menang itulah yang
menang!"
"Betul, tapi
bukan itu cara yang dipakai orang bebal itu mengalahkan kakak Anda. Apa menurut
Anda tidak lebih cocok buat pemain pedang kalau mengirimkan surat kepadanya
untuk menetapkan waktu dan tempat, kemudian mengalahkannya dengan adil dan
jujur?"
"Barangkali juga
engkau benar. Baik, akan kita lakukan demikian. Sementara itu, aku tak ingin
siapa pun di antara kalian memberikan peluang kepada kakakku mempengaruhi
kalian untuk melawanku. Aku akan melawan Musashi, apa pun yang dikatakan
Seijuro atau yang lain lagi."
"Sudah kita
singkirkan semua orang yang tidak sependapat dengan Anda, juga orang-orang yang
tak kenal terima kasih dan ingin pergi."
"Bagus! Jadi,
kita sudah jauh lebih kuat sekarang. Kita tidak butuh orang-orang brengsek
macam Gion Toji atau orang-orang penakut macam Nampo Yoichibei."
"Apa akan kita
sampaikan pada kakak Anda sebelum kita kirimkan surat?"
"Jangan! Aku
sendiri tak akan menyampaikannya."
Ketika ia pergi ke
kamar Seijuro, yang lain-lain pun berdoa semoga takkan terjadi lagi bentrokan
antara dua bersaudara. Keduanya memang tak mau sedikit pun mundur dalam
persoalan Musashi: Ketika ternyata tidak terdengar suara-suara dari kamar
sesudah beberapa waktu lewat, para murid pun mulai membicarakan waktu dan
tempat untuk konfrontasi kedua dengati musuh bebuyutan mereka.
Tapi waktu itulah
suara Denshichiro terdengar berderai, "Ueda! Miike! Otaguro... semua
kalian! Sini!"
Denshichiro berdiri
di tengah kamar dengan pandangan murung dan air mata bercucuran. Tak seorang
pun pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu.
"Coba kalian
semua lihat ini."
Ia angkat
tinggi-tinggi sepucuk surat yang sangat panjang, dan katanya dengan kemarahan
dipaksakan, "Coba lihat apa yang sudah diperbuat kakakku yang goblok itu.
Dia mengemukakan lagi pendapatnya padaku, tapi dia pergi selamanya.... Bahkan
tidak menyebutkan ke mana perginya."
0 komentar:
Posting Komentar