Murka Janda
Bangsawan
KELUARGA
Matahachi, Hon'iden, anggota kebanggaan kelompok bangsawan desa yang masuk kelas samurai. Mereka juga mengerjakan tanah.
Kepala sesungguhnya dari keluarga itu
adalah ibu Matahachi, seorang perempuan yang sangat keras kepala bernama
Osugi. Sekalipun sudah hampir enam puluh
tahun umurnya, tiap hari ia memimpin keluarga dan petani penyewanya ke ladang dan bekerja sama
kerasnya dengan mereka. Di musim tanam ia
mencangkul ladang, dan sesudah panen la menebah butir-butirnya
dengan menginjak-injaknya. Kalau senja
memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat ditemukannya untuk disandangkan ke
punggungnya yang bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah. Sering kali yang dipanggulnya adalah
ikatan daun murbei yang demikian banyak,
hingga tubuhnya yang hampir melipat dua itu nyaris tidak kelihatan. Pada
malam hari, biasanya ia dapat ditemui
sedang mengurus ulat sutranya.
Sore pada
hari pesta bunga itu, Osugi menghentikan kerjanya di petak kebun murbei
ketika melihat cucu lelakinya yang masih
ingusan berlari-lari telanjang kaki melintas ladang.
"Dari
mana kamu, Heita?" tanyanya tajam. "Dari kuil, ya?"
"He-eh."
"Otsu
ada di sana?"
"Ya,"
jawab anak itu girang. Napasnya masih terengah-engah. "Dan dia pakai obi
yang bagus sekali. Dia membantu
pesta."
"Kamu
bawa pulang teh manis dan mantra pengusir hama, tidak?"
"Tidak."
Mata
perempuan tua yang biasanya tersembunyi di antara lipatan dan kerut-kerut itu
kini terbelalak karena jengkel.
"Kenapa tidak?"
"Otsu
bilang, tidak usah repot dengan hama-hama itu. Dia bilang, saya mesti lari
pulang dan mengatakan pada Nenek."
"Mengatakan apa?"
"Takezo,
dari seberang kali. Otsu bilang melihat dia di pesta."
Suara Osugi
turun satu oktaf. "Betul? Betul-betul dia melihatnya, Heita?"
"Ya,
Nek."
Tubuh kekar
itu pun seperti lumpuh seketika, dan matanya menjadi kabur oleh air mata. Pelan-pelan ia menoleh, seakan-akan berharap
melihat anak lelakinya berdiri di
belakangnya. Ketika tak dilihatnya seorang pun, ia pun memutar badannya
kembali. "Heita," katanya
sekonyong-konyong, "ambili daun murbei ini."
"Nenek
mau ke mana?"
"Pulang.
Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti pulang juga."
"Saya
ikut."
"Tak
usah. Jangan nakal, Heita."
Wanita tua
itu pun enyah, meninggalkan anak kecil itu sendirian, seperti anak yatim. Rumah pertanian yang dikitari pohon ek tua
berbonggolbonggol itu adalah rumah yang
besar. Osugi melewatinya saja dan berlari langsung ke lumbung, di mana
anak perempuannya dan beberapa petani
penyewa sedang bekerja. Masih di kejauhan ia sudah berseru pada mereka dengan agak histeris.
"Apa
Matahachi sudah pulang? Apa dia sudah di sini?"
Orang-orang
itu terkejut, dan memandangnya seakan-akan la telah kehilangan akal. Akhirnya seorang dari mereka mengatakan
"belum", tapi perempuan tua itu seperti tidak mendengarnya. Seakan-akan, karena sudah
terlalu lelah, la menolak menerima jawaban
"belum". Ketika mereka terus memperlihatkan pandangan kosong, ia
pun mulai menyebut mereka semua dungu,
dan ia menjelaskan apa yang telah didengarnya dari Heita. Kalau Takezo kembali, Matahachi pasti kembali juga.
Kemudian ia pun kembali berperan sebagai
komandan tertinggi. Diperintahkannya mereka pergi ke semua arah untuk
menemukan Matahachi. la sendiri tinggal
di rumah, dan tiap kali dirasanya ada orang mendekat, ia berlari ke luar dan bertanya apakah mereka
belum menemukan anaknya.
Pada waktu
matahari terbenam, masih dengan semangat tinggi ia meletakkan lilin di
depan tanda peringatan nenek moyang
suaminya. la duduk seperti patung. Karena semua orang masih melakukan pencarian, tak ada makan
malam di rumah itu. Ketika malam tiba dan masih
juga belum ada berita, Osugi pun akhirnya bergerak. Seperti sedang kesurupan
ia keluar pelan-pelan dari rumah, menuju
gerbang depan. Di sana ia menanti, tersembunyi dalam kegelapan. Bulan bersinar menembus
ranting-ranting pohon ek, sedangkan pegunungan yang membayang di depan dan di belakang rumah
terselimut kabut putih. Bau harum kembang pit
mengambang di udara.
Waktu pun
mengapung lewat tanpa terasa. Sesosok tubuh terlihat mendekat, menyusuri
sisi luar kebun pit. Melihat bayangan
Otsu, Osugi pun memanggilnya, dan gadis itu berlari. Sandalnya yang basah berdetap-detap berat di
tanah.
"Otsu!
Orang bilang kau melihat Takezo. Betul?"
"Ya,
saya yakin. Saya melihatnya di tengah orang banyak di luar kuil."
"Kau
tidak lihat Matahachi?"
"Tidak.
Saya lari ke luar untuk menanyai Takezo, tapi ketika saya memanggil, dia melompat seperti kelinci ketakutan. Saya
lihat matanya sesaat, kemudian dia hilang.
Sejak dulu dia memang aneh, tapi saya tak bisa mengerti, kenapa dia lari
seperti itu."
"Lari?"
tanya Osugi keheranan. la mulai bertanya-tanya pada dirinya, dan semakin
ia bertanya, semakin terbentuk
kecurigaan yang mengerikan di dalam otaknya. Menjadi jelaslah baginya bahwa anak lelaki Shimmen,
si bangsat Takezo yang sempat dibencinya
karena memikat Matahachi yang sangat disayanginya untuk pergi perang,
sekali lagi telah berbuat sesuatu yang
tidak baik.
Akhirnya
berkatalah ia mengancam, "Bangsat! Barangkali dia sudah meninggalkan
Matahachi yang malang mati entah di
mana, kemudian mencuri-curi pulang dalam keadaan sehat walafiat. Pengecut!" Osugi pun mulai
gemetar karena berang, dan suaranya meninggi
menjadi jeritan, "Tidak bisa dia sembunyi dariku!"
Otsu tetap
tenang. "Ah, saya pikir dia tak akan berbuat begitu. Biarpun dia
harus meninggalkan Matahachi, pasti dia
menyampaikan pesan untuk kita, atau paling tidak tanda mata dari dia." Kata-kata Otsu terdengar
gemetar karena tuduhan perempuan tua yang
tergesa-gesa itu.
Namun Osugi
waktu itu sudah yakin benar akan pengkhianatan Takezo. la menggeleng-gelengkan kepala dengan mantapnya,
dan berkata lagi, "Ah, dia tak akan
berbuat begitu! Aku kenal iblis itu! Dia tidak sebaik itu. Matahachi
mestinya tak perlu bergaul
dengannya."
"Nek...,"
kata Otsu meredakan.
"Apa?"
bentak Osugi yang sama sekali tidak reda marahnya.
"Saya
pikir, kalau pergi ke rumah Ogin, kita mungkin menemukan Takezo di sana."
Kemarahan
perempuan tua itu pun mereda sedikit. "Barangkali kau benar. Ogin
kakak perempuannya, dan memang tak
seorang pun di kampung ini yang akan menerima Takezo."
"Kalau
begitu, mari kita melihat ke sana. Berdua saja."
Osugi
menolak keras. "Tak ada alasan untukku ke sana. Dia tahu adiknya yang
menyeret anakku pergi perang, tapi tak
pernah sekali pun dia datang minta maaf atau menunjukkan sikap hormat. Sekarang pun, ketika Takezo
datang, dia tidak memberitahu aku. Kenapa aku
harus pergi mendatanginya? Itu merendahkan martabat. Aku tunggu dia di
sini."
"Tapi
ini bukan keadaan biasa," jawab Otsu. "Dan lagi, yang pokok sekarang
menemui Takezo secepatnya. Kita mesti
bertanya, apa yang sudah terjadi. Ayolah, Nek, kita pergi. Nenek tak perlu melakukan apa-apa. Saya yang
melakukan semua formalitas, kalau Nenek
mau."
Osugi
menerima desakan Otsu dengan segan-segan. Tentu saja ia sama inginnya dengan
Otsu untuk mengetahui apa yang terjadi,
tapi lebih baik ia mati daripada mengemis pada
seorang Shimmen.
Rumah Ogin
kira-kira satu mil jauhnya. Sebagaimana keluarga Hon'iden, keluarga
Shimmen adalah bangsawan desa, clan
kedua keluarga itu berasal dari wangsa Akamatsu beberapa generasi sebelumnya. Mereka menempati kedua
tepi sungai yang berhadapan, dan diam-diam
mereka selalu mengakui hak hidup masing-masing pihak. Hanya sampai di
situlah keakraban mereka.
Sampai di
gerbang depan, mereka mendapati gerbang itu terkunci. Pepohonan demikian lebat, hingga tak mungkin terlihat cahaya
lampu rumah. Otsu hendak berjalan memutar ke
pintu belakang, tapi Osugi mogok.
"Rasanya
tidak pantas kalau kepala keluarga Hon'iden masuk rumah keluarga Shimmen
dari pintu belakang. Itu menurunkan
derajat."
Melihat
Osugi tak hendak beranjak, Otsu melanjutkan berjalan ke pintu belakang sendirian. Akhirnya lampu pun muncul di
sebelah dalam gerbang. Ogin sendiri yang keluar
menyambut perempuan tua itu, yang tiba-tiba berubah dari seorang perempuan
buruk pembajak ladang menjadi seorang
wanita bangsawan besar dan menyapa nyonya rumah dengan nada-nada tinggi.
"Maafkan
saya mengganggu Nona pada waktu seperti ini, tetapi urusan saya ini
betul-betul tak bisa ditangguhkan. Nona
sangat bermurah hati telah datang dan menyilakan saya masuk!" la pun cepat melewati Ogin dan
langsung masuk rumah, dan seperti utusan
dewa-dewa ia pun segera menuju tempat yang paling terhormat di dalam
ruangan itu, di depan ceruk. la duduk
dengan angkuhnya. Tubuhnya diapit perkamen yang tergantung dan satu karangan bunga. la pun berkenan mendengarkan
katakata sambutan yang setulus-tulusnya
dari Ogin.
Basa-basi
telah berakhir, lalu Osugi langsung pada persoalan. Senyuman palsunya
lenyap ketika ia menatap perempuan muda
di depannya. "Saya mendengar kabar, setan kecil rumah ini sudah merangkak pulang. Saya minta dia
dibawa kemari."
Walaupun
lidah Osugi terkenal tajam, kedengkian yang tak disembunyisembunyikan ini terdengar bagai guncangan bagi Ogin yang
halus.
"Siapa
yang Ibu maksud dengan 'setan kecil' itu?" tanya Ogin, jelas menahan diri.
Seperti
bunglon, Osugi pun mengubah taktiknya. "Oh, lidah saya sudah tergelincir
tadi," katanya sambil tertawa.
"Itulah nama yang diberikan orang kampung kepadanya. Saya ketularan orang-orang itu. 'Setan kecil' itu
Takezo. Dia bersembunyi di sini, bukan?"
"Ah,
tidak," jawab Ogin yang benar-benar terkejut. Karena malu mendengar
adiknya disebut demikian, ia pun
menggigit bibirnya.
Dan karena
kasihan kepadanya, Otsu pun menjelaskan bahwa ia telah melihat Takezo
dalam pesta. Kemudian, untuk meluruskan
perasaan-perasaan yang sudah terganggu, ia pun
menambahkan, "Aneh juga, bukan, bahwa dia tidak langsung datang ke
sini?"
"Tapi
betul dia tidak datang," kata Ogin. "Ini pertama kali saya
mendengarnya. Tapi kalau dia kembali
seperti Ibu katakan itu, saya yakin dia akan mengetuk pintu sebentar lagi."
Osugi yang
duduk resmi di bantalan lantai, dan kakinya tersimpuh rapi, melipat tangan
di pangkuan. Dengan gaya seorang mertua
yang sedang meradang ia pun melancarkan badai
umpatan.
"Apa
artinya semua ini? Jadi, apa kau ingin aku percaya kau belum dengar berita
tentang dia? Apa kau tidak tahu, akulah
ibu anak yang telah diseret pergi perang oleh pemuda sampah itu? Apa kau tidak tahu, Matahachi itu
ahli waris dan anggota terpenting keluarga
Hon'iden? Adikmu yang membujuk anakku pergi dan terbunuh. Kalau anakku
mati, berarti adikmu yang membunuhnya,
dan kalau dirasanya dia dapat pulang diamdiam sendiri dan beres semuanya..."
Cukup lama
perempuan tua itu berhenti untuk mengatur napas, kemudian matanya menyala kembali dalam keberangan. "Lalu kau
sendiri bagaimana? Sejak dia jelas berbuat tak
pantas dengan pulang diam-diam sendirian, kenapa kau yang menjadi kakak
perempuannya tidak lekas menyuruhnya
datang padaku? Aku muak dengan kalian berdua. Memperlakukan seorang perempuan tua tanpa sopan sama
sekali. Kalian pikir siapa aku ini?"
Dan sesudah
menelan napas sekali lagi, ia pun berkaok-kaok kembali. "Kalau Takezo
memang pulang, bawa Matahachi padaku.
Kalau tak bisa, paling tidak suruh setan kecil itu ke sini sekarang, untuk menjelaskan padaku apa
yang terjadi dengan anak kesayanganku dan di
mana dia sekarang-sekarang juga!"
"Bagaimana
saya bisa melakukan itu? Dia tak ada di sini."
"Bohong
besar!" jerit Osugi. "Kau pasti tahu di mana dia!"
"Saya
sudah bilang tidak tahu!" protes Ogin. Suaranya bergetar dan matanya basah
oleh air mata. la pun membungkuk,
mengharap setengah mati ayahnya masih hidup.
Tiba-tiba
dari pintu yang terbuka ke beranda terdengar bunyi berderak, diikuti bunyi kaki berlari.
Mata Osugi
berkilat, dan Otsu mulai berdiri, tetapi bunyi berikutnya yang terdengar adalah pekikan yang menegakkan bulu roma.
Suara manusia yang mirip sekali dengan
lolongan binatang.
Seorang
lelaki berteriak, "Tangkap dia!"
Kemudian
terdengar bunyi lebih banyak kaki, lalu lebih banyak lagi, berlarian di
sekitar rumah, diiringi kertak
ranting-ranting dan gemeresik pohon bambu.
"Itu
Takezo!" teriak Osugi. la melompat berdiri, menatap Ogin yang berlutut,
dan menyemburkan kata-kata. "Aku
tahu dia di sini!" katanya garang. "Itu sama terangnya dengan hidung di mukamu. Tak mengerti aku,
kenapa kau mencoba menyembunyikan dia dariku,
tapi ingatlah, aku tak akan melupakannya."
la pun
menuju pintu dan mendorongnya dengan keras. Tapi apa yang dilihatnya di
luar membuat wajahnya yang sudah pucat
itu menjadi lebih putih lagi. Seorang pemuda yang mengenakan pelindung kaki telentang di tanah,
mati. Darah segar masih mengalir dari mata
dan hidungnya. Melihat tengkoraknya yang berantakan, pastilah ia dibunuh
dengan satu hantaman pedang kayu.
"Ada...
ada... ada orang mati di situ!" katanya terbata-bata.
Otsu
membawa lampu ke beranda dan berdiri di samping Osugi yang membelalak ketakutan
ke arah mayat itu. Bukan mayat Takezo
atau Matahachi, tapi mayat samurai yang tidak mereka kenali.
Osugi
berbisik, "Siapa yang melakukan ini?" Sambil menoleh cepat kepada
Otsu, ia berkata, "Ayo kita pulang,
sebelum terlibat."
Otsu tak
dapat memaksa dirinya pergi. Perempuan tua itu sudah mengucapkan banyak
kata keji. Akan terasa tidak adil bagi
Ogin, kalau la pergi sebelum memberikan salep kepada luka-luka itu. Kalaupun Ogin berdusta, menurut
perasaan Otsu, ia tentunya punya alasan
yang baik. Karena merasa harus tinggal untuk menyenangkan hati Ogin,
maka Otsu pun mengatakan kepada Osugi
bahwa la akan menyusul kemudian.
"Semaumulah,"
bentak Osugi sambil bersiap-siap pergi.
Dengan
sopan Ogin menawarkan lentera, tapi Osugi menolak keras. "Ketahuilah,
kepala keluarga Hon'iden belum begitu
pikun hingga membutuhkan lampu untuk berjalan." la pun melipat keliman kimononya, meninggalkan rumah
itu dan berjalan tegap menempuh kabut yang
menebal.
Tidak jauh
dari rumah itu, seorang lelaki menyuruhnya berhenti. Pedangnya terhunus,
dan tangan serta kakinya terlindung
zirah. Ia jelas samurai profesional yang tidak bisa ditemukan di kampung itu.
"Ibu
kan baru datang dari rumah Shimmen?" tanyanya.
"Ya,
tapi...”
"Apa
Ibu anggota keluarga Shimmen?"
"Tentu
saja bukan!" bentak Osugi sambil mengibaskan tangan sebagai tanda protes.
"Saya kepala keluarga samurai di
seberang kali."
"Jadi,
Ibu ini ibu Hon'iden Matahachi yang pergi dengan Shimmen Takezo ke Medan Sekigahara?"
"Ya,
tapi anak saya pergi ke sana bukan karena ingin. Dia diperdaya setan kecil
itu."
"Setan?"
"Itu...
si Takezo!"
"Saya
dengar Takezo itu tidak begitu disukai di kampung ini."
"Disukai?
Menggelikan. Belum pernah kau melihat penjahat seperti dia! Tak dapat kaubayangkan kesulitan yang kami alami dalam
keluarga, sejak anak saya bergaul dengan
dia."
"Anak
Ibu itu barangkali meninggal di Sekigahara. Saya..."
"Matahachi!
Meninggal?"
"Eh,
sebetulnya saya tidak begitu yakin. Tapi barangkali akan menjadi hiburan
sedikit bagi Ibu dalam kesedihan Ibu,
kalau saya katakan, saya akan melakukan segala yang mungkin untuk membantu Ibu membalas
dendam."
Osugi
memandang ragu-ragu. "Siapa Anda ini?"
"Saya
dari garnisun Tokugawa. Sesudah pertempuran, kami pergi ke Puri Himeji.
Atas perintah pimpinan saya, saya
membuat rintangan di perbatasan Provinsi Harima untuk menyaring semua orang yang lewat.
"Takezo
yang berasal dari rumah itu," sambungnya sambil menunjuk, "sudah
menembus rintangan dan lari ke Miyamoto.
Kami mengejarnya sampai tempat ini. Dia memang cukup ulet. Kami mengira sesudah beberapa hari
berjalan dia akan ambruk, tapi sampai sekarang
kami belum dapat menyusulnya. Tapi dia takkan dapat terus begitu
selamanya. Kami akan menangkapnya."
Dengan
mengangguk-angguk sadarlah Osugi sekarang, kenapa Takezo tidak muncul di Shippoji, dan yang lebih penting lagi, ia
sadar bahwa Takezo barangkali tidak pulang ke
rumah, karena itulah tempat pertama yang akan digeledah tentara. Tapi
sementara itu, karena Takezo melakukan
perjalanan sendirian, kemarahan Osugi tidak mereda. Berita kematian Matahachi pun tidak dipercayainya.
"Saya
tahu, Takezo bisa sekuat clan selicik binatang liar," katanya malu-malu.
"Tapi saya tak percaya samurai
sekaliber Anda sulit menangkapnya."
"Nah,
terus terang, itulah pendapat saya semula. Tapi jumlah kami tak banyak, dan
dia baru saja membunuh seorang anak buah
saya."
"Izinkanlah
perempuan tua ini memberikan sedikit nasihat pada Anda." Sambil
membungkuk ia pun membisikkan sesuatu ke
telinga samurai itu. Kata-katanya agaknya sangat menyenangkan.
Samurai itu
mengangguk-angguk tanda setuju, dan dengan bersemangat berkata,
"Gagasan bagus! Hebat!"
"Jangan
tanggung-tanggung melaksanakan tugas itu," dorong Osugi sambil berangkat
pulang.
Tak lama
sesudahnya, samurai itu mengumpulkan kelompoknya yang terdiri atas empat
belas atau lima belas orang di belakang
rumah Ogin. Sesudah ia memberikan keterangan ringkas, mereka pun melompati dinding, mengepung
rumah, dan memblokir semua pintu keluar. Lalu
beberapa orang serdadu menyerbu ke dalam rumah, meninggalkan jejak-jejak
berlumpur. Mereka masuk ke kamar dalam,
di mana dua perempuan muda sedang duduk berkabung, menghapus-hapus wajah yang berurai air mata.
Menghadapi
serdadu-serdadu itu Otsu ketakutan dan pucat lesi. Namun Ogin yang bangga menjadi anak Munisai tetap tak gentar. Dengan
mata tenang dan tajam, la tatap dengan
berangnya para penyerbu itu.
"Bajingan!
Binatang!" geramnya. Karena tak ada sasaran nyata bagi kemarahannya, ia
pun mengayunkan pedang ek hitamnya
hingga mendecit di udara, menebas cabang sebuah pohon besar. Getah putih yang memancar dari luka
pohon itu mengingatkannya akan air susu ibu
yang sedang menyusui. la berdiri dan pandangannya nyalang. Tanpa ibu
tempatnya mengadu, yang ada di dunia ini
hanya kesepian. Kali-kali kecil yang mengalir cepat dan bukit-bukit yang berombak-ombak di tempat
tinggalnya sendiri pun seperti mengejek, bukan
memberikan hiburan.
"Kenapa
semua orang kampung memusuhiku?" tanyanya. "Begitu melihatku,
langsung mereka lapor pada pengawal di
gunung. Dan cara mereka lari waktu melihatku itu, seperti aku ini orang gila saja."
Sudah empat
hari ia bersembunyi di Pegunungan Sanumo. Kini, lewat tabir kabut tengah hari, ia dapat melihat rumah ayahnya, rumah
yang didiami kakak perempuannya sendirian.
Kuil Shippoji bersarang di bukit di bawahnya. Atapnya muncul dari antara
pepohonan. la tahu bahwa ia tidak dapat
mendekati satu pun dari kedua tempat itu. Ketika ia memberanikan diri mendekati kuil itu pada
hari lahir sang Budha, ia telah membahayakan
hidupnya, sekalipun kuil itu penuh orang. Ketika didengarnya namanya
dipanggil orang, tidak ada pilihan lagi
baginya kecuali melarikan diri. Disamping ingin menyelamatkan lehernya sendiri, ia tahu kalau ia ditemukan
orang di sana, Otsu pun akan mendapat
kesulitan.
Malam itu,
ketika diam-diam ia pergi ke rumah kakak perempuannya, kebetulan sekali
ibu Matahachi ada di sana. Sejenak ia
hanya berdiri di luar, mencoba mengarang-ngarang penjelasan di mana Matahachi berada, tapi
ketika sedang mengawasi kakak perempuannya
lewat celah pintu, serdadu-serdadu melihatnya. Sekali lagi ia terpaksa
lari tanpa mendapat kesempatan bicara
dengan siapa pun. Sejak itu, tampak dari tempat
perlindungannya di pegunungan, samurai Tokugawa mencari-cari secara
gencar sekali. Mereka merondai setiap
jalan yang mungkin ditempuhnya, dan orang kampung bergabung membentuk kelompok-kelompok pencari,
menjelajahi pegunungan.
la
bertanya-tanya bagaimana kiranya pendapat Otsu tentangnya. Ia mulai curiga Otsu
pun telah memusuhinya. Karena merasa
orang sekampungnya sendiri menganggapnya musuh, ia pun jadi serba sulit.
Pikirnya,
"Sukar sekali mengatakan pada Otsu alasan sebenarnya tunangannya tidak
pulang. Barangkali sebaiknya kusampaikan
pada perempuan tua itu.... Betul! Kalau kujelaskan semua itu kepadanya, dia nanti dapat
pelanpelan menyampaikannya pada Otsu. Sesudah itu tak ada lagi alasanku untuk berkeliaran di
sini."
Setelah
membulatkan tekad, Takezo pun kembali berjalan, tapi ia tahu, ia tak boleh mendekati kampung sebelum gelap. Dengan
sebuah karang besar ia pecahkan karang lain
menjadi pecahan-pecahan kecil, lalu ia lemparkan sebuah di antaranya ke
burung yang sedang terbang. Burung itu
jatuh, dan belum lagi selesai mencabuti bulunya ia sudah membenamkan gigi-giginya yang setengah
kelaparan ke daging yang masih mentah dan hangat itu. Sambil melahap burung, ia mulai lagi
berjalan. Tapi tiba-tiba ia mendengar jeritan
tertahan. Memang, siapa saja yang melihatnya selalu berlari menghindar
penuh ketakutan melintasi hutan. Marah
karena dibenci dan ditakuti, dikejar-kejar tanpa alasan, ia pun berteriak, "Tunggu!" Dan ia mulai
berlari, seperti seekor macan tutul mengejar mangsa yang kabur.
Orang itu
bukanlah tandingan Takezo, dan dengan mudah terkejar. Ternyata ia penduduk kampung yang datang ke pegunungan untuk
membuat arang. Takezo tahu orang itu, walau
tidak kenal. Takezo mencengkeram kerahnya dan menyeretnya kembali ke
tempat terbuka.
"Kenapa
kau lari? Apa kau tidak kenal aku? Aku seorang dari kalian, Shimmen Takezo
dari Miyamoto. Tak bakal aku memakanmu
hidup-hidup. Kau tahu kan, tidak sopan lari begitu saja dari orang yang dikenal tanpa
mengucapkan salam!"
"Y y-y-y-ya,
Tuan!"
"Duduk!"
Takezo
melepaskan cengkeramannya dari lengan orang itu, tapi makhluk malang itu
hendak lari, hingga terpaksa Takezo
menendang pantatnya dan berbuat seolah-olah hendak memukulnya dengan pedang kayunya. Orang itu
merangkak-rangkak di tanah seperti anjing,
menguik-nguik sambil tangannya memegangi kepala.
"Jangan
bunuh saya!" jeritnya mengiba-iba.
"Jawab
saja pertanyaan-pertanyaanku."
"Akan
saya jawab semuanya-tapi jangan bunuh saya! Saya punya istri dan
keluarga."
"Tak
ada yang mau membunuhmu. Apa betul bukit-bukit ini penuh serdadu?"
"Ya."
"Apa
mereka mengawasi Kuil Shippoji juga?"
"Ya."
"Apa
orang kampung memburuku lagi hari ini?"
Diam.
"Kau
seorang dari mereka?"
Orang itu
mendadak berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang bisu-tuli
"Tidak,
tidak, tidak!"
"Cukup!"
teriak Takezo. Dan sambil mencengkeram erat leher orang itu, ia pun
bertanya, "Bagaimana dengan kakak
perempuanku?"
"Kakak
perempuan mana?"
"Kakak
perempuanku, Ogin, dari Keluarga Shimmen. Jangan pura-pura bodoh. Kau tadi
janji akan menjawab
pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak 1amdak menyalahkan orang kampung yang mencoba menangkapku. Samurai yang memaksa
mereka, tapi aku yakin mereka tak akan
mengapa-apakan kakak perempuanku. Apa anggapanku ini keliru?"
Orang itu
pun memberikan jawaban yang terlampau polos. "Saya tidak tahu apa-apa
soal itu. Sama sekali tidak tahu."
Takezo
cepat mengangkat pedangnya ke atas kepala orang itu, siap memukul.
"Awas! Kedengarannya mencurigakan.
Ada yang sudah terjadi dengan dia, kan? Jangan pura-pura lagi, atau kuhancurkan tengkorakmu!"
"Tunggu!
Jangan! Saya akan bicara! Akan saya katakan semuanya!"
Dengan
tangan terlipat tanda memohon, pembuat arang itu gemetaran dan ia bercerita
bahwa Ogin telah ditawan, dan bahwa
telah disebarkan perintah di kampung, yang isinya setiap orang yang memberikan makanan atau
perlindungan kepada Takezo otomatis akan dianggap anteknya. la mengatakan bahwa tiap hari para
serdadu mengerahkan orang kampung ke
pegunungan, dan tiap keluarga diminta menyediakan seorang pemuda dua
hari sekali untuk keperluan itu.
Keterangan
tersebut membuat Takezo tegak bulu romanya. Bukan karena takut, melainkan marah. Untuk meyakinkan diri bahwa yang
didengarnya benar ia pun bertanya, "Tuduhan apa yang dijatuhkan atas kakak perempuanku?"
Matanya berkilat-kilat oleh air mata.
"Tak
seorang pun dari kami tahu soal itu. Kami takut pada Kepala Distrik. Kami
cuma melakukan apa yang diperintahkan,
itu saja."
"Di
mana mereka menahan kakakku?"
"Desas-desusnya
mereka menahan dia di benteng Hinagura, tapi saya tidak tahu apa itu betul."
"Hinagura...,"
ulang Takezo. Matanya pun menoleh ke jajaran pegunungan yang menandai perbatasan provinsi. Tulang punggung
pegunungan itu telah diwarnai bayang-bayang awan petang yang kelabu.
Takezo
membiarkan orang itu pergi. Melihat orang itu bergegas pergi karena senang hidupnya yang tak berarti itu selamat, perut
Takezo pun bergolak memikirkan sifat
pengecut manusia-sifat pengecut yang telah memaksa samurai mengusik seorang
wanita malang tak berdaya. la senang
kini seorang diri lagi. la harus berpikir.
Segera
kemudian ia mengambil keputusan. "Aku harus menyelamatkan Ogin, itu
harus. Kakakku yang malang. Akan kubunuh
mereka semua, kalau mencelakakan dia." Sesudah memilih arah tindakannya, ia pun berjalan tegak ke
arah kampung dengan langkah-langkah jantan.
Beberapa
jam kemudian, kembali Takezo mencuri-curi mendekati Shippoji. Lonceng
malam baru saja berhenti berdentang.
Hari sudah gelap dan cahaya lampu kelihatan menyorot dari kuil itu sendiri, juga dari dapur dan
petak-petak pendeta, di mana orang nampaknya
mondar-mandir.
"Kalau
saja Otsu keluar," pikirnya.
Ia pun
meringkukkan badan tanpa bergerak-gerak di bawah lorong tinggi beratap, tapi
tak berdinding, yang menghubungkan
kamar-kamar pendeta dengan kuil utama. Bau makanan yang sedang dimasak mengambang di udara,
menimbulkan bayangan tentang nasi dan sop mengepul. Beberapa hari terakhir ini ia tidak makan
apa-apa kecuali daging burung mentah dan umbut
rumput. Perutnya kini berontak. Kerongkongannya terasa panas ketika
getah lambungnya naik, pahit rasanya,
dan dalam kesengsaraan itu ia pun menghirup napas keras-keras.
"Apa
itu?" terdengar suara.
"Barangkali
kucing," jawab Otsu yang keluar membawa baki makan malam dan mulai menyeberang lorong, tepat di atas kepala
Takezo. Takezo mencoba memanggilnya, tapi ia
begitu mual, hingga tak berhasil memperdengarkan suara jelas.
Ternyata
nasib baik, karena justru saat itu suara lelaki tepat di belakang Otsu terdengar bertanya, "Mana jalan ke kamar
mandi?"
Orang itu
mengenakan kimono pinjaman dari kuil, diikat dengan sabuk sempit, di mana tergantung handuk kecil. Takezo mengenalnya
sebagai salah seorang samurai dari Himeji.
Jelas ia berpangkat tinggi, cukup tinggi, hingga dapat menginap di kuil
dan menghabiskan waktu malamnya dengan
makan dan minum sekenyang-kenyangnya, selagi anak buahnya dan orang kampung harus menjelajahi sisi-sisi
gunung siang-malam, mencari si pelarian.
"Kamar
mandi?" kata Otsu. "Mari saya tunjukkan."
la
menurunkan baki dan mengantar orang itu menyusuri lorong. Tibatiba samurai
itu menghampirinya dan merangkul Otsu
dari belakang.
"Bagaimana
kalau ikut aku ke kamar mandi?" sarannya garang.
"Hentikan!
Lepaskan saya!" teriak Otsu, tapi orang itu membalikkan badan Otsu,
memegang wajahnya dengan kedua tangannya
yang besar dan menyapukan bibirnya ke pipi Otsu.
"Apa
salahnya?" bujuknya. "Apa kau tak suka lelaki?"
"Hentikan!
Tak boleh begitu!" protes Otsu yang tak berdaya. Serdadu ini pun
menutupkan tangannya ke mulut Otsu.
Lupa akan
bahaya, Takezo melompat ke lorong seperti kucing, dan mendaratkan tinjunya
ke kepala orang itu dari belakang.
Pukulan itu keras. Sekejap tak berdaya, samurai itu pun jatuh telentang, tapi masih terus berpegangan
pada Otsu. Otsu mencoba melepaskan diri
dan genggamannya dan memperdengarkan jeritan nyaring. Orang yang
terjatuh itu berteriak, "Itu dia!
Itu Takezo! Dia di sini! Ayo tangkap dia!"
Dari dalam
kuil terdengar derap kaki dan raungan suara orang. Lonceng kuil mulai memberikan isyarat bahaya bahwa Takezo telah
ditemukan, dan dari hutan
berbondong-bondong orang mulai berkumpul di pekarangan kuil. Tapi Takezo
sudah pergi, dan tak lama kemudian
kelompok-kelompok pencari sekali lagi dikirimkan untuk menjelajahi perbukitan Sanumo. Takezo sendiri hampir
tidak ingat bagaimana ia menyelinap lewat
jaring yang dengan cepat mengetat itu. Ketika pengejaran sedang
sengit-sengitnya, ia sudah berdiri di
tempat jauh, di pintu masuk dapur besar berlantai kotor milik keluarga Hon'iden.
Melongok ke
dalam rumah berpenerangan suram itu ia berseru, "Nenek!"
"Siapa?" terdengar jawaban
serak. Osugi berjalan pelan keluar dari kamar belakang. Diterangi dari bawah oleh lentera kertas yang dipegangnya, wajah
Osugi yang sudah berkeriput itu memucat
melihat tamunya. "Kau!" teriaknya.
"Ada
berita penting yang mau saya sampaikan pada Nenek," kata Takezo
buru-buru. "Matahachi tidak mati,
dia masih segar bugar. Dia tinggal bersama seorang perempuan. Di provinsi lain. Itu saja yang dapat saya
sampaikan, karena cuma itu yang saya tahu. Saya
minta Nenek menyampaikan berita ini pada Otsu. Saya tak bisa menyampaikannya
sendiri."
Dengan
perasaan puas luar biasa karena telah bebas dari berita yang menjadi beban baginya, ia segera pergi, tapi perempuan itu
memanggilnya kembali.
"Mau
pergi ke mana kau sekarang?"
"Saya
mesti masuk ke benteng Hinagura, menyelamatkan Ogin," jawab Takezo sedih.
"Sudah itu saya akan pergi entah ke
mana. Saya cuma mau menyampaikan pada Nenek dan keluarga Nenek, juga pada Otsu, bahwa tidak saya
biarkan Matahachi mati. Selain itu, tak ada
alasan lagi bagi saya untuk tinggal di sini."
"0,
begitu." Osugi memindahkan lentera dari tangan yang satu ke tangan yang
lain untuk mengulur waktu. Kemudian ia
memberi isyarat pada Takezo, "Kau pasti lapar, kan?"
"Berhari-hari
saya tidak mendapat makanan yang pantas."
"Kasihan!
Tunggu! Aku sedang masak tadi, sebentar lagi aku kasih kamu makan malam
yang hangat dan enak. Buat hadiah
selamat jalan. Dan lagi apa kau tak ingin mandi selagi aku menyiapkan makanan?" Takezo tak bisa
bicara.
"Tak
usah terkejut begitu. Takezo, keluargamu dan keluarga kami selalu
berdampingan sejak wangsa Akamatsu.
Menurut pendapatku, kau seharusnya, jangan meninggalkan tempat ini, tapi yang pasti tak akan kubiarkan kau
pergi tanpa diberi makan enak dan cukup!"
Sekali lagi
Takezo tak dapat menjawab. la mengangkat sebelah tangannya dan menghapus matanya. Sudah begitu lama tak seorang pun
bersikap begitu baik kepadanya. Sesudah
menjadi orang yang selalu curiga dan tidak mempercayai siapa saja,
tiba-tiba sekarang ia teringat bagaimana
rasanya diperlakukan sebagai manusia.
"Lekas
sana ke kamar mandi," desak Osugi dengan nada seorang nenek. "Bahaya
sekali berdiri di sini-orang bisa
melihatmu. Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam Matahachi untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan
mandilah yang baik."
la pun
menyerahkan lentera itu pada Takezo dan menghilang ke belakang rumah. Hampir
pada waktu itu juga menantu perempuannya
meninggalkan rumah, lari melintasi halaman dan
hilang ditelan malam.
Dari kamar
mandi, di mana lentera itu berayun-ayun, terdengar suara air berkecipak.
"Nah,
bagaimana?" seru Osugi riang. "Cukup panas?"
"Cukup!
Saya menjadi orang baru," sahut Takezo.
"Tenang-tenang
saja dan hangatkan badanmu. Nasi belum matang."
"Terima
kasih. Kalau saya tahu begini macamnya, mestinya saya datang lebih cepat.
Saya yakin Nenek akan menerima
saya!" la bicara lagi dua-tiga kali, tapi suaranya tenggelam oleh bunyi air, dan Osugi tidak menjawab. Tak
lama kemudian menantu itu muncul kembali
di gerbang, kehabisan napas. la diikuti serombongan samurai dan barisan
sukarela. Osugi keluar rumah, menyambut
mereka dengan bisikan.
"0,
jadi Ibu suruh dia mandi. Cerdik sekali," kata salah seorang dari mereka
dengan kagum. "Ya, itu bagus sekali!
Pasti kena dia kali ini!" Sesudah memecah diri menjadi dua kelompok, orang-orang itu pun merunduk dan
bergerak hati-hati seperti kelompok katak ke
arah api yang menyala terang di bawah kamar mandi.
Ada
sesuatu-sesuatu yang tak dapat dijelaskan-menggelitik naluri Takezo, dan
ia mengintip lewat celah pintu. Maka
tegaklah bulu romanya. "Aku dijebak!" pekiknya. Ia telanjang bulat, dan kamar mandi itu pun
kecil. Tak ada waktu untuk berpikir.
Di luar
pintu ia melihat gerombolan orang bersenjata tongkat, lembing, dan
pentung, namun ia tak gentar. Rasa takut
apa pun yang mungkin dimilikinya hapus oleh rasa berangnya terhadap Osugi.
"Baik,
bajingan-bajingan, awas," geramnya.
Ia sudah
tak peduli lagi dengan banyaknya mereka. Dalam keadaan itu, seperti dalam keadaan yang lain-lain juga, satu-satunya
yang menurutnya barns dilakukan adalah
menyerang daripada diserang. Ketika calon-calon penangkapnya sedang
mengatur langkah di luar, dengan
tiba-tiba ia tendang pintu sampai terbuka dan ia pun melompat ke udara, disertai teriakan perang yang menakutkan.
Dalam keadaan masih telanjang clan rambut
terburai ke sana kemari, ia tangkap dan rebut tangkai lembing pertama
yang ditusukkan kepadanya, hingga
pemiliknya terpental ke semak-semak. Senjata itu digenggamnya erat-erat, lalu ia menyerang ke sekitarnya
seperti gasing yang berpusing. Begitu saja
diayunkannya senjata itu dan dihantamkannya pada siapa saja yang datang
mendekat. Ia mengambil pelajaran dari
Sekigahara bahwa cara ini amat sangat efektif bagi orang yang kalah dalam jumlah. Tangkai lembing sering
dapat lebih jitu dipergunakan daripada
matanya.
Para
penyerang terlambat sadar bahwa mereka telah membuat kesalahan besar, karena
tidak dari semula mengirim tiga-empat
orang menyerbu kamar mandi. Kini mereka hanya dapat berteriak saling menyemangati. Namun jelas
mereka telah lumpuh.
Sekitar
sepuluh kali senjata Takezo mengenai tanah, dan senjata itu patah. Maka ia
pun mengambil karang besar dan
melontarkannya kepada orang-orang yang sudah memperlihatkan tanda-tanda mundur itu.
"Lihat,
dia lari masuk rumah!" seru seorang dari mereka, hampir bersamaan
dengan keluarnya Osugi dan menantu
perempuannya dari rumah ke halaman belakang.
Dengan
suara ingar-bingar Takezo mengacak-acak seluruh rumah. Pekiknya, "Mana pakaian saya? Kembalikan pakaian saya!"
Di tempat
itu berserakan pakaian kerja, juga lemari kimono yang besar. Tapi Takezo
tidak memperhatikannya. la hanya
menajamkan matanya dalam cahaya lampu samar-samar untuk menemukan pakaiannya sendiri yang compang-camping.
Akhirnya dilihatnyaa pakaian itu di
sudut dapur, dicengkeramnya dengan sebelah tangan, dan begitu memperoleh
pijakan kaki di atas tungku tanah yang
besar, ia pun merangkak keluar dari jendela kecil yang tinggi. Ketika la merangkak ke atas, para pengejarnya
yang sudah sama sekali bingung itu tinggal
mengutuk dan saling menyesali, karena gagal menjerat Takezo.
Berdiri di
tengah atap, tanpa tergesa-gesa Takezo mengenakan kimononya. Disobeknya sedikit kain ikat pinggang dengan giginya dan
diikatnya rambutnya yang masih basah ke
belakang, dekat pada pangkalnya, dan demikian erat hingga alisnya dan
sudut-sudut matanya tertarik.
Langit
musim semi penuh dengan bintang. ۩
Seni Perang
PENCARIAN
yang dilakukan setiap hari di pegunungan berlangsung terus, dan kerja pertanian pun mengendur. Orang kampung tak
dapat mengerjakan ladangnya atau merawat ulat
sutranya. Papan-papan besar dipasang di depan rumah kepala kampung dan
di setiap persimpangan: pengumuman
hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh Takezo. Juga imbalan memadai untuk
informasi apa pun yang bisa menghasilkan
tertangkapnya Takezo. Pemberitahuan itu ditandatangani secara resmi oleh
Ikeda Terumasa, yang dipertuan di Puri
Himeji.
Di kediaman
Hon'iden berkecamuk suasana panik. Osugi dan keluarganya mengunci gerbang utama dan merintangi semua jalan masuk.
Mereka ketakutan setengah mati, jangan-jangan
Takezo datang membalas dendam. Para pencari, dengan petunjuk pasukan
Himeji, menyusun rencana-rencana baru
untuk menjerat pelarian itu. Tapi ternyata usaha mereka tidak membawa hasil.
"Dia
membunuh satu orang lagi!" seru satu orang kampung. "Di mana? Siapa
kali ini?"
"Seorang
samurai. Belum jelas siapa."
Mayat itu
ditemukan di dekat jalan setapak di luar kampung. Kepalanya tergeletak
dalam rumpun rumput yang tinggi, kedua
kakinya mencuat ke langit dalam kedudukan tak wajar. Orang kampung terus datang-pergi dan berkasak-kusuk
antarsesamanya. Mereka ketakutan, tapi
sangat ingin tahu. Tengkorak orang itu hancur, jelas akibat hantaman salah
satu papan tanda hadiah. Papan itu
tergeletak melintang di tubuh yang basah oleh darah. Orang-orang yang melongo melihat pemandangan
itu, tidak dapat tidak, membaca daftar
hadiah yang dijanjikan itu. Beberapa orang tertawa muram melihat ironi
mencolok itu.
Wajah Otsu
mengerut pucat ketika ia muncul dari tengah-tengah kerumunan. Menyesal
karena telah melihat, ia pun bergegas
menuju kuil dan mencoba menghapus gambaran wajah orang mati yang terus terbayang di depan matanya.
Di kaki bukit ia berpapasan dengan kapten
yang menginap di kuil dan lima-enam anak buahnya. Mereka telah mendengar
pembunuhan yang mengerikan itu dan
sedang dalam perjalanan untuk menyelidikinya. Melihat gadis itu, sang kapten menyeringai.
"Dari
mana kau, Otsu?" tanyanya dengan sikap akrab menyenangkan."
"Belanja,"
jawab Otsu pendek. Tanpa melirik orang itu, la pun bergegas mendaki anak tangga kuil. Otsu sejak semula tidak suka
kepadanya. Kumisnya seperti tali. Itu yang
paling tidak disukainya. Tapi sejak malam orang itu mencoba memaksanya,
melihatnya saja sudah membuat ia jijik.
Takuan
sedang duduk di depan ruang utama, bermain dengan seekor anjing kampung.
Otsu bergegas lewat agak jauh dari situ
untuk menghindari binatang kotor itu, ketika Takuan melihatnya clan memanggil, "Otsu, ada
surat buatmu."
"Buat
saya?" tanya Otsu tak percaya.
"Ya,
kau sedang pergi ketika pesuruh datang, karena itu dia tinggalkan surat
itu padaku." Dikeluarkannya sebuah
gulungan kecil dari lengan kimononya dan diserahkannya pada Otsu. Katanya, "Kau kelihatan
kurang sehat. Ada apa?"
"Saya
mual. Tadi saya lihat orang mati menggeletak di rumput. Matanya masih terbuka,
dan darah..."
"Kau
tak perlu melihat hal-hal seperti itu. Tapi kalau melihat keadaan sekarang, terpaksa kau mesti menutup mata kalau pergi
ke mana-mana. Hari-hari ini aku selalu
bertemu mayat. Ha! Padahal tadinya kudengar kampung ini seperti surga
kecil!"
"Kenapa
Takezo membunuh orang?"
"Supaya
mereka tidak membunuhnya, tentu saja. Mereka tak punya alasan sama sekali
untuk membunuhnya, jadi kenapa pula dia
mesti membiarkan mereka?"
"Takuan,
saya takut!" kata Otsu memohon. "Apa yang mesti kita lakukan kalau
dia datang kemari?"
Mendung gelap
bergumpal-gumpal di atas pegunungan. Otsu menerima surat misterius itu clan pergi menyembunyikan diri di kamar
tenun. Pada alat tenun terpasang secarik kain
kimono lelaki yang belum selesai. Sejak tahun lalu selalu ia menggunakan
waktu luangnya dengan memintal benang
sutra untuk pakaian itu. Itu untuk Matahachi. la merasa senang bahwa nantinya dapat menjahit semua bagian
kain itu menjadi satu kimono lengkap. la
menenun setiap helainya dengan sangat cermat, seakan-akan menenun itu
sendiri mendekatkan Matahachi padanya.
la ingin pakaian itu kekal selamanya.
Sambil
duduk di depan alat tenun, ia menatap surat itu dengan saksama. "Siapa
yang mengirim?" bisiknya pada diri
sendiri. la merasa surat itu tentunya ditujukan pada orang lain. Berulang kai ia baca alamatnya untuk
mencari kesalahannya.
Surat itu
jelas sudah menempuh jalan panjang sebelum sampai kepadanya. Bungkusannya sudah sobek-sobek dan lusuh, penuh dengan
noda bekas jari dan titik air hujan. Ketika
segelnya dibuka, yang jatuh ke pangkuannya bukannya satu, melainkan dua
surat. Yang pertama ditulis seorang
wanita yang tak dikenal, seorang wanita yang sudah agak tua, begitulah terkanya cepat.
Saya
menulis hanya untuk membenarkan apa yang tertulis dalam surat satunya.
Karenanya saya tidak akan berbicara
terperinci.
Saya sudah
kawin dengan Matahachi dan menerimanya dalam keluarga saya. Meskipun
begitu, dia rupanya masih memikirkan
Anda. Saya kira, salahlah kalau kita membiarkan saja hal itu. Karena itu Matahachi dengan ini
mengirimkan penjelasan, dan saya memberikan
kesaksian atas kebenaran penjelasan itu.
Harap
lupakan Matahachi.
Hormat
saya, Oko
Surat
satunya berisi tulisan cakar ayam Matahachi dan berisi penjelasan panjang
yang menjemukan, mengenai semua alasan
kenapa ia tidak mungkin pulang. Intinya tentu saja permintaan agar Otsu melupakan pertunangan
dengannya dan agar menemukan suami lain.
Matahachi menambahkan, karena "sukar" baginya menulis langsung
kepada ibunya tentang persoalan itu, ia
akan berterima kasih apabila Otsu mau membantu. Kalau Otsu kebetulan bertemu dengan ibunya, ia diminta
menyampaikan bahwa Matahachi masih hidup dan sehat, serta tinggal di provinsi lain.
Otsu merasa
sumsum tulang punggungnya berubah menjadi es. la duduk terpukau, terlampau terguncang untuk dapat berteriak atau sekadar
mengedip. Kuku-kuku jarinya yang memegang
surat itu berubah sewarna dengan kulit orang mati yang dilihatnya kurang
dari sejam sebelumnya.
Jam-jam
berlalu. Semua orang di dapur mulai bertanya-tanya di mana gerangan Otsu.
Kapten yang diserahi tugas melakukan
pencarian merasa puas dapat memerintahkan orang-orangnya yang kelelahan itu tidur di hutan, tapi
ketika ia sendiri kembali ke kuil pada senja
hari, ia pun menuntut kenikmatan yang sesuai dengan statusnya. Air mandi
harus dipanaskan sepantasnya. Ikan segar
dari kali harus disiapkan menurut
petunjuk-petunjuknya, dan satu orang harus mengambil sake mutu terbaik
dari salah satu rumah kampung. Banyak
sekali pekerjaan harus dilakukan untuk menyenangkan orang itu, dan sebagian besar pekerjaan itu jatuh pada Otsu.
Karena Otsu menghilang, makan malam si
kapten terlambat.
Takuan pun
pergi mencarinya. la sama sekali tidak memikirkan si kapten. Yang dikhawatirkannya adalah Otsu. Bukan kebiasaan
gadis itu untuk pergi tanpa memberitahu.
Sambil memanggil-manggil namanya, biarawan itu melintasi pekarangan kuil
dan melewati kamar tenun beberapa kali.
Karena pintu kamar itu tertutup, tak mau la bersusah-susah melihat ke dalam.
Beberapa
kali pendeta kuil keluar lorong tinggi dan berseru kepada Takuan, "Belum
juga ketemu? Mestinya di sini-sini
saja." Tapi lama kelamaan ia pun bingung, dan serunya, "Cepat temukan dia! Tamu kita bilang tak
bisa minum sake kalau bukan Otsu yang
menuangkan."
Pembantu
kuil disuruh menuruni bukit untuk mencari Otsu sambil membawa lentera.
Hampir bersamaan waktunya dengan
keberangkatan pembantu itu, Takuan pun akhirnya membuka pintu kamar tenun.
Apa yang
dilihatnya di dalam sungguh mengejutkannya. Otsu terkulai di atas alat
tenun, jelas dalam keadaan dirundung
kesedihan. Karena tak ingin mengganggu, Takuan diam saja memandang kedua surat yang kusut dan sobek di
tanah. Surat itu telah diinjak-injak
seperti sepasang boneka jerami.
Takuan
memungutnya. "Apa ini bukan yang dibawa pesuruh hari ini?" tanyanya
lembut. "Kenapa kau tidak
menyimpannya?"
Otsu
menggeleng lesu.
"Semua
orang sudah setengah gila mengkhawatirkanmu. Aku sendiri sudah mencari ke mana-mana. Ayo pulang, Otsu. Aku tahu kau
enggan, tapi kau betul-betul harus kerja. Yang
jelas, kau mesti melayani Kapten. Pendeta tua itu sudah hilang
akal."
"Kepala
saya... kepala saya sakit," bisik Otsu. "Bapak, apa tak bisa mereka
meliburkan saya... malam ini saja?"
Takuan
mengeluh. "Otsu, aku pribadi berpendapat kau tak usah menghidangkan sake
untuknya malam ini atau malam kapan pun.
Tapi pendeta itu lain pendapatnya. Dia manusia dari dunia ini. Dia bukan orang yang dapat merebut
rasa hormat atau dukungan daimyo bagi
kuilnya lewat kebesaran jiwa semata-mata. Dia percaya bahwa dia mesti
menghidangkan anggur dan makanan agar
Kapten senang selalu." Takuan menepuk punggung Otsu. "Lagi pula, dia sudah menerima dan membesarkanmu, jadi
kau berutang budi padanya. Kau tak boleh
tinggal terlalu lama di sini."
Dengan
enggan Otsu pun menurut. Ketika Takuan membantunya berdiri, ia
menengadahkan wajahnya yang basah oleh
air mata kepada Takuan dan berkata, "Saya akan pergi, asal Bapak berjanji menemani saya."
"Aku
tidak keberatan, tapi si Jenggot Jarang tua itu tak suka padaku. Tiap kali
aku melihat kumis konyol itu, aku jadi
ingin sekali mengatakan bahwa kumis itu lucu sekali. Aku tahu perasaan itu kekanak-kanakan, tapi
ada beberapa orang yang memang begitu
pengaruhnya terhadapku."
"Tapi
sava tak mau ke sana sendirian!"
"Tapi
Pendeta ada di sana, kan?"
"Ya,
tapi dia selalu pergi kalau saya datang."
"Hmmm.
Itu kurang baik juga. Baiklah, aku akan mengawanimu. Sekarang jangan
pikirkan lagi, dan basuh mukamu."
Ketika
akhirnya Otsu muncul di petak pendeta, kapten yang sudah membongkok mabuk
itu jadi gembira. la meluruskan topinya
yang dari tadi sudah sangat miring. la jadi sangat riang dan berkali-kali minta dituangkan sake
lagi. Segera kemudian mukanya jadi merah
padam, dan sudut-sudut matanya yang melotot itu mulai turun.
Sekalipun
demikian, tidak sepenuhnya ia merasa senang, dan sebabnya adalah hadirnya
satu orang yang tidak dikehendakinya di
kamar itu. Di sebelah lampu, Takuan duduk membungkuk seperti pengemis buta, asyik membaca buku
yang terbuka di atas lututnya.
Biarawan
itu dikira pembantu pendeta, dan si kapten menudingnya sambil berteriak,
"Hei, yang di sana itu!"
Takuan
terus juga membaca, sampai Otsu menyodoknya. Ia mengangkat matanya yang
kosong dan memandang ke sekitar, katanya,
"Kapten memanggil saya?"
Kapten
menjawab pedas, "Ya, kamu! Aku tak ada urusan denganmu. Pergi dari
sini!"
"Oh,
tapi saya tidak keberatan di sini," jawab Takuan polos. "Oh, tidak
keberatan, ya?"
"Sama
sekali tidak," kata Takuan dan kembali membaca buku.
"Tapi
aku keberatan," gertak si kapten. "Rasa sake jadi rusak karena ada
orang membaca."
"Oh,
maaf," jawab Takuan bernada ejekan. "Saya ini sungguh tidak sopan.
Kalau begitu, akan saya tutup buku
saya."
"Melihat
buku itu saja aku sudah jengkel."
"Baiklah.
Akan saya minta Otsu menyingkirkannya."
"Bukan...
bukan itu, tapi kau sendiri, goblok! Kau ini bikin rusak suasana."
Wajah
Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Wah, kalau begitu sulit juga, ya. Soalnya
karena saya bukan Wuk'ung yang suci dan
dapat mengubah diri menjadi kepulan asap, atau menjadi serangga, lalu hinggap di baki Kapten,"
Leher
kapten yang merah itu pun menggembung dan matanya melotot. la jadi tampak
seperti ikan buntal. "Keluar kamu,
bodoh! Enyah dari mukaku!"
"Baik,"
kata Takuan tenang sambil membungkuk. Sambil memegang tangan Otsu ia pun
berkata pada gadis itu, "Tamu
bilang dia lebih suka seorang diri. Cinta kesendirian adalah tanda kebijaksanaan. Kita tak boleh mengganggunya
lagi. Ayo."
"Kenapa...
kenapa, kamu... kamu..."
"Ada
apa rupanya?"
"Siapa
bilang Otsu mesti pergi denganmu, orang pandir jelek?"
Takuan pun
melipat kedua tangannya. "Sudah bertahun-tahun saya memperhatikan,
tidak banyak pendeta atau biarawan yang
tampan. Tapi samurai juga begitu, saya kira. Anda sendiri, umpamanya."
Mata si
kapten hampir saja melompat dari ceruknya, "Apa!"
"Apa
Kapten sudah mengamati kumis Kapten? Maksud saya, apa Kapten
sungguh-sungguh menyediakan waktu untuk
menatapnya dan menilainya secara objektif?"
"Anak
haram jadah!" teriak Kapten seraya mengambil pedang yang tersandar di
dinding. "Jaga dirimu!" Takuan
berdiri, dan sambil memandang Kapten dengan sebelah matanya ia pun bertanya tenang, "Hmm. Bagaimana saya
mesti menjaga diri saya sendiri?"
Kapten pun
memekik sambil memegang pedangnya yang masih tersarung,
"Sudah
cukup aku diejek. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!"
Takuan jadi
tertawa. "Itu berarti Kapten mau memenggal kepala saya? Kalau begitu, lupakan saja. Membosankan sekali."
"Ha?"
"Membosankan.
Tak bisa saya membayangkan hal yang lebih membosankan daripada memenggal kepala seorang biarawan. Kepala itu akan
jatuh begitu saja ke lantai dan menggeletak di
situ menertawakan Kapten. Itu bukan prestasi besar. Apa gunanya buat
Anda?"
"Hah,"
geram Kapten, "kalau begitu aku puas bila bisa membungkam mulutmu. Biar
sukar buatmu melanjutkan bualan kurang
ajar!" Dengan keberanian yang biasa dimiliki orang hanya karena memegang senjata, ia pun tertawa
terbahak-bahak jelek sekali dan maju dengan
sikap mengancam.
"Kapten!"
Tingkah
laku Takuan yang asal saja itu membuatnya demikian berang, hingga tangannya
yang memegang sarung pedang bergetar
hebat. Otsu menengahi kedua orang itu, berusaha
melindungi Takuan.
"Apa
pula bicara Bapak ini?" katanya dengan maksud mengendurkan perasaan dan
melambatkan tindakan. "Bukan begitu
caranya bicara dengan prajurit. Coba sekarang katakan Bapak menyesal," mohonnya. "Ayolah, minta
maaf pada Kapten."
Tapi Takuan
sama sekali tidak mundur.
"Minggir,
Otsu. Aku tak apa-apa. Apa kaupikir akan kubiarkan diriku dipenggal oleh
orang tolol macam ini? Memang dia
mengepalai berpuluh orang yang terampil bersenjata, tapi dua puluh hari dibuangnya hanya untuk menemukan
tempat seorang pelarian yang sudah kecapekan
dan setengah kelaparan. Kalau dia tak punya cukup akal buat menemukan
Takezo, akan mengherankan sekali kalau
dia dapat mengalahkanku!"
"Jangan
bergerak!" perintah Kapten. Mukanya membengkak menjadi warna lembayung
ketika ia bergerak menarik pedangnya.
"Minggir, Otsu! Biar kupotong pembantu pendeta bermulut besar ini menjadi dua!"
Otsu
menjatuhkan diri ke kaki Kapten dan memohon, "Kapten cukup punya alasan
untuk marah, tapi saya minta Kapten
bersabar. Dia orang yang tidak begitu beres. Bicaranya memang begitu dengan semua orang. Dia tidak
bermaksud apa-apa, sungguh!" Air mata
bercucuran dari matanya.
"Apa
katamu, Otsu?" kata Takuan keberatan. "Tak ada yang salah dengan
otakku, dan aku bukannya melucu. Aku
hanya mengemukakan kebenaran, tapi rupanya orang tak suka mendengarnya. Dia tolol, makanya kusebut dia
tolol. Apa maumu aku berdusta?"
"Lebih
baik jangan kauulangi," guntur samurai itu.
"Aku
akan bicara sesukaku. Memang rasanya tak ada bedanya buat kalian para
serdadu, berapa pun waktu yang kalian
hamburkan buat mencari Takezo. Tapi itu beban luar biasa buat petani. Apa kalian menyadari apa yang
kalian lakukan terhadap mereka? Mereka tak
bisa makan kalau kalian teruskan ini. Barangkali malahan tak terpikir
oleh kalian, bagaimana mereka terpaksa
menelantarkan sama sekali kerja ladangnya untuk mengikuti perburuan angsa liar kalian yang berantakan
itu. Dan tanpa upah pula! Sungguh
memalukan!"
"Jangan
sembarangan kamu, pengkhianat. Itu fitnah besar terhadap pemerintah
Tokugawa!"
"Bukan
pemerintah Tokugawa yang kukritik, tapi pejabat-pejabat birokrat seperti
kamu yang berdiri antara daimyo dan
rakyat jelata ini, yang bisa saja mencuri upah yang mestinya mereka terima. Satu hal lagi, kenapa
kau bermalas-malasan di sini malam ini?
Siapa yang memberimu hak bersantai pakai kimono yang manis dan enak,
nyaman dan hangat, mandi seenaknya dan
minum sake sebelum tidur dengan layanan seorang gadis manis? Apa itu yang kausebut mengabdi kepada atasan?"
Kapten itu
bungkam.
"Apa
bukan tugas samurai untuk mengabdi kepada atasan dengan jujur dan tak kenal
lelah? Apa bukan tugas Kapten
menunjukkan kebajikan kepada rakyat yang membanting tulang demi daimyo? Coba lihat diri sendiri, Kapten! Kau
menutup mata pada kenyataan bahwa kau
menarik para petani dari kerja yang menghasilkan makanan mereka
sehari-hari. Kau bahkan tidak memikirkan
sama sekali anak buahmu. Kau mestinya melakukan misi resmi, tapi apa yang kaulakukan? Setiap ada kesempatan, kaulahap
makanan dan minuman orang lain yang
diperoleh dengan susah payah, clan kaugunakan kedudukanmu untuk mendapat
penginapan yang paling menyenangkan. Aku
berani mengatakan, kau adalah contoh korupsi yang klasik. Kauselimuti diri dengan kekuasaan atasanmu
untuk menghamburkan tenaga rakyat jelata,
untuk tujuan-tujuan pribadimu sendiri."
Kini Kapten
sudah demikian terpesona, hingga tak dapat menutup mulutnya yang menganga. Takuan mendesak terus.
"Sekarang
cobalah potong kepalaku dan kirimkan kepada Yang Dipertuan Ikeda Terumasa! Percayalah, dia akan kaget. Barangkali dia
akan berkata, 'Hai, Takuan! Jadi, hanya
kepalamu yang datang menghadap hari ini? Di mana bagian badanmu yang
lain?'
"Pasti
kau berminat mengetahui bahwa Yang Dipertuan Terumasa dan aku biasa
bersama-sama ambil bagian dalam upacara
minum teh di Myoshinji. Kami berdua pun berkali-kali mengobrol lama dan hangat di Daitokuji,
Kyoto."
Kegarangan
si Jenggot Jarang menguap dalam sekejap. Mabuknya pun sudah sedikit berkurang, sekalipun tampaknya ia masih belum
dapat menilai apakah yang dikatakan Takuan
itu benar atau tidak. la tampak lumpuh, dan tidak tahu mau bertindak
bagaimana.
"Pertama-tama,
lebih baik kau duduk dulu," kata biarawan itu. "Kalau kaupikir
aku bohong, aku senang bisa pergi
bersamamu ke puri dan menghadap Yang Dipertuan sendiri. Sebagai hadiah, aku bisa membawakannya tepung
soba lezat, yang bisa dibikin orang sini.
Beliau suka sekali tepung itu.
"Tapi
tak ada yang lebih capek, dan tak ada yang paling tidak kusukai daripada mendatangi seorang daimyo. Dan lagi, kalau
orang-orang yang menjadi korban tindakanmu di
Miyamoto kebetulan datang selagi kami mengobrol sambil minum teh, aku
tak dapat berbohong. Kejadiannya
barangkali akan berakhir dengan kau bunuh diri gara-gara ketidakmampuanmu.
"Sudah
dari semula kukatakan supaya jangan mengancamku, tapi kalian para prajurit
ini memang sama saja. Kalian tak pernah
berpikir tentang konsekuensi. Dan inilah kekurangan kalian yang terbesar.
"Sekarang
turunkan pedang itu; akan kuceritakan hal lain."
Kapten yang
sudah tak berdaya itu pun menurut.
"Kau
tentu kenal dengan buku Seni Perang karangan Jenderal Sun-tzu, yang merupakan
karya klasik Cina tentang strategi
militer? Aku yakin prajurit setarafmu kenal sekali dengan buku yang demikian penting. Aku menyebutnya
karena aku ingin memberikan satu pelajaran
yang menggambarkan salah satu prinsip utama buku itu. Aku mau
menunjukkan kepadamu bagaimana menangkap
Takezo tanpa kehilangan lagi anak buah atau menyebabkan orang kampung mendapat kesulitan lebih dari yang
sudah kauberikan. Ini ada hubungannya dengan
kerja resmimu, karena itu kau mesti benar-benar memperhatikannya."
la menoleh pada sang gadis. "Otsu,
tolong tuangkan secangkir sake lagi untuk Kapten."
Kapten itu
lelaki umur empat puluhan, kira-kira sepuluh tahun lebih tua daripada
Takuan, tapi jelas dari wajah mereka
waktu itu bahwa kekuatan watak tak ada urusannya dengan umur. Cacian lisan Takuan telah merendahkan
orang yang lebih tua itu, dan keangkuhannya
pun menguap.
Dengan
takut-takut ia berkata, "Tidak, saya tak mau lagi sake. Saya minta Anda
memaafkan saya. Saya tak tahu sama
sekali bahwa Anda teman Yang Dipertuan Terumasa. Maaf, saya telah berlaku terlalu kasar." la jadi
begitu tertekan, hingga tampak menggelikan, tapi Takuan menahan diri untuk tidak lebih
memojokkannya lagi.
"Mari
kita lupakan saja. Yang ingin kubicarakan adalah bagaimana menangkap
Takezo. Itulah yang harus Anda lakukan
untuk melaksanakan perintah dan menjaga kehormatan Anda sebagai samurai."
"Ya."
"Tentu
saja aku juga tahu bahwa buat Anda tidak penting berapa lama dibutuhkan
untuk menangkap orang itu. Bukankah
makin lama waktu itu, makin lama Anda bisa tinggal di kuil ini, makan, dan mengerling Otsu?"
"Saya
minta jangan membawa-bawa lagi soal itu. Terutama di depan Yang
Dipertuan." Serdadu itu pun tampak
seperti seorang anak yang akan menangis.
"Aku
bersedia menganggap seluruh peristiwa ini sebagai rahasia. Tapi kalau pencarian
di pegunungan sepanjang hari itu
berjalan terus, para petani akan mengalami kesulitan besar. Tidak hanya para petani, tetapi juga
penduduk kampung terlalu limgung dan
ketakutan untuk melakukan pekerjaan yang biasa. Menurut penglihatanku,
kesulitannya adalah Anda tidak
menggunakan strategi yang sewajarnya. Bahkan menurut pendapatku Anda tidak menggunakan strategi sama sekali. Apa
betul anggapanku, bahwa Anda tidak mengenal
Seni Perang?"
"Saya
malu mengakuinya, tapi memang demikian."
"Nah,
Anda harus merasa malu. Karena itu tak akan kaget kalau aku sebut Anda tolol.
Anda bisa saja seorang pejabat, tapi
menyedihkan sekali, Anda orang yang tidak berpendidikan dan sama sekali tidak efektif. Tapi tak ada
gunanya membikin pusing Anda. Aku hanya akan
mengusulkan sesuatu. Aku pribadi menawarkan diri untuk menangkap Takezo
dalam tiga hari."
"Anda
menangkap dia?"
"Apa
Anda kira aku berkelakar?"
"Tidak,
tapi..."
"Tapi
apa?"
"Tapi
kalau dihitung tenaga bantuan dari Himeji dan semua petani serta prajurit
itu, lebih dari dua ratus orang sudah
menjelajahi pegunungan itu hampir tiga minggu lamanya."
"Aku
paham betul."
"Dan
karena sekarang ini musim semi, Takezo beruntung. Banyak yang bisa dimakan
pada musim ini."
"Kalau
begitu, apa Anda merencanakan untuk menunggu sampai turun saiju? Kira-kira delapan bulan lagi?"
"Tidak,
saya pikir tak bisa."
"Tentu
saja tidak bisa. Justru karena itu aku menawarkan diri menangkapnya untuk
Anda. Aku tidak membutuhkan bantuan; aku
dapat melakukannya sendiri. Tapi pikir-pikir,
barangkali aku akan membawa serta Otsu. Ya, kami berdua cukuplah."
"Anda
main-main saja, kan?"
"Diam
dulu! Apa menurut Anda, Takuan Soho menghabiskan seluruh waktunya buat
bikin lelucon?"
"Maaf."
"Seperti
kukatakan tadi, Anda tidak mengenal Seni Perang, padahal menurut
pendapatku, itulah sebab terpenting
kegagalan Anda yang memalukan. Sebaliknya, mungkin saja aku hanya seorang pendeta sederhana, tapi aku
memahami Sun-tzu. Sekarang tinggal satu syarat
lagi. Kalau Anda tak setuju, aku terpaksa duduk lagi dan melihat saja
Anda terus membuat kesalahan besar,
sampai salju jatuh, dan barangkali juga kepala Anda."
"Apa
syaratnya?" tanya Kapten hati-hati.
"Kalau
aku berhasil membawa pulang pelarian itu, akulah yang menentukan
nasibnya."
"Apa
maksud Anda?" Kapten menarik-narik kumisnya. Berbagai pikiran berkecamuk
dalam kepalanya. Bagaimana mungkin ia
bisa yakin biarawan aneh ini tidak akan menipunya? Walau ia bicara lancar, ada kemungkinan ia sama
sekali tidak waras. Mungkinkah ia teman
Takezo, seorang anteknya? Mungkinkah ia tahu di mana orang itu
bersembunyi? Tapi kalaupun tidak
tahu-rasanya memang tidak-apa salahnya memberinya kesempatan, sekadar untuk melihat apakah ia berhasil dengan
rencana gilanya. Setidak-tidaknya barangkali ia
dapat memetik hasil pada saat terakhir. Dengan pikiran itu, Kapten
mengangguk tanda setuju. "Baiklah
kalau begitu. Kalau Anda menangkapnya, Anda dapat memutuskan apa hukumannya. Tapi bagaimana kalau Anda tidak
dapat menemukannya dalam tiga hari?"
"Aku
akan gantung diri pada pohon kriptomeria di kebun itu."
Pagi
harinya pembantu kuil dengan wajah sangat gelisah berlari ke dapur.
Terengah-engah ia berseru, "Apa
Takuan sudah gila? Saya dengar dia berjanji mencari Takezo sendiri!"
Mata
orang-orang di dapur terbelalak. "Tidak!"
"Tidak,
sungguh-sungguh gila!"
"Bagaimana
dia akan menangkapnya?"
Jawaban-jawaban
konyol clan ketawa mengejek pun terdengar, tapi terdengar juga bisikan terpendam yang mengandung kekhawatiran.
Ketika
berita itu sampai ke telinga pendeta kuil, ia mengangguk bijaksana dan
mengatakan bahwa mulut manusia itu pintu
bencana. Tetapi yang betul-betul paling khawatir adalah Otsu. Hanya sehari sebelumnya surat selamat
tinggal Matahachi melukainya. Lukanya lebih
perih dibanding berita kematiannya. Ia mempercayai tunangannya itu, dan
bahkan bersedia menenggang Osugi yang
dahsyat itu sebagai mertua tukang perintah, demi Matahachi. Kepada siapa ia harus berpaling kini?
Bagi Otsu
yang sudah tercebur dalam kegelapan dan keputusasaan, Takuan merupakan
titik terang dalam hidup ini. Sinar
harapannya yang terakhir. Sehari sebelumnya, ketika ia menangis sendirian di kamar tenun, ia
mengambil pisau tajam dan mengiris-iris sampai
lumat kain kimono yang sungguh-sungguh telah disulami jiwanya. la juga
sudah bermaksud menghunjamkan bilah
tajam itu ke dalam tenggorokannya. la sangat tergoda untuk melakukan hal itu, namun munculnya Takuan akhirnya
membuyarkan maksud itu dari kepalanya. Takuan
menghiburnya dan meyakinkannya agar setuju menuangkan sake, clan Takuan akhirnya
menepuk punggungnya. Ia masih dapat
merasakan hangatnya tangan kokoh biarawan itu ketika membimbingnya ke luar kamar tenun.
Dan
sekarang Takuan membuat perjanjian yang sinting.
Otsu tidak
begitu memedulikan keselamatannya sendiri. Yang lebih dipedulikannya
adalah kemungkinan satu-satunya teman di
dunia ini akan hilang juga karena usul tololnya. la merasa putus asa dan sangat tertekan. Akal
sehatnya menyatakan aneh kalau ia dan Takuan
dapat menemukan tempat Takezo dalam waktu sesingkat itu.
Takuan
bahkan sudah berani bertukar sumpah dengan si Jenggot Jarang di hadapan altar Hachiman, dewa perang. Ketika Takuan kembali,
Otsu menegurnya dengan keras karena
sikapnya yang terburu-buru itu, tetapi Takuan berkeras tak ada yang
mesti dikhawatirkan. Katanya, tujuannya
adalah meringankan beban kampung, mengamankan kembali lalu lintas di jalan raya, dan mencegah berlangsungnya terus
pemborosan hidup manusia. Mengingat jumlah
nyawa yang dapat diselamatkan kalau Takezo bisa cepat ditangkap,
nyawanya sendiri tidaklah begitu
penting. Takuan pun meminta agar Otsu beristirahat sebanyak-banyaknya menjelang malam hari berikutnya, saat mereka
berangkat. Otsu harus ikut tanpa mengeluh,
dan percaya penuh padanya. Otsu sudah terlampau bingung untuk menolak,
lagi pula pilihan untuk tinggal di kuil
clan selalu gelisah lebih buruk lagi dibanding dengan pergi.
Petang hari
berikutnya Takuan masih tidur bersama kucing di sudut bangunan utama kuil. Wajah Otsu cekung. Baik pendeta, pesuruh,
maupun pembantu pendeta mencoba meyakinkannya
untuk tidak pergi. "Pergi saja sembunyi," itulah nasihat praktis
mereka, tapi karena alasan-alasan yang
hampir tak dapat dimengertinya sendiri, Otsu sama sekali tidak tergerak untuk berbuat demikian.
Matahari
tenggelam dengan cepat, dan bayang-bayang malam yang pekat mulai
menyelimuti celah-celah jajaran gunung
yang menandai alur Sungai Aida. Kucing melompat turun dari emperan kuil, dan akhirnya Takuan sendiri
keluar ke beranda. Seperti si kucing, ia pun
meregangkan anggota badannya sambil menguap lebar.
"Otsu,"
panggilnya, "lebih baik kita berangkat sekarang."
"Sudah
saya kemasi semuanya-sandal jerami, tongkat, pembalut kaki, obat-obatan,
kertas minyak polonia."
"Ada
yang kamu lupa."
"Apa?
Senjata? Apa kita mesti bahwa pedang atau lembing, atau yang lain?"
"Tentu
saja tidak! Aku mau bawa bekal makanan."
"0,
maksud Bapak beberapa kotak makan siang?"
"Bukan,
makanan yang enak. Aku mau bawa nasi, bumbu kacang, clan... o, ya, sedikit
sake. Apa saja yang enak bolehlah. Aku
juga butuh kuali. Pergi ke dapur sana, bikin bungkusan yang besar. Dan bawa pikulan."
Pegunungan
dekat tempat itu kini lebih hitam dibanding pernis yang paling hitam, sedangkan pegunungan yang di kejauhan lebih
pucat daripada mika. Waktu itu musim semi
sudah hampir usai, angin berbau wangi dan hangat. Bambu bergaris dan
tumbuhan jalar wistaria menjerat kabut.
Makin jauh Takuan dan Otsu meninggalkan kampung, pegunungan dengan dedaunan yang berkilat-kilat lemah
oleh cahaya suram makin tampak seakan
bermandikan hujan petang hari. Mereka berjalan beriringan menembus
kegelapan, masing-masing memikul ujung
pikulan bambu yang digantungi bungkusan yang terikat baik-baik.
"Malam
yang bagus buat jalan-jalan, ya?" kata Takuan sambil menoleh ke belakang.
"Rasanya
kurang begitu indah," gerutu Otsu. "Ke mana kita pergi?"
"Aku
belum tahu," jawab Takuan, tampak berpikir sedikit, "tapi mari kita
jalan lebih jauh lagi sedikit."
"Saya
sih tidak keberatan jalan."
"Apa
kau capek?"
"Tidak,"
jawab gadis itu, tapi pikulan itu jelas menyakitinya, karena setiap kali
ia memindahkannya dari bahu satu ke bahu
lain.
"Di
mana saja orang-orang ini? Tak seorang pun kulihat."
"Kapten
tidak memperlihatkan muka di kuil sepanjang hari tadi. Saya berani bertaruh,
dia menyuruh pulang para pencari, supaya
kita dapat sendirian saja tiga hari ini. Pak
Takuan, bagaimana caranya menangkap Takezo?"
"0,
jangan khawatir. Cepat atau lambat dia akan muncul."
"Tapi
dia belum pernah menemui siapa pun. Kalau nanti dia muncul, apa yang akan
kita lakukan? Sesudah diburu orang
banyak begitu lama, tentunya dia nekat sekarang. Dia berjuang demi hidupnya, dan dia sangat kuat.
Memikirkan itu saja kaki saya sudah
gemetar."
"Hati-hati!
Awas kakimu!" seru Takuan tiba-tiba.
"Oh!"
teriak Otsu ketakutan, langkahnya langsung terhenti. "Ada apa? ' Kenapa
Bapak bikin takut saya?"
"Jangan
khawatir. Bukan Takezo. Aku cuma mau mengingatkan kamu supaya jalan yang
balk. Banyak wistaria dan perangkap
semak sepanjang pinggir jalan ini."
"Apa
para petani itu yang memasangnya di sini buat menangkap Takezo?"
"He-eh. Tapi kalau kita tidak hati-hati,
kita yang akan masuk kedalamnya."
"Takuan,
kalau Bapak bicara soal itu, saya jadi gugup dan tak bisa melangkah."
"Apa
yang kau khawatirkan? Kalaupun kita terperangkap, aku yang lebih dulu Tak perlu
kau menyusulku." la menyeringai
pada Otsu. "Menurutku, sia-sia saja mereka menempuh banyak kesulitan." Sesudah diam sekejap, ia pun
menambahkan, "Otsu, apa menurutmu jurang ini tidak makin sempit?"
"Tak
tahulah saya, tapi sisi belakang Sanumo sudah kita lewati beberapa waktu lalu.
Ini tentunya Tsujinohara."
"Kalau
begitu, kita terpaksa jalan sepanjang malam ini."
"Ah,
saya bahkan tak tahu ke mana kita ini. Kenapa bicara soal jalan pada
saya?"
"Mari
kita turunkan beban ini sebentar." Habis meletakkan bungkusan itu ke
tanah, Takuan pergi menuju karang yang
berdekatan.
"Bapak
mau ke mana?"
"Mau
buang air."
Seratus
kaki di bawah Takuan, kali-kali kecil yang bergabung menjadi Sungai Aida mengguntur dari batu ke batu. Bunyi itu
menderu menuju dirinya, memenuhi telinganya, dan menembus seluruh dirinya. Sambil buang air
kecil, ia memandang ke langit, seakan-akan
menghitung-hitung bintang. "Oh, nikmat rasanya!" katanya
bersuka hati. "Aku menyatu dengan
alam semesta, atau alam semesta menyatu denganku?"
Akhirnya ia
kembali dan jelasnya, "Ketika di sana tadi, aku membuka-buka Buku
Perubahan, dan sekarang aku tahu pasti
tindakan apa yang akan kita ambil. Sudah jelas sekarang."
"Buku
Perubahan? Bapak tidak membawa buku."
"Bukan
yang tertulis, tapi yang ada dalam diriku. Buku Perubahan asli milikku
sendiri. Dia ada dalam hati, atau perut,
atau di tempat lain. Ketika berdiri di sana tadi, aku memikirkan letak tanah, penampilan air, dan
keadaan langit. Kemudian aku menutup mata,
dan ketika aku membukanya, ada yang mengatakan, 'Pergi ke gunung di sana
itu." la menunjuk ke puncak yang
dekat.
"Maksud
Bapak, Gunung Takateru?"
"Aku
tidak tahu namanya. Pokoknya, yang setengahnya dataran terbuka."
"Orang menyebutnya padang rumput
Itadori."
"0,
jadi ada namanya?"
Ketika
mereka sampai, padang rumput itu ternyata sebuah dataran kecil yang melandai
ke tenggara dan memberikan pemandangan
indah daerah sekitar. Para petani biasa menggiring kuda dan lembunya ke sana untuk merumput,
tapi malam itu tak seekor binatang pun
kelihatan atau terdengar. Ketenangan di situ hanya terpecahkan oleh
angin musim semi yang hangat membelai
rerumputan.
"Kita
berkemah di sini," ucap Takuan. "Takezo, musuh itu, akan jatuh ke
tanganku tepat seperti Jenderal Ts'ao
dari Wei jatuh ke tangan Ch'u-ko K'ung-ming."
Ketika
mereka sudah menurunkan beban, Otsu bertanya, "Apa yang kita lakukan di
sini?"
"Duduk,"
jawab Takuan mantap.
"Bagaimana
kita bisa menangkap Takezo kalau hanya duduk di sini?" "Dengan jaring
pun kita dapat menangkap burung terbang
tanpa mesti terbang sendiri."
"Tapi
kita belum memasang jaring sama sekali. Apa Bapak yakin tidak kesurupan rubah
atau yang lain?'
"Kalau
begitu, mari bikin api. Rubah takut api, jadi kalau aku kesurupan, aku bisa
lekas bebas."
Mereka
mengumpulkan kayu kering, dan Takuan membuat api. Semangat Otsu tampak naik.
"Api
yang baik membuat gembira orang, betul tidak?"
"Yang
jelas menghangatkan. Tapi, apa kau sedang sedih?"
"Oh,
Takuan, Bapak sudah lihat sendiri bagaimana perasaan saya selama ini. Dan saya
rasa tak ada orang yang betul-betul suka
menginap di pegunungan seperti ini. Apa yang akan kita lakukan, seandainya sekarang ini turun
hujan?"
"Dalam
perjalanan ke atas tadi, aku melihat gua dekat jalan. Kita dapat berteduh di
sana sampai hujan berhenti."
"Itulah
barangkali yang dilakukan Takezo pada malam hari dan kalau udara buruk.
Mestinya banyak tempat macam itu di
seluruh gunung ini. Di situ barangkali dia menyembunyikan diri selama ini."
"Barangkali.
Dia sebetulnya tidak begitu cerdik, tapi tentunya dia cukup cerdik untuk berteduh dalam gua jika hujan."
Otsu jadi
tercenung. "Pak Takuan, kenapa orang kampung begitu benci pada
Takezo?"
"Para
penguasa itu yang membuat mereka membencinya. Otsu, mereka itu orang-orang sederhana. Mereka takut kepada pemerintah;
begitu takutnya, sampai kalau pemerintah yang
menitahkan, akan mereka halau orang-orang sekampungnya, bahkan juga
sanak mereka sendiri."
"Jadi,
menurut Bapak, mereka cuma berkepentingan melindungi diri sendiri."
"Sebetulnya
bukan salah mereka. Mereka itu sama sekali tak berdaya. Kau mesti
memaafkan mereka karena mendahulukan
kepentingan sendiri, karena ini masalah mempertahankan diri. Yang mereka kehendaki sebetulnya cuma sekadar
tidak diganggu."
"Tapi
bagaimana dengan samurai? Kenapa mereka ribut mempersoalkan orang tak
penting macam Takezo?"
"Karena
dia lambang kekacauan, orang di luar hukum. Mereka harus menjaga
ketenangan. Sesudah perang Sekigahara,
Takezo selalu merasa dikejar-kejar musuh. Kesalahan besar pertamanya adalah menerobos rintangan di
perbatasan. Dia mestinya menggunakan otaknya
sedikit, kabur malam hari atau menyamar. Apa saja. Tapi Takezo tidak
begitu! Dia merasa harus masuk dan
membunuh seorang pengawal, dan kemudian membunuhi orang-orang lain lagi. Sesudah itu ya seperti bola salju yang
menggelinding. Dia harus terus membunuh untuk
melindungi hidupnya sendiri. Tapi dialah yang memulai. Seluruh keadaan
yang tak menguntungkan itu akibat satu
hal saja: Takezo sama sekali tak punya akal sehat."
"Apa
Bapak membencinya juga?"
"Aku
jijik! Aku tidak menyukai kebodohannya! Kalau aku penguasa di provinsi ini,
akan kubikin dia menanggung hukuman
paling buruk yang dapat kutemukan. Sesungguhnya, untuk pelajaran bagi orang banyak, akan kusuruh
orang mempreteli anggota badannya. Bagaimanapun,
dia tak lebih dari binatang liar, kan? Penguasa provinsi tidak boleh bermurah hati pada orang-orang macam Takezo,
walaupun dia sendiri bagi sejumlah orang
tak lebih dari seorang bajingan. Tindakannya merugikan hukum dan
ketertiban, dan itu tidak baik, terutama
pada masa-masa yang tak menentu ini."
"Selama
ini saya selalu menganggap Bapak orang baik, tapi di dasar hati ternyata
Bapak sangat keras. Saya tak menyangka
Bapak mengurusi hukumhukum daimyo itu."
"Memang.
Yang baik harus diganjar dan yang jahat harus dihukum, dan aku datang
kemari justru dengan kekuasaan untuk
melaksanakannya."
"Oh,
apa itu?" teriak Otsu sambil meloncat bangun dari tempatnya dekat api.
"Apa Bapak tidak dengar? Kedengaran
bunyi gemeresik, seperti langkah-langkah kaki, di pohon-pohon sana itu?"
"Langkah-langkah
kaki?" Takuan pun bersikap waspada. Tapi sesudah mendengarkan
baik-baik beberapa saat lamanya,
pecahlah tawanya. "Ha, ha! Itu kan cuma beberapa ekor monyet. Lihat!" Dan tampaklah bayangan seekor
monyet besar dan monyet kecil yang berayun-ayun di antara pepohonan.
Otsu
kelihatan lega, dan duduk kembali. "Uh, saya setengah mati
ketakutan!"
Selama
beberapa jam berikutnya, keduanya hanya duduk diam menatap api. Tiap kali
api akan mati, Takuan mematahkan
ranting-ranting kering dan membakarnya.
"Otsu,
apa yang kaupikirkan?"
"Saya?"
"Ya,
kamu. Meski sering melakukannya, tapi sebetulnya aku benci percakapan dengan
diri sendiri."
Mata Otsu
sudah bengkak oleh asap. Sambil menengadah ke langit berbintang, Ia
berkata lirih, "Saya pikir aneh
sekali dunia ini. Semua bintang di kegelapan kosong di sana itu.... Tidak, bukan itu maksud saya. Malam
telah penuh. Merangkum segala-galanya. Kalau
Bapak memandang bintang-bintang itu lama-lama, kelihatan mereka
bergerak. Bergerak pelan, pelan.
Kesimpulannya tak bisa lain bahwa seluruh dunia ini bergerak. Saya merasakannya. Sedangkan diri saya hanya satu
rink kecil di dalam semua itu-satu titik
yang dikendalikan oleh kekuatan mengagumkan yang tak dapat saya lihat.
Bahkan selagi saya duduk di sini sambil
merenung, nasib saya pun berubah sedikit demi sedikit. Pikiran saya terasa berputar-putar dalam
lingkaran."
"Kau
tidak bicara yang sebenarnya!" kata Takuan tajam. "Pikiran-pikiran
itu memang betul masuk kepalamu, tapi
ada pikiran lain yang jauh lebih khusus di otakmu."
Otsu diam.
"Aku
minta maaf telah melanggar rahasia pribadimu, Otsu. Aku telah membaca
surat-surat yang kauterima itu."
"Betul?
Tapi laknya tidak rusak!"
"Aku
membacanya sesudah melihatmu di kamar tenun itu. Ketika kaubilang tidak membutuhkannya, kumasukkan surat itu dalam
lengan bajuku. Kupikir sikapku itu keliru,
tapi kemudian ketika aku ada di kamar kecil, kukeluarkan surat-surat itu
dan kubaca, sekadar membuang
waktu."
"Bapak
jelek! Bagaimana mungkin Bapak melakukan itu! Dan buat membuang waktu
pula!"
"Untuk
alasan apa sajalah. Tapi setidak-tidaknya sekarang aku tahu, apa yang
bikin banjir air mata itu. Apa yang
bikin kau kelihatan setengah mati waktu itu. Dengarkan, Otsu, kupikir kau beruntung. Lama-kelamaan
kupikir lebih baik jalannya peristiwa justru
seperti sekarang. Kaupikir aku jelek? Lihatlah dia!"
"Apa
maksud Bapak?"
"Matahachi
itu, dulu maupun sekarang, tak kenal tanggung jawab. Kalau kau kawin
dengan dia, dan kemudian suatu hari dia
mengejutkanmu dengan surat seperti itu, apa yang akan kaulakukan? Tak usahlah kaukatakan, aku kenal
kau. Kau akan menceburkan diri ke laut
dari karang yang terjal. Aku senang semua itu sudah lewat sebelum sampai
di situ."
"Wanita
tidak berpikir seperti itu."
"Betul
begitu? Bagaimana pikiran mereka?"
"Saya
marah betul. Rasanya ingin menjerit!" Dan dengan marahnya ia pun menarik
lengan kimononya dengan giginya.
"Suatu hari nanti akan saya temukan dia! Saya bersumpah, pasti saya temukan! Saya tak akan berhenti, sebelum
saya mengatakan langsung padanya pendapat
saya tentang dia. Termasuk tentang perempuan Oko itu."
Air mata
Otsu bercucuran karena marahnya. Takuan menatapnya dengan bergumam
samar-samar, "Sudah mulai,
ya?"
Otsu tampak
tercengang. "Apa?"
Takuan
menatap tanah, seperti sedang menyusun pikirannya. Kemudian katanya,
"Otsu, aku betul-betul mengharapkan
bahwa kau, lebih dari orang-orang lain, terhindar dari hal-hal yang jahat dan sikap muka dua di dunia ini.
Kuharap dirimu yang manis dan polos itu
dapat melewati semua tahap kehidupan tanpa cela dan tanpa luka."
Tapi kelihatannya angin nasib sudah
sepenuhnya gila? Kadang-kadang orang yang tidak begitu beres otaknya dianggap jenius oleh orang lain. Takuan
kemungkinan orang semacam itu. Otsu mulai merasa yakin akan hal ini.
Tenang
seperti biasanya, biarawan itu terus memandang kosong ke api. Akhirnya ia bergumam, seakan-akan baru melihatnya,
"Sudah larut sekarang, ya?"
"Tentu
saja! Sebentar lagi fajar," sambar Otsu dengan nada getir yang memang
disengaja. Kenapa ia mempercayai orang
gila yang mau bunuh diri ini?
Tanpa
menghiraukan tajamnya jawaban Otsu, Takuan berkomat-kamit, "Aneh,
ya?"
"Apa
yang dikomat-kamitkan?"
"Aku
baru saja menyadari bahwa Takezo harus segera muncul."
"Ya,
tapi barangkali dia tidak merasa kalian berdua punya janji." Melihat wajah
biarawan yang tegang itu, Otsu pun
melunak. "Apa betul menurut Bapak dia akan muncul?"
"Tentu
saja!"
"Tapi
kenapa dia mau langsung masuk perangkap?"
"Ah,
tidak persis begitu. Soalnya, hanya sifat manusia, itu saja. Manusia hatinya
tidak kuat, mereka itu lemah.
Kesendirian bukan alamnya, terutama kalau kesendirian itu disertai pengepungan tentara clan pengejaran
dengan pedang. Kau bisa saja menganggap itu
wajar, tapi aku akan heran sekali kalau Takezo bisa menolak godaan untuk
mendatangi kita clan menghangatkan diri
dekat api."
"Apa
itu bukan sekadar impian? Dia barangkali sama sekali tidak di dekat-dekat
sini."
Takuan
menggelengkan kepala dan katanya, "Bukan, ini bukan sekadar impian. Ini
malahan bukan teoriku sendiri. Ini milik
seorang ahli strategi." Ia berbicara demikian yakin, hingga Otsu jadi merasa puas bahwa penolakan
Takuan itu demikian pastinya.
"Aku
perkirakan Shimmen Takezo berada dekat sekali di sini, tapi belum lagi
bisa memutuskan, kita ini kawan atau
lawan. Anak malang itu barangkali sedang dilanda keraguan, dan dia sedang bergelut dengannya,
tak dapat maju atau mundur. Dugaanku dia
sedang bersembunyi di dalam bayangan kegelapan sekarang ini, memandang
kita dengan mencuri-curi, dan
bertanya-tanya habis-habisan, apa yang harus dilakukannya. 0, begini. Coba kemarikan suling yang kausimpan dalam
obi-mu itu."
"Suling
bambu saya?"
"Ya,
biar kumainkan sebentar."
"Tidak.
Tak mungkin. Tak pernah saya mengizinkan siapa pun menyentuhnya."
"Kenapa?"
desak Takuan.
"Tak
peduli kenapa!" teriak Otsu sambil menggeleng.
"Apa
ruginya kalau aku memainkannya? Suling bertambah baik kalau imainkan. Aku tak
akan merusaknya."
"Tapi...."
Dan Otsu pun mencengkeramkan tangan kanannya kuat-kuat ke suling dalam obi-nya.
Ia selalu
menyimpan suling itu dekat tubuhnya, dan Takuan tahu betapa berharga
barang itu untuknya. Namun tak pernah
Takuan membayangkan bahwa Otsu akan menolak
meminjamkannya.
"Betul,
aku tak akan merusakkannya, Otsu. Sudah berlusin-lusin suling aku mainkan. Ayolah, aku pegang saja."
"Tidak."
"Apa
pun yang terjadi?"
"Apa
pun yang terjadi."
"Keras
kepala!"
"Biar
saya keras kepala."
Takuan pun
mengalah. "Nah, kalau begitu kamulah yang memainkannya. Mainkanlah
untukku sedikit."
"Itu
pun saya tak mau."
"Kenapa?"
"Karena
saya akan menangis, dan saya tak dapat main suling kalau saya menangis."
"Hmm."
Takuan berpikir. la merasa kasihan akan sifat gigih bercampur keras kepala
yang khas anak yatim. Tapi ia pun sadar
akan kehampaan yang ada dalam hati mereka yang tegar itu. Menurutnya hati itu sudah ditakdirkan
untuk mati-matian merindukan apa yang tidak
bisa diperolehnya, merindukan cinta orangtua yang tidak pernah mereka
kenyam.
Otsu selalu
merindukan orangtua yang tidak pernah dikenalnya dan mereka pun merindukannya, tapi ia tak mengenal cinta
asli orangtua. Suling itulah satu-satunya
barang peninggalan orangtuanya baginya, satu-satunya gambaran yang
pernah ia punyai tentang mereka. Ketika
ia belum lagi cukup umur untuk melihat cahaya matahari, dan ditinggalkan seperti anak kucing telantar di
emperan Kuil Shippoji, suling itu bukan
sekadar gambaran tentang ibu dan ayah yang tak pernah dilihatnya, tetapi
juga . merupakan suara mereka.
"Jadi,
dia menangis kalau memainkannya!" pikir Takuan. "Tidak heran dia
begitu enggan meminjamkannya pada orang
lain, malahan juga memainkannya sendiri." Dan ia pun merasa kasihan pada Otsu.
Pada malam
ketiga ini, untuk pertama kali bulan indah berkilau-kilau di langit, dan sekali-sekali larut di balik awan berkabut.
Angsa liar yang selalu bermigrasi ke Jepang
pada musim gugur dan pulang pada musim semi kini tampak dalam perjalanan
kembali ke utara. Kadang-kadang suara
kuak mereka terdengar di telinga kedua orang itu dari tengah awan-awan.
Bangun dari
lamunannya, Takuan berkata, "Apinya mati, Otsu. Masukkan sedikit kayu lagi.... Nah, ada apa? Ada yang tidak
beres?"
Otsu tidak
menjawab.
"Apa
kau menangis?"
Otsu tetap
diam.
"Maaf
aku telah mengingatkan masa lalu padamu. Bukan maksudku mengganggumu."
"Tidak
apa-apa," bisik Otsu. "Mestinya saya tak boleh begitu keras kepala.
Ambillah suling ini dan
mainkanlah." la pun mengeluarkan suling itu dari obi-nya dan mengulurkannya pada Takuan lewat atas api.
Suling itu terbungkus dalam kain brokat yang
sudah tua dan aus. Kainnya sobek-sobek, talinya rantas, namun masih
tampak keanggunan yang antik.
"Boleh
kulihat?" tanya Takuan.
"Ya,
lihatlah. Saya tidak keberatan lagi."
"Tapi
kenapa tidak kaumainkan sendiri? Lebih baik aku mendengarkan saja. Aku duduk
saja di sini seperti ini." la
memutar ke samping dan memelukkan tangannya ke lutut.
"Baiklah.
Saya tidak begitu pandai," kata Otsu merendah, "tapi akan saya
coba."
la berlutut
dengan sikap formal di atas rumput, menegakkan leher kimononya dan membungkuk ke arah suling yang terletak di
depannya. Takuan tidak bicara apa-apa lagi.
Yang ada hanyalah alam semesta yang besar dan diam terselimut malam.
Tubuh biarawan yang seperti bayangan itu
tampak seperti batu karang yang telah berguling turun dari sisi bukit dan menetap di dataran.
Otsu,
wajahnya yang putih menoleh sedikit ke samping, meletakkan barang pusaka
yang dipujanya itu ke bibir. la
membasahi pipit suling clan membulatkan jiwa untuk bermain. la tampak berbeda dari Otsu yang biasanya.
Otsu yang mewakili kekuatan dan keluhuran
seni. Ia menoleh pada Takuan. Dengan santun sekali lagi ia mengingkari
bahwa ia cakap bermain. Takuan
mengangguk acuh tak acuh.
Suara basah
suling mulai mengalun. Jemari pipih gadis itu menari di atas ketujuh
lubang alat musik tersebut. Buku-buku
jarinya tampak seperti kurcaci yang sedang tenggelam dalam tarian lambat. Terdengar bunyi, rendah,
seperti gemericik kali kecil. Takuan
merasa dirinya berubah menjadi air mengalir yang berkecipak menyusuri
jurang, dan bermain-main di tempat yang
dangkal. Ketika nada-nada tinggi terdengar, ia merasa semangatnya terembus ke langit,
meloncat-loncat bersama awan-awan. Bunyi bumi dan gaung langit bercampur dan berubah menjadi rintihan
sayu angin yang berembus melintas
pepohonan cemara, meratapi ketidakabadian dunia ini.
Ia asyik
mendengarkan dengan mata tertutup. Takuan pun teringat akan legenda
Pangeran Hiromasa yang sedang
bercengkerama pada suatu malam terang bulan di Gerbang Suzaku, Kyoto, sambil memainkan sulingnya, diselarasi
oleh suling lain. Pangeran mencari-cari
pemain suling itu, dan menemukannya di tingkat atas gerbang itu. Mereka
bertukar suling dan bermain musik
bersama sepanjang malam. Baru kemudian pangeran itu mengetahui bahwa teman bermainnya itu setan dalam bentuk
manusia.
--Setan pun
tergerak hatinya oleh musik," pikir Takuan, "apalagi manusia yang
punya lima macam nafsu, betapa dalam dia
akan terpengaruh bunyi suling yang dimainkan gadis cantik ini!" Ia ingin menangis, tapi air
matanva tidak keluar. Wajahnya terbenam lebih dalam lagi di antara lututnya, yang secara tak
sadar dipeluknya lebih erat lagi.
Ketika
cahaya api sedikit demi sedikit surut, pipi Otsu berubah jadi merah tua.
la begitu menyatu dalam musiknya, hingga
sukar membedakannya dari alat musik yang
dimainkannya.
Apakah ia
sedang memanggil ibu dan ayahnya? Apakah bunyi-bunyi yang mendaki langit
itu betul-betul melantunkan, "Di
manakah engkau!" Apakah jeritan ini tidak tercampur rasa benci yang sangat dari seorang perawan yang
ditinggalkan dan dikhianati lelaki tak
setia?
Otsu
agaknya sudah mabuk oleh musik dan tenggelam dalam emosinya. Napasnya
mulai menunjukkan tanda-tanda lelah.
Butir-butir keringat muncul di dahi, di sekitar anak rambutnya. Air mata menuruni wajahnya.
Sekalipun terputus-putus oleh sedu sedan
tertahan, terasa lagu itu bagai berlanjut terus untuk selamanya.
Dan
tiba-tiba terlihat gerakan di rumput. Jaraknya tidak lebih dari lima atau enam
meter dari api. Terdengar seperti
binatang yang sedang melata. Kepala Takuan mendongak. la memandang langsung ke benda hitam itu.
Diam-diam ia mengangkat tangan clan melambaikan
salam.
"Hai,
kamu yang di sana! Tentu dingin rasanya di tengah embun. Datanglah ke dekat
api sini dan hangatkan badanmu. Ke
sinilah, clan mari kita bicara."
Otsu
terkejut dan berhenti bermain. Katanya, "Pak Takuan, apa Bapak bicara
sendiri lagi?"
"Apa
kau tidak lihat?" tanya Takuan sambil menuding. "Takezo ada di sana tadi,
beberapa waktu lamanya. Dia mendengarkan
kau main suling."
Otsu
menoleh, kemudian sambil menjerit ia melemparkan sulingnya ke sosok hitam
itu. Memang itu Takezo. la melompat
seperti kijang yang terperanjat dan lari.
Takuan sama
kagetnya seperti Takezo karena jeritan Otsu. la merasa seakan-akan jaring yang dengan hati-hati direntangkannya telah
sobek clan ikan pun lolos. la melompat dan
memanggil sekuat paru-parunya, "Takezo! Berhenti!"
Di dalam
suara itu terasa ada kekuatan yang perkasa, kekuatan yang memerintah, yang tidak dapat begitu saja diabaikan. Pelarian
itu berhenti seakan terpaku di tanah, dan
menoleh ke belakang, sedikit terpesona. la memandang Takuan dengan mata
curiga.
Biarawan
itu tidak bicara. Disilangkannya tangannya pelan-pelan ke dada. Ditatapnya Takezo semantap tatapan Takezo padanya. Kedua
orang itu tampaknya bahkan menyatu dalam
tarikan napas mereka.
Sedikit
demi sedikit di sudut-sudut mata Takuan muncul kerut-merut yang menandai mulainya senyuman bersahabat. la membuka lipatan
tangannya dan memberikan isyarat kepada
Takezo. Katanya, "Kemarilah!"
Mendengar
kata-kata itu, Takezo mengedip. Wajahnya yang gelap memperlihatkan
ekspresi aneh.
"Kemarilah,"
desak Takuan, "dan kita dapat saling tukar pikiran." Menyusul sunyi
penuh tanda tanya.
"Di
sini banyak makanan. Malahan kami juga punya sake. Kami bukan musuhmu.
Datanglah ke dekat api ini. Mari kita
bicara." Sunyi lagi.
"Takezo,
apa kau tidak membuat kesalahan besar? Ada tempat yang menyediakan api, makanan, dan minuman, bahkan juga simpati
manusia. Tapi kau berkeras menyeret dirimu ke
dalam neraka pribadimu sendiri. Kau mengukuhi pandangan yang cukup
menyesatkan tentang dunia ini. Tapi aku
tak akan berdebat lagi denganmu. Dalam keadaanmu sekarang, memang hampir tidak dapat kau mendengar suara akal
sehat. Sudahlah, datang ke dekat api sini.
Otsu, panaskan kentang rebus yang kaubuat tadi. Aku pun sudah
lapar."
Otsu
meletakkan kuali di atas api, dan Takuan meletakkan guci sake di dekat api
untuk menghangatkannya. Adegan penuh
kedamaian ini menghapuskan rasa takut Takezo, dan ia beringsut mendekat. Ketika hampir berada di
atas mereka, ia berhenti dan tegak diam,
agaknya terhambat oleh semacam rasa malu di dalam dirinya.
Takuan
menggelindingkan sebuah batu karang ke dekat api clan menepuk punggung
Takezo. "Duduklah di sini,"
katanya.
Takezo
mendadak duduk. Otsu tidak dapat memandang langsung kepada teman bekas tunangannya itu. la merasa seolah-olah berada
di dekat binatang liar tak terantai.
Sambil
membuka tutup kuali, Takuan berkata, "Rupanya sudah matang." la
tusukkan ujung sumpitnya ke kentang, ia
keluarkan kentang itu, clan ia masukkan ke dalam mulutnya. la mengunyah lahap, katanya, "Manis sekali
dan empuk. Mau coba sedikit, Takezo?"
Takezo
mengangguk dan untuk pertama kali ia menyeringai, memperlihatkan sederetan
gigi yang sempurna putihnya. Otsu
memasukkan kentang ke dalam mangkuk clan memberikannya kepada Takezo. Takezo sekali-sekali mengembus
makanan yang masih panas itu dan
melahapnya dengan suapan besar-besar. Tangannya gemetar dan giginya
gemerincing mengenai tepi mangkuk.
Karena lapar yang luar biasa, geletar itu tidak terkendalikan lagi. Mengerikan.
"Enak,
ya?" tanya biarawan itu sambil meletakkan sumpitnya. "Bagaimana kalau
mencoba sake?"
"Saya
tak mau sake."
"Tidak
suka?"
"Saya
tak mau sekarang." Sesudah sekian lama berkeliaran di pegunungan, ia takut
sake akan membuatnya sakit.
Segera ia
berkata dengan cukup sopan, "Terima kasih untuk makanan ini. Saya
merasa hangat sekarang." "Apa
sudah cukup?"
"Sudah,
terima kasih." Ketika mengembalikan mangkuk kepada Otsu, ia bertanya,
"Kenapa kau datang kemari? Kemarin
malam kulihat juga apimu."
Pertanyaan
Takezo itu mengejutkan Otsu, clan ia tak siap dengan jawaban, tetapi
Takuan menyelamatkannya dengan langsung
mengatakan, "Terus terang saja, kami datang kemari untuk menangkapmu."
Takezo
tidak memperlihatkan sikap kaget secara khusus, sekalipun agaknya ia
ragu-ragu menerima ucapan Takuan itu
demikian saja. la diam saja dan menundukkan kepala. Kemudian ganti la memandang kedua orang itu.
Takuan
menyadari bahwa waktu untuk bertindak sudah tiba. Sambil berputar langsung menghadap Takezo ia pun berkata,
"Bagaimana pendapatmu? Kalau kau akan ditangkap, apa tidak lebih baik kalau kau diikat dengan
ikatan Hukum Budha? Peraturan daimyo itu hukum
dan Hukum Budha pun hukum, tapi dari antara dua itu, ikatan Budha-lah
yang lebih lembut dan berperi-
kemanusiaan."
"Tidak,
tidak!" kata Takezo, menggeleng-geleng marah.
Takuan
melanjutkan dengan nada lunak. "Dengar dulu sebentar. Aku mengerti bahwa
engkau bertekad untuk bertahan sampai
mati, tapi pada akhirnya apa engkau bisa betul-betul menang?"
"Apa
maksudmu, aku dapat menang itu?"
"Maksudku,
apakah engkau dapat berhasil bertahan terhadap rakyat yang membencimu, terhadap hukum provinsi, dan terhadap musuhmu
terbesar, dirimu sendiri?"
-Aku tahu
aku sudah kalah," rintih Takezo. Wajahnya berubah penuh kesedihan, dan
matanya basah. "Akhirnya aku akan
terbunuh, tapi sebelumnva akan kubunuh dulu perempuan Hon'iden tua itu dan serdadu-serdadu Himeji, juga
semua orang yang kubenci! Akan kubunuh orang
sebanyak vang aku bisa!"
"Dan
apa yang hendak kaulakukan untuk kakak perempuanmu?"
„Ha …”
"Ogin.
Apa yang akan kaulakukan untuknya? Dia dikurung di benteng Hinagura!"
Takezo tak
dapat menjawab, sekalipun sebelumnya ia berketetapan untuk membebaskan kakaknya.
"Apa
engkau tidak mesti mulai memikirkan nasib wanita yang baik itu? Sudah
demikian banyak yang dilakukannya
untukmu. Dan bagaimana dengan kewajibanmu melanjutkan nama ayahmu. Shimmen Munisai? Apa engkau sudah
lupa bahwa nama itu berasal dari keluarga
Hirata, bahkan selanjutnya dari wangsa Akamatsu dari Harima yang
terkenal itu?"
Takezo
menutup mukanya dengan kedua tangannya yang hitam dan kini berkuku panjang
itu. Bahunya yang tajam mencuat ke atas
ketika berguncang bersama gemetarnya tubuhnya yang kurus. la tersedu-sedu sedih. "Aku...
aku... tidak tahu. Apa... apa bedanya sekarang
ini?"
Melihat
itu, Takuan tiba-tiba mengepalkan tinjunya clan menghantam keras-keras rahang Takezo.
"Sinting!"
guntur suara biarawan itu.
Karena
terkejut, Takezo pun terhuyung-huyung oleh pukulan itu, tapi sebelum sempat
pulih dari pukulan itu ia sudah menerima
pukulan lain di sisi lain.
"Orang
bebal tak bertanggung jawab! Orang bodoh tak kenal terima kasih. Karena ayah-ibumu dan nenek moyangmu tak ada di sini
untuk menghukummu, akulah yang
melakukannya atas nama mereka. Terimalah ini!" Biarawan itu pun memukulnya
lagi, kali ini hingga Takezo jatuh ke
tanah. "Sakit?" tanyanya sengit.
"Ya,
sakit," rengek pelarian itu.
"Bagus.
Kalau sakit, artinya kau masih punya sedikit darah manusia dalam nadimu.
Otsu, berikan ke sini tali itu. Nah,
tunggu apa lagi? Bawa ke sini tali itu! Takezo sudah tahu aku akan mengikatnya. Dia sudah siap. Ini
bukan tali kekuasaan, tapi tali cinta. Tidak
ada alasan bagimu untuk takut atau kasihan padanya. Cepat berikan tali
itu!"
Takezo diam
menelungkup di tanah, tidak berusaha bergerak. Takuan pun dengan mudah menduduki punggungnya. Kalau mau melawan,
bisa saja Takezo menendang Takuan ke udara,
seperti bola kertas kecil. Mereka berdua pun tahu itu. Namun Takezo
hanya terbaring pasif, kaki dan
tangannya terulur, seakan-akan akhirnya ia menyerah pada suatu hukum alam yang tak kelihatan.
0 komentar:
Posting Komentar