Penggosok Jiwa
"SELAMAT
malam," seru Musashi.
Dalam rumah Zushino
Kosuke tak ada hal yang menunjukkan bahwa rumah itu rumah usaha. Di depan tak
ada jeruji seperti terdapat di kebanyakan toko, dan tidak ada barang yang
dipajang. Musashi berdiri di gang berlantai tanah yang menuju samping kiri
rumah. Di sebelah kanannya terdapat bagian lantai yang ditinggikan, ditutup
tatami, dan disekat dari kamar di sebelahnya.
Orang yang tidur di
tatami, dengan tangan di atas peti besi, mirip dengan guru Tao yang pernah
dilihat Musashi dalam sebuah lukisan. Wajah kurus panjang itu berwarna
keabu-abuan, seperti warna tanah liat. Pada wajah itu, Musashi tidak melihat
ketajaman otak yang menurutnya biasa dipunyai pandai pedang.
"Selamat
malam," ulang Musashi, sedikit lebih keras.
Akhirnya suaranya
menembus ketumpulan Kosuke, dan tukang itu mengangkat kepalanya pelan sekali,
hingga seolah baru terbangun dari tidur berabad-abad lamanya.
Sambil menghapus
ludah dari dagunya dan duduk tegak, tanyanya lesu. "Bisa saya
tolong?" Kesan Musashi, orang macam itu bisa membuat pedang atau jiwa jadi
lebih tumpul. Namun ia ulurkan juga senjatanya, dan ia jelaskan kenapa ia
datang.
"Coba saya
lihat." Bahu Kosuke menegak tangkas. Ia letakkan tangan kiri ke lutut, dan
ia ulurkan tangan kanan untuk mengambil pedang, dan bersamaan dengan itu
membungkukkan kepala ke arah pedang.
"Makhluk
aneh," pikir Musashi. "Dia hampir tidak mengakui hadirnya seorang
manusia, tapi membungkuk sopan pada pedang."
Sambil menggigit
secarik kertas, Kosuke pelan-pelan menghunus pedang itu dari sarungnya. Ia dirikan
pedang itu tegak lurus di depannya, dan ia periksa dari gagang sampai ujung.
Matanya berkilau-kilau terang, mengingatkan Musashi pada mata kaca dalam patung
Budha dari kayu.
Kosuke memasukkan
kembali senjata itu ke dalam sarungnya dan memandang Musashi dengan nada
bertanya. "Silakan duduk," katanya sambil mundur memberikan tempat,
dan menawarkan bantalan pada Musashi. Musashi melepaskan sandal dan melangkah
masuk kamar.
"Apa pedang ini
sudah beberapa angkatan menjadi milik keluarga Anda?"
"Oh,
tidak," kata Musashi. "Pedang ini bukan karya pandai pedang terkenal
atau yang setarafnya."
"Anda sudah
menggunakannya dalam pertempuran, atau Anda membawanya untuk tujuan
biasa?"
"Saya belum
menggunakannya dalam pertempuran. Tak ada yang khusus dengan pedang ini.
Paling-paling yang dapat kita katakan tentangnya, lebih baik daripada tak ada
sama sekali."
"Hm."
Sambil memandang langsung mata Musashi, Kosuke bertanya, "Lalu mau digosok
bagaimana pedang ini?"
"Mau digosok
bagaimana? Maksud Anda?"
"Anda
menghendaki ditajamkan, supaya dapat memotong dengan baik?"
"Namanya saja
pedang. Makin bagus dapat memotong, makin baik."
"Saya kira
memang begitu," kata Kosuke sependapat, disertai keluhan putus asa.
"Apa ada yang
aneh? Urusan pandai pedang menajamkan pedang supaya dapat memotong dengan baik,
kan?" Sambil bicara, Musashi menatap wajah Kosuke dengan sikap ingin tahu.
Orang yang menyatakan
dirinya penggosok jiwa itu menampik senjata Musashi, dan katanya, "Tak ada
yang bisa saya lakukan untuk Anda. Bawa pedang ini pada orang lain."
Aneh sekali orang
ini, pikir Musashi. Tak bisa ia menyembunyikan kekesalannya, tapi ia tidak
mengatakan apa-apa. Kosuke sendiri hanya mengatupkan bibirnya erat-erat, tak
mau memberikan penjelasan. .
Selagi mereka masih
duduk diam saling pandang, seorang lelaki dari sekitar tempat itu melongokkan
kepala ke pintu. "Kosuke, apa kau punya joran? Ada banjir sekarang, dan
ikan berlompat-lompatan. Kalau kaupinjami aku joran, kita bagi dua nanti
hasilnya."
Kosuke jelas menganggap
orang itu sebagai beban lain lagi yang tak mau ia tanggung. "Pinjam saja
di tempat lain," jawabnya parau. "Aku tak percaya manfaat pembunuhan,
dan aku tak punya alat pembunuh di rumahku."
Orang itu pun lekas
pergi, sementara Kosuke tampak lebih uring-uringan daripada sebelumnya.
Orang lain barangkali
sudah mundur dan pergi, tapi karena rasa ingin tahunya, Musashi tak juga pergi.
Ada yang menarik pada orang ini, bukan akal atau kecerdasannya, tapi kebaikan
alamiahnya yang masih asli, seperti kebaikan guci sake Karatsu atau cambung teh
Nonko. Seperti halnya barang keramik yang biasanya mengandung cacat akibat
kedekatan pada tanah, Kosuke pun memiliki sejenis luka pada pelipisnya yang
setengah botak, yang ditutupnya dengan salep.
Musashi berusaha
menyembunyikan rasa tertariknya yang semakin bertambah, katanya, "Kenapa
Anda tak mau menggosok pedang saya? Apa mutunya begitu jelek, hingga Anda tak
dapat menajamkannya?"
"Tentu saja
bukan. Anda pemiliknya. Anda dan saya tahu, pedang ini pedang Bizen yang
betul-betul bagus. Saya juga tahu, Anda ingin menajamkannya untuk tujuan
memotong orang."
"Tapi apa
salahnya?"
"Itulah yang
dikatakan mereka semua, apa salahnya minta saya menajamkan pedang, supaya dapat
memotong dengan lebih baik? Kalau pedang itu dapat memotong, mereka
bahagia."
"Tapi orang yang
membawa pedangnya untuk digosok, dengan sendirinya ingin... "
"Tunggu
dulu." Kosuke mengangkat tangan. "Butuh waktu untuk menjelaskan ini.
Pertama, saya ingin Anda melihat sekali lagi tanda di depan toko saya."
"Tertulis di
situ 'jiwa digosok', atau paling tidak, begitulah saya kira. Apa ada cara lain
untuk membaca huruf-huruf itu?"
"Tidak. Anda
lihat di situ, tak ada kata yang menyatakan menggosok pedang. Urusan saya menggosok
jiwa-jiwa samurai yang datang ke sini, bukan pedangnya. Orang tak mengerti,
tapi itulah yang diajarkan pada saya, ketika saya belajar menggosok
pedang."
"Oh,
begitu," kata Musashi, meskipun ia belum begitu mengerti.
"Karena saya
mencoba mematuhi ajaran-ajaran guru saya, saya menolak menggosok pedang milik
samurai yang kesenangannya membunuh orang."
"Dalam hal itu,
Anda betul. Tapi apa boleh saya mengetahui, siapa guru Anda itu?"
"Namanya
tertulis di papan itu juga. Saya belajar pada Keluarga Hon'ami, di bawah
pengawasan Hon'ami Koetsu sendiri." Kosuke membidangkan dadanya dengan
bangga ketika mengucapkan nama gurunya itu.
"Menarik.
Kebetulan saya pernah berkenalan dengan guru Anda dan ibunya yang baik sekali,
Myoshu." Selanjutnya Musashi menceritakan bagaimana ia berjumpa dengan
mereka di ladang dekat Rendaiji, dan kemudian tinggal beberapa hari lamanya di
rumah mereka.
Kosuke kaget, dan
memperhatikan Musashi baik-baik sebentar. "Apa kebetulan Anda ini yang
bikin heboh besar di Kyoto beberapa tahun lalu, dengan mengalahkan Perguruan
Yoshioka di Ichijoji? Miyamoto Musashi namanya, saya yakin."
"Itu memang nama
saya." Wajah Musashi memerah sedikit.
Kosuke bergerak
sedikit ke belakang dan membungkuk hormat, katanya, "Maafkan saya.
Mestinya saya tidak menguliahi Anda. Sama sekali saya tak menduga, bahwa saya
sedang berbicara dengan Miyamoto Musashi yang terkenal."
"Tak usah itu
dipikirkan lagi. Kata-kata Anda itu mengandung pelajaran. Watak Koetsu tampak
dalam pelajaran-pelajaran yang diajarkannya pada murid-muridnya."
"Saya yakin Anda
tahu Keluarga Hon'ami mengabdi kepada para shogun Ashikaga. Dari waktu ke
waktu, mereka juga dipanggil untuk menggosok pedang-pedang kaisar. Koetsu
selalu mengatakan bahwa pedang Jepang diciptakan bukan untuk membunuh atau
melukai orang, tapi untuk mempertahankan kekuasaan kaisar dan melindungi
bangsa, untuk menundukkan setan-setan dan mengusir kejahatan. Pedang adalah
jiwa samurai. Samurai membawa pedang bukan untuk tujuan lain selain
mempertahankan martabatnya sendiri. Pedang adalah peringatan yang selalu hadir
bagi penguasa untuk berusaha mengikuti Jalan Hidup. Sudah sewajarnya kalau
tukang yang menggosok pedang harus juga menggosok semangat pemain pedang."
"Benar
sekali," kata Musashi mengiakan.
"Koetsu
mengatakan bahwa melihat pedang yang baik, berarti melihat sinar suci, melihat
semangat perdamaian dan ketenangan bangsa int. Dia benci menyentuh pedang yang
jelek. Berdekatan saja bisa membuatnya muak."
"Begitu. Maksud
Anda, apakah terasa sesuatu yang jahat dalam pedang saya?"
"Tidak, sama
sekali tidak. Saya cuma sedikit kesal. Semenjak datang di Edo, saya sudah
menggarap sejumlah senjata, tapi tak ada seorang pun di antara pemiliknya yang
punya bayangan tentang makna sejati pedang. Saya kadang-kadang merasa jiwa
mereka itu perlu digosok. Yang mereka pikirkan cuma bagaimana menyobek-nyobek
orang atau membelah kepalanya, topi baja, dan segalanya itu. Mengesalkan
sekali. Itu sebabnya saya memasang papan baru beberapa hari yang lalu. Tapi
rupanya tak banyak juga hasilnya."
"Dan saya pun
datang untuk meminta hal yang sama, ya? Saya mengerti perasaan Anda."
"Yah, itu sudah
suatu permulaan. Persoalan dengan Anda mungkin akan sedikit berbeda. Tapi terus
terang, ketika melihat pedang Anda, saya sungguh terguncang. Semua torehan dan
noda itu diakibatkan oleh daging manusia. Tadinya saya pikir Anda cuma ronin
tak berarti juga, yang bangga karena telah melakukan sejumlah pembunuhan tak
berujung-pangkal."
Musashi menundukkan
kepala. Kata-kata itu suara Koetsu, yang keluar dari mulut Kosuke. "Saya
ucapkan terima kasih atas pelajaran ini," katanya. "Saya sudah
membawa pedang sejak masih kanak-kanak, tapi belum pernah saya benar-benar
memikirkan semangat yang bersemayam di dalamnya. Di masa depan, saya akan
memperhatikan apa yang Anda katakan ini."
Kosuke tampak puas
sekali. "Kalau demikian, akan saya gosokkan pedang Anda. Atau barangkali
mesti saya katakan sebagai orang di bidang ini, saya merasa mendapat hak
istimewa dapat menggosok jiwa seorang samurai seperti Anda."
Senja menghilang, dan
lampu-lampu telah dinyalakan. Musashi memutuskan sudah waktunya pergi.
"Tunggu,"
kata Kosuke. "Apa Anda punya pedang lain, sementara saya menggarap yang
ini?"
"Tidak. Saya
cuma punya satu pedang panjang itu."
"Kalau demikian,
bagaimana kalau Anda mengambil gantinya? Saya takut tak ada yang baik sekali di
antara pedang yang saya miliki, tapi silakan melihat."
Ia mengantar Musashi
masuk kamar belakang, dan di situ ia keluarkan beberapa bilah pedang dari dalam
lemari, dan ia jajarkan di atas tatami. "Anda boleh ambil mana saja di
antara semua pedang ini," katanya menawarkan.
Walaupun dengan
rendah hati pandai pedang itu telah mengingkari, tapi sesungguhnya semua
senjata itu memiliki mutu sangat bagus. Musashi mengalami kesulitan dalam
memilih kumpulan pedang yang memesona itu, tapi akhirnya la pilih satu, dan ia
pun segera jatuh cinta kepadanya. Dengan menggenggamnya saja, ia sudah dapat
merasakan pengabdian pembuatnya. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarungnya,
terasa bahwa kesannya itu benar. Pedang itu sungguh hasil karya pertukangan
yang indah, yang barangkali berasal dari zaman Yoshino di abad empat belas.
Karena sangsi kalau-kalau pedang itu terlalu anggun baginya, dibawanya pedang
itu ke dekat cahaya dan diperiksanya, dan ia merasa tangannya enggan
melepaskannya lagi.
"Boleh saya
ambil ini?" tanyanya. Tak dapat ia memaksa dirinya menggunakan kata
"pinjam".
"Anda sungguh
bermata ahli," ujar Kosuke, sementara ia menyingkirkan pedang-pedang lain.
Hanya sekali itu
dalam hidupnya, Musashi tenggelam dalam ketamakan. Ia tahu, akan sia-sia ia
menyebutkan ingin membeli pedang itu. Harganya pasti tidak terjangkau olehnya.
Tapi ia tak dapat lagi menahan dirt.
"Saya kira Anda
takkan mau mempertimbangkan menjual pedang ini pada saya, kan?" tanyanya.
"Kenapa
tidak?"
"Berapa yang
Anda minta?"
"Anda boleh
ambil dengan harga pembeliannya."
"Berapa harga
belinya?"
"Dua puluh
keping emas."
Suatu jumlah yang
hampir tak terbayangkan oleh Musashi. "Lebih baik saya kembalikan pedang
ini," katanya ragu-ragu.
"Kenapa?"
tanya Kosuke dengan pandangan heran. "Saya pinjamkan ini pada Anda,
terserah Anda sampai kapan. Ambillah."
"Tidak, itu akan
bikin saya merasa lebih tidak keruan lagi. Sekarang saja saya sudah begitu
menginginkannya. Kalau saya memakainya hanya sementara waktu, nanti berpisah
dengannya akan merupakan siksaan buat saya."
"Apa Anda
betul-betul menyukainya?" Kosuke memandang pedang itu, kemudian kepada
Musashi. "Baiklah, saya berikan pedang itu pada Anda, seperti semacam
jodoh saja. Tapi saya mengharapkan hadiah yang pantas sebagai ganti."
Musashi jadi bingung,
ia sama sekali tak punya apa-apa untuk ditawarkan.
"Saya mendengar
dari Koetsu bahwa Anda suka mengukir patung. Saya merasa mendapat kehormatan,
kalau Anda dapat membuatkan saya patung Kannon. Cukuplah itu untuk pembayar
pedang."
Patung Kannon
terakhir yang diukir Musashi adalah yang ditinggalkannya di Hotengahara.
"Saya tak menyimpan apa-apa sekarang," katanya. "Tapi dalam
beberapa hari, saya dapat mengukirnya untuk Anda. Jadi, saya boleh ambil pedang
ini?"
"Tentu. Saya
bukannya mengharapkan pembayaran sekarang juga. Dan omong-omong, daripada
menginap di penginapan itu, apa tidak lebih baik kalau Anda tinggal dengan
kami? Di sini ada satu kamar yang tidak kami gunakan."
"Oh, itu baik
sekali," kata Musashi. "Kalau saya pindah besok, saya dapat langsung
mulai membuat patung itu."
"Silakan melihat
kamar itu sekarang," desak Kosuke yang juga senang dan bersemangat.
Musashi mengikutinya
menyusuri gang luar. Di ujung gang itu terdapat tangga yang terdiri atas
setengah lusin anak tangga. Terselip di antara lantai pertama dan kedua, tapi
tidak termasuk yang pertama atau kedua, terdapat sebuah kamar berukuran delapan
tikar. Lewat jendela, Musashi dapat melihat daun-daun pohon aprikot yang sarat
oleh embun.
Kosuke menunjuk atap
yang tertutup kulit-kulit tiram, katanya, "Di sana itu bengkel saya."
Seakan diundang oleh
isyarat rahasia, istri pandai pedang datang membawa sake dan makanan kecil.
Sesudah kedua orang itu duduk, perbedaan antara tuan rumah dan tamu seakan-akan
menguap. Mereka bersantai dengan kaki diselonjorkan, dan saling membuka hati,
lupa akan kendali yang biasanya dipaksakan oleh sopan santun. Pembicaraan
dengan sendirinya tertuju pada pokok soal yang menjadi kegemaran mereka.
"Setiap orang
bermulut manis tentang pedang," kata Kosuke. "Siapa saja bicara bahwa
pedang adalah jiwa samurai. Mereka mengatakan bahwa pedang adalah satu dari
tiga kekayaan suci negeri ini. Tetapi cara orang-orang itu memperlakukan pedang
sungguh memalukan. Yang saya maksud adalah para samurai dan pendeta, begitu
juga orang kota. Berturut-turut saya sudah mengunjungi tempat-tempat suci dan
rumah-rumah tua, di mana pernah disimpan koleksi pedang-pedang indah. Bisa saya
sampaikan pada Anda, bahwa situasinya sungguh mengejutkan."
Pipi Kosuke yang
pucat itu kini kemerahan. Matanya menyala karena gairah, dan air ludah yang
berkumpul di sudut-sudut mulutnya kadang-kadang menyemprot langsung ke wajah
teman bicaranya.
"Hampir tak ada
pedang terkenal dari masa lalu yang dipelihara dengan baik. Di Tempat Suci
Suwa, Provinsi Shinano, ada lebih dari tiga ratus pedang. Pedang-pedang itu
dapat digolongkan pusaka, tapi hanya lima pedang yang saya temukan tidak
berkarat. Tempat Suci Omishima terkenal karena koleksi tiga ribu pedang yang
berasal dari beberapa ratus tahun silam. Tapi, sesudah tinggal di sana sebulan,
saya temukan hanya sepuluh yang dalam keadaan baik. Sungguh memuakkan!"
Kosuke menarik napas, melanjutkan, "Soalnya, makin tua dan terkenal pedang
itu, makin cenderung pemiliknya berusaha menyimpannya di tempat aman. Tapi
akibatnya tak seorang pun dapat menjangkaunya untuk mengurusinya, dan pedang
pun makin lama makin berkarat.
"Para pemilik
pedang itu seperti orangtua yang melindungi anak-anaknya dengan penuh perasaan
cemburu, hingga anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang tolol. Kalau anak,
akan terus ada yang dilahirkan, jadi tak apaapa kalau ada sedikit yang bodoh.
Tapi pedang..."
Ia berhenti untuk
menelan ludah, kemudian mengangkat bahunya yang tipis lebih tinggi lagi, dan
ujarnya dengan mata berkilau-kilau, "Kita sudah memiliki pedang-pedang
terbaik yang pernah ada. Selama berlangsungnya perang saudara, pandai-pandai
pedang sudah bertindak sembrono, bahkan ceroboh! Mereka lupa akan teknik, dan
sejak itu pedang-pedang mengalami kemerosotan.
"Satu-satunya
yang mesti kita lakukan adalah menjaga dengan lebih baik pedang-pedang masa
lalu. Tukang-tukang sekarang boleh saja mencoba meniru pedang lama, tapi mereka
takkan dapat menghasilkan pedang yang sama baiknya. Apa ini tidak bikin Anda
marah?"
Sekonyong-konyong ia
berdiri, dan katanya, "Coba saja lihat ini." Ia mengeluarkan pedang
yang panjang luar biasa, dan ia letakkan untuk diperiksa tamunya. "Ini
senjata yang indah sekali, tapi penuh dengan karat yang paling buruk
jenisnya."
Jantung Musashi
serasa melompat. Pedang itu, tak sangsi lagi, adalah Galah Pengering milik
Sasaki Kojiro. Maka banjir kenangan pun melandanya.
Sambil mengendalikan
emosinya, katanya tenang, "Betul-betul panjang, ya? Tentunya samurai hebat
saja yang dapat menggunakannya."
"Saya pikir juga
begitu," kata Kosuke menyetujui. "Tak banyak pedang macam ini."
Ia ketuarkan pedang itu dari sarungnya, ia ulurkan bagian belakangnya kepada
Musashi, dan ia serahkan pada gagangnya. "Coba lihat," katanya.
"Pedang ini hebat sekali karatnya, di sini, dan di sini. Tapi dia tetap
menggunakannya."
"Begitu."
"Pedang ini
hasil kecakapan yang jarang ada. Barangkali ditempa di zaman Kamakura. Butuh
kerja keras, tapi barangkali saya bisa merapikannya. Pada pedang-pedang kuno
ini, karat hanya merupakan lapisan yang relatif tipis. Kalau pedang ini masih
baru, takkan sanggup saya membersihkan kotorannya. Pada pedang-pedang baru,
noda karat itu seperti luka jahat. Dia langsung memakan hati logam."
Musashi membalikkan
kedudukan pedang itu, hingga bagian belakangnya mengarah pada Kosuke, dan
berkata, "Boleh saya bertanya, apa pemilik pedang ini membawanya sendiri
kemari?"
"Tidak. Saya
kebetulan ada urusan di rumah Yang Dipertuan Hosokawa, dan salah seorang
abdinya yang sudah tua, Iwama Kakubei, minta saya singgah di rumahnya dalam
perjalanan pulang. Saya singgah, dan dia memberikan pedang ini untuk digarap.
Katanya pedang ini milik tamunya."
"Kelengkapannya
baik juga," ujar Musashi, sementara matanya masih tertuju pada senjata
itu.
"Ini pedang
tempur. Orang itu sampai sekarang biasa menaruhnya di punggung, tapi dia ingin
menaruh di pinggang, karena itu saya diminta mencocokkan sarungnya. Orang itu
tentunya besar sekali badannya. Kalau tidak, barangkali tangannya terlatih
sekali."
Kosuke sudah mulai
terpengaruh sake. Lidahnya mulai terasa sedikit tebal. Musashi memutuskan sudah
tiba waktunya untuk pergi, dan ia pun pergi, tanpa banyak upacara lagi.
Hari ternyata lebih
larut dari yang ia duga. Di sekitar tempat itu tak ada lampu. Begitu sampai di
penginapan, ia meraba-raba dalam gelap, mencari tangga, dan naik ke tingkat
dua. Dua kasur sudah dihamparkan, tapi keduanya kosong. Tidak hadirnya Iori
membuatnya merasa tak enak, karena ia menduga anak itu tersesat di jalan-jalan
kota besar yang tak dikenalnya ini.
Ia kembali turun dan
membangunkan penjaga malam. "Dia belum pulang?" tanya orang itu, yang
rupanya lebih heran daripada Musashi. "Saya pikir dia bersama Bapak
tadi."
Karena tahu ia cuma
akan menatap langit-langit sebelum Iori kembali, Musashi keluar menuju malam
yang hitam kelam, dan berdiri melipat tangan di bawah tepian atap.
0 komentar:
Posting Komentar