Cabang-Cabang yang
Berjalin
"OTSU, aku
kembali," seru Jotaro ketika berlari melintasi gerbang depan yang kasar
itu.
Otsu sedang duduk di
beranda, bertelekan meja tulis rendah sambil memandang langit. Begitulah ia
semenjak pagi. Pada dinding muka, di bawah kedua tepian atap yang bertemu di
bumbungan, tergantung piagam kayu dengan tulisan putih: "Pertapaan Gunung
Bulan". Pondok kecil milik seorang pejabat kependetaan di Ginkakuji itu
telah dipinjamkan kepada Otsu atas permintaan Yang Dipertuan Karasumaru.
Jotaro menjatuhkan
diri di rumpun bunga violet yang sedang berkembang, dan berkecipak dengan
kakinya di sungai, untuk membasuh lumpur yang melekat. Air yang mengalir
langsung dari kebun Ginkakuji itu lebih murni daripada salju yang masih baru.
"Air ini membeku," ujarnya sambil mengerutkan kening, tetapi tanahnya
hangat, dan ia senang hidup di tempat yang indah ini. Burung-burung
layang-layang bernyanyi, seakan-akan mereka pun senang dengan hari itu.
Jotaro bangkit,
menggesek-gesekkan kakinya ke rumput, dan pergi ke beranda. "Kakak belum
bosan?" tanyanya.
"Belum. Banyak
yang mesti kupikirkan."
"Apa Kakak tak
mau mendengar berita baik?"
"Berita
apa?"
"Tentang
Musashi. Saya dengar, dia tak jauh dari sini."
"Di mana?"
"Saya sudah
keliling berhari-hari, menanyakan barangkali ada yang tahu di mana dia, dan
hari ini saya dengar dia tinggal di Kuil Mudoji, di Gunung Hiei."
"Kalau begitu,
dia sehat-sehat saja."
"Mungkin, tapi
saya pikir kita mesti pergi ke sana sekarang juga, sebelum dia pergi ke tempat
lain. Saya lapar. Bagaimana kalau Kakak menviapkan diri sementara saya
makan?"
"Ada beberapa
bakpao terbungkus daun dalam kotak lapis tiga di sana. Ambil sendiri."
Ketika Jotaro selesai
makan, ternyata Otsu tidak juga beranjak dari meja. "Ada apa?" tanya
Jotaro, menatapnya curiga.
"Kita tak usah
pergi."
"Bodohnya...
baru semenit Kakak setengah mati mau lihat Musashi, lalu pura-pura tak
ingin."
"Kau tak
mengerti. Dia tahu bagaimana perasaanku. Malam ketika kita bertemu di gunung
itu, sudah kuceritakan semua yang mesti kusampaikan. Kami berdua mengira kami
takkan saling bertemu lagi dalam hidup ini."
"Tapi Kakak bisa
bertemu dia lagi sekarang, jadi apa yang Kakak nantikan?"
"Tak tahu aku,
apa yang dia pikirkan sekarang. Dia puas dengan kemenangannya atau sekadar
menghindar dari bahaya. Ketika meninggalkanku, aku sudah pasrah takkan bertemu
dia lagi dalam hidup ini. Kupikir aku takkan pergi sekarang, kecuali kalau dia
memintaku."
"Dan bagaimana
kalau dia tidak minta, bertahun-tahun lamanya?"
"Akan kulakukan
seperti yang kulakukan sekarang ini."
"Duduk memandang
langit?"
"Kau tak
mengerti. Tapi tak apalah."
"Apa yang tidak
saya mengerti?"
"Perasaan
Musashi. Aku betul-betul merasa dapat mempercayainya sekarang. Dulu aku cinta
padanya dengan segenap hatiku, tapi waktu itu aku tidak sepenuhnya percaya dia.
Sekarang aku percaya. Semuanya sudah lain. Kami berdua lebih dekat daripada
cabang-cabang pohon. Biarpun misalnya kami terpisah, biarpun misalnya kami
mati, kami masih akan bersamasama. Karena itu, tak ada yang dapat membuatku
kesepian lagi. Sekarang aku cuma berdoa semoga dia menemukan jalan yang
dicarinya."
Jotaro meledak.
"Kakak bohong!" teriaknya. "Apa perempuan memang tak bisa
mengatakan yang sebenarnya? Kalau Kakak mau bersikap begitu, baiklah. tapi
jangan sekali-kali Kakak mengatakan pada saya lagi ingin melihac Musashi. Biar
Kakak menangis sampai habis air mata, saya takkan peduli!"
Sudah susah payah ia
berusaha mencari Musashi sejak pergi dari Ichijoji... tapi sekarang! Seharian
ia tak menghiraukan Otsu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tepat sesudah senja,
cahaya obor kemerahan melintas halaman, dan salah seorang samurai Yang
Dipertuan Karasumaru mengetuk pintu. Ia menyampaikan surat kepada Jotaro,
katanya, "Dari Musashi untuk Otsu. Yang Dipertuan menyatakan Otsu mesti
menjaga dirinya baik-baik." Ia pun pergi.
"Ini memang
tulisan Musashi," pikir Jotaro. "Jadi, dia masih hidup."
Kemudian dengan nada marah, "Dialamatkan pada Otsu, bukan padaku.
Begitu!"
Otsu muncul dari
belakang pondok, katanya, "Samurai itu bawa surat dari Musashi, kan?"
"Ya, tapi kukira
Kakak tak berminat," Jotaro mencibir sambil menvembunyikan surat itu ke
belakangnya.
"Jangan begitu,
Jotaro, mari kulihat!" Otsu memohon.
Jotaro bertahan
sebentar, tapi begitu melihat tanda-tanda air mata, disorongkannya amplop itu
pada Otsu. "Ha!" serunya senang. "Tadi Kakak pura-pura tak ingin
melihat dia, tapi tak sabar ingin membaca suratnya!"
Otsu menunduk di
dekat lampu, dan kertas itu menggeletar di antara jari-jarinya yang putih.
Nyala lampu seolah memperlihatkan kegembiraan khusus, hampir-hampir merupakan
isyarat bahagia dan nasib baik.
Tinta itu
berkilau-kilau seperti pelangi, sedangkan air mata di bulu matanya seperti
permata. Otsu tiba-tiba terbawa ke suatu dunia yang tak berani ia khayalkan,
dan ia teringat akan bagian sajak Po Chu-I yang mengungkapkan kegembiraan luar
biasa. Dalam bagian itu, arwah Yang Kuei-fei yang telah pergi, bergembira atas
berita cinta dari kaisarnya yang hilang.
Ia membaca pesan
singkat itu, kemudian membacanya sekali lagi. "Dia mestinya menanti
sekarang ini juga. Aku mesti buru-buru." Ia mengira telah mengucapkan
kata-kata itu keras-keras, padahal ia tidak memperdengarkan satu suara pun.
Dan segera ia
bertindak, menulis surat-surat ucapan terima kasih kepada pemilik pondok,
kepada para pendeta lain di Ginkakuji, dan kepada semua orang yang telah
bersikap baik kepadanya selama ia tinggal di situ. Selesai mengumpulkan
barang-barang miliknya, mengikatkan sandalnya, dan pergi ke halaman, ia melihat
Jotaro masih duduk di dalam, mengumbar kejengkelan.
"Ayo, Jo!
Cepat!"
"Mau
pergi?"
"Kau masih
marah, ya?"
"Siapa takkan
marah? Kakak ini tak pernah memikirkan orang lain, kecuali diri sendiri! Apa
memang ada yang demikian rahasia dalam surat Musashi itu, sampai Kakak tidak
menunjukkan pada saya?"
"Maafkan,"
kata Otsu. "Tak ada rahasia. Kau boleh melihatnya."
"Lupakan saja.
Saya tak berminat sekarang."
"Jangan begitu.
Aku ingin kau membacanya. Surat yang bagus sekali! Surat pertama yang
ditulisnya padaku. Dan ini pertama kali dia minta aku bergabung dengannya.
Belum pernah aku sebahagia ini dalam hidupku. Jangan terus cemberut begitu, ayo
pergi ke Seta. Ayolah."
Di jalan melintasi
Celah Shiga, Jotaro terus juga diam, marah, tapi akhirnya ia memetik selembar
daun untuk menyiulkan dan mendendangkan beberapa lagu populer untuk memecahkan
keheningan malam itu.
Akhirnya Otsu
terpaksa menawarkan berdamai, katanya, "Masih ada beberapa gula-gula di
kotak kiriman Yang Dipertuan Karasumaru kemarin itu."
Tetapi fajar sudah
menyingsing, dan awan di sebelah sana menjadi merah muda. Jotaro menjadi biasa
kembali.
"Kakak sehat-sehat
saja? Kakak tidak capek?"
"Sedikit. Jalan
ini mendaki terus."
"Sekarang lebih
ringan. Lihat, sudah kelihatan danau."
"Ya, Danau Biwa.
Di mana Seta?"
"Di sana,
Musashi takkan ada di sana sepagi ini, kan?"
"Tak tahulah.
Kita butuh setengah hari untuk sampai di sana. Bagaimana kalau kita
istirahat?"
"Baik,"
jawab Jotaro, sifat periangnya sudah kembali. "Mari kita duduk di bawah
dua pohon besar di sana itu."
Asap yang berasal dari
api tungku di pagi buta naik di sana-sini, sepeni uap yang naik dari medan
pertempuran. Lewat kabut yang menyebar dari danau ke kota Ishiyama, jalan-jalan
kota Otsu mulai dapat dilihat. Ketika mendekati kota itu, Musashi memayungkan
tangan ke keningnya dan menoleh ke sekitar. Ia merasa senang kembali ke
tengah-tengah orang banyak.
Di dekat Miidera,
ketika mulai mendaki lereng Bizoji, ia bertanya-tanya iseng, jalan mana kiranya
yang ditempuh Otsu. Semula ia membayangkan akan dapat bertemu dengan gadis itu
di jalan, tapi kemudian ia simpulkan hal itu tidak mungkin. Perempuan yang
membawa suratnya ke Kyoto itu memberitahukan bahwa Otsu tidak lagi tinggal di
kediaman Karasumaru. tetapi surat akan disampaikan kepadanya. Karena surat
diterima Otsu pada larut malam, dan Otsu akan mengerjakan berbagai hal dahulu
sebelum pergi, maka mungkin Otsu terpaksa menanti datangnya pagi untuk
berangkat.
Musashi melewati
sebuah kuil dengan sederetan pohon sakura tua, dan di atas sebuah gundukan ia
perhatikan ada sebuah monumen batu. Menurut penilaiannya, pohon sakura itu
pasti terkenal karena kembang musim seminya. Hanya sepintas ia melihat sajak
yang terukir di atas monumen itu, tapi sajak itu teringat lagi olehnya sesudah
ia menempuh jalan beberapa ratus meter. Sajak itu dari Taiheiki. Menurut
ingatannya, sajak itu berkaitan dengan sebuah dongeng yang pernah dihafalnya.
Ia membacakannya pelan-pelan pada dirinya sendiri.
"Seorang pendeta
mulia dari Kuil Shiga-yang mengenakan tongkat dua meter panjangnya dan sudah
demikian tua, hingga alis putihnya tumbuh menjadi satu di puncak keningnya yang
dingin-sedang merenungkan kecantikan Kannon di perairan danau, ketika kebetulan
terlihat olehnva seorang gundik kaisar dari Kyogoku. Gundik itu dalam
perjalanan kembaii dari Shiga, di mana terdapat kebun besar bunga-bungaan.
Melihat dia, pendeta pun bangkit nafsunya. Kebajikan yang bertahun-tahun
ditimbun dengan penuh kesulitan kini lenyap. Ia ditelan keinginan menyala-nyala
dan...Ah, bagaimana terusnya, ya? Rupanya sudah ada yang lupa. Ah!... dan ia
kembali ke gubuknya yang terbuat dari rerantingan dan berdoa di hadapan patung
sang Budha, namun perempuan itu terus terbayang. Ia menyebut nama sang Budha,
namun suara itu terdengar seperti napas khayal. Di atas awan pegunungan, di
waktu senja, dapat terlihat sisir di rambut perempuan itu. Ini membuatnya
sedih. Ketika ia mengangkat mata, menatap bulan yang sendiri, wajah bulan
tersenyum balik kepadanya. Ia menjadi bingung dan malu.
Karena takut
pikiran-pikiran seperti itu tak memungkinkannya pergi ke surga apabila mati
nanti, maka ia memutuskan menjumpai perempuan itu dan mengungkapkan seluruh
perasaannya kepadanya. Dengan berbuat demikian, ia berharap bisa mati dalam
damai.
Maka pergilah ia ke
istana kaisar, dan sambil menghunjamkan tongkatnya mantap-mantap ke tanah, ia
menanti di lapangan bola istana sehari semalam..."
"Maaf, Anda yang
naik lembu!"
Orang itu rupanya
pekerja harian, seperti biasa ditemukan di daerah perdagangan. Ia mendekat ke
depan lembu itu, menepuk-nepuk hidungnya, kemudian memandang pengendaranya
lewat kepala lembu.
"Anda tentunya
datang dari Mudoji," katanya.
"Betul.
Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Saya sudah
meminjamkan lembu ini pada seorang saudagar. Saya kira nantinya dia
meninggalkan lembu ini di sana. Saya memang menyewakannya, tapi saya minta Anda
membayar saya, karena sudah menggunakannya."
"Dengan senang
hati saya membayar. Tapi saya ingin tahu, sampai berapa jauh saya boleh naik
lembu ini?"
"Asalkan
membayar, Anda dapat membawanya ke mana saja. Yang mesti Anda lakukan cuma
mengembalikannya kepada pedagang di kota terdekat dengan tempat tujuan Anda.
Dari situ nanti ada orang lain yang akan menyewanya. Cepat atau lambat, lembu
akan kembali lagi kemari."
"Berapa sewanya
kalau saya bawa ke Edo?"
"Sava mesti
menanyakannya dulu ke kandang. Kandangnya ada di jalan yang akan Anda lewati.
Kalau Anda memutuskan menyewanya, Anda cuma mesti meninggalkan nama di
kantor."
Daerah perdagangan
itu terletak dekat tempat penyeberangan di Qahama. Karena banyak musafir
melewati tempat itu, menurut Musashi itulah tempat yang tepat untuk merapikan
diri dan membeli barang yang diperlukannya.
Setelah selesai
urusan lembu, ia makan pagi tanpa terburu-buru, lalu berangkat ke Seta. Ia
senang sekali karena sebentar lagi akan bertemu kembali dengan Otsu.Tak ada
lagi perasaan kuatir tentang Otsu. Sebelum mereka bertemu di gunung itu, Otsu
selalu mendatangkan perasaan takut kepadanya, tapi sekarang lain: kesucian,
kecerdasan, dan kesetiaan Otsu pada malam terang bulan membuat kepercayaannya
kepada gadis itu lebih dalam dari sebelumnya. Tidak hanya ia yang percaya pada
Otsu. Ia tahu Otsu juga percaya kepadanya. Ia bersumpah, begitu mereka bersama
kembali, ia takkan menolak apa pun permintaan Otsu-asalkan tentu saja hal itu
tidak membahayakan cara hidupnya sebagai pemain pedang. Yang menguatirkan
sebelum itu adalah bahwa jika ia membiarkan dirinya mencintai gadis itu,
pedangnya akan tumpul. Seperti pendeta tua dalam cerita itu, ia bisa kehilangan
jalannya. Sekarang jelas baginya bahwa Otsu sangat berdisiplin. Gadis itu
takkan pernah menjadi penghalang atau belenggu yang menghambat. Satusatunya
masalah baginya sekarang adalah memperoleh kepastian agar dirinya tidak
terbenam dalam kolam cinta yang dalam itu.
"Kalau nanti
kami sampai di Edo," pikirnya, "akan kuusahakan agar dia mendapat
latihan dan pendidikan yang diperlukan seorang perempuan. Sementara dia
belajar, aku akan mengajak Jotaro, dan bersama-sama kami akan berusaha mencapai
taraf disiplin yang lebih tinggi lagi. Dan nanti. kalau tiba waktunya..."
Cahaya yang dipantulkan dari danau itu membasuh wajahnya dengan sinar semarak
yang berkelip-kelip lembut.
Kedua bagian Jembatan
Kara itu, yaitu rentangan bertiang sembilan puluh enam dan rentangan bertiang
dua puluh tiga, dihubungkan oleh sebuah pulau kecil. Di pulau itu tumbuh pohon
liu kuno yang menjadi tanda bagi para musafir. Jembatan itu sendiri sering
disebut Jembatan Liu.
"Itu dia
datang!" teriak Jotaro sambil berlari keluar dari warung ke bagian
jembatan yang lebih pendek. Di situ dilambainya Musashi dengan satu tangan, dan
dengan tangan satunya lagi ia menuding warung teh. "Itu dia di sana, Otsu!
Lihat? Naik lembu!" Dan mulailah ia menari-nari kecil. Segera kemudian Otsu
berdiri di samping Jotaro, melambaikan tangannya. sedangkan Musashi melambaikan
topi anyamannya. Seringai lebar Musashi menyinari wajahnya, sementara ia
mendekat.
Ia ikatkan lembu pada
sebatang pohon liu, lalu ketiganya masuk ke warung teh. Ketika Musashi masih di
ujung jembatan tadi, Otsu sudah memanggil-manggilnya dengan keras, tapi ketika
Musashi ada di sampingnya ia tak dapat mengucapkan apa pun. Wajahnya
berseri-seri bahagia, tapi percakapan diserahkannya pada Jotaro.
"Luka Kakak
sudah sembuh," kata anak itu, yang kedengarannya hampir-hampir terlalu
gembira. "Waktu saya lihat Kakak naik lembu, saya pikir barangkali Kakak
tak bisa jalan. Tapi kami masih bisa datang kemari lebih dulu, kan? Begitu Otsu
menerima surat Kakak, dia langsung siap berangkat."
Musashi tersenyum
mengangguk, dan membisikkan kata-kata "oh" dan "ah", tapi
pembicaraan Jotaro tentang Otsu di depan orang-orang lain itu membuatnya tak
enak. Atas desakannya, mereka pindah ke serambi kecil di belakang, yang
dilindungi terali tanaman wisteria. Otsu tetap malu-malu untuk berbicara, dan
Musashi jadi pendiam. Tapi Jotaro tidak memperhatikan hal itu. Ocehannya
bercampur dengan dengung lebah dan desir lalat ternak
Suara pemilik warung
menyelanya, katanya, "Anda sekalian lebih baik masuk. Sebentar lagi badai.
Coba lihat, langit semakin gelap di atas Ishiyamadera." Ia sibuk
menyingkirkan kerai jerami dan memasang tirai hujan di semua sisi serambi.
Sungai menjadi kelabu, embusan angin keras rnenggerak-gerakkan kembang-kembang
wisteria lembayung muda itu. Sekonyong-konyong kilat menyambar dan hujan
tercurah dari langit.
"Halilintar!"
teriak Jotaro. "Yang pertama tahun ini. Cepat masuk, Otsu. Kakak bisa
basah kuyup. Cepat, Sensei. Hujan tepat sekali datangnya. Bagus sekali."
Hujan itu "Bagus
sekali" buat Jotaro, tapi buat Musashi dan Otsu sungguh membuat malu,
karena kembali ke dalam warung akan membuat mereka merasa seperti sepasang
merpati pelamun. Musashi bertahan, dan Otsu berdiri di tepian serambi dengan
wajah merah, tidak lebih terlindung daripada kembang-kembang wisteria itu.
Orang yang memegang
tikar jerami di atas kepalanya ketika berlari melintasi hujan yang amat deras
itu tampak seperti payung besar yang bergerak sendiri. Ia lari ke bawah tepian
atap gerbang tempat suci, meluruskan rambutnya yang basah dan kusut, dan
menengadah dengan nada bertanya-tanya ke arah awan yang bergerak cepat.
"Seperti pertengahan musim panas saja," gerutunya. Tak ada suara yang
bisa mengatasi suara hujan, tetapi kilas cahaya yang tiba-tiba melintas
menyebabkan ia menutup telinga. Matahachi berjongkok ketakutan di dekat patung
dewa guntur yang berdiri di samping gerbang.
Sebagaimana awalnya,
mendadak hujan itu berhenti. Awan-awan hitam berpencar, sinar matahari
menerobos, dan tak lama kemudian jalanan kembali seperti biasa. Di kejauhan,
Matahachi mendengar dentingan shamisen. Ketika ia hendak meneruskan perjalanan,
seorang perempuan yang berpakaian seperti geisha menyeberang jalan dan berjalan
langsung mendekatinya.
"Nama Tuan
Matahachi, kan?" tanyanya.
"Betul,"
jawab Matahachi curiga. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Teman Anda ada
di kota kami sekarang. Dia melihat Anda dari jendela, dan minta saya menjemput
Anda."
Matahachi menoleh ke
sekitar, dan tampak olehnya beberapa rumah pelacuran di sekitar tempat itu. Ia
ragu-ragu, tapi perempuan itu mendesaknya terus pergi ke tokonya. "Kalau
ada urusan lain," katanya, "tak perlu Anda tinggal lama."
Ketika mereka masuk,
gadis-gadis segera menghampirinya, menyeka kakinva, melepaskan kimononya yang
basah, dan mendesaknya agar naik ke ruang atas. Ketika Ia bertanya siapa
temannya itu, mereka tertawa dan mengatakan ia akan segera mengetahuinya.
"Nah," kata
Matahachi, "aku baru saja kehujanan. Karena itu aku akan tinggal di sini
sampai pakaianku kering, tapi jangan coba menahanku di sini lebih dari itu. Ada
orang menantiku di Jembatan Seta."
Sambil mengikik
ramai, perempuan-perempuan itu berjanji bahwa ia dapat pergi pada waktunya.
Sementara itu, mereka mendorongnya naik tangga.
Di ambang kamar itu,
Matahachi disambut oleh suara lelaki, "Ya, ya, aku yakin ini temanku
Sensei Inugami!"
Sejenak Matahachi
menyangka terjadi kesalahan identitas, tapi ketika ia memandang ke dalam
ruangan, wajah itu tampak samar-samar dikenalnya. "Anda siapa?"
tanyanya.
"Apa kau sudah
lupa Sasaki Kojiro?"
"Belum,"
jawab Matahachi cepat. "Tapi kenapa kausebut aku Inugami: Namaku Hon'iden,
Hon'iden Matahachi."
"Aku tahu, tapi
yang teringat olehku selalu adalah engkau pada malam hari di Jalan Gojo itu.
Waktu itu kau cengar-cengir menakut-nakuti kawanan anjing kampung. Kupikir
Inugami—dewa anjing—itu nama yang baik untukmu."
"Hentikan! Ini
bukan main-main. Malam itu aku mengalami penderitaan mengerikan gara-gara
kau."
"Benar. Dan aku
suruh orang mengundangmu ini karena aku ingin membayar penderitaanmu itu.
Silakan masuk dan duduk. Hei, gadis gadis, sediakan sake buat tamu ini."
"Aku tak bisa
tinggal. Aku mesti ketemu orang di Seta. Aku tak boleh mabuk hari ini."
"Siapa yang akan
kaujumpai?"
"Orang yang
namanya Miyamoto. Dia teman masa kecilku, dan..."
"Miyamoto
Musashi? Jadi, kau bikin janji dengan dia waktu di penginapan celah itu?"
"Bagaimana kau
bisa tahu?"
"Oh, aku sudah
mendengar segalanya tentangmu, segalanya tentang Musashi juga. Aku jumpa
ibumu—Osugi namanya, kan? Di pekarangan utama Gunung Hiei. Dia cerita tentang
semua penderitaan yang telah dialaminya."
"Kau bicara
dengan ibuku?"
"Ya. Dia wanita
hebat. Aku mengaguminya, juga semua pendeta di Gunung Hiei. Waktu itu aku
mencoba memberikan dorongan padanya."Kojiro membilas mangkuknya dalam
cambung air, lalu ia serahkan pada Matahachi, dan sambungnya, "Nah, mari
kita minum bersama dan menghapuskan permusuhan lama kita. Tak ada alasan untuk
kuatir pada Musashi kalau Sasaki Kojiro ada di pihakmu."
Matahachi menolak
mangkuk itu.
"Kenapa kau
tidak minum?"
"Tak bisa. Aku
mesti pergi."
Matahachi bangkit
berdiri, tapi Kojiro mencengkeram pergelangannya erat-erat, katanya,
"Duduk!"
"Tapi Musashi
menantiku sekarang."
"Jangan tolol
begitu! Kalau kau menyerang Musashi sendirian, dia akan membunuhmu
seketika."
"Kau salah
besar! Dia berjanji akan membantuku. Aku akan pergi dengannya ke Edo untuk
memulai usaha baru."
"Artinya kau mau
mengandalkan diri pada orang macam Musashi itu?"
"Oh, aku
mengerti, memang banyak orang mengatakan dia tidak baik, tapi itu karena ibuku
pergi ke mana-mana memfitnah dia. Dari semula dia keliru. Sekarang, sesudah
bicara dengan Musashi, aku lebih yakin lagi dari kapan pun. Dia temanku, dan
aku akan belajar dari dia supaya bisa berhasil juga, biarpun sedikit
terlambat."
Kojiro menampar
tatami sambil tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana mungkin kau begitu polos?
Ibumu mengatakan padaku, kau memang naif luar biasa, tapi kalau tertipu
oleh..."
"Itu tidak
benar! Musashi adalah..."
"Coba diam dulu!
Dan dengarkan. Pertama-tama, bagaimana mungkin kau bermaksud mengkhianati ibumu
sendiri dengan memihak musuhnya? Itu tidak manusiawi. Bahkan aku, yang bukan
apa-apanya, tergerak oleh wanita yang berani itu, hingga aku bersumpah akan
memberikan segala bantuan yang dapat kuberikan padanya."
"Aku tak peduli
dengan pikiranmu. Aku akan pergi menjumpai Musashi, dan jangan mencoba
menahanku. Dan kau, hei, gadis, bawa ke sini kimonoku! Tentunya sudah kering
sekarang."
Sambil mengangkat
mata mabuknya, Kojiro memerintahkan, "Jangan sentuh kimono itu sebelum
kuminta. Sekarang dengarkan, Matahachi, kalau kau punya rencana pergi dengan
Musashi, setidaknya kau mesti bicara dulu dengan ibumu."
"Aku akan pergi
ke Edo dengan Musashi. Kalau aku berhasil di sana nanti, seluruh persoalan akan
selesai dengan sendirinya."
"Kedengarannya
seperti kata-kata Musashi. Aku berani bertaruh, dia sudah mendiktemu. Biar
bagaimana, tunggu sampai besok, dan aku akan pergi denganmu mencari ibumu. Kau
mesti mendengarkan pendapatnya, sebelum melakukan sesuatu. Sementara itu, mari
kita bersenang-senang. Mau atau tidak, kau mesti tinggal di sini dan minum
denganku."
Karena tempat itu
rumah pelacuran, dan Kojiro tamu yang membayar, semua perempuan pun
mendukungnya. Kimono Matahachi tidak juga datang, dan sesudah beberapa kali
minum, ia tidak lagi menanyakannya.
Dalam keadaan sadar,
Matahachi bukanlah tandingan Kojiro. Tapi dalam keadaan mabuk, ia dapat menjadi
ancaman. Ketika siang beralih malam, ia mendemonstrasikan pada semua orang
berapa banyak ia bisa minum. Ia minta dibawakan sake lagi, mengucapkan segala
macam hal yang tak mesti diucapkannya, dengan mengumbar segala
kekesalannya-singkatnya jadi betul-betul mengganggu. Waktu fajar, ia pingsan,
dan waktu tengah hari baru ia sadar kembali.
Matahari kelihatan
terang akibat hujan sore sebelumnya. Karena kata-kata Musashi terus bergema di
dalam kepalanya, Matahachi ingin sekali mengusir setiap tetes sake yang
diminumnya. Untunglah Kojiro masih tertidur di kamar lain. Ia menyelinap turun,
memaksa gadis-gadis itu menyerahkan kimononya, dan lari menuju Seta.
Air merah berlumpur
di bawah jembatan penuh dengan bunga sakura Ishiyamadera yang berjatuhan. Badai
telah meruntuhkan tumbuhan rambat wisteria dan menghamburkan bunga kerria
kuning ke mana-mana.
Sesudah lama mencari,
akhirnya Matahachi bertanya di warung teh, dan di situ ia mendapat kabar bahwa
orang yang membawa lembu itu menantinya sampai warung tutup. Karena sudah
malam, orang itu pergi ke sebuah penginapan. Pagi harinya ia kembali lagi, tapi
kerena tidak menjumpai temannya, ia meninggalkan surat yang diikatkannya pada
cabang pohon itu.
Surat yang tampak
seperti ngengat putih besar itu menyatakan, "Maaf, aku tak dapat menanti
lebih lama. Susullah aku di jalan. Aku akan mencarimu."
Matahachi cepat
menyusuri Nakasendo, jalan raya yang menuju Edo lewat Kiso, tapi sampai Kusatsu
belum juga ia dapat menyusul Musashi. Sesudah melewati Hikone dan Toriimoto, ia
mulai was-was, mungkin Musashi telah lepas dari kejarannya. Sampai Celah
Suribachi, ia menanti setengah hari, dan sepanjang waktu itu ia terus
memperhatikan jalan.
Baru sesudah sampai
di jalan menuju Mino, Matahachi teringat kata-kata Kojiro.
"Apa aku memang
ditipu?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa Musashi betul-betul tidak
bermaksud pergi denganku?"
Sesudah agak jauh
kembali melewati jalan yang sama dan memeriksa juga jalan-jalan cabangnya,
akhirnya tampak olehnya Musashi di luar kota Nakatsugawa. Semula ia girang
sekali, tapi ketika ia sudah dekat dan melihat bahwa orang di atas lembu itu
Otsu, ia segera diamuk rasa cemburu.
"Sungguh tolol
aku," geramnya, "mulai dari si bangsat itu mengajakku pergi ke
Sekigahara sampai menit ini juga! Nah, dia tak bisa selamanva menginjak-injakku
macam ini. Bagaimanapun, aku mesti membalasnya... dan segera!"
0 komentar:
Posting Komentar