Rabu, 12 Juli 2017



Cabang-Cabang yang Berjalin

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





"OTSU, aku kembali," seru Jotaro ketika berlari melintasi gerbang depan yang kasar itu.

Otsu sedang duduk di beranda, bertelekan meja tulis rendah sambil memandang langit. Begitulah ia semenjak pagi. Pada dinding muka, di bawah kedua tepian atap yang bertemu di bumbungan, tergantung piagam kayu dengan tulisan putih: "Pertapaan Gunung Bulan". Pondok kecil milik seorang pejabat kependetaan di Ginkakuji itu telah dipinjamkan kepada Otsu atas permintaan Yang Dipertuan Karasumaru.

Jotaro menjatuhkan diri di rumpun bunga violet yang sedang berkembang, dan berkecipak dengan kakinya di sungai, untuk membasuh lumpur yang melekat. Air yang mengalir langsung dari kebun Ginkakuji itu lebih murni daripada salju yang masih baru. "Air ini membeku," ujarnya sambil mengerutkan kening, tetapi tanahnya hangat, dan ia senang hidup di tempat yang indah ini. Burung-burung layang-layang bernyanyi, seakan-akan mereka pun senang dengan hari itu.

Jotaro bangkit, menggesek-gesekkan kakinya ke rumput, dan pergi ke beranda. "Kakak belum bosan?" tanyanya.

"Belum. Banyak yang mesti kupikirkan."

"Apa Kakak tak mau mendengar berita baik?"

"Berita apa?"

"Tentang Musashi. Saya dengar, dia tak jauh dari sini."

"Di mana?"

"Saya sudah keliling berhari-hari, menanyakan barangkali ada yang tahu di mana dia, dan hari ini saya dengar dia tinggal di Kuil Mudoji, di Gunung Hiei."

"Kalau begitu, dia sehat-sehat saja."

"Mungkin, tapi saya pikir kita mesti pergi ke sana sekarang juga, sebelum dia pergi ke tempat lain. Saya lapar. Bagaimana kalau Kakak menviapkan diri sementara saya makan?"

"Ada beberapa bakpao terbungkus daun dalam kotak lapis tiga di sana. Ambil sendiri."

Ketika Jotaro selesai makan, ternyata Otsu tidak juga beranjak dari meja. "Ada apa?" tanya Jotaro, menatapnya curiga.

"Kita tak usah pergi."

"Bodohnya... baru semenit Kakak setengah mati mau lihat Musashi, lalu pura-pura tak ingin."

"Kau tak mengerti. Dia tahu bagaimana perasaanku. Malam ketika kita bertemu di gunung itu, sudah kuceritakan semua yang mesti kusampaikan. Kami berdua mengira kami takkan saling bertemu lagi dalam hidup ini."

"Tapi Kakak bisa bertemu dia lagi sekarang, jadi apa yang Kakak nantikan?"

"Tak tahu aku, apa yang dia pikirkan sekarang. Dia puas dengan kemenangannya atau sekadar menghindar dari bahaya. Ketika meninggalkanku, aku sudah pasrah takkan bertemu dia lagi dalam hidup ini. Kupikir aku takkan pergi sekarang, kecuali kalau dia memintaku."

"Dan bagaimana kalau dia tidak minta, bertahun-tahun lamanya?"

"Akan kulakukan seperti yang kulakukan sekarang ini."

"Duduk memandang langit?"

"Kau tak mengerti. Tapi tak apalah."

"Apa yang tidak saya mengerti?"

"Perasaan Musashi. Aku betul-betul merasa dapat mempercayainya sekarang. Dulu aku cinta padanya dengan segenap hatiku, tapi waktu itu aku tidak sepenuhnya percaya dia. Sekarang aku percaya. Semuanya sudah lain. Kami berdua lebih dekat daripada cabang-cabang pohon. Biarpun misalnya kami terpisah, biarpun misalnya kami mati, kami masih akan bersamasama. Karena itu, tak ada yang dapat membuatku kesepian lagi. Sekarang aku cuma berdoa semoga dia menemukan jalan yang dicarinya."

Jotaro meledak. "Kakak bohong!" teriaknya. "Apa perempuan memang tak bisa mengatakan yang sebenarnya? Kalau Kakak mau bersikap begitu, baiklah. tapi jangan sekali-kali Kakak mengatakan pada saya lagi ingin melihac Musashi. Biar Kakak menangis sampai habis air mata, saya takkan peduli!"

Sudah susah payah ia berusaha mencari Musashi sejak pergi dari Ichijoji... tapi sekarang! Seharian ia tak menghiraukan Otsu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Tepat sesudah senja, cahaya obor kemerahan melintas halaman, dan salah seorang samurai Yang Dipertuan Karasumaru mengetuk pintu. Ia menyampaikan surat kepada Jotaro, katanya, "Dari Musashi untuk Otsu. Yang Dipertuan menyatakan Otsu mesti menjaga dirinya baik-baik." Ia pun pergi.

"Ini memang tulisan Musashi," pikir Jotaro. "Jadi, dia masih hidup." Kemudian dengan nada marah, "Dialamatkan pada Otsu, bukan padaku. Begitu!"

Otsu muncul dari belakang pondok, katanya, "Samurai itu bawa surat dari Musashi, kan?"

"Ya, tapi kukira Kakak tak berminat," Jotaro mencibir sambil menvembunyikan surat itu ke belakangnya.

"Jangan begitu, Jotaro, mari kulihat!" Otsu memohon.

Jotaro bertahan sebentar, tapi begitu melihat tanda-tanda air mata, disorongkannya amplop itu pada Otsu. "Ha!" serunya senang. "Tadi Kakak pura-pura tak ingin melihat dia, tapi tak sabar ingin membaca suratnya!"

Otsu menunduk di dekat lampu, dan kertas itu menggeletar di antara jari-jarinya yang putih. Nyala lampu seolah memperlihatkan kegembiraan khusus, hampir-hampir merupakan isyarat bahagia dan nasib baik.

Tinta itu berkilau-kilau seperti pelangi, sedangkan air mata di bulu matanya seperti permata. Otsu tiba-tiba terbawa ke suatu dunia yang tak berani ia khayalkan, dan ia teringat akan bagian sajak Po Chu-I yang mengungkapkan kegembiraan luar biasa. Dalam bagian itu, arwah Yang Kuei-fei yang telah pergi, bergembira atas berita cinta dari kaisarnya yang hilang.

Ia membaca pesan singkat itu, kemudian membacanya sekali lagi. "Dia mestinya menanti sekarang ini juga. Aku mesti buru-buru." Ia mengira telah mengucapkan kata-kata itu keras-keras, padahal ia tidak memperdengarkan satu suara pun.

Dan segera ia bertindak, menulis surat-surat ucapan terima kasih kepada pemilik pondok, kepada para pendeta lain di Ginkakuji, dan kepada semua orang yang telah bersikap baik kepadanya selama ia tinggal di situ. Selesai mengumpulkan barang-barang miliknya, mengikatkan sandalnya, dan pergi ke halaman, ia melihat Jotaro masih duduk di dalam, mengumbar kejengkelan.

"Ayo, Jo! Cepat!"

"Mau pergi?"

"Kau masih marah, ya?"

"Siapa takkan marah? Kakak ini tak pernah memikirkan orang lain, kecuali diri sendiri! Apa memang ada yang demikian rahasia dalam surat Musashi itu, sampai Kakak tidak menunjukkan pada saya?"

"Maafkan," kata Otsu. "Tak ada rahasia. Kau boleh melihatnya."

"Lupakan saja. Saya tak berminat sekarang."

"Jangan begitu. Aku ingin kau membacanya. Surat yang bagus sekali! Surat pertama yang ditulisnya padaku. Dan ini pertama kali dia minta aku bergabung dengannya. Belum pernah aku sebahagia ini dalam hidupku. Jangan terus cemberut begitu, ayo pergi ke Seta. Ayolah."

Di jalan melintasi Celah Shiga, Jotaro terus juga diam, marah, tapi akhirnya ia memetik selembar daun untuk menyiulkan dan mendendangkan beberapa lagu populer untuk memecahkan keheningan malam itu.

Akhirnya Otsu terpaksa menawarkan berdamai, katanya, "Masih ada beberapa gula-gula di kotak kiriman Yang Dipertuan Karasumaru kemarin itu."

Tetapi fajar sudah menyingsing, dan awan di sebelah sana menjadi merah muda. Jotaro menjadi biasa kembali.

"Kakak sehat-sehat saja? Kakak tidak capek?"

"Sedikit. Jalan ini mendaki terus."

"Sekarang lebih ringan. Lihat, sudah kelihatan danau."

"Ya, Danau Biwa. Di mana Seta?"

"Di sana, Musashi takkan ada di sana sepagi ini, kan?"

"Tak tahulah. Kita butuh setengah hari untuk sampai di sana. Bagaimana kalau kita istirahat?"

"Baik," jawab Jotaro, sifat periangnya sudah kembali. "Mari kita duduk di bawah dua pohon besar di sana itu."



Asap yang berasal dari api tungku di pagi buta naik di sana-sini, sepeni uap yang naik dari medan pertempuran. Lewat kabut yang menyebar dari danau ke kota Ishiyama, jalan-jalan kota Otsu mulai dapat dilihat. Ketika mendekati kota itu, Musashi memayungkan tangan ke keningnya dan menoleh ke sekitar. Ia merasa senang kembali ke tengah-tengah orang banyak.

Di dekat Miidera, ketika mulai mendaki lereng Bizoji, ia bertanya-tanya iseng, jalan mana kiranya yang ditempuh Otsu. Semula ia membayangkan akan dapat bertemu dengan gadis itu di jalan, tapi kemudian ia simpulkan hal itu tidak mungkin. Perempuan yang membawa suratnya ke Kyoto itu memberitahukan bahwa Otsu tidak lagi tinggal di kediaman Karasumaru. tetapi surat akan disampaikan kepadanya. Karena surat diterima Otsu pada larut malam, dan Otsu akan mengerjakan berbagai hal dahulu sebelum pergi, maka mungkin Otsu terpaksa menanti datangnya pagi untuk berangkat.

Musashi melewati sebuah kuil dengan sederetan pohon sakura tua, dan di atas sebuah gundukan ia perhatikan ada sebuah monumen batu. Menurut penilaiannya, pohon sakura itu pasti terkenal karena kembang musim seminya. Hanya sepintas ia melihat sajak yang terukir di atas monumen itu, tapi sajak itu teringat lagi olehnya sesudah ia menempuh jalan beberapa ratus meter. Sajak itu dari Taiheiki. Menurut ingatannya, sajak itu berkaitan dengan sebuah dongeng yang pernah dihafalnya. Ia membacakannya pelan-pelan pada dirinya sendiri.

"Seorang pendeta mulia dari Kuil Shiga-yang mengenakan tongkat dua meter panjangnya dan sudah demikian tua, hingga alis putihnya tumbuh menjadi satu di puncak keningnya yang dingin-sedang merenungkan kecantikan Kannon di perairan danau, ketika kebetulan terlihat olehnva seorang gundik kaisar dari Kyogoku. Gundik itu dalam perjalanan kembaii dari Shiga, di mana terdapat kebun besar bunga-bungaan. Melihat dia, pendeta pun bangkit nafsunya. Kebajikan yang bertahun-tahun ditimbun dengan penuh kesulitan kini lenyap. Ia ditelan keinginan menyala-nyala dan...Ah, bagaimana terusnya, ya? Rupanya sudah ada yang lupa. Ah!... dan ia kembali ke gubuknya yang terbuat dari rerantingan dan berdoa di hadapan patung sang Budha, namun perempuan itu terus terbayang. Ia menyebut nama sang Budha, namun suara itu terdengar seperti napas khayal. Di atas awan pegunungan, di waktu senja, dapat terlihat sisir di rambut perempuan itu. Ini membuatnya sedih. Ketika ia mengangkat mata, menatap bulan yang sendiri, wajah bulan tersenyum balik kepadanya. Ia menjadi bingung dan malu.

Karena takut pikiran-pikiran seperti itu tak memungkinkannya pergi ke surga apabila mati nanti, maka ia memutuskan menjumpai perempuan itu dan mengungkapkan seluruh perasaannya kepadanya. Dengan berbuat demikian, ia berharap bisa mati dalam damai.

Maka pergilah ia ke istana kaisar, dan sambil menghunjamkan tongkatnya mantap-mantap ke tanah, ia menanti di lapangan bola istana sehari semalam..."

"Maaf, Anda yang naik lembu!"

Orang itu rupanya pekerja harian, seperti biasa ditemukan di daerah perdagangan. Ia mendekat ke depan lembu itu, menepuk-nepuk hidungnya, kemudian memandang pengendaranya lewat kepala lembu.

"Anda tentunya datang dari Mudoji," katanya.

"Betul. Bagaimana Anda bisa tahu?"

"Saya sudah meminjamkan lembu ini pada seorang saudagar. Saya kira nantinya dia meninggalkan lembu ini di sana. Saya memang menyewakannya, tapi saya minta Anda membayar saya, karena sudah menggunakannya."

"Dengan senang hati saya membayar. Tapi saya ingin tahu, sampai berapa jauh saya boleh naik lembu ini?"

"Asalkan membayar, Anda dapat membawanya ke mana saja. Yang mesti Anda lakukan cuma mengembalikannya kepada pedagang di kota terdekat dengan tempat tujuan Anda. Dari situ nanti ada orang lain yang akan menyewanya. Cepat atau lambat, lembu akan kembali lagi kemari."

"Berapa sewanya kalau saya bawa ke Edo?"

"Sava mesti menanyakannya dulu ke kandang. Kandangnya ada di jalan yang akan Anda lewati. Kalau Anda memutuskan menyewanya, Anda cuma mesti meninggalkan nama di kantor."

Daerah perdagangan itu terletak dekat tempat penyeberangan di Qahama. Karena banyak musafir melewati tempat itu, menurut Musashi itulah tempat yang tepat untuk merapikan diri dan membeli barang yang diperlukannya.

Setelah selesai urusan lembu, ia makan pagi tanpa terburu-buru, lalu berangkat ke Seta. Ia senang sekali karena sebentar lagi akan bertemu kembali dengan Otsu.Tak ada lagi perasaan kuatir tentang Otsu. Sebelum mereka bertemu di gunung itu, Otsu selalu mendatangkan perasaan takut kepadanya, tapi sekarang lain: kesucian, kecerdasan, dan kesetiaan Otsu pada malam terang bulan membuat kepercayaannya kepada gadis itu lebih dalam dari sebelumnya. Tidak hanya ia yang percaya pada Otsu. Ia tahu Otsu juga percaya kepadanya. Ia bersumpah, begitu mereka bersama kembali, ia takkan menolak apa pun permintaan Otsu-asalkan tentu saja hal itu tidak mem­bahayakan cara hidupnya sebagai pemain pedang. Yang menguatirkan sebelum itu adalah bahwa jika ia membiarkan dirinya mencintai gadis itu, pedangnya akan tumpul. Seperti pendeta tua dalam cerita itu, ia bisa kehilangan jalannya. Sekarang jelas baginya bahwa Otsu sangat berdisiplin. Gadis itu takkan pernah menjadi penghalang atau belenggu yang menghambat. Satusatunya masalah baginya sekarang adalah memperoleh kepastian agar dirinya tidak terbenam dalam kolam cinta yang dalam itu.

"Kalau nanti kami sampai di Edo," pikirnya, "akan kuusahakan agar dia mendapat latihan dan pendidikan yang diperlukan seorang perempuan. Sementara dia belajar, aku akan mengajak Jotaro, dan bersama-sama kami akan berusaha mencapai taraf disiplin yang lebih tinggi lagi. Dan nanti. kalau tiba waktunya..." Cahaya yang dipantulkan dari danau itu membasuh wajahnya dengan sinar semarak yang berkelip-kelip lembut.

Kedua bagian Jembatan Kara itu, yaitu rentangan bertiang sembilan puluh enam dan rentangan bertiang dua puluh tiga, dihubungkan oleh sebuah pulau kecil. Di pulau itu tumbuh pohon liu kuno yang menjadi tanda bagi para musafir. Jembatan itu sendiri sering disebut Jembatan Liu.

"Itu dia datang!" teriak Jotaro sambil berlari keluar dari warung ke bagian jembatan yang lebih pendek. Di situ dilambainya Musashi dengan satu tangan, dan dengan tangan satunya lagi ia menuding warung teh. "Itu dia di sana, Otsu! Lihat? Naik lembu!" Dan mulailah ia menari-nari kecil. Segera kemudian Otsu berdiri di samping Jotaro, melambaikan tangannya. sedangkan Musashi melambaikan topi anyamannya. Seringai lebar Musashi menyinari wajahnya, sementara ia mendekat.

Ia ikatkan lembu pada sebatang pohon liu, lalu ketiganya masuk ke warung teh. Ketika Musashi masih di ujung jembatan tadi, Otsu sudah memanggil-manggilnya dengan keras, tapi ketika Musashi ada di sampingnya ia tak dapat mengucapkan apa pun. Wajahnya berseri-seri bahagia, tapi percakapan diserahkannya pada Jotaro.

"Luka Kakak sudah sembuh," kata anak itu, yang kedengarannya hampir-hampir terlalu gembira. "Waktu saya lihat Kakak naik lembu, saya pikir barangkali Kakak tak bisa jalan. Tapi kami masih bisa datang kemari lebih dulu, kan? Begitu Otsu menerima surat Kakak, dia langsung siap berangkat."

Musashi tersenyum mengangguk, dan membisikkan kata-kata "oh" dan "ah", tapi pembicaraan Jotaro tentang Otsu di depan orang-orang lain itu membuatnya tak enak. Atas desakannya, mereka pindah ke serambi kecil di belakang, yang dilindungi terali tanaman wisteria. Otsu tetap malu-malu untuk berbicara, dan Musashi jadi pendiam. Tapi Jotaro tidak memperhatikan hal itu. Ocehannya bercampur dengan dengung lebah dan desir lalat ternak

Suara pemilik warung menyelanya, katanya, "Anda sekalian lebih baik masuk. Sebentar lagi badai. Coba lihat, langit semakin gelap di atas Ishiyamadera." Ia sibuk menyingkirkan kerai jerami dan memasang tirai hujan di semua sisi serambi. Sungai menjadi kelabu, embusan angin keras rnenggerak-gerakkan kembang-kembang wisteria lembayung muda itu. Sekonyong-konyong kilat menyambar dan hujan tercurah dari langit.

"Halilintar!" teriak Jotaro. "Yang pertama tahun ini. Cepat masuk, Otsu. Kakak bisa basah kuyup. Cepat, Sensei. Hujan tepat sekali datangnya. Bagus sekali."

Hujan itu "Bagus sekali" buat Jotaro, tapi buat Musashi dan Otsu sungguh membuat malu, karena kembali ke dalam warung akan membuat mereka merasa seperti sepasang merpati pelamun. Musashi bertahan, dan Otsu berdiri di tepian serambi dengan wajah merah, tidak lebih terlindung daripada kembang-kembang wisteria itu.

Orang yang memegang tikar jerami di atas kepalanya ketika berlari melintasi hujan yang amat deras itu tampak seperti payung besar yang bergerak sendiri. Ia lari ke bawah tepian atap gerbang tempat suci, meluruskan rambutnya yang basah dan kusut, dan menengadah dengan nada bertanya-tanya ke arah awan yang bergerak cepat. "Seperti pertengahan musim panas saja," gerutunya. Tak ada suara yang bisa mengatasi suara hujan, tetapi kilas cahaya yang tiba-tiba melintas menyebabkan ia menutup telinga. Matahachi berjongkok ketakutan di dekat patung dewa guntur yang berdiri di samping gerbang.

Sebagaimana awalnya, mendadak hujan itu berhenti. Awan-awan hitam berpencar, sinar matahari menerobos, dan tak lama kemudian jalanan kembali seperti biasa. Di kejauhan, Matahachi mendengar dentingan shamisen. Ketika ia hendak meneruskan perjalanan, seorang perempuan yang berpakaian seperti geisha menyeberang jalan dan berjalan langsung mendekatinya.

"Nama Tuan Matahachi, kan?" tanyanya.

"Betul," jawab Matahachi curiga. "Bagaimana Anda bisa tahu?"

"Teman Anda ada di kota kami sekarang. Dia melihat Anda dari jendela, dan minta saya menjemput Anda."

Matahachi menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya beberapa rumah pelacuran di sekitar tempat itu. Ia ragu-ragu, tapi perempuan itu mendesaknya terus pergi ke tokonya. "Kalau ada urusan lain," katanya, "tak perlu Anda tinggal lama."

Ketika mereka masuk, gadis-gadis segera menghampirinya, menyeka kakinva, melepaskan kimononya yang basah, dan mendesaknya agar naik ke ruang atas. Ketika Ia bertanya siapa temannya itu, mereka tertawa dan mengatakan ia akan segera mengetahuinya.

"Nah," kata Matahachi, "aku baru saja kehujanan. Karena itu aku akan tinggal di sini sampai pakaianku kering, tapi jangan coba menahanku di sini lebih dari itu. Ada orang menantiku di Jembatan Seta."

Sambil mengikik ramai, perempuan-perempuan itu berjanji bahwa ia dapat pergi pada waktunya. Sementara itu, mereka mendorongnya naik tangga.

Di ambang kamar itu, Matahachi disambut oleh suara lelaki, "Ya, ya, aku yakin ini temanku Sensei Inugami!"

Sejenak Matahachi menyangka terjadi kesalahan identitas, tapi ketika ia memandang ke dalam ruangan, wajah itu tampak samar-samar dikenalnya. "Anda siapa?" tanyanya.

"Apa kau sudah lupa Sasaki Kojiro?"

"Belum," jawab Matahachi cepat. "Tapi kenapa kausebut aku Inugami: Namaku Hon'iden, Hon'iden Matahachi."

"Aku tahu, tapi yang teringat olehku selalu adalah engkau pada malam hari di Jalan Gojo itu. Waktu itu kau cengar-cengir menakut-nakuti kawanan anjing kampung. Kupikir Inugami—dewa anjing—itu nama yang baik untukmu."

"Hentikan! Ini bukan main-main. Malam itu aku mengalami penderitaan mengerikan gara-gara kau."

"Benar. Dan aku suruh orang mengundangmu ini karena aku ingin membayar penderitaanmu itu. Silakan masuk dan duduk. Hei, gadis gadis, sediakan sake buat tamu ini."

"Aku tak bisa tinggal. Aku mesti ketemu orang di Seta. Aku tak boleh mabuk hari ini."

"Siapa yang akan kaujumpai?"

"Orang yang namanya Miyamoto. Dia teman masa kecilku, dan..."

"Miyamoto Musashi? Jadi, kau bikin janji dengan dia waktu di penginapan celah itu?"

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Oh, aku sudah mendengar segalanya tentangmu, segalanya tentang Musashi juga. Aku jumpa ibumu—Osugi namanya, kan? Di pekarangan utama Gunung Hiei. Dia cerita tentang semua penderitaan yang telah dialaminya."

"Kau bicara dengan ibuku?"

"Ya. Dia wanita hebat. Aku mengaguminya, juga semua pendeta di Gunung Hiei. Waktu itu aku mencoba memberikan dorongan padanya."Kojiro membilas mangkuknya dalam cambung air, lalu ia serahkan pada Matahachi, dan sambungnya, "Nah, mari kita minum bersama dan menghapuskan permusuhan lama kita. Tak ada alasan untuk kuatir pada Musashi kalau Sasaki Kojiro ada di pihakmu."

Matahachi menolak mangkuk itu.

"Kenapa kau tidak minum?"

"Tak bisa. Aku mesti pergi."

Matahachi bangkit berdiri, tapi Kojiro mencengkeram pergelangannya erat-erat, katanya, "Duduk!"

"Tapi Musashi menantiku sekarang."

"Jangan tolol begitu! Kalau kau menyerang Musashi sendirian, dia akan membunuhmu seketika."

"Kau salah besar! Dia berjanji akan membantuku. Aku akan pergi dengannya ke Edo untuk memulai usaha baru."

"Artinya kau mau mengandalkan diri pada orang macam Musashi itu?"

"Oh, aku mengerti, memang banyak orang mengatakan dia tidak baik, tapi itu karena ibuku pergi ke mana-mana memfitnah dia. Dari semula dia keliru. Sekarang, sesudah bicara dengan Musashi, aku lebih yakin lagi dari kapan pun. Dia temanku, dan aku akan belajar dari dia supaya bisa berhasil juga, biarpun sedikit terlambat."

Kojiro menampar tatami sambil tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana mungkin kau begitu polos? Ibumu mengatakan padaku, kau memang naif luar biasa, tapi kalau tertipu oleh..."

"Itu tidak benar! Musashi adalah..."

"Coba diam dulu! Dan dengarkan. Pertama-tama, bagaimana mungkin kau bermaksud mengkhianati ibumu sendiri dengan memihak musuhnya? Itu tidak manusiawi. Bahkan aku, yang bukan apa-apanya, tergerak oleh wanita yang berani itu, hingga aku bersumpah akan memberikan segala bantuan yang dapat kuberikan padanya."

"Aku tak peduli dengan pikiranmu. Aku akan pergi menjumpai Musashi, dan jangan mencoba menahanku. Dan kau, hei, gadis, bawa ke sini kimonoku! Tentunya sudah kering sekarang."

Sambil mengangkat mata mabuknya, Kojiro memerintahkan, "Jangan sentuh kimono itu sebelum kuminta. Sekarang dengarkan, Matahachi, kalau kau punya rencana pergi dengan Musashi, setidaknya kau mesti bicara dulu dengan ibumu."

"Aku akan pergi ke Edo dengan Musashi. Kalau aku berhasil di sana nanti, seluruh persoalan akan selesai dengan sendirinya."

"Kedengarannya seperti kata-kata Musashi. Aku berani bertaruh, dia sudah mendiktemu. Biar bagaimana, tunggu sampai besok, dan aku akan pergi denganmu mencari ibumu. Kau mesti mendengarkan pendapatnya, sebelum melakukan sesuatu. Sementara itu, mari kita bersenang-senang. Mau atau tidak, kau mesti tinggal di sini dan minum denganku."

Karena tempat itu rumah pelacuran, dan Kojiro tamu yang membayar, semua perempuan pun mendukungnya. Kimono Matahachi tidak juga datang, dan sesudah beberapa kali minum, ia tidak lagi menanyakannya.

Dalam keadaan sadar, Matahachi bukanlah tandingan Kojiro. Tapi dalam keadaan mabuk, ia dapat menjadi ancaman. Ketika siang beralih malam, ia mendemonstrasikan pada semua orang berapa banyak ia bisa minum. Ia minta dibawakan sake lagi, mengucapkan segala macam hal yang tak mesti diucapkannya, dengan mengumbar segala kekesalannya-singkatnya jadi betul-betul mengganggu. Waktu fajar, ia pingsan, dan waktu tengah hari baru ia sadar kembali.

Matahari kelihatan terang akibat hujan sore sebelumnya. Karena kata-kata Musashi terus bergema di dalam kepalanya, Matahachi ingin sekali mengusir setiap tetes sake yang diminumnya. Untunglah Kojiro masih tertidur di kamar lain. Ia menyelinap turun, memaksa gadis-gadis itu menyerahkan kimononya, dan lari menuju Seta.

Air merah berlumpur di bawah jembatan penuh dengan bunga sakura Ishiyamadera yang berjatuhan. Badai telah meruntuhkan tumbuhan rambat wisteria dan menghamburkan bunga kerria kuning ke mana-mana.

Sesudah lama mencari, akhirnya Matahachi bertanya di warung teh, dan di situ ia mendapat kabar bahwa orang yang membawa lembu itu menantinya sampai warung tutup. Karena sudah malam, orang itu pergi ke sebuah penginapan. Pagi harinya ia kembali lagi, tapi kerena tidak menjumpai temannya, ia meninggalkan surat yang diikatkannya pada cabang pohon itu.

Surat yang tampak seperti ngengat putih besar itu menyatakan, "Maaf, aku tak dapat menanti lebih lama. Susullah aku di jalan. Aku akan mencarimu."

Matahachi cepat menyusuri Nakasendo, jalan raya yang menuju Edo lewat Kiso, tapi sampai Kusatsu belum juga ia dapat menyusul Musashi. Sesudah melewati Hikone dan Toriimoto, ia mulai was-was, mungkin Musashi telah lepas dari kejarannya. Sampai Celah Suribachi, ia menanti setengah hari, dan sepanjang waktu itu ia terus memperhatikan jalan.

Baru sesudah sampai di jalan menuju Mino, Matahachi teringat kata-kata Kojiro.

"Apa aku memang ditipu?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa Musashi betul-betul tidak bermaksud pergi denganku?"

Sesudah agak jauh kembali melewati jalan yang sama dan memeriksa juga jalan-jalan cabangnya, akhirnya tampak olehnya Musashi di luar kota Nakatsugawa. Semula ia girang sekali, tapi ketika ia sudah dekat dan melihat bahwa orang di atas lembu itu Otsu, ia segera diamuk rasa cemburu.

"Sungguh tolol aku," geramnya, "mulai dari si bangsat itu mengajakku pergi ke Sekigahara sampai menit ini juga! Nah, dia tak bisa selamanva menginjak-injakku macam ini. Bagaimanapun, aku mesti membalasnya... dan segera!"

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP