Sesama Murid
"AYOLAH, tak
usah menangis lagi!" Gonnosuke mendekap Iori ke dadanya. "Kau lelaki,
kan?"
"Justru karena
saya lelaki... saya menangis." Iori mengangkat kepalanya, membuka mulut
lebar-lebar, dan menangis sambil menengadah.
"Bukan mereka
yang menahan Musashi. Dia yang menyerahkan diri." Kata-kata lunak Gonnosuke
itu menyembunyikan keprihatinannya sendiri yang dalam. "Ayolah, kita pergi
sekarang."
"Tidak, sebelum
mereka mengembalikan dia!"
"Tak lama lagi
mereka akan melepaskannya. Harus! Apa kau mau kutinggalkan di sini
sendirian?" Gonnosuke menjauh beberapa langkah.
Iori tak bergerak.
Justru pada waktu itu anjing Baiken datang menyerbu dari dalam hutan, dengan
moncong merah berdarah. "Tolong!" jerit Iori sambil berlari ke
samping Gonnosuke.
"Kau capek, ya?
Mau digendong?"
Iori dengan senang
bergumam menyatakan terima kasih, lalu naik ke punggung yang ditawarkan
kepadanya, dan mendekapkan kedua tangannya ke bahu yang lebar itu.
Habis pesta malam
kemarin, para tamu pergi. Angin lembut meniupkan sisa-sisa bungkusan dari daun
bambu dan carik-carik kertas di sepanjang jalanan sepi itu.
Lewat Warung Teh
Oinu, Gonnosuke menoleh ke dalam, maksudnya hendak lewat saja, tanpa
diperhatikan orang.
Tapi Iori berseru,
"Itu perempuan yang lari tadi!"
"Aku bisa
mengerti, mestinya memang dia di sini." Gonnosuke berhenti, dan menyatakan
keheranannya, "Kalau para pejabat bisa menyeret Musashi, kenapa mereka
tidak menahan orang ini?"
Melihat Gonnosuke, mata
Oko menyala-nyala karena marah.
Melihat perempuan itu
terburu-buru mengumpulkan barang miliknya, Gonnosuke tertawa. "Mau
bepergian, ya?" tanyanya.
"Bukan urusanmu.
Jangan sangka aku tidak kenal kau, bajingan tukang campur tangan! Kau sudah
membunuh suamiku!"
"Kalian sendiri
penyebabnya."
"Hari-hari ini
juga kubalas kau."
"Iblis
perempuan!" seru Iori dari atas kepala Gonnosuke.
Sambil mengundurkan
diri ke kamar belakang, Oko tertawa menghina,
"Apa kalian
pikir kalian orang baik-baik, berani-berani mengata-ngatai aku? Kan kalian
pencuri yang masuk gedung harta?"
"Apa?"
Gonnosuke segera menurunkan Iori ke tanah, dan masuk ke dalam warung.
"Siapa yang kausebut pencuri?"
"Tak bisa kau
membohongi aku!"
"Katakan sekali
lagi, dan..."
"Pencuri!'
Gonnosuke
mencengkeram tangan Oko, tapi waktu itu juga Oko membalikkan badan dan
menusukkan belati ke arahnya. Tanpa mengusik tongkatnya, Gonnosuke mencoba
merebut belati dari tangan Oko dan menyurukkan perempuan itu lewat pintu depan.
Oko cepat berdiri dan
menjerit, "Tolong! Pencuri! Aku dikeroyok!"
Gonnosuke membidik,
dan melontarkan belatinya. Menancap di punggung Oko, ujungnya menyembul di
dada. Oko jatuh tertelungkup.
Entah dari mana
datangnya, Kuro langsung muncul dan mengangkangi tubuh itu. Pertama, ia
menghirup darahnya dengan lapar, kemudian mengangkat kepala dan melolong ke
langit.
"Lihat matanya
itu!" seru Iori ngeri.
Teriakan Oko tadi
sampai ke telinga orang-orang kampung yang sedang heboh. Sesaat sebelum fajar,
memang ada orang menyerobot masuk gedung harta kuil. Jelas perbuatan itu
dilakukan oleh orang luar, karena harta keagamaan seperti pedang-pedang tua,
cermin, dan barang lain semacam itu tidak dijamah, sedangkan kekayaan dalam
bentuk emas urai, emas lantakan, dan uang tunai yang disimpan bertahun-tahun
lamanya, hilang. Berita itu lambat sekali bocornya, dan belum ditegaskan
kebenarannya. Akibat jeritan Oko, yang sedemikian jauh merupakan bukti paling
nyata itu, sungguh cepat.
"Itu mereka!"
"Dalam Warung
Oinu!"
Teriakan-teriakan itu
memikat lebih banyak lagi orang yang bersenjatakan bambu runcing, senapan babi
hutan, tongkat, dan batu. Dalam sekejap mata saja seluruh kampung sudah
mengepung warung teh itu dengan sikap haus darah.
Gonnosuke dan Iori
lari dari pintu belakang, dan beberapa jam berikutnya berturut-turut mereka
terusir dari persembunyian yang satu ke persembunyian yang lain. Tapi kini
mereka mendapat kejelasan: Musashi ditahan bukan karena "kejahatan"
yang akan diakuinya, melainkan karena pencurian. Baru sesudah sampai di Celah
Shomaru mereka berhasil melepaskan diri dari rombongan pencari yang terakhir.
"Bapak dapat
melihat Dataran Musashino dari sini," kata Iori. "Ingin tahu juga
rasanya, apa guru saya selamat."
"Hmm. Kukira dia
ada di penjara sekarang, dan sedang diperiksa."
"Apa tak ada
jalan menyelamatkan dia?"
"Harusnya
ada."
"Saya mohon,
tolonglah."
"Tak perlu kau
memohon. Dia semacam guru juga buatku. Tapi, Iori, tak banyak yang bisa
kaulakukan di sini. Apa kau bisa pulang sendiri?"
"Saya kira bisa,
kalau memang terpaksa." "Bagus."
"Bapak sendiri
bagaimana?"
"Aku akan
kembali ke Chichibu. Kalau mereka menolak melepaskan Musashi, akan kukeluarkan
dia, entah dengan cara bagaimana, biar mesti meruntuhkan penjara." Untuk
menekankan kata-katanya, ia hantamkan tongkatnya satu kali ke tanah. Iori sudah
menyaksikan tenaga senjata itu, dan ia cepat mengangguk menyetujui. "Kau
anak baik. Pulanglah dan urus segalanya, sampai aku membawa Musashi pulang dalam
keadaan sehat tak kurang suatu apa." Sambil mengepit tongkatnya, Gonnosuke
berbalik menuju Chichibu.
Iori tidak merasa
kesepian atau takut. Ia juga tidak kuatir akan tersesat. Tapi ia mengantuk
bukan main. Sementara berjalan di bawah matahari panas itu, ia hampir tak dapat
membuka matanya. Di Sakamoto, ia melihat patung Budha di tepi jalan, dan
berbaringlah ia di bawah bayangannya.
Ketika sinar matahari
sore makin menggelap, ia terbangun mendengar suara-suara pelan di sebelah
patting. Karena merasa agak bersalah mendengarkan percakapan orang, ia
berpura-pura masih tidur.
Ada dua orang-yang
satu duduk di atas tunggul potion, yang lain di atas batu. Tidak jauh dari
situ, ada dua ekor kuda tertambat pada pohon, dengan peti-peti pernis
tergantung di kedua sisi pelananya. Label kayu yang tertera pada salah satu
peti itu bertuliskan: Dari Provinsi Shimotsuke. Untuk pembangunan lingkar
barat. Leveransir Bahan Pernis untuk Shogun.
Bagi Iori, yang
sekarang menoleh ke sekitar patung, kedua orang itu tidak mirip kawanan pejabat
kuil yang makmur. Mata mereka terlalu tajam, dan tubuh mereka terlalu berotot.
Yang lebih tua tampak tegap, umurnya lebih dari lima puluh tahun. Sinar matahari
terakhir terpantul tajam dari topi yang menutupi kedua telinganya, dan topi itu
menjorok ke depan, menutupi wajahnya.
Temannya seorang
pemuda ramping dan kokoh, dengan jambul yang cocok untuk wajahnya yang
kekanak-kanakan. Kepalanya tertutup saputangan bercelup Suo dan diikatkan di
bawah dagu.
"Bagaimana
peti-peti pernis itu?" tanya yang muda. "Bagus juga, kan?"
"Ya, bagus.
Orang bisa menduga kita ada hubungan dengan pekerjaan yang sedang berlangsung
di kuil. Takkan terpikir olehku hal itu."
"Terpaksa saya
mengajarkan soal-soal ini pada Bapak, sedikit demi sedikit."
"Hati-hati kau!
Jangan menertawakan orang tua. Tapi siapa tahu? Barangkali dalam empat atau
lima tahun, Daizo tua ini akan menerima perintah darimu!"
"Ya, orang muda
tumbuh dewasa. Orang tua terus tambah tua, tak peduli berapa keras mereka
berusaha untuk tetap muda."
"Kaupikir, itu
yang kulakukan?"
"Jelas, kan?
Bapak selalu berpikir tentang umur Bapak, dan itu yang menyebabkan Bapak
berusaha keras agar misi Bapak itu terlaksana."
"Rupanya kau
sudah betul-betul mengenal diriku."
"Apa kita tidak
berangkat?"
"Ya, jangan
sampai keburu malam."
"Saya tak mau
sampai tertangkap."
"Ha, ha. Kalau
kau begitu cepat takut, kau tak bisa punya keyakinan penuh akan apa yang
kaulakukan."
"Saya belum lama
terjun dalam urusan ini. Bunyi angin pun kadang-kadang membuat saya
gugup."
"Itu karena kau
masih berpikir tentang dirimu sebagai pencuri biasa. Kalau kau berpikir bahwa
yang kaulakukan adalah untuk kebaikan negerimu, perasaanmu akan tenang."
"Bapak selalu
bilang begitu. Saya percaya pada Bapak, tapi ada yang selalu mengingatkan saya,
bahwa yang saya lakukan ini tidak benar."
"Kau mesti punya
keberanian berpendirian!" Namun nasihat itu terdengar kurang meyakinkan,
seakan-akan Daizo sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Pemuda itu melompat
ringan ke atas pelana, dan berjalan mendahului. "Bapak perhatikan
saya," serunya sambil menoleh ke belakang. "Kalau saya melihat
apa-apa, akan saya beri isyarat."
Jalan itu turun
melandai ke selatan. Iori memperhatikan dari balik patung Budha sejenak,
kemudian memutuskan untuk mengikuti mereka. Bagaimanapun, ia yakin mereka
itulah pencuri-pencuri gedung harta.
Sekali-dua kali,
mereka menoleh ke belakang dengan hati-hati. Karena merasa tak ada tanda-tanda bahaya,
sebentar kemudian mereka sepertinya sudah tampak melupakan Iori. Tak lama
sesudah itu, cahaya petang lenyap, dan keadaan pun jadi terlalu gelap, hingga
susah melihat beberapa meter ke depan.
Kedua penunggang kuda
hampir sampai ke ujung Dataran Musashino, ketika pemuda itu menuding dan
berkata, "Nah, di sana Pak Kepala bisa melihat lampu Ogimachiya."
Jalanan jadi mendatar. Tidak berapa jauh di depan, tampak Sungai Iruma
berkilauan seperti perak oleh sinar bulan, berkelok-kelok seperti obi yang
tercecer.
Iori kini bersikap
hati-hati, agar tetap tidak menjadi perhatian. Dugaannya bahwa orang-orang itu
pencuri telah semakin besar, dan ia kenal segala sesuatu tentang bandit,
semenjak ia tinggal di Hotengahara. Bandit adalah orang-orang jahat yang tega berbuat
aniaya hanya karena sebutir telur atau secuil buncis merah. Pembunuhan tanpa
alasan bukanlah apa-apa bagi mereka.
Segera mereka masuk
kota Ogimachiya. Daizo mengangkat satu tangannya dan berkata, "Jota, kita
berhenti di sini buat makan. Kuda mesti diberi makan, dan aku ingin
merokok."
Mereka mengikatkan
kuda di depan warung yang lampunya remangremang, dan masuk. Jota menempatkan
diri di dekat pintu, dan terns menatapkan matanya ke peti-peti itu, selama ia
makan. Begitu selesai, ia keluar dan memberi makan kudanya.
Ion masuk warung
makanan di seberang jalan, dan ketika kedua orang itu berangkat lagi, ia sambar
gumpalan terakhir nasinya, dan ia makan seraya berjalan.
Kedua orang itu kini
berjalan berdampingan. Jalanan gelap, tapi rata. "Apa kau sudah kirim
kurir ke Kiso, Jota?" "Ya, sudah."
"Kapan
kausebutkan waktunya?"
"Tengah malam.
Kita mesti sampai di sana menurut jadwal."
Di malam tenang itu,
Iori cukup dapat menangkap percakapan mereka, hingga ia pun tahu bahwa Daizo
memanggil temannya dengan nama anak-anak, sedangkan Jota menyebut orang yang
lebih tua itu dengan "Kepala". Artinya tidak lain bahwa orang itu kepala
gerombolannya. Tetapi, bagaimanapun, Iori mendapat kesan bahwa mereka itu bapak
dan anak. Ini berarti mereka bukan sekadar bandit, melainkan bandit turunan,
yang tidak dapat ia tangkap sendirian. Tapi kalau ia dapat menghampiri mereka
cukup dekat, ia dapat melaporkan tempat mereka kepada pejabat.
Kota Kawagoe sedang
tertidur lelap, tenang seperti rawa-rawa di tengah malam buta. Sesudah melewati
baris-baris rumah yang sudah gelap, kedua penunggang kuda itu meninggalkan
jalan raya dan mulai mendaki bukit. Sebuah tanda dari batu di bawah kuil
menyatakan: Hutan Bukit Kuburan Kepala-di Atas.
Iori mendaki lewat
semak-semak di sepanjang jalan setapak, dan sampal lebih dahulu di puncak. Di
sana ada sebatang pohon pinus besar. Seekor kuda tertambat pada pohon itu. Tiga
orang berpakaian ronin jongkok di bawah, dengan tangan dilipat di atas lutut.
Mereka memandang penuh harapan ke arah jalan setapak.
Baru saja Iori
menyembunyikan diri, salah seorang dari orang-orang itu menegakkan badan,
katanya, "Itu Daizo." Ketiga orang itu berlari ke depan, dan bertukar
salam gembira dengan Daizo. Daizo dan sekongkolnya memang sudah hampir empat
tahun lamanya tidak berjumpa.
Sebentar kemudian,
mereka mulai bekerja. Atas petunjuk Daizo, mereka menggelindingkan sebuah batu
besar ke sisi, dan mulai menggali. Tanah ditumpuk di satu sisi, sedangkan
timbunan emas dan perak di sisi lain. Jota menurunkan peti-peti itu dari
punggung kuda dan mengeluarkan isinya yang, seperti diduga Iori, terdiri atas
harta Kuil Mitsumine yang hilang itu. Kalau ditambahkan pada simpanan
sebelumnya, barang rampokan itu tentunya bernilai puluhan ribu ryo.
Barang logam berharga
itu dituangkan ke dalam karung-karung jerami biasa, kemudian dimuatkan ke
punggung tiga ekor kuda. Peti-peti pernis yang sudah kosong, bersama-sama
barang lain yang sudah memenuhi tugasnya itu, dimasukkan ke dalam lubang. Tanah
diratakan kembali, dan batu pun dikembalikan pada kedudukan semula.
"Cukuplah
ini," kata Daizo. "Sekarang waktunya merokok." Ia duduk di
samping pohon pinus dan mengeluarkan pipanya. Yang lain-lain mengibaskan
pakaian dan menggabungkan diri dengannya.
Selama empat tahun
melakukan apa yang dinamakan ziarah itu, Daizo telah menjelajahi Dataran Kanto
secara menyeluruh. Hanya sedikit kuil atau tempat suci yang tidak memiliki piagam
yang menyebutkan kedermawanannya yang sudah tidak lagi menjadi rahasia. Namun
aneh juga, tak seorang pun terpikir untuk menanyakan, bagaimana ia memperoleh
seluruh uang itu.
Daizo, Jotaro, dan
ketiga orang dari Kiso itu duduk melingkar sekitar satu jam lamanya,
membicarakan rencana-rencana masa depan. Tak sangsi lagi, sekarang ini
berbahaya bagi Daizo untuk kembali ke Edo, namun seorang dari mereka harus
pergi ke sana. Dalam gudang di Shibaura ada emas yang mesti diambil dan
dokumen-dokumen yang mesti dibakar. Dan ada yang mesti dilakukan untuk mengurus
Akemi.
Tepat sebelum
matahari terbit, Daizo dan ketiga orang itu mulai menuruni jalan raya Koshu,
menuju Kiso. Jotaro berjalan kaki menuju arah berlawanan.
Bintang-bintang yang
ditatap Iori tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, "Siapa yang
harus dikuntit?"
Di bawah langit musim
gugur yang biru cerah, sinar tegas matahari petang seakan-akan tenggelam
langsung ke dalam kulit Jotaro. Dengan kepala dipenuhi pikiran mengenai
perannya di masa mendatang, ia melangkah santai melintasi Dataran Musashino,
seakan-akan dialah pemiliknya.
Sambil melontarkan
pandang agak kuatir ke belakang, pikirnya, "Dia masih di sana."
Karena mengira anak lelaki itu ingin bicara dengannya, beberapa kali ia
berhenti, tapi anak itu tidak berusaha menyusulnya.
Jotaro memutuskan
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia bersembunyi di balik serumpun
elalia.
Sampai di bagian
jalan tempat ia terakhir kali melihat Jotaro, mulailah Iori menoleh ke
sekelilingnya dengan gelisah.
Sekonyong-konyong
Jotaro berdiri dan berseru, "Hei, orang kerdil!"
Iori tergagap, tapi
sekejap kemudian sudah pulih kembali. Karena merasa tak dapat meloloskan diri,
ia berjalan terus dan bertanya acuh tak acuh. "Apa maumu?"
"Kau mengikuti
aku, kan?"
"Tidak!"
Ion menggelengkan kepala dengan sikap tak bersalah. "Aku mau pergi ke
Juniso Nakano."
"Bohong! Kau
tadi mengikuti aku."
"Aku tak
mengerti apa yang kaubicarakan itu." Iori mulai angkat kaki dan lari, tapi
Jotaro menangkap belakang kimononya. "Katakan!"
"Tapi... aku...
aku tidak tahu apa-apa!"
"Pembohong!"
kata Jotaro sambil mengetatkan cengkeramannya. "Ada yang menyuruhmu
mengikuti aku. Kau mata-mata."
"Dan kau... kau
pencuri jelek!"
"Apa?"
pekik Jotaro dengan muka hampir menyentuh muka Iori.
Iori membungkukkan
badan sampai hampir menyentuh tanah, bebas, dan lari.
Sejenak Jotaro
ragu-ragu, tapi kemudian mengejarnya.
Iori membelok ke
samping, dan dari situ terlihat olehnya atap lalang tersebar di sana-sini,
seperti sarang lebah. Ia melintasi ladang yang ditumbuhi rumput musim gugur
kemerahan. Beberapa timbunan tanah tempat tikus mondok tertendang olehnya.
"Tolong! Tolong!
Pencuri!" teriak Iori.
Kampung kecil yang
dimasukinya itu dihuni sejumlah keluarga yang bertugas memadamkan kebakaran di
dataran itu. Iori dapat mendengar bunyi palu dan paron seorang pandai besi.
Orang banyak datang berlarian dari dalam kandang dan rumah yang gelap. Di
rumah-rumah itu bergantung buah kesemek dikeringkan. Sambil melambai-lambaikan
tangan, Iori berteriak terengah-engah, "Orang yang pakai ikat kepala...
dan mengejar saya... itu pencuri. Tangkap dia! Ayolah! ... Oh, oh! Ini dia kemari!"
Orang-orang kampung
menatap kebingungan, Sebagian memandang takut pada kedua pemuda itu, tapi Iori
kecewa karena mereka tidak bergerak menangkap Jotaro.
Di tengah kampung,
Iori berhenti karena sadar bahwa ternyata satu-satunya yang mengganggu suasana
damai itu adalah teriakannya. Kemudian ia berlari lagi, dan menemukan tempat
untuk bersembunyi dan mengambil napas.
Jotaro pelan-pelan
menenangkan diri, sampai akhirnya dapat kembali berjalan normal, sebagai orang
yang bermartabat. Orang-orang kampung memperhatikannya tanpa mengatakan
apa-apa. Ia memang tidak mirip perampok atau ronin yang bermaksud jahat.
Sesungguhnya ia tampak seperti pemuda baik-baik, yang tak mungkin melakukan
kejahatan.
Karena merasa muak
bahwa orang-orang kampung-orang-orang dewasa itu tak hendak menindak pencuri,
Iori memutuskan untuk segera kembali ke Nakano. Di sana, setidaknya ia dapat
menyampaikan urusannya pada orang-orang yang dikenalnya.
Ia meninggalkan
jalan, lalu memotong dataran. Begitu melihat rumpun kriptomeria di belakang
rumah, berarti tinggal satu kilometer lagi jarak yang mesti ditempuhnya. Dengan
perasaan puas, Ia ubah langkahnya, dari menderap jadi berlari penuh.
Tiba-tiba ia melihat
jalannya dihalangi oleh seorang lelaki yang merentangkan kedua tangannya.
Tak sempat ia
membayangkan, bagaimana Jotaro bisa mendahuluinya, tapi sekarang ia berada di
daerah sendiri. Ia melompat mundur dan menarik pedangnya.
"Bajingan!"
pekiknya.
Jotaro menyerbu ke
depan dengan tangan kosong dan menangkap kerah Iori, tapi anak itu berhasil
membebaskan diri dan melompat sepuluh kaki ke samping.
"Bangsat!"
gumam Jotaro, yang merasa darah hangat mengalir turun di tangan kanannya, oleh
luka sepanjang lima sentimeter.
Iori mengambil jurus,
dan memusatkan pikiran pada pelajaran yang dulu didengung-dengungkan Musashi
kepadanya: Mata... Mata... Mata. Kekuatannya terpusat dalam kedua bola matanya.
Keseluruhan dirinya seperti tersalur ke dalam sepasang matanya yang berapi-api.
Karena kalah beradu
pandang, Jotaro menebaskan pedangnya sendiri. "Terpaksa aku
membunuhmu!" gertaknya.
Kembali mendapat
keberanian karena kemenangan yang baru didapatnya, Iori menyerang. Itulah
serangan yang selalu dipergunakannya terhadap Musashi.
Jotaro terpaksa
berpikir sekali lagi. Tadinya ia tak percaya Iori dapat mempergunakan pedang.
Kini ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk berkelahi. Demi kawan-kawannya, ia
harus menyingkirkan anak yang suka campur tangan ini. Ia mendesak maju, agaknya
tanpa memperhatikan serangan Iori, dan ia mengayunkan pedang dengan ganas,
namun meleset.
Sesudah dua-tiga kali
menangkis, Iori membalik, kemudian lari, berhenti, dan menyerang lagi. Apabila
Jotaro menghadapinya, ia mundur lagi. Ia senang melihat taktiknya berhasil.
Dengan cara itu, ia memikat lawan memasuki wilayahnya.
Sambil beristirahat
untuk menarik napas, Jotaro menoleh ke sekitar semak yang gelap, lalu
berteriak, "Ke mana kau, bajingan bodoh?" Jawabannya ternyata hujan
dari pohon dan daun. Jotaro menegakkan kepala, dan berteriak, "Aku
melihatmu!" sekalipun yang ia lihat di tengah dedaunan itu sebenarnya
hanyalah sepasang bintang.
Jotaro memanjat ke
arah bunyi gemeresik yang ditimbulkan Iori, ketika Iori berpindah tempat ke
cabang lain. Sayang sekali, dari sana tak ada lagi jalan untuk lari.
"Kena kau
sekarang! Lebih baik kau menyerah, kecuali kalau kau punya sayap. Kalau tidak,
mati kau!"
Diam-diam Iori
kembali ke sebuah titik percabangan dua batang, pelan, hati-hati. Ketika Jotaro
menggapai untuk menangkapnya, kembali Iori berpindah tempat ke salah satu
batang. Sambil menggeram, Jotaro menangkap sebuah cabang dengan kedua tangannya
dan mengangkat badannya ke atas. Dengan demikian, ia memberikan kesempatan
kepada Iori, kesempatan yang memang dinantikan anak itu. Dengan bunyi berderak,
pedangnya menetak cabang yang digantungi Jotaro. Cabang itu patah, dan Jotaro
jatuh terjerembap ke tanah.
"Bagaimana
rasanya, pencuri?" tanya Iori dengan bangga.
Jotaro jatuh
terhalang dahan-dahan di bawah, karena itu ia tidak terluka parah, hanya
terluka harga dirinya. Ia memaki-maki dan mulai memanjat lagi, kali ini dengan
kecepatan seekor macan tutul. Sampai di kaki Iori lagi, Iori menebaskan
pedangnya ke sana kemari, agar Jotaro tidak sempat mendekat.
Sementara mereka terkunci
dalam jalan buntu, nada-nada sendu shakuhachi terdengar oleh telinga mereka.
Sesaat mereka berdua berhenti dan mendengarkan.
Kemudian Jotaro
memutuskan untuk mencoba bicara baik-baik dengan lawannya. "Baiklah,"
katanya, "kau sudah menunjukkan kemampuan berkelahi lebih baik dari yang
kuduga. Aku kagum padamu. Kalau kau mengatakan siapa yang memerintahkanmu
mengikutiku, akan kulepaskan kau."
"Akui, kau
kalah!"
"Kau gila,
ya?"
"Mungkin saja
aku belum besar, tapi namaku Misawa Iori, satu-satunya murid Miyamoto Musashi.
Minta belas kasihan itu hinaan buat nama baik guruku. Menyerahlah kau!"
"A-apa?"
tanya Jotaro tak percaya. "K-katakan itu sekali lagi!" suaranya
nyaring dan tidak mantap.
"Dengar
baik-baik," kata Iori bangga. "Aku Misawa Iori, satu-satunya murid
Miyamoto Musashi. Apa itu membuatmu heran?"
Jotaro kini bersedia
mengakui kekalahan. Dengan rasa sangsi, bercampur ingin tahu, ia bertanya,
"Bagaimana guruku itu? Apa dia baik-baik saja? Di mana dia?"
Dengan kaget Iori
menjawab, namun tetap menjaga jarak dari Jotaro, yang sementara itu terus
mendekat. "Ha! Sensei tak akan punya murid seorang pencuri."
"Jangan sebut
aku pencuri. Apa Musashi tak pernah menyebut Jotaro?"
"Jotaro?"
"Kalau kau
betul-betul murid Musashi, pasti kau pernah mendengar dia menyebut namaku
sekali-sekali. Aku seumurmu waktu itu."
"Bohong!"
"Tidak bohong!
Betul!"
Penuh dengan rasa
nostalgia, Jotaro mengulurkan tangan kepada Iori, dan mencoba menjelaskan bahwa
mereka berdua mesti bersahabat, karena mereka murid dari guru yang sama. Namun
Iori tetap bersikap waspada, dan melayangkan pukulan ke arah rusuk Jotaro.
Karena terjepit
antara dua dahan, hampir Jotaro tak berhasil mencengkeramkan tangannya ke
pergelangan Iori. Entah karena apa, Iori melepaskan cabang yang selama itu
dipegangnya. Mereka pun jatuh bersama, satu di atas yang lain, dan kedua-duanya
pingsan.
Cahaya di rumah baru
Musashi itu tampak dari segala jurusan, karena sekalipun atapnya sudah
terpasang, dinding-dindingnya belum dibuat.
Takuan datang sehari
sebelumnya, untuk melakukan kunjungan seusai badai, dan ia memutuskan untuk
menanti kembalinya Musashi. Tepat malam tadi, kenikmatan yang diperolehnya dari
lingkungan sepi itu diganggu oleh seorang pendeta pengemis yang minta air panas
untuk makan malam.
Pendeta tua itu makan
kue berasnya yang sederhana, lalu mulai bermain shakuhachi untuk Takuan. Dengan
gerak tertegun-tegun dan gaya amatiran, ia mainkan alat itu dengan
jari-jarinya. Mendengar permainannya, Takuan merasa bahwa musik yang
didengarnya itu mengandung nada-nada murni, sekalipun terdengar juga nada-nada
klise, seperti sering terungkap dalam sajak orang-orang yang bukan penyair. Ia
merasa juga, bahwa ia dapat menangkap emosi yang hendak dinyatakan oleh si
pemain dengan alatnya. Musik itu murung. Dari nada sumbang yang pertama sampai
yang terakhir, terasa lolongan penyesalan.
Terasa oleh Takuan,
semua itu seperti cerita tentang kehidupan orang itu sendiri, dan ia bayangkan
bahwa cerita itu tentunya tidak jauh berbeda dari hidupnya sendiri. Besar atau
kecil seseorang, tidak banyak beda pengalaman hidup rohaninya. Perbedaannya
hanyalah bagaimana masing-masing dari mereka menangani kelemahan-kelemahan
manusia yang umum sifatnya. Bagi Takuan, ia dan orang lain itu pada dasarnya hanyalah
seikat khayal yang terbungkus daging manusia.
"Saya yakin
pernah melihat Anda, entah di mana," gumam Takuan merenung.
Pendeta itu
mengedip-ngedipkan matanya yang hampir tak melihat, dan katanya, "Sesudah
Anda mengucapkan kata itu, saya jadi kenal suara Anda. Bukankah Anda Takuan
Soho dari Tajima?"
Ingatan Takuan
menjadi terang kini. Sambil mendekaikan lampu ke wajah orang itu, katanya,
"Anda Aoki Tanzaemon, kan:
"Kalau begitu,
Anda betul Takuan. Oh, alangkah ingin saya merangkak ke dalam lubang, dan
menyembunyikan diri saya yang celaka ini."
"Aneh sekali,
kita berjumpa di tempat semacam ini. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu, sejak
peristiwa di Kuil Shippoji itu, kan?"
"Oh, menggigil
saya, kalau memikirkan masa itu." Kemudian katanya kaku, "Sesudah
menjadi pengembara dalam kegelapan, onggokan tulang sial ini hanya punya satu
penunjang semangat hidupnya, yaitu kenangan akan anak."
"Anda punya
anak?"
"Orang bilang,
anak saya hidup bersama orang yang diikat pada pohon kriptomeria tua dulu itu.
Takezo namanya, kan? Saya dengar namanya sekarang Miyamoto Musashi. Kata orang,
keduanya pergi ke timur."
"Maksud Anda,
anak Anda itu murid Musashi?"
"Begitulah kata
orang. Saya malu sekali. Tak mungkin saya menghadapi Musashi, karena itu saya
putuskan untuk menghilangkan saja anak itu dari pikiran saya. Tapi... ah,
umurnya sudah tujuh belas tahun sekarang. Sekiranya saya dapat melihatnya
sekali saja, dan tahu akan menjadi orang macam apa dia nanti, siaplah dan
maulah saya mati."
"Jadi, Jotaro
itu anak Anda? Saya tidak tahu," kata Takuan.
Tanzaemon mengangguk.
Tak ada tanda-tanda pada tubuhnya yang mengeriput itu, bahwa ia kapten angkuh
yang bernafsu terhadap Otsu dulu. Takuan memandangnya dengan perasaan iba, dan
sedih melihat Tanzaemon yang demikian tersiksa oleh kesalahannya sendiri.
Sekalipun mengenakan
pakaian pendeta, orang itu jelas tidak mendapatkan ketenangan dalam keyakinan
keagamaan, maka Takuan memutuskan langkah pertama yang harus diambilnya adalah
menghadapkan pendeta itu kepada Budha Amida, yang dengan keampunan tanpa batas
dapat menyelamatkan mereka yang telah bersalah melakukan sepuluh tindak
kejahatan dan lima dosa tak berampun. Sesudah ia sembuh dari rasa putus asanya,
masih akan cukup waktu untuk mencari Jotaro.
Takuan memberikan
kepadanya nama sebuah kuil Zen di Edo. "Kalau Anda katakan pada mereka
bahwa saya yang mengirim Anda ke sana, mereka akan mengizinkan Anda tinggal di
sana berapa lama pun Anda suka. Begitu ada waktu nanti, saya akan datang, dan
kita akan berbicara panjang-lebar. Saya dapat menduga di mana anak Anda berada.
Akan saya usahakan sebisa-bisanya agar Anda dapat bertemu dengannya tidak lama
lagi. Sementara itu, tinggalkan pengembaraan Anda. Sesudah berumur lima puluh
atau enam puluh tahun pun, orang masih bisa mengenal kebahagiaan, bahkan juga
melakukan kerja yang bermanfaat. Anda bisa hidup bertahuntahun lagi. Bicarakan
soal ini dengan pendeta-pendeta di sana, kalau Anda sampai di kuil itu."
Takuan mengusir
Tanzaemon ke luar pintu, tanpa banyak upacara dan rasa simpati, tapi Tanzaemon
rupanya menghargai sikapnya yang tanpa perasaan itu. Sesudah beberapa kali
membungkuk sebagai tanda terima kasih, ia memungut topi buluh dan
shakuhachi-nya, lalu pergi.
Karena takut
tergelincir, Tanzaemon memilih jalan lewat hutan, di mana jalan setapak lebih
melandai. Akhirnya tongkatnya menyinggung suatu rintangan. Ketika ia
meraba-raba dengan kedua tangannya, terkejutlah ia menepuk dua tubuh yang
terbaring tak bergerak-gerak di tanah lembap itu.
Ia lekas-lekas
kembali ke pondok tadi. "Takuan! Apa Anda bisa membantu saya? Saya
menemukan dua anak lelaki pingsan di hutan." Takuan bangkit dan pergi ke
luar. Sambung Tanzaemon, "Saya tidak bawa obat, dan penglihatan saya tidak
begitu baik untuk mengambilkan mereka air."
Takuan mengenakan
sandalnya dan berseru ke arah dasar bukit. Suaranya mengalun lepas. Seorang
petani menjawab dan bertanya kepadanya, apa yang dikehendakinya. Takuan minta
ia membawa obor, juga beberapa orang lelaki dan sedikit air. Sambil menanti, ia
menyatakan pada Tanzaemon bahwa jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya
untuk ditempuh. la lukiskan jalan itu dengan terperinci, dan ia anjurkan
Tanzaemon jalan terus. Di tengah jalan menuruni bukit, Tanzaemon berpapasan
dengan orang-orang yang naik.
Ketika Takuan tiba
dengan petani itu, Jotaro sudah tersadar dan duduk di bawah pohon, tampaknya
bingung. Sebelah tangannya terletak di atas tangan Iori, dan ia bimbang:
menyadarkan Iori dan mencoba mengetahui apa yang dikehendakinya, ataukah pergi
dart sana? Melihat obor datang, ia bereaksi seperti binatang malam, menegangkan
otot-otot, siap untuk lari.
"Apa yang
terjadi di sini?" tanya Takuan. la memperhatikan segalanya lebih teliti,
dan minatnya yang bercampur rasa ingin tahu berubah menjadi sikap heran, sama
seperti Jotaro. Anak muda itu jauh lebih tinggi dari anak yang pernah dikenal
Takuan, dan wajahnya berubah sedikit.
"Kau Jotaro,
kan?"
Pemuda itu meletakkan
kedua tangannya ke tanah, membungkuk. "Betul," katanya tertegun,
hampir-hampir dengan sikap takut. Ia mengenal Takuan seketika itu juga.
"Oh, kau memang
sudah tumbuh menjadi pemuda tampan." Sambil mengalihkan perhatian kepada
Iori, Takuan merangkulnya dan memastikan bahwa anak,itu masih hidup.
Iori sadar kembali.
Sesudah menoleh sekeliling beberapa detik lamanya dengan keheranan, ia pun
menangis.
"Ada apa?"
tanya Takuan dengan nada menghibur. "Apa kau luka?"
Iori menggelengkan
kepala, menangis, "Saya tidak luka. Tapi mereka membawa guru saya. Dia di
penjara Chichibu sekarang." Karena tangisnya itu, sukar Takuan menangkap
maksud kata-katanya, tapi kemudian ceritanya pun menjadi jelas. Sadar akan seriusnya
keadaan itu, Takuan jadi hampir sama sedihnya dengan Iori.
Jotaro pun sangat
gelisah. Dengan suara bergetar, katanya tiba-tiba, "Pak Takuan, ada yang
hendak saya sampaikan pada Bapak. Apa kita bisa pergi ke tempat lain untuk
bicara?"
"Dialah salah
seorang pencuri itu," kata Iori. "Bapak jangan percaya dia. Apa saja
yang dikatakannya pasti bohong." Ia menunjuk Jotaro dengan nada menuduh,
dan mereka saling tatap.
"Diam kalian
berdua! Biar kuputuskan siapa yang benar dan siapa yang salah." Takuan
membawa mereka kembali ke rumah, dan memerintahkan mereka membuat api di luar.
Takuan duduk di
samping api, dan ia perintahkan mereka untuk berbuat demikian juga. Iori
ragu-ragu. Air mukanya jelas-jelas menyatakan bahwa ia tak ingin bersahabat
dengan pencuri. Tapi, melihat Takuan dan Jotaro berbicara akrab mengenai masa
lalu, ia merasa iri, dan sambil menggerutu mengambil tempat duduk di dekat
mereka.
Jotaro merendahkan
suaranya, dan seperti perempuan yang sedang mengaku dosa kepada sang Budha, ia
menjadi sangat sungguh-sungguh.
"Selama empat
tahun ini saya menerima latihan dari orang bernama Daizo. Dia berasal dari
Narai di Kiso. Saya sudah tahu apa yang menjadi keinginannya, dan apa yang dia
kehendaki untuk dunia ini. Kalau perlu, saya bersedia mati untuk dia. Itu sebabnya
saya mencoba membantu pekerjaannya... Yah, memang sakit disebut pencuri, tapi
saya masih menjadi murid Musashi. Biarpun saya terpisah darinya, dalam semangat
saya tak pernah terpisah, sehari pun tidak."
Ia bicara terus
dengan tergesa-gesa, tak mau menanti diberi pertanyaan. "Daizo dan saya
sudah bersumpah kepada dewa-dewa di langit dan di bumi, tidak akan mengatakan
pada orang lain, apa tujuan hidup kami. Kepada Bapak pun tak dapat saya
sampaikan. Tapi saya tak bisa tinggal diam kalau Musashi dijebloskan dalam
penjara. Saya akan pergi ke Chichibu besok, dan mengaku."
Takuan berkata,
"Jadi, kamu dan Daizo yang merampok gedung harta itu."
"Ya," jawab
Jotaro tanpa sedikit pun nada bersalah.
"Kalau begitu,
kau memang pencuri," kata Takuan.
Jotaro menundukkan
kepala untuk menghindari mata Takuan.
"Tidak...
tidak," gumamnya tertegun-tegun. "Kami bukan pencuri biasa."
"Aku tidak tahu
bahwa pencuri ada macam-macam jenisnya."
"Tapi, maksud
saya, kami lakukan ini bukan untuk keuntungan sendiri. Kami lakukan semua ini
untuk orang banyak. Soalnya adalah memindahkan kekayaan umum untuk kepentingan
umum."
"Aku tak
mengerti jalan pikiran macam itu. Maksudmu, perampokan yang kalian lakukan itu
kejahatan yang bisa dibenarkan? Maksudmu, kalian ini sejenis pahlawan bandit
dalam novel-novel Cina? Kalau memang demikian, sungguh tiruan yang jelek!"
"Tak bisa saya
menjawab pertanyaan itu tanpa membuka persetujuan rahasia dengan Daizo."
"Ha, ha. Jadi,
kau tak mau mengakui dirimu ditipu, kan?"
"Tak peduli
saya, apa yang Bapak katakan. Saya akan mengaku, cuma untuk menyelamatkan
Musashi. Saya harap Bapak menyatakan hal yang baik tentang saya kepadanya
nanti."
"Aku takkan
dapat menemukan kata yang baik untuk disampaikan. Musashi tidak bersalah. Kau
mengaku atau tidak, dia akan bebas juga. Menurutku, jauh lebih baik bagimu
datang kepada sang Budha. Gunakan diriku sebagai perantara, dan akui segalanya
kepadanya."
"Budha?"
"Betul. Katamu
kau melakukan sesuatu yang besar untuk kepentingan orang lain. Jadi, kau
menempatkan dirimu di hadapan orang lain. Apa tak terpikir olehmu bahwa kau
mengakibatkan sejumlah orang tidak bahagia?"
"Orang tak
mungkin memikirkan dirinya, kalau dia bekerja demi masyarakat."
"Tolol!"
Takuan memukul pipi Jotaro keras-keras dengan tinjunya. "Diri seseorang
itu adalah dasar segalanya. Setiap tindakan adalah ungkapan diri seseorang.
Orang yang tidak kenal dirinya tak dapat melakukan apa pun buat orang
lain."
"Maksud saya...
saya bertindak bukan buat memuaskan keinginan saya sendiri."
"Tutup mulut!
Apa kau tidak lihat, dirimu itu baru saja dewasa? Tak ada yang lebih mengerikan
daripada orang sok pahlawan yang baru setengah matang, yang tak tahu apa-apa
tentang dunia ini, tapi berani mengatakan pada dunia apa yang baik untuk dunia
itu. Tak perlu lagi kau bercerita tentang apa yang kau dan Daizo lakukan. Aku
mendapat gagasan yang sangat bagus... Apa yang kautangiskan? Buang ingusmu
itu!"
Jotaro diperintahkan
pergi tidur, dan dengan patuhnya ia membaringkan diri, tapi la tak dapat tidur
karena memikirkan Musashi. Ia tangkupkan kedua tangannya di dada, dan diam-diam
ia memohon pengampunan. Air mata mengalir masuk telinganya. Ia miringkan badan,
dan mulailah ia memikirkan Otsu. Pipinya terasa sakit, tapi air mata Otsu
tentulah lebih menyakitkan lagi. Namun membukakan janji rahasianya kepada Daizo
tidaklah mungkin baginya, sekalipun Takuan akan mencoba mengoreknya dari
dirinya pagi nanti. Hal itu ia yakini benar.
Ia berdiri tanpa
bersuara, kemudian pergi ke luar, memandang bintang-bintang. Ia mesti cepat
bertindak. Malam hampir lewat.
"Berhenti!"
Suara itu membuat Jotaro berdiri mematung di tempatnya. Di belakang menyusul
bayangan Takuan yang sangat besar.
Pendeta itu datang ke
sisinya dan merangkulnya. "Apa kau bertekad pergi mengaku?"
Jotaro mengangguk.
"Perbuatan yang
tidak begitu pintar!" kata Takuan dengan nada bersimpati. "Kau bisa
mati seperti anjing. Rupanya kau mengira kalau kau menyerahkan diri, Musashi
akan dilepaskan, padahal soalnya tidak sesederhana itu. Pejabat-pejabat itu
akan tetap menahan Musashi di penjara, sampai kau menceritakan semuanya yang
kausembunyikan dariku. Dan kau... kau akan disiksa sampai kau bicara, tak
peduli akan makan waktu setahun, dua tahun, atau lebih."
Jotaro menundukkan
kepala.
"Apa kau ingin
mati seperti anjing? Kau tak punya pilihan lain sekarang: kau mengakui
segalanya dengan siksaan, atau kau menceritakan segalanya padaku. Sebagai murid
sang Budha, aku takkan ikut mengadili. Aku akan menyampaikannya kepada
Amida."
Jotaro tidak
mengatakan apa-apa.
"Tapi ada cara
lain lagi. Kebetulan sekali semalam aku bertemu ayahmu. Dia sekarang menjadi
pendeta pengemis. Tentu saja aku tak menyangka kau ada di sini juga. Kusuruh
dia pergi ke kuil di Edo. Kalau kau sudah mantap untuk mati, sebaiknya kau
menjumpai dia dulu. Dan kalau bertemu dengannya, kau dapat bertanya padanya,
apakah tidak betul pendapatku ini.
"Jotaro, ada
tiga jalan terbuka buatmu. Kau mesti memilih sendiri, yang mana akan
kautempuh." Takuan membalikkan badan, dan kembali masuk ke rumah.
Sadarlah Jotaro bahwa
shakuhachi yang didengarnya kemarin malam itu tentu shakuhachi ayahnya. Tanpa
diberitahu, ia dapat membayangkan sendiri wajah dan perasaan ayahnya, sementara
ia mengembara dari tempat yang satu ke tempat lain.
"Takuan, tunggu!
Saya akan bicara. Akan saya sampaikan semuanya kepada sang Budha, termasuk
janji saya pada Daizo." Jotaro mencengkeram lengan baju pendeta itu, dan
keduanya masuk ke dalam belukar.
Jotaro mengaku dalam
bentuk monolog panjang. Tak ada yag dilewatkannya. Takuan tak bergerak ataupun
berbicara.
"Hanya
itu," kata Jotaro.
"Sudah
semuanya?"
"Sudah
semuanya."
"Bagus."
Takuan tetap diam,
sampai satu jam penuh. Fajar merekah. Burung gagak mulai berkaok-kaok. Embun
berkilauan di mana-mana. Takuan duduk di pangkal pohon kriptomeria. Jotaro
menyandarkan diri ke pohon lain dengan kepala tertunduk, menanti makian yang
pasti datang.
Ketika akhirnya
Takuan berbicara, tampak ia tak ragu lagi, "Mesti kukatakan, kau sudah
terlibat dengan orang-orang yang bukan main! Semoga Tuhan membantu mereka.
Mereka tak mengerti, ke mana arah dunia berputar. Baik sekali kau sudah
menceritakannya sebelum keadaan menjadi lebih buruk." Ia merogohkan tangan
ke dalam kimono. Mengherankan juga, dari situ la mengeluarkan dua keping uang
emas dan memberikannya pada Jotaro. "Lebih baik kau pergi
selekas-lekasnya. Sedikit saja tertunda, bisa mendatangkan bencana, tidak hanya
buat dirimu, tapi juga buat ayahmu dan gurumu. Pergilah sejauh-jauhnya, tapi
jangan mendekati jalan raya Koshu atau Nakasendo. Tengah hari ini mereka
melakukan pemeriksaan ketat pada semua orang yang lewat."
"Apa yang akan
terjadi dengan Sensei nanti? Tak bisa saya pergi meninggalkan dia di tempatnya
sekarang."
"Serahkan
padaku. Setahun-dua tahun lagi, kalau segalanya mereda, kau bisa datang bertemu
dengannya, meminta maaf. Waktu itulah akan kusampaikan berita baik
buatmu."
"Selamat tinggal."
"Tunggu
sebentar."
Ya?"
"Pergilah ke Edo
dulu. Di Azabu ada kuil Zen bernama Shojuan. Ayahmu mestinya di sana sekarang.
Bawa materai yang kuterima dari Daitokuji ini. Mereka akan tahu, ini milikku.
Minta untuk dirimu dan ayahmu topi dan pakaian pendeta, juga surat-surat
kepercayaan yang diperlukan. Sudah itu, kau dapat berjalan dengan
menyamar."
"Kenapa saya
mesti pura-pura jadi pendeta?"
"Kau benar-benar
bodoh, ya? Dengar, sahabat muda yang konyol, kau ini agen suatu kelompok yang
punya rencana membunuh shogun, membakar benteng di Suruga, mengacaukan seluruh
daerah Kanto, dan mengambil alih pemerintahan. Singkatnya, kau ini seorang
pengkhianat. Kalau kau tertangkap, hukuman yang pasti adalah mati
digantung."
Jotaro ternganga.
"Sekarang pergilah!"
"Boleh saya
mengajukan pertanyaan? Kenapa orang yang hendak menggulingkan Keluarga Tokugawa
mesti dianggap pengkhianat? Kenapa orang-orang yang sudah menggulingkan
Keluarga Toyotomi dan merebut kekuasaan atas negeri ini bukan
pengkhianat?"
"Jangan tanya
aku," jawab Takuan dengan pandangan dingin.
0 komentar:
Posting Komentar