Sabtu, 15 Juli 2017



Sesama Murid
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg




"AYOLAH, tak usah menangis lagi!" Gonnosuke mendekap Iori ke dadanya. "Kau lelaki, kan?"

"Justru karena saya lelaki... saya menangis." Iori mengangkat kepalanya, membuka mulut lebar-lebar, dan menangis sambil menengadah.

"Bukan mereka yang menahan Musashi. Dia yang menyerahkan diri." Kata-kata lunak Gonnosuke itu menyembunyikan keprihatinannya sendiri yang dalam. "Ayolah, kita pergi sekarang."

"Tidak, sebelum mereka mengembalikan dia!"

"Tak lama lagi mereka akan melepaskannya. Harus! Apa kau mau kutinggalkan di sini sendirian?" Gonnosuke menjauh beberapa langkah.

Iori tak bergerak. Justru pada waktu itu anjing Baiken datang menyerbu dari dalam hutan, dengan moncong merah berdarah. "Tolong!" jerit Iori sambil berlari ke samping Gonnosuke.

"Kau capek, ya? Mau digendong?"

Iori dengan senang bergumam menyatakan terima kasih, lalu naik ke punggung yang ditawarkan kepadanya, dan mendekapkan kedua tangannya ke bahu yang lebar itu.

Habis pesta malam kemarin, para tamu pergi. Angin lembut meniupkan sisa-sisa bungkusan dari daun bambu dan carik-carik kertas di sepanjang jalanan sepi itu.

Lewat Warung Teh Oinu, Gonnosuke menoleh ke dalam, maksudnya hendak lewat saja, tanpa diperhatikan orang.

Tapi Iori berseru, "Itu perempuan yang lari tadi!"

"Aku bisa mengerti, mestinya memang dia di sini." Gonnosuke berhenti, dan menyatakan keheranannya, "Kalau para pejabat bisa menyeret Musashi, kenapa mereka tidak menahan orang ini?"

Melihat Gonnosuke, mata Oko menyala-nyala karena marah.

Melihat perempuan itu terburu-buru mengumpulkan barang miliknya, Gonnosuke tertawa. "Mau bepergian, ya?" tanyanya.

"Bukan urusanmu. Jangan sangka aku tidak kenal kau, bajingan tukang campur tangan! Kau sudah membunuh suamiku!"

"Kalian sendiri penyebabnya."

"Hari-hari ini juga kubalas kau."

"Iblis perempuan!" seru Iori dari atas kepala Gonnosuke.

Sambil mengundurkan diri ke kamar belakang, Oko tertawa menghina,

"Apa kalian pikir kalian orang baik-baik, berani-berani mengata-ngatai aku? Kan kalian pencuri yang masuk gedung harta?"

"Apa?" Gonnosuke segera menurunkan Iori ke tanah, dan masuk ke dalam warung. "Siapa yang kausebut pencuri?"

"Tak bisa kau membohongi aku!"

"Katakan sekali lagi, dan..."

"Pencuri!'

Gonnosuke mencengkeram tangan Oko, tapi waktu itu juga Oko membalikkan badan dan menusukkan belati ke arahnya. Tanpa mengusik tongkatnya, Gonnosuke mencoba merebut belati dari tangan Oko dan menyurukkan perempuan itu lewat pintu depan.

Oko cepat berdiri dan menjerit, "Tolong! Pencuri! Aku dikeroyok!"

Gonnosuke membidik, dan melontarkan belatinya. Menancap di punggung Oko, ujungnya menyembul di dada. Oko jatuh tertelungkup.

Entah dari mana datangnya, Kuro langsung muncul dan mengangkangi tubuh itu. Pertama, ia menghirup darahnya dengan lapar, kemudian mengangkat kepala dan melolong ke langit.

"Lihat matanya itu!" seru Iori ngeri.

Teriakan Oko tadi sampai ke telinga orang-orang kampung yang sedang heboh. Sesaat sebelum fajar, memang ada orang menyerobot masuk gedung harta kuil. Jelas perbuatan itu dilakukan oleh orang luar, karena harta keagamaan seperti pedang-pedang tua, cermin, dan barang lain semacam itu tidak dijamah, sedangkan kekayaan dalam bentuk emas urai, emas lantakan, dan uang tunai yang disimpan bertahun-tahun lamanya, hilang. Berita itu lambat sekali bocornya, dan belum ditegaskan kebenarannya. Akibat jeritan Oko, yang sedemikian jauh merupakan bukti paling nyata itu, sungguh cepat.

"Itu mereka!"

"Dalam Warung Oinu!"

Teriakan-teriakan itu memikat lebih banyak lagi orang yang bersenjatakan bambu runcing, senapan babi hutan, tongkat, dan batu. Dalam sekejap mata saja seluruh kampung sudah mengepung warung teh itu dengan sikap haus darah.

Gonnosuke dan Iori lari dari pintu belakang, dan beberapa jam berikutnya berturut-turut mereka terusir dari persembunyian yang satu ke persembunyian yang lain. Tapi kini mereka mendapat kejelasan: Musashi ditahan bukan karena "kejahatan" yang akan diakuinya, melainkan karena pencurian. Baru sesudah sampai di Celah Shomaru mereka berhasil melepaskan diri dari rombongan pencari yang terakhir.

"Bapak dapat melihat Dataran Musashino dari sini," kata Iori. "Ingin tahu juga rasanya, apa guru saya selamat."

"Hmm. Kukira dia ada di penjara sekarang, dan sedang diperiksa."

"Apa tak ada jalan menyelamatkan dia?"

"Harusnya ada."

"Saya mohon, tolonglah."

"Tak perlu kau memohon. Dia semacam guru juga buatku. Tapi, Iori, tak banyak yang bisa kaulakukan di sini. Apa kau bisa pulang sendiri?"

"Saya kira bisa, kalau memang terpaksa." "Bagus."

"Bapak sendiri bagaimana?"

"Aku akan kembali ke Chichibu. Kalau mereka menolak melepaskan Musashi, akan kukeluarkan dia, entah dengan cara bagaimana, biar mesti meruntuhkan penjara." Untuk menekankan kata-katanya, ia hantamkan tongkatnya satu kali ke tanah. Iori sudah menyaksikan tenaga senjata itu, dan ia cepat mengangguk menyetujui. "Kau anak baik. Pulanglah dan urus segalanya, sampai aku membawa Musashi pulang dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa." Sambil mengepit tongkatnya, Gonnosuke berbalik menuju Chichibu.

Iori tidak merasa kesepian atau takut. Ia juga tidak kuatir akan tersesat. Tapi ia mengantuk bukan main. Sementara berjalan di bawah matahari panas itu, ia hampir tak dapat membuka matanya. Di Sakamoto, ia melihat patung Budha di tepi jalan, dan berbaringlah ia di bawah bayangannya.

Ketika sinar matahari sore makin menggelap, ia terbangun mendengar suara-suara pelan di sebelah patting. Karena merasa agak bersalah mendengarkan percakapan orang, ia berpura-pura masih tidur.

Ada dua orang-yang satu duduk di atas tunggul potion, yang lain di atas batu. Tidak jauh dari situ, ada dua ekor kuda tertambat pada pohon, dengan peti-peti pernis tergantung di kedua sisi pelananya. Label kayu yang tertera pada salah satu peti itu bertuliskan: Dari Provinsi Shimotsuke. Untuk pembangunan lingkar barat. Leveransir Bahan Pernis untuk Shogun.

Bagi Iori, yang sekarang menoleh ke sekitar patung, kedua orang itu tidak mirip kawanan pejabat kuil yang makmur. Mata mereka terlalu tajam, dan tubuh mereka terlalu berotot. Yang lebih tua tampak tegap, umurnya lebih dari lima puluh tahun. Sinar matahari terakhir terpantul tajam dari topi yang menutupi kedua telinganya, dan topi itu menjorok ke depan, menutupi wajahnya.

Temannya seorang pemuda ramping dan kokoh, dengan jambul yang cocok untuk wajahnya yang kekanak-kanakan. Kepalanya tertutup saputangan bercelup Suo dan diikatkan di bawah dagu.

"Bagaimana peti-peti pernis itu?" tanya yang muda. "Bagus juga, kan?"

"Ya, bagus. Orang bisa menduga kita ada hubungan dengan pekerjaan yang sedang berlangsung di kuil. Takkan terpikir olehku hal itu."

"Terpaksa saya mengajarkan soal-soal ini pada Bapak, sedikit demi sedikit."

"Hati-hati kau! Jangan menertawakan orang tua. Tapi siapa tahu? Barangkali dalam empat atau lima tahun, Daizo tua ini akan menerima perintah darimu!"

"Ya, orang muda tumbuh dewasa. Orang tua terus tambah tua, tak peduli berapa keras mereka berusaha untuk tetap muda."

"Kaupikir, itu yang kulakukan?"

"Jelas, kan? Bapak selalu berpikir tentang umur Bapak, dan itu yang menyebabkan Bapak berusaha keras agar misi Bapak itu terlaksana."

"Rupanya kau sudah betul-betul mengenal diriku."

"Apa kita tidak berangkat?"

"Ya, jangan sampai keburu malam."

"Saya tak mau sampai tertangkap."

"Ha, ha. Kalau kau begitu cepat takut, kau tak bisa punya keyakinan penuh akan apa yang kaulakukan."

"Saya belum lama terjun dalam urusan ini. Bunyi angin pun kadang-kadang membuat saya gugup."

"Itu karena kau masih berpikir tentang dirimu sebagai pencuri biasa. Kalau kau berpikir bahwa yang kaulakukan adalah untuk kebaikan negerimu, perasaanmu akan tenang."

"Bapak selalu bilang begitu. Saya percaya pada Bapak, tapi ada yang selalu mengingatkan saya, bahwa yang saya lakukan ini tidak benar."

"Kau mesti punya keberanian berpendirian!" Namun nasihat itu terdengar kurang meyakinkan, seakan-akan Daizo sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Pemuda itu melompat ringan ke atas pelana, dan berjalan mendahului. "Bapak perhatikan saya," serunya sambil menoleh ke belakang. "Kalau saya melihat apa-apa, akan saya beri isyarat."

Jalan itu turun melandai ke selatan. Iori memperhatikan dari balik patung Budha sejenak, kemudian memutuskan untuk mengikuti mereka. Bagaimanapun, ia yakin mereka itulah pencuri-pencuri gedung harta.

Sekali-dua kali, mereka menoleh ke belakang dengan hati-hati. Karena merasa tak ada tanda-tanda bahaya, sebentar kemudian mereka sepertinya sudah tampak melupakan Iori. Tak lama sesudah itu, cahaya petang lenyap, dan keadaan pun jadi terlalu gelap, hingga susah melihat beberapa meter ke depan.

Kedua penunggang kuda hampir sampai ke ujung Dataran Musashino, ketika pemuda itu menuding dan berkata, "Nah, di sana Pak Kepala bisa melihat lampu Ogimachiya." Jalanan jadi mendatar. Tidak berapa jauh di depan, tampak Sungai Iruma berkilauan seperti perak oleh sinar bulan, berkelok-kelok seperti obi yang tercecer.

Iori kini bersikap hati-hati, agar tetap tidak menjadi perhatian. Dugaannya bahwa orang-orang itu pencuri telah semakin besar, dan ia kenal segala sesuatu tentang bandit, semenjak ia tinggal di Hotengahara. Bandit adalah orang-orang jahat yang tega berbuat aniaya hanya karena sebutir telur atau secuil buncis merah. Pembunuhan tanpa alasan bukanlah apa-apa bagi mereka.

Segera mereka masuk kota Ogimachiya. Daizo mengangkat satu tangannya dan berkata, "Jota, kita berhenti di sini buat makan. Kuda mesti diberi makan, dan aku ingin merokok."

Mereka mengikatkan kuda di depan warung yang lampunya remangremang, dan masuk. Jota menempatkan diri di dekat pintu, dan terns menatapkan matanya ke peti-peti itu, selama ia makan. Begitu selesai, ia keluar dan memberi makan kudanya.

Ion masuk warung makanan di seberang jalan, dan ketika kedua orang itu berangkat lagi, ia sambar gumpalan terakhir nasinya, dan ia makan seraya berjalan.

Kedua orang itu kini berjalan berdampingan. Jalanan gelap, tapi rata. "Apa kau sudah kirim kurir ke Kiso, Jota?" "Ya, sudah."

"Kapan kausebutkan waktunya?"

"Tengah malam. Kita mesti sampai di sana menurut jadwal."

Di malam tenang itu, Iori cukup dapat menangkap percakapan mereka, hingga ia pun tahu bahwa Daizo memanggil temannya dengan nama anak-anak, sedangkan Jota menyebut orang yang lebih tua itu dengan "Kepala". Artinya tidak lain bahwa orang itu kepala gerombolannya. Tetapi, bagaimanapun, Iori mendapat kesan bahwa mereka itu bapak dan anak. Ini berarti mereka bukan sekadar bandit, melainkan bandit turunan, yang tidak dapat ia tangkap sendirian. Tapi kalau ia dapat menghampiri mereka cukup dekat, ia dapat melaporkan tempat mereka kepada pejabat.

Kota Kawagoe sedang tertidur lelap, tenang seperti rawa-rawa di tengah malam buta. Sesudah melewati baris-baris rumah yang sudah gelap, kedua penunggang kuda itu meninggalkan jalan raya dan mulai mendaki bukit. Sebuah tanda dari batu di bawah kuil menyatakan: Hutan Bukit Kuburan Kepala-di Atas.

Iori mendaki lewat semak-semak di sepanjang jalan setapak, dan sampal lebih dahulu di puncak. Di sana ada sebatang pohon pinus besar. Seekor kuda tertambat pada pohon itu. Tiga orang berpakaian ronin jongkok di bawah, dengan tangan dilipat di atas lutut. Mereka memandang penuh harapan ke arah jalan setapak.

Baru saja Iori menyembunyikan diri, salah seorang dari orang-orang itu menegakkan badan, katanya, "Itu Daizo." Ketiga orang itu berlari ke depan, dan bertukar salam gembira dengan Daizo. Daizo dan sekongkolnya memang sudah hampir empat tahun lamanya tidak berjumpa.

Sebentar kemudian, mereka mulai bekerja. Atas petunjuk Daizo, mereka menggelindingkan sebuah batu besar ke sisi, dan mulai menggali. Tanah ditumpuk di satu sisi, sedangkan timbunan emas dan perak di sisi lain. Jota menurunkan peti-peti itu dari punggung kuda dan mengeluarkan isinya yang, seperti diduga Iori, terdiri atas harta Kuil Mitsumine yang hilang itu. Kalau ditambahkan pada simpanan sebelumnya, barang rampokan itu tentunya bernilai puluhan ribu ryo.

Barang logam berharga itu dituangkan ke dalam karung-karung jerami biasa, kemudian dimuatkan ke punggung tiga ekor kuda. Peti-peti pernis yang sudah kosong, bersama-sama barang lain yang sudah memenuhi tugasnya itu, dimasukkan ke dalam lubang. Tanah diratakan kembali, dan batu pun dikembalikan pada kedudukan semula.

"Cukuplah ini," kata Daizo. "Sekarang waktunya merokok." Ia duduk di samping pohon pinus dan mengeluarkan pipanya. Yang lain-lain mengibaskan pakaian dan menggabungkan diri dengannya.

Selama empat tahun melakukan apa yang dinamakan ziarah itu, Daizo telah menjelajahi Dataran Kanto secara menyeluruh. Hanya sedikit kuil atau tempat suci yang tidak memiliki piagam yang menyebutkan kedermawanannya yang sudah tidak lagi menjadi rahasia. Namun aneh juga, tak seorang pun terpikir untuk menanyakan, bagaimana ia memperoleh seluruh uang itu.

Daizo, Jotaro, dan ketiga orang dari Kiso itu duduk melingkar sekitar satu jam lamanya, membicarakan rencana-rencana masa depan. Tak sangsi lagi, sekarang ini berbahaya bagi Daizo untuk kembali ke Edo, namun seorang dari mereka harus pergi ke sana. Dalam gudang di Shibaura ada emas yang mesti diambil dan dokumen-dokumen yang mesti dibakar. Dan ada yang mesti dilakukan untuk mengurus Akemi.

Tepat sebelum matahari terbit, Daizo dan ketiga orang itu mulai menuruni jalan raya Koshu, menuju Kiso. Jotaro berjalan kaki menuju arah berlawanan.

Bintang-bintang yang ditatap Iori tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, "Siapa yang harus dikuntit?"

Di bawah langit musim gugur yang biru cerah, sinar tegas matahari petang seakan-akan tenggelam langsung ke dalam kulit Jotaro. Dengan kepala dipenuhi pikiran mengenai perannya di masa mendatang, ia melangkah santai melintasi Dataran Musashino, seakan-akan dialah pemiliknya.

Sambil melontarkan pandang agak kuatir ke belakang, pikirnya, "Dia masih di sana." Karena mengira anak lelaki itu ingin bicara dengannya, beberapa kali ia berhenti, tapi anak itu tidak berusaha menyusulnya.

Jotaro memutuskan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia bersembunyi di balik serumpun elalia.

Sampai di bagian jalan tempat ia terakhir kali melihat Jotaro, mulailah Iori menoleh ke sekelilingnya dengan gelisah.

Sekonyong-konyong Jotaro berdiri dan berseru, "Hei, orang kerdil!"

Iori tergagap, tapi sekejap kemudian sudah pulih kembali. Karena merasa tak dapat meloloskan diri, ia berjalan terus dan bertanya acuh tak acuh. "Apa maumu?"

"Kau mengikuti aku, kan?"

"Tidak!" Ion menggelengkan kepala dengan sikap tak bersalah. "Aku mau pergi ke Juniso Nakano."

"Bohong! Kau tadi mengikuti aku."

"Aku tak mengerti apa yang kaubicarakan itu." Iori mulai angkat kaki dan lari, tapi Jotaro menangkap belakang kimononya. "Katakan!"

"Tapi... aku... aku tidak tahu apa-apa!"

"Pembohong!" kata Jotaro sambil mengetatkan cengkeramannya. "Ada yang menyuruhmu mengikuti aku. Kau mata-mata."

"Dan kau... kau pencuri jelek!"

"Apa?" pekik Jotaro dengan muka hampir menyentuh muka Iori.

Iori membungkukkan badan sampai hampir menyentuh tanah, bebas, dan lari.

Sejenak Jotaro ragu-ragu, tapi kemudian mengejarnya.

Iori membelok ke samping, dan dari situ terlihat olehnya atap lalang tersebar di sana-sini, seperti sarang lebah. Ia melintasi ladang yang ditumbuhi rumput musim gugur kemerahan. Beberapa timbunan tanah tempat tikus mondok tertendang olehnya.

"Tolong! Tolong! Pencuri!" teriak Iori.

Kampung kecil yang dimasukinya itu dihuni sejumlah keluarga yang bertugas memadamkan kebakaran di dataran itu. Iori dapat mendengar bunyi palu dan paron seorang pandai besi. Orang banyak datang berlarian dari dalam kandang dan rumah yang gelap. Di rumah-rumah itu bergantung buah kesemek dikeringkan. Sambil melambai-lambaikan tangan, Iori berteriak terengah-engah, "Orang yang pakai ikat kepala... dan mengejar saya... itu pencuri. Tangkap dia! Ayolah! ... Oh, oh! Ini dia kemari!"

Orang-orang kampung menatap kebingungan, Sebagian memandang takut pada kedua pemuda itu, tapi Iori kecewa karena mereka tidak bergerak menangkap Jotaro.

Di tengah kampung, Iori berhenti karena sadar bahwa ternyata satu-satunya yang mengganggu suasana damai itu adalah teriakannya. Kemudian ia berlari lagi, dan menemukan tempat untuk bersembunyi dan mengambil napas.

Jotaro pelan-pelan menenangkan diri, sampai akhirnya dapat kembali berjalan normal, sebagai orang yang bermartabat. Orang-orang kampung memperhatikannya tanpa mengatakan apa-apa. Ia memang tidak mirip perampok atau ronin yang bermaksud jahat. Sesungguhnya ia tampak seperti pemuda baik-baik, yang tak mungkin melakukan kejahatan.

Karena merasa muak bahwa orang-orang kampung-orang-orang dewasa itu tak hendak menindak pencuri, Iori memutuskan untuk segera kembali ke Nakano. Di sana, setidaknya ia dapat menyampaikan urusannya pada orang-orang yang dikenalnya.

Ia meninggalkan jalan, lalu memotong dataran. Begitu melihat rumpun kriptomeria di belakang rumah, berarti tinggal satu kilometer lagi jarak yang mesti ditempuhnya. Dengan perasaan puas, Ia ubah langkahnya, dari menderap jadi berlari penuh.

Tiba-tiba ia melihat jalannya dihalangi oleh seorang lelaki yang merentangkan kedua tangannya.

Tak sempat ia membayangkan, bagaimana Jotaro bisa mendahuluinya, tapi sekarang ia berada di daerah sendiri. Ia melompat mundur dan menarik pedangnya.

"Bajingan!" pekiknya.

Jotaro menyerbu ke depan dengan tangan kosong dan menangkap kerah Iori, tapi anak itu berhasil membebaskan diri dan melompat sepuluh kaki ke samping.

"Bangsat!" gumam Jotaro, yang merasa darah hangat mengalir turun di tangan kanannya, oleh luka sepanjang lima sentimeter.

Iori mengambil jurus, dan memusatkan pikiran pada pelajaran yang dulu didengung-dengungkan Musashi kepadanya: Mata... Mata... Mata. Kekuatannya terpusat dalam kedua bola matanya. Keseluruhan dirinya seperti tersalur ke dalam sepasang matanya yang berapi-api.

Karena kalah beradu pandang, Jotaro menebaskan pedangnya sendiri. "Terpaksa aku membunuhmu!" gertaknya.

Kembali mendapat keberanian karena kemenangan yang baru didapatnya, Iori menyerang. Itulah serangan yang selalu dipergunakannya terhadap Musashi.

Jotaro terpaksa berpikir sekali lagi. Tadinya ia tak percaya Iori dapat mempergunakan pedang. Kini ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk berkelahi. Demi kawan-kawannya, ia harus menyingkirkan anak yang suka campur tangan ini. Ia mendesak maju, agaknya tanpa memperhatikan serangan Iori, dan ia mengayunkan pedang dengan ganas, namun meleset.

Sesudah dua-tiga kali menangkis, Iori membalik, kemudian lari, berhenti, dan menyerang lagi. Apabila Jotaro menghadapinya, ia mundur lagi. Ia senang melihat taktiknya berhasil. Dengan cara itu, ia memikat lawan memasuki wilayahnya.

Sambil beristirahat untuk menarik napas, Jotaro menoleh ke sekitar semak yang gelap, lalu berteriak, "Ke mana kau, bajingan bodoh?" Jawabannya ternyata hujan dari pohon dan daun. Jotaro menegakkan kepala, dan berteriak, "Aku melihatmu!" sekalipun yang ia lihat di tengah dedaunan itu sebenarnya hanyalah sepasang bintang.

Jotaro memanjat ke arah bunyi gemeresik yang ditimbulkan Iori, ketika Iori berpindah tempat ke cabang lain. Sayang sekali, dari sana tak ada lagi jalan untuk lari.

"Kena kau sekarang! Lebih baik kau menyerah, kecuali kalau kau punya sayap. Kalau tidak, mati kau!"

Diam-diam Iori kembali ke sebuah titik percabangan dua batang, pelan, hati-hati. Ketika Jotaro menggapai untuk menangkapnya, kembali Iori berpindah tempat ke salah satu batang. Sambil menggeram, Jotaro menangkap sebuah cabang dengan kedua tangannya dan mengangkat badannya ke atas. Dengan demikian, ia memberikan kesempatan kepada Iori, kesempatan yang memang dinantikan anak itu. Dengan bunyi berderak, pedangnya menetak cabang yang digantungi Jotaro. Cabang itu patah, dan Jotaro jatuh terjerembap ke tanah.

"Bagaimana rasanya, pencuri?" tanya Iori dengan bangga.

Jotaro jatuh terhalang dahan-dahan di bawah, karena itu ia tidak terluka parah, hanya terluka harga dirinya. Ia memaki-maki dan mulai memanjat lagi, kali ini dengan kecepatan seekor macan tutul. Sampai di kaki Iori lagi, Iori menebaskan pedangnya ke sana kemari, agar Jotaro tidak sempat mendekat.

Sementara mereka terkunci dalam jalan buntu, nada-nada sendu shakuhachi terdengar oleh telinga mereka. Sesaat mereka berdua berhenti dan mendengarkan.

Kemudian Jotaro memutuskan untuk mencoba bicara baik-baik dengan lawannya. "Baiklah," katanya, "kau sudah menunjukkan kemampuan berkelahi lebih baik dari yang kuduga. Aku kagum padamu. Kalau kau mengatakan siapa yang memerintahkanmu mengikutiku, akan kulepaskan kau."

"Akui, kau kalah!"

"Kau gila, ya?"

"Mungkin saja aku belum besar, tapi namaku Misawa Iori, satu-satunya murid Miyamoto Musashi. Minta belas kasihan itu hinaan buat nama baik guruku. Menyerahlah kau!"

"A-apa?" tanya Jotaro tak percaya. "K-katakan itu sekali lagi!" suaranya nyaring dan tidak mantap.

"Dengar baik-baik," kata Iori bangga. "Aku Misawa Iori, satu-satunya murid Miyamoto Musashi. Apa itu membuatmu heran?"

Jotaro kini bersedia mengakui kekalahan. Dengan rasa sangsi, bercampur ingin tahu, ia bertanya, "Bagaimana guruku itu? Apa dia baik-baik saja? Di mana dia?"

Dengan kaget Iori menjawab, namun tetap menjaga jarak dari Jotaro, yang sementara itu terus mendekat. "Ha! Sensei tak akan punya murid seorang pencuri."

"Jangan sebut aku pencuri. Apa Musashi tak pernah menyebut Jotaro?"

"Jotaro?"

"Kalau kau betul-betul murid Musashi, pasti kau pernah mendengar dia menyebut namaku sekali-sekali. Aku seumurmu waktu itu."

"Bohong!"

"Tidak bohong! Betul!"

Penuh dengan rasa nostalgia, Jotaro mengulurkan tangan kepada Iori, dan mencoba menjelaskan bahwa mereka berdua mesti bersahabat, karena mereka murid dari guru yang sama. Namun Iori tetap bersikap waspada, dan melayangkan pukulan ke arah rusuk Jotaro.

Karena terjepit antara dua dahan, hampir Jotaro tak berhasil mencengkeramkan tangannya ke pergelangan Iori. Entah karena apa, Iori melepaskan cabang yang selama itu dipegangnya. Mereka pun jatuh bersama, satu di atas yang lain, dan kedua-duanya pingsan.



Cahaya di rumah baru Musashi itu tampak dari segala jurusan, karena sekalipun atapnya sudah terpasang, dinding-dindingnya belum dibuat.

Takuan datang sehari sebelumnya, untuk melakukan kunjungan seusai badai, dan ia memutuskan untuk menanti kembalinya Musashi. Tepat malam tadi, kenikmatan yang diperolehnya dari lingkungan sepi itu diganggu oleh seorang pendeta pengemis yang minta air panas untuk makan malam.

Pendeta tua itu makan kue berasnya yang sederhana, lalu mulai bermain shakuhachi untuk Takuan. Dengan gerak tertegun-tegun dan gaya amatiran, ia mainkan alat itu dengan jari-jarinya. Mendengar permainannya, Takuan merasa bahwa musik yang didengarnya itu mengandung nada-nada murni, sekalipun terdengar juga nada-nada klise, seperti sering terungkap dalam sajak orang-orang yang bukan penyair. Ia merasa juga, bahwa ia dapat menangkap emosi yang hendak dinyatakan oleh si pemain dengan alatnya. Musik itu murung. Dari nada sumbang yang pertama sampai yang terakhir, terasa lolongan penyesalan.

Terasa oleh Takuan, semua itu seperti cerita tentang kehidupan orang itu sendiri, dan ia bayangkan bahwa cerita itu tentunya tidak jauh berbeda dari hidupnya sendiri. Besar atau kecil seseorang, tidak banyak beda pengalaman hidup rohaninya. Perbedaannya hanyalah bagaimana masing-masing dari mereka menangani kelemahan-kelemahan manusia yang umum sifatnya. Bagi Takuan, ia dan orang lain itu pada dasarnya hanyalah seikat khayal yang terbungkus daging manusia.

"Saya yakin pernah melihat Anda, entah di mana," gumam Takuan merenung.

Pendeta itu mengedip-ngedipkan matanya yang hampir tak melihat, dan katanya, "Sesudah Anda mengucapkan kata itu, saya jadi kenal suara Anda. Bukankah Anda Takuan Soho dari Tajima?"

Ingatan Takuan menjadi terang kini. Sambil mendekaikan lampu ke wajah orang itu, katanya, "Anda Aoki Tanzaemon, kan:

"Kalau begitu, Anda betul Takuan. Oh, alangkah ingin saya merangkak ke dalam lubang, dan menyembunyikan diri saya yang celaka ini."

"Aneh sekali, kita berjumpa di tempat semacam ini. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu, sejak peristiwa di Kuil Shippoji itu, kan?"

"Oh, menggigil saya, kalau memikirkan masa itu." Kemudian katanya kaku, "Sesudah menjadi pengembara dalam kegelapan, onggokan tulang sial ini hanya punya satu penunjang semangat hidupnya, yaitu kenangan akan anak."

"Anda punya anak?"

"Orang bilang, anak saya hidup bersama orang yang diikat pada pohon kriptomeria tua dulu itu. Takezo namanya, kan? Saya dengar namanya sekarang Miyamoto Musashi. Kata orang, keduanya pergi ke timur."

"Maksud Anda, anak Anda itu murid Musashi?"

"Begitulah kata orang. Saya malu sekali. Tak mungkin saya menghadapi Musashi, karena itu saya putuskan untuk menghilangkan saja anak itu dari pikiran saya. Tapi... ah, umurnya sudah tujuh belas tahun sekarang. Sekiranya saya dapat melihatnya sekali saja, dan tahu akan menjadi orang macam apa dia nanti, siaplah dan maulah saya mati."

"Jadi, Jotaro itu anak Anda? Saya tidak tahu," kata Takuan.

Tanzaemon mengangguk. Tak ada tanda-tanda pada tubuhnya yang mengeriput itu, bahwa ia kapten angkuh yang bernafsu terhadap Otsu dulu. Takuan memandangnya dengan perasaan iba, dan sedih melihat Tanzaemon yang demikian tersiksa oleh kesalahannya sendiri.

Sekalipun mengenakan pakaian pendeta, orang itu jelas tidak mendapatkan ketenangan dalam keyakinan keagamaan, maka Takuan memutuskan langkah pertama yang harus diambilnya adalah menghadapkan pendeta itu kepada Budha Amida, yang dengan keampunan tanpa batas dapat menyelamatkan mereka yang telah bersalah melakukan sepuluh tindak kejahatan dan lima dosa tak berampun. Sesudah ia sembuh dari rasa putus asanya, masih akan cukup waktu untuk mencari Jotaro.

Takuan memberikan kepadanya nama sebuah kuil Zen di Edo. "Kalau Anda katakan pada mereka bahwa saya yang mengirim Anda ke sana, mereka akan mengizinkan Anda tinggal di sana berapa lama pun Anda suka. Begitu ada waktu nanti, saya akan datang, dan kita akan berbicara panjang-lebar. Saya dapat menduga di mana anak Anda berada. Akan saya usahakan sebisa-bisanya agar Anda dapat bertemu dengannya tidak lama lagi. Sementara itu, tinggalkan pengembaraan Anda. Sesudah berumur lima puluh atau enam puluh tahun pun, orang masih bisa mengenal kebahagiaan, bahkan juga melakukan kerja yang bermanfaat. Anda bisa hidup bertahuntahun lagi. Bicarakan soal ini dengan pendeta-pendeta di sana, kalau Anda sampai di kuil itu."

Takuan mengusir Tanzaemon ke luar pintu, tanpa banyak upacara dan rasa simpati, tapi Tanzaemon rupanya menghargai sikapnya yang tanpa perasaan itu. Sesudah beberapa kali membungkuk sebagai tanda terima kasih, ia memungut topi buluh dan shakuhachi-nya, lalu pergi.

Karena takut tergelincir, Tanzaemon memilih jalan lewat hutan, di mana jalan setapak lebih melandai. Akhirnya tongkatnya menyinggung suatu rintangan. Ketika ia meraba-raba dengan kedua tangannya, terkejutlah ia menepuk dua tubuh yang terbaring tak bergerak-gerak di tanah lembap itu.

Ia lekas-lekas kembali ke pondok tadi. "Takuan! Apa Anda bisa membantu saya? Saya menemukan dua anak lelaki pingsan di hutan." Takuan bangkit dan pergi ke luar. Sambung Tanzaemon, "Saya tidak bawa obat, dan penglihatan saya tidak begitu baik untuk mengambilkan mereka air."

Takuan mengenakan sandalnya dan berseru ke arah dasar bukit. Suaranya mengalun lepas. Seorang petani menjawab dan bertanya kepadanya, apa yang dikehendakinya. Takuan minta ia membawa obor, juga beberapa orang lelaki dan sedikit air. Sambil menanti, ia menyatakan pada Tanzaemon bahwa jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk ditempuh. la lukiskan jalan itu dengan terperinci, dan ia anjurkan Tanzaemon jalan terus. Di tengah jalan menuruni bukit, Tanzaemon berpapasan dengan orang-orang yang naik.

Ketika Takuan tiba dengan petani itu, Jotaro sudah tersadar dan duduk di bawah pohon, tampaknya bingung. Sebelah tangannya terletak di atas tangan Iori, dan ia bimbang: menyadarkan Iori dan mencoba mengetahui apa yang dikehendakinya, ataukah pergi dart sana? Melihat obor datang, ia bereaksi seperti binatang malam, menegangkan otot-otot, siap untuk lari.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Takuan. la memperhatikan segalanya lebih teliti, dan minatnya yang bercampur rasa ingin tahu berubah menjadi sikap heran, sama seperti Jotaro. Anak muda itu jauh lebih tinggi dari anak yang pernah dikenal Takuan, dan wajahnya berubah sedikit.

"Kau Jotaro, kan?"

Pemuda itu meletakkan kedua tangannya ke tanah, membungkuk. "Betul," katanya tertegun, hampir-hampir dengan sikap takut. Ia mengenal Takuan seketika itu juga.

"Oh, kau memang sudah tumbuh menjadi pemuda tampan." Sambil mengalihkan perhatian kepada Iori, Takuan merangkulnya dan memastikan bahwa anak,itu masih hidup.

Iori sadar kembali. Sesudah menoleh sekeliling beberapa detik lamanya dengan keheranan, ia pun menangis.

"Ada apa?" tanya Takuan dengan nada menghibur. "Apa kau luka?"

Iori menggelengkan kepala, menangis, "Saya tidak luka. Tapi mereka membawa guru saya. Dia di penjara Chichibu sekarang." Karena tangisnya itu, sukar Takuan menangkap maksud kata-katanya, tapi kemudian ceritanya pun menjadi jelas. Sadar akan seriusnya keadaan itu, Takuan jadi hampir sama sedihnya dengan Iori.

Jotaro pun sangat gelisah. Dengan suara bergetar, katanya tiba-tiba, "Pak Takuan, ada yang hendak saya sampaikan pada Bapak. Apa kita bisa pergi ke tempat lain untuk bicara?"

"Dialah salah seorang pencuri itu," kata Iori. "Bapak jangan percaya dia. Apa saja yang dikatakannya pasti bohong." Ia menunjuk Jotaro dengan nada menuduh, dan mereka saling tatap.

"Diam kalian berdua! Biar kuputuskan siapa yang benar dan siapa yang salah." Takuan membawa mereka kembali ke rumah, dan memerintahkan mereka membuat api di luar.

Takuan duduk di samping api, dan ia perintahkan mereka untuk berbuat demikian juga. Iori ragu-ragu. Air mukanya jelas-jelas menyatakan bahwa ia tak ingin bersahabat dengan pencuri. Tapi, melihat Takuan dan Jotaro berbicara akrab mengenai masa lalu, ia merasa iri, dan sambil menggerutu mengambil tempat duduk di dekat mereka.

Jotaro merendahkan suaranya, dan seperti perempuan yang sedang mengaku dosa kepada sang Budha, ia menjadi sangat sungguh-sungguh.

"Selama empat tahun ini saya menerima latihan dari orang bernama Daizo. Dia berasal dari Narai di Kiso. Saya sudah tahu apa yang menjadi keinginannya, dan apa yang dia kehendaki untuk dunia ini. Kalau perlu, saya bersedia mati untuk dia. Itu sebabnya saya mencoba membantu pekerjaannya... Yah, memang sakit disebut pencuri, tapi saya masih menjadi murid Musashi. Biarpun saya terpisah darinya, dalam semangat saya tak pernah terpisah, sehari pun tidak."

Ia bicara terus dengan tergesa-gesa, tak mau menanti diberi pertanyaan. "Daizo dan saya sudah bersumpah kepada dewa-dewa di langit dan di bumi, tidak akan mengatakan pada orang lain, apa tujuan hidup kami. Kepada Bapak pun tak dapat saya sampaikan. Tapi saya tak bisa tinggal diam kalau Musashi dijebloskan dalam penjara. Saya akan pergi ke Chichibu besok, dan mengaku."

Takuan berkata, "Jadi, kamu dan Daizo yang merampok gedung harta itu."

"Ya," jawab Jotaro tanpa sedikit pun nada bersalah.

"Kalau begitu, kau memang pencuri," kata Takuan.

Jotaro menundukkan kepala untuk menghindari mata Takuan.

"Tidak... tidak," gumamnya tertegun-tegun. "Kami bukan pencuri biasa."

"Aku tidak tahu bahwa pencuri ada macam-macam jenisnya."

"Tapi, maksud saya, kami lakukan ini bukan untuk keuntungan sendiri. Kami lakukan semua ini untuk orang banyak. Soalnya adalah memindahkan kekayaan umum untuk kepentingan umum."

"Aku tak mengerti jalan pikiran macam itu. Maksudmu, perampokan yang kalian lakukan itu kejahatan yang bisa dibenarkan? Maksudmu, kalian ini sejenis pahlawan bandit dalam novel-novel Cina? Kalau memang demikian, sungguh tiruan yang jelek!"

"Tak bisa saya menjawab pertanyaan itu tanpa membuka persetujuan rahasia dengan Daizo."

"Ha, ha. Jadi, kau tak mau mengakui dirimu ditipu, kan?"

"Tak peduli saya, apa yang Bapak katakan. Saya akan mengaku, cuma untuk menyelamatkan Musashi. Saya harap Bapak menyatakan hal yang baik tentang saya kepadanya nanti."

"Aku takkan dapat menemukan kata yang baik untuk disampaikan. Musashi tidak bersalah. Kau mengaku atau tidak, dia akan bebas juga. Menurutku, jauh lebih baik bagimu datang kepada sang Budha. Gunakan diriku sebagai perantara, dan akui segalanya kepadanya."

"Budha?"

"Betul. Katamu kau melakukan sesuatu yang besar untuk kepentingan orang lain. Jadi, kau menempatkan dirimu di hadapan orang lain. Apa tak terpikir olehmu bahwa kau mengakibatkan sejumlah orang tidak bahagia?"

"Orang tak mungkin memikirkan dirinya, kalau dia bekerja demi masyarakat."

"Tolol!" Takuan memukul pipi Jotaro keras-keras dengan tinjunya. "Diri seseorang itu adalah dasar segalanya. Setiap tindakan adalah ungkapan diri seseorang. Orang yang tidak kenal dirinya tak dapat melakukan apa pun buat orang lain."

"Maksud saya... saya bertindak bukan buat memuaskan keinginan saya sendiri."

"Tutup mulut! Apa kau tidak lihat, dirimu itu baru saja dewasa? Tak ada yang lebih mengerikan daripada orang sok pahlawan yang baru setengah matang, yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini, tapi berani mengatakan pada dunia apa yang baik untuk dunia itu. Tak perlu lagi kau bercerita tentang apa yang kau dan Daizo lakukan. Aku mendapat gagasan yang sangat bagus... Apa yang kautangiskan? Buang ingusmu itu!"

Jotaro diperintahkan pergi tidur, dan dengan patuhnya ia membaringkan diri, tapi la tak dapat tidur karena memikirkan Musashi. Ia tangkupkan kedua tangannya di dada, dan diam-diam ia memohon pengampunan. Air mata mengalir masuk telinganya. Ia miringkan badan, dan mulailah ia memikirkan Otsu. Pipinya terasa sakit, tapi air mata Otsu tentulah lebih menyakitkan lagi. Namun membukakan janji rahasianya kepada Daizo tidaklah mungkin baginya, sekalipun Takuan akan mencoba mengoreknya dari dirinya pagi nanti. Hal itu ia yakini benar.

Ia berdiri tanpa bersuara, kemudian pergi ke luar, memandang bintang-bintang. Ia mesti cepat bertindak. Malam hampir lewat.

"Berhenti!" Suara itu membuat Jotaro berdiri mematung di tempatnya. Di belakang menyusul bayangan Takuan yang sangat besar.

Pendeta itu datang ke sisinya dan merangkulnya. "Apa kau bertekad pergi mengaku?"

Jotaro mengangguk.

"Perbuatan yang tidak begitu pintar!" kata Takuan dengan nada bersimpati. "Kau bisa mati seperti anjing. Rupanya kau mengira kalau kau menyerahkan diri, Musashi akan dilepaskan, padahal soalnya tidak sesederhana itu. Pejabat-pejabat itu akan tetap menahan Musashi di penjara, sampai kau menceritakan semuanya yang kausembunyikan dariku. Dan kau... kau akan disiksa sampai kau bicara, tak peduli akan makan waktu setahun, dua tahun, atau lebih."

Jotaro menundukkan kepala.

"Apa kau ingin mati seperti anjing? Kau tak punya pilihan lain sekarang: kau mengakui segalanya dengan siksaan, atau kau menceritakan segalanya padaku. Sebagai murid sang Budha, aku takkan ikut mengadili. Aku akan menyampaikannya kepada Amida."

Jotaro tidak mengatakan apa-apa.

"Tapi ada cara lain lagi. Kebetulan sekali semalam aku bertemu ayahmu. Dia sekarang menjadi pendeta pengemis. Tentu saja aku tak menyangka kau ada di sini juga. Kusuruh dia pergi ke kuil di Edo. Kalau kau sudah mantap untuk mati, sebaiknya kau menjumpai dia dulu. Dan kalau bertemu dengannya, kau dapat bertanya padanya, apakah tidak betul pendapatku ini.

"Jotaro, ada tiga jalan terbuka buatmu. Kau mesti memilih sendiri, yang mana akan kautempuh." Takuan membalikkan badan, dan kembali masuk ke rumah.

Sadarlah Jotaro bahwa shakuhachi yang didengarnya kemarin malam itu tentu shakuhachi ayahnya. Tanpa diberitahu, ia dapat membayangkan sendiri wajah dan perasaan ayahnya, sementara ia mengembara dari tempat yang satu ke tempat lain.

"Takuan, tunggu! Saya akan bicara. Akan saya sampaikan semuanya kepada sang Budha, termasuk janji saya pada Daizo." Jotaro mencengkeram lengan baju pendeta itu, dan keduanya masuk ke dalam belukar.

Jotaro mengaku dalam bentuk monolog panjang. Tak ada yag dilewatkannya. Takuan tak bergerak ataupun berbicara.

"Hanya itu," kata Jotaro.

"Sudah semuanya?"

"Sudah semuanya."

"Bagus."

Takuan tetap diam, sampai satu jam penuh. Fajar merekah. Burung gagak mulai berkaok-kaok. Embun berkilauan di mana-mana. Takuan duduk di pangkal pohon kriptomeria. Jotaro menyandarkan diri ke pohon lain dengan kepala tertunduk, menanti makian yang pasti datang.

Ketika akhirnya Takuan berbicara, tampak ia tak ragu lagi, "Mesti kukatakan, kau sudah terlibat dengan orang-orang yang bukan main! Semoga Tuhan membantu mereka. Mereka tak mengerti, ke mana arah dunia berputar. Baik sekali kau sudah menceritakannya sebelum keadaan menjadi lebih buruk." Ia merogohkan tangan ke dalam kimono. Mengherankan juga, dari situ la mengeluarkan dua keping uang emas dan memberikannya pada Jotaro. "Lebih baik kau pergi selekas-lekasnya. Sedikit saja tertunda, bisa mendatangkan bencana, tidak hanya buat dirimu, tapi juga buat ayahmu dan gurumu. Pergilah sejauh-jauhnya, tapi jangan mendekati jalan raya Koshu atau Nakasendo. Tengah hari ini mereka melakukan pemeriksaan ketat pada semua orang yang lewat."

"Apa yang akan terjadi dengan Sensei nanti? Tak bisa saya pergi meninggalkan dia di tempatnya sekarang."

"Serahkan padaku. Setahun-dua tahun lagi, kalau segalanya mereda, kau bisa datang bertemu dengannya, meminta maaf. Waktu itulah akan kusampaikan berita baik buatmu."

"Selamat tinggal."

"Tunggu sebentar."

Ya?"

"Pergilah ke Edo dulu. Di Azabu ada kuil Zen bernama Shojuan. Ayahmu mestinya di sana sekarang. Bawa materai yang kuterima dari Daitokuji ini. Mereka akan tahu, ini milikku. Minta untuk dirimu dan ayahmu topi dan pakaian pendeta, juga surat-surat kepercayaan yang diperlukan. Sudah itu, kau dapat berjalan dengan menyamar."

"Kenapa saya mesti pura-pura jadi pendeta?"

"Kau benar-benar bodoh, ya? Dengar, sahabat muda yang konyol, kau ini agen suatu kelompok yang punya rencana membunuh shogun, membakar benteng di Suruga, mengacaukan seluruh daerah Kanto, dan mengambil alih pemerintahan. Singkatnya, kau ini seorang pengkhianat. Kalau kau tertangkap, hukuman yang pasti adalah mati digantung."

Jotaro ternganga.

"Sekarang pergilah!"

"Boleh saya mengajukan pertanyaan? Kenapa orang yang hendak menggulingkan Keluarga Tokugawa mesti dianggap pengkhianat? Kenapa orang-orang yang sudah menggulingkan Keluarga Toyotomi dan merebut kekuasaan atas negeri ini bukan pengkhianat?"

"Jangan tanya aku," jawab Takuan dengan pandangan dingin.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP