Sabtu, 15 Juli 2017



Sapi yang Lari

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





BAYANGAN cabang pohon prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan matahari pucat itu indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal musim semi di Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke arah selatan, pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah.

Tidak seperti burung, para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak kenal musim. Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh pelajaran dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka perdengarkan tidak jauh berbeda,

"Izinkanlah, satu pertarungan saja."

"Izinkanlah saya bertemu dengannya,"

"Saya satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau itu".

Selama sepuluh tahun yang lalu, para pengawal memberikan jawaban yang sama: karena majikan mereka sudah lanjut usia, beliau tidak dapat menerima siapa pun. Hanya sedikit pemain pedang atau calon pemain pedang yang mau menerima begitu saja. Ada yang melancarkan kecaman pedas mengenai makna Jalan sejati. Menurut mereka, tidak boleh ada perbedaan antara tua dan muda, antara kaya dan miskin, antara, pemula dan ahli. Yang lain sekadar memohon-mohon, ada pula yang mencoba menyogok. Banyak yang meninggalkan tempat itu sambil menghamburkan kutukan kemarahan.

Sekiranya orang banyak itu mengetahui keadaan sebenarnya, yaitu bahwa Sekishusai sudah meninggal di akhir tahun sebelumnya, persoalannya mungkin akan jauh lebih sederhana. Namun telah diputuskan bahwa karena Munenori tidak dapat meninggalkan Edo sebelum bulan keempat, maka kematian itu mesti dirahasiakan sampai upacara pemakaman diselenggarakan. Salah seorang dari sejumlah kecil orang luar benteng yang mengetahui keadaan itu kini duduk dalam kamar tamu, dan mendesak minta bertemu dengan Hyogo.

Orang itu adalah Inshun, kepala biara Hozoin yang sudah cukup tua.

Selama In'ei pikun dan kemudian meninggal, ia berhasil mempertahankan nama baik kuil itu sebagai pusat seni bela diri. Banyak orang bahkan yakin ia telah meningkatkannya. Ia melakukan segalanya yang mungkin untuk mempertahankan hubungan erat antara kuil dan Koyagyu yang sudah ada semenjak zaman In'ei dan Sekishusai. Kini ia ingin bertemu dengan Hyogo, karena ingin berbicara tentang seni bela diri. Sukekuro tahu apa yang sebetulnya dikehendaki Inshun. Ia ingin bertarung dengan orang yang oleh kakeknya sendiri dianggap sebagai pemain pedang yang lebih baik daripada dirinya sendiri maupun Munenori. Hyogo tentu saja tidak mau melayani pertandingan macam itu, karena menurutnya takkan menguntungkan siapa pun, dan karena itu tak ada artinya.

Sukekuro meyakinkan Inshun bahwa pesan telah disampaikan. "Saya yakin Hyogo akan datang menyambut Anda, kalau dia merasa sehat."

"Jadi, menurut Anda dia masih masuk angin?"

"Ya, rupanya dia belum juga sembuh."

"Oh, saya tidak tahu bahwa kesehatannya begitu rapuh."

"Ah, tidak benar juga kalau dikatakan demikian. Beberapa waktu lamanya dia tinggal di Edo, dan sampai sekarang belum dapat membiasakan diri dengan musim dingin di gunung."

Ketika kedua orang itu masih mengobrol, seorang pemuda pembantu memanggil-manggil nama Otsu di halaman lingkaran dalam. Sebuah shoji terbuka, dan Otsu keluar dari salah sebuah rumah, diiringi alunan asap setanggi. Ia masih berkabung lebih dari seratus hari sejak meninggalnya Sekishusai, dan wajahnya tampak seputih kembang pit.

"Di mana Kakak tadi? Saya cari di mana-mana," tanya anak lelaki itu.

"Di kuil Budha."

"Hyogo menanyakan Kakak."

Ketika Otsu masuk ruangan Hyogo, ia berkata, "Ah, Otsu, terima kasih kau sudi datang. Aku ingin kau menjumpai seorang tamu atas namaku."

"Tentu."

"Sudah lama dia datang. Sukekuro yang sekarang mengawaninya, tapi kurasa Sukekuro sudah capek sekarang, mendengarkan dia terus bicara tentang Seni Perang."

"Kepala biara Hozoin?"

"Ya."

Otsu tersenyum tipis, membungkuk, dan meninggalkan ruangan.

Tidak begitu halus cara Inshun mencoba mengetahui pendapat Sukekuro mengenai masa lalu dan watak Hyogo.

"Saya dengar, ketika Kato Kiyomasa menawarkan kedudukan kepadanya, Sekishusai menolak, kecuali kalau Kiyomasa menyetujui satu syarat khusus."

"Apa betul? Saya tak ingat, apa pernah mendengar hal seperti itu."

"Menurut In'ei, Sekishusai mengatakan pada Kiyomasa bahwa Hyogo itu sangat gampang naik darah, maka Yang Dipertuan mesti berjanji, kalau Hyogo melakukan pelanggaran-pelanggaran besar, beliau akan mengampuni tiga pelanggaran pertama. Sekishusai tidak pernah dikenal sebagai orang yang mau memaafkan sifat tak sabar. Tentunya beliau punya perasaan khusus terhadap Hyogo."

Cerita itu begitu mengejutkan Sukekuro, hingga ia masih juga mencari-cari jawaban ketika Otsu masuk. Otsu tersenyum pada kepala biara itu, dan katanya, "Senang sekali bertemu lagi dengan Bapak. Sayang sekali, Hyogo begitu sibuk menyiapkan laporan yang harus segera dikirim ke Edo. Tapi dia minta saya menyampaikan permintaan maafnya, karena tak dapat menemui Bapak kali ini." Kemudian Otsu menyibukkan diri menyajikan teh dan kue-kue untuk Inshun dan kedua pendeta muda pembantunya.

Kepala biara tampak kecewa, sekalipun dengan sopan ia mengabaikan perbedaan antara alasan Sukekuro dengan alasan Otsu. "Sayang sekali. Saya sebetulnya punya kabar penting untuknya."

"Dengan senang hati akan saya sampaikan kabar itu," kata Sukekuro, "dan Anda boleh yakin bahwa hanya Hyogo yang akan mendengarnya."

"Oh, saya yakin tentang hal itu," kata pendeta tua itu. "Hanya saja saya ingin mengingatkan Hyogo sendiri."

Kemudian Inshun mengulangi gunjingan yang telah didengarnya, tentang seorang samurai dari Benteng Ueno di Provinsi Iga. Garis batas antara Koyagyu dan benteng itu berupa daerah yang jarang penduduknya, sekitar tiga kilometer ke timur. Semenjak Ieyasu menyitanya dari daimyo Kristen, Tsutsui Sadatsugu, dan menyerahkannya kepada Todo Takatora, banyak perubahan telah terjadi. Semenjak Takatora menetap setahun sebelumnya, ia telah memperbaiki benteng, meninjau kembali sistem pajak, memperbaiki irigasi, dan mengambil langkah-langkah lain untuk mengokohkan investasinya. Semua itu sudah menjadi rahasia umum. Tapi, menurut pendengaran Inshun, Takatora saat ini sedang mencoba meluaskan wilayah tanahnya dengan mendesak garis perbatasan.

Menurut laporan, Takatora mengirimkan sejumlah samurai ke Tsukigase, dan di sana mereka membangun rumah-rumah, menebangi pohon prem, mencegat orang-orang jalan, dan terang-terangan melanggar hak milik Yang Dipertuan Yagyu.

"Kemungkinan," kata Inshun, "Yang Dipertuan Takatora sedang mengambil keuntungan dari masa perkabungan Anda. Anda boleh saja menilai saya terlalu pencemas, tapi kelihatannya dia punya rencana menggeser perbatasan ke arah sini, dan membuat pagar baru. Kalau memang benar demikian, akan jauh lebih mudah menangani hal-hal ini sekarang, daripada sesudah dia selesai melakukannya nanti. Saya kuatir kalau Anda hanya santai saja dan tidak melakukan sesuatu, nanti Anda menyesal."

Sebagai salah seorang abdi senior, Sukekuro mengucapkan terima kasih pada Inshun atas berita itu. "Akan saya suruh orang menyelidiki keadaan itu, dan kalau perlu nanti akan saya kirimkan keluhan." Sebagai tanda terima kasih atas nama Hyogo, Sukekuro pun membungkuk ketika kepala biara itu pulang.

Sukekuro pergi menyampaikan informasi tentang gunjingan itu pada Hyogo, tapi Hyogo hanya tertawa. "Biar saja," katanya. "Kalau nanti pamanku kembali, dia dapat mengurusnya."

Sukekuro mengerti pentingnya mengawal setiap jengkal tanah, karena itu ia tidak puas benar dengan sikap Hyogo. Ia berunding dengan para samurai tinggi lainnya, dan bersama-sama mereka menyimpulkan bahwa sekalipun memang dibutuhkan kebijaksanaan, tetap harus diambil suatu tindakan. Todo Takatora adalah salah seorang daimyo paling kuat di negeri itu.


Pagi harinya, sesudah berlatih pedang, Sukekuro meninggalkan dojo di atas Shinkagedo dan bertemu dengan seorang anak lelaki umur tiga belas atau empat belas tahun.

Anak itu membungkuk kepadanya, dan Sukekuro berkata gembira, "Halo, Ushinosuke, melongok dojo lagi? Bawa hadiah buatku, ya? Coba lihat... oh, kentang liar?" Ia sebetulnya hanya setengah menggoda, karena kentang Ushinosuke selalu lebih bagus daripada kentang orang lain. Anak itu tinggal bersama ibunya di kampung terpencil Araki di gunung, dan sering datang ke benteng untuk menjual arang, daging babi hutan, dan barang-barang lain.

"Tak ada kentang hari ini, tapi saya bawa ini buat Otsu." Anak itu mengangkat kotak berselubung jerami yang dibawanya.

"Bawa apa sekarang-kelembak?"

"Bukan, ini barang hidup! Di Tsukigase kadang-kadang saya dengar burung bulbul menyanyi. Dan ini saya tangkap satu!"

"Hmm, jadi kau selalu lewat Tsukigase, ya?"

"Betul. Itu jalan satu-satunya."

"Aku mau tanya sekarang. Apa kau melihat banyak samurai akhir-akhir ini?"

"Ada beberapa."

"Apa kerja mereka di sana?"

"Membangun pondok-pondok."

"Apa kau melihat mereka mendirikan pagar atau semacam itu?"

"Ya, di samping pondok, mereka memasang beberapa jembatan, jadi mereka menebang segala macam pohon. Untuk kayu bakar juga."

"Apa mereka menghentikan orang-orang di jalan?"

"Saya kira tidak. Saya tidak melihatnya."

Sukekuro menggelengkan kepala. "Kudengar samurai-samurai itu dari perdikan Yang Dipertuan Todo, tapi aku tidak tahu apa kerja mereka di Tsukigase. Apa kata orang-orang di kampungmu?"

"Orang bilang, mereka itu ronin yang terusir dari Nara dan Uji. Mereka tak punya tempat tinggal, karena itu mereka pergi ke pegunungan."

Sekalipun sudah mendengar keterangan dari Inshun, Sukekuro merasa penjelasan ini bukan tak beralasan. Okubo Nagayasu, hakim dari Nara, tak henti-hentinya berusaha agar daerah hukumnya bebas dari ronin miskin.

"Di mana Otsu?" tanya Ushinosuke. "Saya ingin menyampaikan hadiah untuknya." Ia memang selalu ingin bertemu Otsu, bukan hanya karena Otsu selalu memberikan gula-gula dan mengatakan yang baik-baik kepadanya, tapi karena dalam kecantikan Otsu ia merasa ada sesuatu yang bersifat gaib, yang bukan berasal dari dunia ini. Kadang-kadang ia tak mampu menentukan, apakah Otsu itu manusia atau dewi.

"Barangkali dia di benteng," kata Sukekuro. Kemudian, sambil memandang ke kebun, katanya, "Oh, kau beruntung rupanya. Apa bukan dia yang di sana itu?"

"Otsu!" seru Ushinosuke keras.

Otsu menoleh dan tersenyum. Ushinosuke pun berlari terengah-engah ke sisi Otsu dan mengangkat kotaknya.

"Lihat! Saya tangkap burung bulbul. Buat Kakak."

"Burung bulbul?" Otsu mengerutkan kening, tangannya tetap di samping.

Ushinosuke tampak kecewa. "Suaranya bagus!" katanya. "Tak ingin Kakak mendengar?"

"Aku mau, tapi hanya kalau dia bebas terbang ke mana dia suka. Baru dia akan menyanyikan lagu-lagu yang bagus buat kita."

"Kakak benar," kata Ushinosuke, sedikit cemberut. "Apa mesti saya lepaskan kembali?"

"Kuhargai maksudmu memberi hadiah, tapi... ya, aku lebih senang kalau burung itu dilepaskan daripada dikurung."

Dengan diam Ushinosuke membuka kotak jerami itu, dan seperti anak panah, burung itu terbang ke atas dinding benteng. "Lihat, senang sekali dia bebas," kata Otsu.

"Orang-orang bilang, burung bulbul itu pembawa pertanda musim semi, kan? Barangkali akan datang orang membawa kabar gembira buat Kakak."

"Pembawa berita sama baiknya dengan datangnya musim semi? Memang benar, aku sedang mengharap mendengar suatu kabar."

Otsu berjalan menuju hutan dan rumpun bambu di belakang benteng,

Ushinosuke menyertainya di sampingnya. "Kakak mau pergi ke mana?" tanyanya.

"Aku sudah terlalu lama tinggal di dalam benteng akhir-akhir ini. Untuk selingan, aku ingin naik bukit, melihat kembang prem."

"Kembang prem? Di atas sana tak banyak yang bisa dilihat. Kakak mesti pergi ke Tsukigase."

"Ke sana juga boleh. Jauhkah dari sini?"

"Sekitar tiga kilometer. Bagaimana kalau kita pergi ke sana? Aku mengangkut kayu api hari ini, karena itu aku membawa sapi."

Karena selama musim dingin itu Otsu hampir tak pernah tinggal di luar benteng, ia cepat mengambil keputusan. Tanpa mengatakan pada siapa pun, keduanya turun ke gerbang belakang yang biasa didatangi para pedagang dan orang-orang lain yang punya urusan dengan benteng. Gerbang itu dikawal seorang samurai bersenjata lembing. la mengangguk dan tersenyum pada Otsu. Ushinosuke pun orang yang sudah dikenal, karena itu si penjaga mengizinkan mereka keluar, tanpa memeriksa izin tertulis untuk berada di pekarangan benteng.

Orang-orang di ladang dan di jalan mengucapkan teguran bersahabat kepada Otsu, tak peduli mereka kenal Otsu atau tidak. Ketika rumahrumah penduduk mulai jarang, ia menoleh kembali ke arah benteng putih yang bertengger di pinggir gunung itu, dan bertanya, "Apa bisa aku kembali sebelum gelap?"

"Tentu, nanti saya antar."

"Kampung Araki di sebelah sana Tsukigase kan?" "Tidak apa-apa."

Sambil mengobrol tentang berbagai hal, mereka melewati warung garam. Di sana ada seorang lelaki menukar daging babi hutan dengan sekarung garam. Selesai melakukan pertukaran, ia keluar dan berjalan di belakang mereka. Karena salju sedang mencair, jalanan makin lama makin buruk keadaannya. Tak banyak orang berjalan.

"Ushinosuke," kata Otsu, "kau selalu datang ke Koyagyu, ya?"

"Ya."

"Apa Benteng Ueno tidak lebih dekat dengan Kampung Araki?"

"Betul, tapi di Benteng Ueno tak ada pemain pedang besar macam Yang Dipertuan Yagyu."


"Kau suka pedang, ya?"

"Ya."

Ushinosuke menghentikan sapinya, melepaskan tali dari tangannya, lalu berlari turun ke tepi sungai. DI situ ada sebuah jembatan. Sebatang balok lepas dari jembatan itu. Ushinosuke mengembalikan balok itu ke tempatnya, dan menunggu sampai orang di belakang mereka menyeberang dahulu.

Orang itu tampak seperti ronin. Ketika melewati Otsu, ia memandang Otsu dengan sikap kurang ajar, kemudian beberapa kali menoleh dari jembatan, dan juga dari seberang jembatan, sebelum akhirnya menghilang dalam lipatan gunung.

"Siapa orang itu menurutmu?" tanya Otsu gugup. "Kakak takut?"

"Tidak, tapi..."

"Banyak ronin di sekitar pegunungan di sini."

"Betul?" tanya Otsu tidak tenang.

Sambil menoleh, kata Ushinosuke, "Kak, apa Kakak dapat membantu saya? Kalau dapat, tolong minta pada Pak Kimura supaya mempekerjakan saya. Saya dapat menyapu halaman, menimba air... atau hal-hal semacam itu."

Anak itu belum lama mendapat izin khusus dari Sukekuro untuk memasuki dojo, melihat orang berlatih, tapi minatnya sudah tumbuh. Nenek moyangnya bernama Keluarga Kikumura. Sudah beberapa angkatan kepala keluarga menggunakan nama sebutan Mataemon. Ushinosuke sudah mantap keinginannya, kalau ia menjadi samurai nanti, ia akan menggunakan nama Mataemon. Tapi tak seorang pun dari Keluarga Kikumura pernah melakukan sesuatu yang istimewa. Maka ia akan mengubah nama keluarganya dengan nama kampungnya, dan kalau impiannya terlaksana, ia akan termasyhur di mana-mana sebagai Araki Mataemon.

Mendengar kata-kata Ushinosuke itu, Otsu teringat akan Jotaro, dan ia tercengkeram oleh rasa sepi. Umur Otsu sekarang dua puluh lima tahun, sedangkan Jotaro tentunya sembilan belas atau dua puluh tahun. Memperhatikan kembang prem yang belum sepenuhnya mekar itu, Otsu merasa bahwa musim seminya sendiri sudah lewat.

"Ayo kita pulang, Ushinosuke," katanya tiba-tiba.

Ushinosuke melontarkan pandangan penuh pertanyaan, namun dengan patuh ia memutar sapinya.

"Berhenti!" bentak seorang lelaki.

Dua ronin lain bergabung dengan ronin yang datang dari warung garam tadi. Ketiganya mendekat, kemudian berdiri mengelilingi sapi, tangan mereka terlipat.

"Kalian mau apa?" tanya Ushinosuke.

Orang-orang itu menatap Otsu.

"Ya, sekarang aku mengerti kata-katamu," kata salah seorang. "Cantik, kan?"

"Aku sudah pernah lihat dia," kata yang ketiga. "Mungkin di Kyoto."

"Tentunya dari Kyoto asalnya, dan pasti bukan dari kampung-kampung sekitar sini."

"Aku tak ingat, di Perguruan Yoshioka atau di tempat lain, tapi aku yakin pernah lihat dia."

"Apa kau pernah di Perguruan Yoshioka?"

"Tiga tahun aku di sana, sesudah Sekigahara."

"Kalau kalian punya urusan dengan kami, katakan apa urusan kalian!" kata Ushinosuke marah.

"Kami mau sampai di rumah sebelum gelap."

Seorang dari ketiga ronin menatap Ushinosuke, seolah baru pertama kali itu melihatnya. "Kau dari Araki, kan? Salah satu dari pembuat arang, ya?"

"Betul. Memang kenapa?"

"Kami tidak butuh kau. Sana pulang!"

"Justru itu yang mau kulakukan."

Ditariknya sapi itu kencang-kencang, dan seorang dari mereka melemparkan pandangan dahsyat yang pasti akan membuat kebanyakan anakanak gemetar ketakutan.

"Pergi kalian!" kata Ushinosuke.

"Wanita ini harus ikut kami."

"Ikut ke mana?"

"Tak ada urusan denganmu. Berikan tail itu!"

"Tidak!'

"Oh, dia kira aku main-main."

Kedua orang lainnya membidangkan dada dan menatap tajam, bergerak mendekati Ushinosuke.

Salah seorang mengacungkan tinjunya yang sekeras mata kayu cemara ke depan dagunya.

Otsu mencengkeram punggung sapi. Kerutan alis Ushinosuke jelas menandakan bahwa ada yang akan segera terjadi.

"Oh, tidak, berhenti!" pekik Otsu, dengan maksud menahan anak itu, agar tidak melakukan sesuatu tanpa pikir panjang.

Namun nada sedih dalam suara Otsu justru memacu Ushinosuke untuk beraksi. Ia menyepak cepat dengan satu kakinya, mengenai orang yang ada di depannya, hingga orang itu mundur terhuyung. Baru saja kakinya menyentuh tanah kembali, ia benturkan kepalanya ke perut orang di sebelah kirinya. Serentak dengan itu, ia mencekal pedang orang itu dan menariknya dari sarungnya. Lalu ia mengayun-ayunkan pedang itu.

Ia bergerak dengan kecepatan kilat, berpusing-pusing, dan seolah melakukan serangan ke segala penjuru, menyambar ketiga lawan itu sekaligus, dengan kekuatan yang sama. Apakah tindakannya yang cemerlang itu berdasarkan naluri semata-mata, ataukah akibat kesembronoan kanak-kanaknya, yang jelas taktik-taktiknya yang tidak biasa telah mengejutkan ketiga ronin itu.

Ayunan balik pedang itu dengan keras menerjang dada salah seorang ronin. Otsu menjerit, tapi suaranya tenggelam dalam jerit orang yang terluka itu. Ia jatuh ke arah sapi, sementara darah menyembur ke muka binatang itu. Dengan ketakutan, sapi pun menguak tak tentu bunyinya. Tepat saat itu pedang Ushinosuke menoreh pantatnya. Sekali lagi sapi itu melenguh, lalu lari.

Kedua ronin lain menyerbu ke arah Ushinosuke, sedangkan Ushinosuke melompat-lompat dengan tangkasnya dari batu ke batu di bantaran sungai. "Aku tidak bersalah! Kalian yang bersalah!" teriaknya.

Ketika kedua ronin merasa bahwa Ushinosuke tak terkejar oleh mereka, mereka mulai mengejar sapi.

Ushinosuke kembali melompat ke jalan, dan mengejar mereka sambil berseru-seru, "Lari? Kalian lari?"

Satu orang berhenti dan setengah menoleh. "Bajingan kecil kau!"

"Tinggalkan dulu dia!" teriak yang lain.

Karena ketakutan, sapi itu meninggalkan jalan lembah dan lari mendaki bukit rendah, menempuh punggung bukit beberapa jauhnya, kemudian menerjang ke balik bukit itu. Dalam waktu sangat singkat ia berhasil menempuh jarak cukup jauh, dan sampai di tempat yang tak jauh letaknya dari perdikan Yagyu.

Walaupun dengan mata tertutup menyerah, Otsu dapat bertahan agar tidak terlempar dan punggung sapi, dengan bergayut pada pelana muatan. la dapat mendengar suara-suara orang yang berpapasan dengannya, tapi ia begitu bingung, hingga tak dapat berteriak minta tolong. Sekiranya ia berteriak pun tidak banyak faedahnya. Di antara orang-orang yang membicarakan kejadian itu, tak ada yang punya keberanian menghentikan binatang yang sudah menggila itu.

Namun ketika mereka hampir sampai di Dataran Hannya, satu orang datang dari jalan kecil ke jalan utama. Jalan utama itu sangat sempit, walaupun namanya jalan raya Kasagi. Orang itu menyandang peti surat, dan kelihatan seperti seorang pembantu.

Orang-orang berteriak-teriak, "Awas! Minggir!" tapi ia berjalan terus, langsung menyongsong sapi itu.

Kemudian terdengar bunyi berderak mengerikan.

"Tertanduk dia!"

"Orang goblok!"

Padahal kenyataannya tidak seperti yang mula-mula diduga para penonton itu. Yang mereka dengar bukan bunyi sapi menanduk orang itu, tapi orang itu menjatuhkan pukulan yang memekakkan telinga ke pelipis binatang itu. Sapi pun mengangkat kepalanya yang berat ke samping, membalik setengah lingkaran, dan balik kanan jalan. Tapi belum lagi sepuluh kaki, mendadak ia berhenti. Air liur menderas keluar dari mulutnya, sementara sekujur tubuhnya menggeletar.    

"Turun cepat!" kata orang itu pada Otsu.

Para penonton berkerumun dengan gembira, sambil memperhatikan satu kaki orang itu, yang dengan kokohnya menginjak tali binatang itu.

Begitu selamat turun di tanah, Otsu membungkuk kepada penyelamatnya, walaupun masih terlalu pening untuk mengetahui di mana ia berada dan apa yang hendak dilakukannya.

"Heran, binatang baik begini bisa menjadi gila!" kata orang itu ketika ia menuntun sapi ke pinggir jalan, dan mengikatnya ke sebatang pohon. Tapi, ketika terlihat olehnya darah di kaki binatang itu, katanya, "Oh, apa ini? Lho, luka dia... dan bekas pedang!"

Sementara ia memeriksa luka dan menggerutu, Kimura Sukekuro menerobos kerumunan orang banyak dan menyuruh mereka bubar.

"Apa kau bukan pembantu Kepala Biara Inshun?" tanyanya, sebelum sempat menarik napas.

"Beruntung sekali saya bertemu Bapak di sini. Saya membawa surat buat Bapak, dari kepala biara. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan membaca surat ini segera." Orang itu mengeluarkan surat dari peti, dan menyerahkannya pada Sukekuro.

"Buat saya?" tanya Sukekuro terkejut. Dan sesudah yakin tak ada kesalahan, ia buka surat itu dan ia baca, "Mengenai para samurai di Tsukigase itu, sejak percakapan kita kemarin, saya telah memeriksanya, dan saya temukan bahwa mereka bukan orang-orang dari Yang Dipertuan Todo. Mereka itu orang jembel, ronin yang sudah terusir dari kota-kota, dan terpaksa bersarang di sana selama berlangsungnya musim dingin. Dengan sengaja saya lekas-lekas mengabarkan kesalahan saya yang tidak menguntungkan ini pada Anda."

"Terima kasih," kata Sukekuro. "Ini cocok dengan yang saya dengar dari sumber lain. Katakan pada kepala biara, saya sangat lega, dan saya percaya dia pun merasa demikian juga."

"Maafkan saya, karena telah menyampaikan surat ini di tengah jalan. Pesan Bapak akan saya sampaikan pada kepala biara. Selamat tinggal."

"Tunggu. Berapa lama kau tinggal di Hozoin?"

"Belum lama."

"Siapa namamu?"

"Sebutan saya Torazo."

"Heran," gumam Sukekuro sambil memperhatikan wajah orang itu. "Apa kau bukan Hamada Toranosuke?"

"Bukan."

"Saya memang belum pernah bertemu Hamada, tapi ada satu orang di benteng sana yang berkeras mengatakan, Hamada sekarang bekerja sebagai pembantu Inshun."

"Begitu."

"Apa dia salah sebut?"

Torazo merendahkan suaranya, wajahnya merah. "Memang benar, saya ini Hamada. Saya datang di Hozoin atas alasan-alasan pribadi. Untuk menghindarkan aib yang lebih besar terhadap guru saya dan saya sendiri, saya bermaksud merahasiakan identitas saya. Kalau Bapak tidak keberatan..."

"Jangan kuatir. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusanmu."

"Saya yakin Bapak pernah mendengar tentang Tadaaki. Dia meninggalkan perguruan dan mengundurkan diri ke pegunungan itu karena kesalahan saya. Sekarang saya sudah meninggalkan status saya. Melakukan kerja kasar di kuil itu akan memberikan pada saya disiplin yang baik. Kepada para pendeta, saya tidak memberikan nama saya yang sebenarnya. Semua ini memang memalukan."

"Kesudahan pertarungan antara Tadaaki dengan Kojiro itu bukan rahasia lagi. Kojiro sudah menceritakannya pada semua orang yang dijumpainya antara Edo dan Buzen. Jadi, kau bermaksud menjernihkan nama gurumu?"

"Ya, hari-hari ini.... Sampai lain kali, Pak?" Torazo cepat meninggalkan tempat itu, seakan-akan tak sanggup tinggal lebih lama lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP