Sapi yang Lari
BAYANGAN cabang pohon
prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan matahari pucat itu
indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal musim semi di
Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke arah
selatan, pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah.
Tidak seperti burung,
para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak kenal musim.
Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh pelajaran
dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka
perdengarkan tidak jauh berbeda,
"Izinkanlah,
satu pertarungan saja."
"Izinkanlah saya
bertemu dengannya,"
"Saya
satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau
itu".
Selama sepuluh tahun
yang lalu, para pengawal memberikan jawaban yang sama: karena majikan mereka
sudah lanjut usia, beliau tidak dapat menerima siapa pun. Hanya sedikit pemain
pedang atau calon pemain pedang yang mau menerima begitu saja. Ada yang
melancarkan kecaman pedas mengenai makna Jalan sejati. Menurut mereka, tidak
boleh ada perbedaan antara tua dan muda, antara kaya dan miskin, antara, pemula
dan ahli. Yang lain sekadar memohon-mohon, ada pula yang mencoba menyogok.
Banyak yang meninggalkan tempat itu sambil menghamburkan kutukan kemarahan.
Sekiranya orang
banyak itu mengetahui keadaan sebenarnya, yaitu bahwa Sekishusai sudah
meninggal di akhir tahun sebelumnya, persoalannya mungkin akan jauh lebih
sederhana. Namun telah diputuskan bahwa karena Munenori tidak dapat
meninggalkan Edo sebelum bulan keempat, maka kematian itu mesti dirahasiakan
sampai upacara pemakaman diselenggarakan. Salah seorang dari sejumlah kecil
orang luar benteng yang mengetahui keadaan itu kini duduk dalam kamar tamu, dan
mendesak minta bertemu dengan Hyogo.
Orang itu adalah
Inshun, kepala biara Hozoin yang sudah cukup tua.
Selama In'ei pikun
dan kemudian meninggal, ia berhasil mempertahankan nama baik kuil itu sebagai
pusat seni bela diri. Banyak orang bahkan yakin ia telah meningkatkannya. Ia
melakukan segalanya yang mungkin untuk mempertahankan hubungan erat antara kuil
dan Koyagyu yang sudah ada semenjak zaman In'ei dan Sekishusai. Kini ia ingin
bertemu dengan Hyogo, karena ingin berbicara tentang seni bela diri. Sukekuro
tahu apa yang sebetulnya dikehendaki Inshun. Ia ingin bertarung dengan orang
yang oleh kakeknya sendiri dianggap sebagai pemain pedang yang lebih baik
daripada dirinya sendiri maupun Munenori. Hyogo tentu saja tidak mau melayani
pertandingan macam itu, karena menurutnya takkan menguntungkan siapa pun, dan
karena itu tak ada artinya.
Sukekuro meyakinkan
Inshun bahwa pesan telah disampaikan. "Saya yakin Hyogo akan datang
menyambut Anda, kalau dia merasa sehat."
"Jadi, menurut
Anda dia masih masuk angin?"
"Ya, rupanya dia
belum juga sembuh."
"Oh, saya tidak
tahu bahwa kesehatannya begitu rapuh."
"Ah, tidak benar
juga kalau dikatakan demikian. Beberapa waktu lamanya dia tinggal di Edo, dan
sampai sekarang belum dapat membiasakan diri dengan musim dingin di
gunung."
Ketika kedua orang
itu masih mengobrol, seorang pemuda pembantu memanggil-manggil nama Otsu di
halaman lingkaran dalam. Sebuah shoji terbuka, dan Otsu keluar dari salah
sebuah rumah, diiringi alunan asap setanggi. Ia masih berkabung lebih dari
seratus hari sejak meninggalnya Sekishusai, dan wajahnya tampak seputih kembang
pit.
"Di mana Kakak
tadi? Saya cari di mana-mana," tanya anak lelaki itu.
"Di kuil
Budha."
"Hyogo
menanyakan Kakak."
Ketika Otsu masuk
ruangan Hyogo, ia berkata, "Ah, Otsu, terima kasih kau sudi datang. Aku
ingin kau menjumpai seorang tamu atas namaku."
"Tentu."
"Sudah lama dia
datang. Sukekuro yang sekarang mengawaninya, tapi kurasa Sukekuro sudah capek
sekarang, mendengarkan dia terus bicara tentang Seni Perang."
"Kepala biara
Hozoin?"
"Ya."
Otsu tersenyum tipis,
membungkuk, dan meninggalkan ruangan.
Tidak begitu halus
cara Inshun mencoba mengetahui pendapat Sukekuro mengenai masa lalu dan watak
Hyogo.
"Saya dengar,
ketika Kato Kiyomasa menawarkan kedudukan kepadanya, Sekishusai menolak,
kecuali kalau Kiyomasa menyetujui satu syarat khusus."
"Apa betul? Saya
tak ingat, apa pernah mendengar hal seperti itu."
"Menurut In'ei,
Sekishusai mengatakan pada Kiyomasa bahwa Hyogo itu sangat gampang naik darah,
maka Yang Dipertuan mesti berjanji, kalau Hyogo melakukan
pelanggaran-pelanggaran besar, beliau akan mengampuni tiga pelanggaran pertama.
Sekishusai tidak pernah dikenal sebagai orang yang mau memaafkan sifat tak
sabar. Tentunya beliau punya perasaan khusus terhadap Hyogo."
Cerita itu begitu
mengejutkan Sukekuro, hingga ia masih juga mencari-cari jawaban ketika Otsu
masuk. Otsu tersenyum pada kepala biara itu, dan katanya, "Senang sekali
bertemu lagi dengan Bapak. Sayang sekali, Hyogo begitu sibuk menyiapkan laporan
yang harus segera dikirim ke Edo. Tapi dia minta saya menyampaikan permintaan
maafnya, karena tak dapat menemui Bapak kali ini." Kemudian Otsu
menyibukkan diri menyajikan teh dan kue-kue untuk Inshun dan kedua pendeta muda
pembantunya.
Kepala biara tampak
kecewa, sekalipun dengan sopan ia mengabaikan perbedaan antara alasan Sukekuro
dengan alasan Otsu. "Sayang sekali. Saya sebetulnya punya kabar penting
untuknya."
"Dengan senang
hati akan saya sampaikan kabar itu," kata Sukekuro, "dan Anda boleh
yakin bahwa hanya Hyogo yang akan mendengarnya."
"Oh, saya yakin
tentang hal itu," kata pendeta tua itu. "Hanya saja saya ingin
mengingatkan Hyogo sendiri."
Kemudian Inshun
mengulangi gunjingan yang telah didengarnya, tentang seorang samurai dari
Benteng Ueno di Provinsi Iga. Garis batas antara Koyagyu dan benteng itu berupa
daerah yang jarang penduduknya, sekitar tiga kilometer ke timur. Semenjak
Ieyasu menyitanya dari daimyo Kristen, Tsutsui Sadatsugu, dan menyerahkannya
kepada Todo Takatora, banyak perubahan telah terjadi. Semenjak Takatora menetap
setahun sebelumnya, ia telah memperbaiki benteng, meninjau kembali sistem
pajak, memperbaiki irigasi, dan mengambil langkah-langkah lain untuk
mengokohkan investasinya. Semua itu sudah menjadi rahasia umum. Tapi, menurut
pendengaran Inshun, Takatora saat ini sedang mencoba meluaskan wilayah tanahnya
dengan mendesak garis perbatasan.
Menurut laporan,
Takatora mengirimkan sejumlah samurai ke Tsukigase, dan di sana mereka
membangun rumah-rumah, menebangi pohon prem, mencegat orang-orang jalan, dan
terang-terangan melanggar hak milik Yang Dipertuan Yagyu.
"Kemungkinan,"
kata Inshun, "Yang Dipertuan Takatora sedang mengambil keuntungan dari
masa perkabungan Anda. Anda boleh saja menilai saya terlalu pencemas, tapi
kelihatannya dia punya rencana menggeser perbatasan ke arah sini, dan membuat
pagar baru. Kalau memang benar demikian, akan jauh lebih mudah menangani
hal-hal ini sekarang, daripada sesudah dia selesai melakukannya nanti. Saya
kuatir kalau Anda hanya santai saja dan tidak melakukan sesuatu, nanti Anda
menyesal."
Sebagai salah seorang
abdi senior, Sukekuro mengucapkan terima kasih pada Inshun atas berita itu.
"Akan saya suruh orang menyelidiki keadaan itu, dan kalau perlu nanti akan
saya kirimkan keluhan." Sebagai tanda terima kasih atas nama Hyogo,
Sukekuro pun membungkuk ketika kepala biara itu pulang.
Sukekuro pergi
menyampaikan informasi tentang gunjingan itu pada Hyogo, tapi Hyogo hanya
tertawa. "Biar saja," katanya. "Kalau nanti pamanku kembali, dia
dapat mengurusnya."
Sukekuro mengerti
pentingnya mengawal setiap jengkal tanah, karena itu ia tidak puas benar dengan
sikap Hyogo. Ia berunding dengan para samurai tinggi lainnya, dan bersama-sama
mereka menyimpulkan bahwa sekalipun memang dibutuhkan kebijaksanaan, tetap harus
diambil suatu tindakan. Todo Takatora adalah salah seorang daimyo paling kuat
di negeri itu.
Pagi harinya, sesudah
berlatih pedang, Sukekuro meninggalkan dojo di atas Shinkagedo dan bertemu
dengan seorang anak lelaki umur tiga belas atau empat belas tahun.
Anak itu membungkuk
kepadanya, dan Sukekuro berkata gembira, "Halo, Ushinosuke, melongok dojo
lagi? Bawa hadiah buatku, ya? Coba lihat... oh, kentang liar?" Ia
sebetulnya hanya setengah menggoda, karena kentang Ushinosuke selalu lebih
bagus daripada kentang orang lain. Anak itu tinggal bersama ibunya di kampung
terpencil Araki di gunung, dan sering datang ke benteng untuk menjual arang,
daging babi hutan, dan barang-barang lain.
"Tak ada kentang
hari ini, tapi saya bawa ini buat Otsu." Anak itu mengangkat kotak
berselubung jerami yang dibawanya.
"Bawa apa
sekarang-kelembak?"
"Bukan, ini
barang hidup! Di Tsukigase kadang-kadang saya dengar burung bulbul menyanyi.
Dan ini saya tangkap satu!"
"Hmm, jadi kau
selalu lewat Tsukigase, ya?"
"Betul. Itu jalan
satu-satunya."
"Aku mau tanya
sekarang. Apa kau melihat banyak samurai akhir-akhir ini?"
"Ada
beberapa."
"Apa kerja
mereka di sana?"
"Membangun
pondok-pondok."
"Apa kau melihat
mereka mendirikan pagar atau semacam itu?"
"Ya, di samping
pondok, mereka memasang beberapa jembatan, jadi mereka menebang segala macam
pohon. Untuk kayu bakar juga."
"Apa mereka
menghentikan orang-orang di jalan?"
"Saya kira
tidak. Saya tidak melihatnya."
Sukekuro
menggelengkan kepala. "Kudengar samurai-samurai itu dari perdikan Yang
Dipertuan Todo, tapi aku tidak tahu apa kerja mereka di Tsukigase. Apa kata
orang-orang di kampungmu?"
"Orang bilang,
mereka itu ronin yang terusir dari Nara dan Uji. Mereka tak punya tempat
tinggal, karena itu mereka pergi ke pegunungan."
Sekalipun sudah
mendengar keterangan dari Inshun, Sukekuro merasa penjelasan ini bukan tak
beralasan. Okubo Nagayasu, hakim dari Nara, tak henti-hentinya berusaha agar
daerah hukumnya bebas dari ronin miskin.
"Di mana
Otsu?" tanya Ushinosuke. "Saya ingin menyampaikan hadiah
untuknya." Ia memang selalu ingin bertemu Otsu, bukan hanya karena Otsu
selalu memberikan gula-gula dan mengatakan yang baik-baik kepadanya, tapi
karena dalam kecantikan Otsu ia merasa ada sesuatu yang bersifat gaib, yang
bukan berasal dari dunia ini. Kadang-kadang ia tak mampu menentukan, apakah
Otsu itu manusia atau dewi.
"Barangkali dia
di benteng," kata Sukekuro. Kemudian, sambil memandang ke kebun, katanya,
"Oh, kau beruntung rupanya. Apa bukan dia yang di sana itu?"
"Otsu!"
seru Ushinosuke keras.
Otsu menoleh dan
tersenyum. Ushinosuke pun berlari terengah-engah ke sisi Otsu dan mengangkat
kotaknya.
"Lihat! Saya
tangkap burung bulbul. Buat Kakak."
"Burung
bulbul?" Otsu mengerutkan kening, tangannya tetap di samping.
Ushinosuke tampak
kecewa. "Suaranya bagus!" katanya. "Tak ingin Kakak
mendengar?"
"Aku mau, tapi
hanya kalau dia bebas terbang ke mana dia suka. Baru dia akan menyanyikan
lagu-lagu yang bagus buat kita."
"Kakak
benar," kata Ushinosuke, sedikit cemberut. "Apa mesti saya lepaskan
kembali?"
"Kuhargai
maksudmu memberi hadiah, tapi... ya, aku lebih senang kalau burung itu
dilepaskan daripada dikurung."
Dengan diam
Ushinosuke membuka kotak jerami itu, dan seperti anak panah, burung itu terbang
ke atas dinding benteng. "Lihat, senang sekali dia bebas," kata Otsu.
"Orang-orang
bilang, burung bulbul itu pembawa pertanda musim semi, kan? Barangkali akan
datang orang membawa kabar gembira buat Kakak."
"Pembawa berita
sama baiknya dengan datangnya musim semi? Memang benar, aku sedang mengharap
mendengar suatu kabar."
Otsu berjalan menuju
hutan dan rumpun bambu di belakang benteng,
Ushinosuke
menyertainya di sampingnya. "Kakak mau pergi ke mana?" tanyanya.
"Aku sudah
terlalu lama tinggal di dalam benteng akhir-akhir ini. Untuk selingan, aku
ingin naik bukit, melihat kembang prem."
"Kembang prem?
Di atas sana tak banyak yang bisa dilihat. Kakak mesti pergi ke
Tsukigase."
"Ke sana juga
boleh. Jauhkah dari sini?"
"Sekitar tiga
kilometer. Bagaimana kalau kita pergi ke sana? Aku mengangkut kayu api hari
ini, karena itu aku membawa sapi."
Karena selama musim
dingin itu Otsu hampir tak pernah tinggal di luar benteng, ia cepat mengambil
keputusan. Tanpa mengatakan pada siapa pun, keduanya turun ke gerbang belakang
yang biasa didatangi para pedagang dan orang-orang lain yang punya urusan
dengan benteng. Gerbang itu dikawal seorang samurai bersenjata lembing. la
mengangguk dan tersenyum pada Otsu. Ushinosuke pun orang yang sudah dikenal,
karena itu si penjaga mengizinkan mereka keluar, tanpa memeriksa izin tertulis
untuk berada di pekarangan benteng.
Orang-orang di ladang
dan di jalan mengucapkan teguran bersahabat kepada Otsu, tak peduli mereka
kenal Otsu atau tidak. Ketika rumahrumah penduduk mulai jarang, ia menoleh
kembali ke arah benteng putih yang bertengger di pinggir gunung itu, dan
bertanya, "Apa bisa aku kembali sebelum gelap?"
"Tentu, nanti
saya antar."
"Kampung Araki
di sebelah sana Tsukigase kan?" "Tidak apa-apa."
Sambil mengobrol
tentang berbagai hal, mereka melewati warung garam. Di sana ada seorang lelaki
menukar daging babi hutan dengan sekarung garam. Selesai melakukan pertukaran,
ia keluar dan berjalan di belakang mereka. Karena salju sedang mencair, jalanan
makin lama makin buruk keadaannya. Tak banyak orang berjalan.
"Ushinosuke,"
kata Otsu, "kau selalu datang ke Koyagyu, ya?"
"Ya."
"Apa Benteng
Ueno tidak lebih dekat dengan Kampung Araki?"
"Betul, tapi di
Benteng Ueno tak ada pemain pedang besar macam Yang Dipertuan Yagyu."
"Kau suka
pedang, ya?"
"Ya."
Ushinosuke
menghentikan sapinya, melepaskan tali dari tangannya, lalu berlari turun ke
tepi sungai. DI situ ada sebuah jembatan. Sebatang balok lepas dari jembatan
itu. Ushinosuke mengembalikan balok itu ke tempatnya, dan menunggu sampai orang
di belakang mereka menyeberang dahulu.
Orang itu tampak
seperti ronin. Ketika melewati Otsu, ia memandang Otsu dengan sikap kurang
ajar, kemudian beberapa kali menoleh dari jembatan, dan juga dari seberang
jembatan, sebelum akhirnya menghilang dalam lipatan gunung.
"Siapa orang itu
menurutmu?" tanya Otsu gugup. "Kakak takut?"
"Tidak,
tapi..."
"Banyak ronin di
sekitar pegunungan di sini."
"Betul?"
tanya Otsu tidak tenang.
Sambil menoleh, kata
Ushinosuke, "Kak, apa Kakak dapat membantu saya? Kalau dapat, tolong minta
pada Pak Kimura supaya mempekerjakan saya. Saya dapat menyapu halaman, menimba
air... atau hal-hal semacam itu."
Anak itu belum lama
mendapat izin khusus dari Sukekuro untuk memasuki dojo, melihat orang berlatih,
tapi minatnya sudah tumbuh. Nenek moyangnya bernama Keluarga Kikumura. Sudah
beberapa angkatan kepala keluarga menggunakan nama sebutan Mataemon. Ushinosuke
sudah mantap keinginannya, kalau ia menjadi samurai nanti, ia akan menggunakan
nama Mataemon. Tapi tak seorang pun dari Keluarga Kikumura pernah melakukan
sesuatu yang istimewa. Maka ia akan mengubah nama keluarganya dengan nama
kampungnya, dan kalau impiannya terlaksana, ia akan termasyhur di mana-mana
sebagai Araki Mataemon.
Mendengar kata-kata
Ushinosuke itu, Otsu teringat akan Jotaro, dan ia tercengkeram oleh rasa sepi.
Umur Otsu sekarang dua puluh lima tahun, sedangkan Jotaro tentunya sembilan
belas atau dua puluh tahun. Memperhatikan kembang prem yang belum sepenuhnya
mekar itu, Otsu merasa bahwa musim seminya sendiri sudah lewat.
"Ayo kita
pulang, Ushinosuke," katanya tiba-tiba.
Ushinosuke
melontarkan pandangan penuh pertanyaan, namun dengan patuh ia memutar sapinya.
"Berhenti!"
bentak seorang lelaki.
Dua ronin lain
bergabung dengan ronin yang datang dari warung garam tadi. Ketiganya mendekat,
kemudian berdiri mengelilingi sapi, tangan mereka terlipat.
"Kalian mau
apa?" tanya Ushinosuke.
Orang-orang itu menatap
Otsu.
"Ya, sekarang
aku mengerti kata-katamu," kata salah seorang. "Cantik, kan?"
"Aku sudah
pernah lihat dia," kata yang ketiga. "Mungkin di Kyoto."
"Tentunya dari
Kyoto asalnya, dan pasti bukan dari kampung-kampung sekitar sini."
"Aku tak ingat,
di Perguruan Yoshioka atau di tempat lain, tapi aku yakin pernah lihat
dia."
"Apa kau pernah
di Perguruan Yoshioka?"
"Tiga tahun aku
di sana, sesudah Sekigahara."
"Kalau kalian
punya urusan dengan kami, katakan apa urusan kalian!" kata Ushinosuke
marah.
"Kami mau sampai
di rumah sebelum gelap."
Seorang dari ketiga
ronin menatap Ushinosuke, seolah baru pertama kali itu melihatnya. "Kau
dari Araki, kan? Salah satu dari pembuat arang, ya?"
"Betul. Memang
kenapa?"
"Kami tidak
butuh kau. Sana pulang!"
"Justru itu yang
mau kulakukan."
Ditariknya sapi itu
kencang-kencang, dan seorang dari mereka melemparkan pandangan dahsyat yang
pasti akan membuat kebanyakan anakanak gemetar ketakutan.
"Pergi
kalian!" kata Ushinosuke.
"Wanita ini
harus ikut kami."
"Ikut ke
mana?"
"Tak ada urusan
denganmu. Berikan tail itu!"
"Tidak!'
"Oh, dia kira
aku main-main."
Kedua orang lainnya
membidangkan dada dan menatap tajam, bergerak mendekati Ushinosuke.
Salah seorang
mengacungkan tinjunya yang sekeras mata kayu cemara ke depan dagunya.
Otsu mencengkeram
punggung sapi. Kerutan alis Ushinosuke jelas menandakan bahwa ada yang akan
segera terjadi.
"Oh, tidak,
berhenti!" pekik Otsu, dengan maksud menahan anak itu, agar tidak
melakukan sesuatu tanpa pikir panjang.
Namun nada sedih
dalam suara Otsu justru memacu Ushinosuke untuk beraksi. Ia menyepak cepat
dengan satu kakinya, mengenai orang yang ada di depannya, hingga orang itu
mundur terhuyung. Baru saja kakinya menyentuh tanah kembali, ia benturkan
kepalanya ke perut orang di sebelah kirinya. Serentak dengan itu, ia mencekal
pedang orang itu dan menariknya dari sarungnya. Lalu ia mengayun-ayunkan pedang
itu.
Ia bergerak dengan
kecepatan kilat, berpusing-pusing, dan seolah melakukan serangan ke segala
penjuru, menyambar ketiga lawan itu sekaligus, dengan kekuatan yang sama.
Apakah tindakannya yang cemerlang itu berdasarkan naluri semata-mata, ataukah
akibat kesembronoan kanak-kanaknya, yang jelas taktik-taktiknya yang tidak
biasa telah mengejutkan ketiga ronin itu.
Ayunan balik pedang
itu dengan keras menerjang dada salah seorang ronin. Otsu menjerit, tapi
suaranya tenggelam dalam jerit orang yang terluka itu. Ia jatuh ke arah sapi,
sementara darah menyembur ke muka binatang itu. Dengan ketakutan, sapi pun
menguak tak tentu bunyinya. Tepat saat itu pedang Ushinosuke menoreh pantatnya.
Sekali lagi sapi itu melenguh, lalu lari.
Kedua ronin lain
menyerbu ke arah Ushinosuke, sedangkan Ushinosuke melompat-lompat dengan
tangkasnya dari batu ke batu di bantaran sungai. "Aku tidak bersalah!
Kalian yang bersalah!" teriaknya.
Ketika kedua ronin
merasa bahwa Ushinosuke tak terkejar oleh mereka, mereka mulai mengejar sapi.
Ushinosuke kembali
melompat ke jalan, dan mengejar mereka sambil berseru-seru, "Lari? Kalian
lari?"
Satu orang berhenti
dan setengah menoleh. "Bajingan kecil kau!"
"Tinggalkan dulu
dia!" teriak yang lain.
Karena ketakutan,
sapi itu meninggalkan jalan lembah dan lari mendaki bukit rendah, menempuh
punggung bukit beberapa jauhnya, kemudian menerjang ke balik bukit itu. Dalam
waktu sangat singkat ia berhasil menempuh jarak cukup jauh, dan sampai di
tempat yang tak jauh letaknya dari perdikan Yagyu.
Walaupun dengan mata
tertutup menyerah, Otsu dapat bertahan agar tidak terlempar dan punggung sapi,
dengan bergayut pada pelana muatan. la dapat mendengar suara-suara orang yang
berpapasan dengannya, tapi ia begitu bingung, hingga tak dapat berteriak minta
tolong. Sekiranya ia berteriak pun tidak banyak faedahnya. Di antara
orang-orang yang membicarakan kejadian itu, tak ada yang punya keberanian
menghentikan binatang yang sudah menggila itu.
Namun ketika mereka
hampir sampai di Dataran Hannya, satu orang datang dari jalan kecil ke jalan
utama. Jalan utama itu sangat sempit, walaupun namanya jalan raya Kasagi. Orang
itu menyandang peti surat, dan kelihatan seperti seorang pembantu.
Orang-orang
berteriak-teriak, "Awas! Minggir!" tapi ia berjalan terus, langsung
menyongsong sapi itu.
Kemudian terdengar
bunyi berderak mengerikan.
"Tertanduk
dia!"
"Orang
goblok!"
Padahal kenyataannya
tidak seperti yang mula-mula diduga para penonton itu. Yang mereka dengar bukan
bunyi sapi menanduk orang itu, tapi orang itu menjatuhkan pukulan yang
memekakkan telinga ke pelipis binatang itu. Sapi pun mengangkat kepalanya yang
berat ke samping, membalik setengah lingkaran, dan balik kanan jalan. Tapi
belum lagi sepuluh kaki, mendadak ia berhenti. Air liur menderas keluar dari
mulutnya, sementara sekujur tubuhnya menggeletar.
"Turun
cepat!" kata orang itu pada Otsu.
Para penonton
berkerumun dengan gembira, sambil memperhatikan satu kaki orang itu, yang
dengan kokohnya menginjak tali binatang itu.
Begitu selamat turun
di tanah, Otsu membungkuk kepada penyelamatnya, walaupun masih terlalu pening
untuk mengetahui di mana ia berada dan apa yang hendak dilakukannya.
"Heran, binatang
baik begini bisa menjadi gila!" kata orang itu ketika ia menuntun sapi ke
pinggir jalan, dan mengikatnya ke sebatang pohon. Tapi, ketika terlihat olehnya
darah di kaki binatang itu, katanya, "Oh, apa ini? Lho, luka dia... dan
bekas pedang!"
Sementara ia
memeriksa luka dan menggerutu, Kimura Sukekuro menerobos kerumunan orang banyak
dan menyuruh mereka bubar.
"Apa kau bukan
pembantu Kepala Biara Inshun?" tanyanya, sebelum sempat menarik napas.
"Beruntung
sekali saya bertemu Bapak di sini. Saya membawa surat buat Bapak, dari kepala
biara. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan membaca surat ini
segera." Orang itu mengeluarkan surat dari peti, dan menyerahkannya pada
Sukekuro.
"Buat
saya?" tanya Sukekuro terkejut. Dan sesudah yakin tak ada kesalahan, ia
buka surat itu dan ia baca, "Mengenai para samurai di Tsukigase itu, sejak
percakapan kita kemarin, saya telah memeriksanya, dan saya temukan bahwa mereka
bukan orang-orang dari Yang Dipertuan Todo. Mereka itu orang jembel, ronin yang
sudah terusir dari kota-kota, dan terpaksa bersarang di sana selama
berlangsungnya musim dingin. Dengan sengaja saya lekas-lekas mengabarkan
kesalahan saya yang tidak menguntungkan ini pada Anda."
"Terima
kasih," kata Sukekuro. "Ini cocok dengan yang saya dengar dari sumber
lain. Katakan pada kepala biara, saya sangat lega, dan saya percaya dia pun
merasa demikian juga."
"Maafkan saya,
karena telah menyampaikan surat ini di tengah jalan. Pesan Bapak akan saya
sampaikan pada kepala biara. Selamat tinggal."
"Tunggu. Berapa
lama kau tinggal di Hozoin?"
"Belum
lama."
"Siapa
namamu?"
"Sebutan saya
Torazo."
"Heran,"
gumam Sukekuro sambil memperhatikan wajah orang itu. "Apa kau bukan Hamada
Toranosuke?"
"Bukan."
"Saya memang
belum pernah bertemu Hamada, tapi ada satu orang di benteng sana yang berkeras
mengatakan, Hamada sekarang bekerja sebagai pembantu Inshun."
"Begitu."
"Apa dia salah
sebut?"
Torazo merendahkan
suaranya, wajahnya merah. "Memang benar, saya ini Hamada. Saya datang di
Hozoin atas alasan-alasan pribadi. Untuk menghindarkan aib yang lebih besar
terhadap guru saya dan saya sendiri, saya bermaksud merahasiakan identitas
saya. Kalau Bapak tidak keberatan..."
"Jangan kuatir.
Aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusanmu."
"Saya yakin
Bapak pernah mendengar tentang Tadaaki. Dia meninggalkan perguruan dan
mengundurkan diri ke pegunungan itu karena kesalahan saya. Sekarang saya sudah
meninggalkan status saya. Melakukan kerja kasar di kuil itu akan memberikan
pada saya disiplin yang baik. Kepada para pendeta, saya tidak memberikan nama
saya yang sebenarnya. Semua ini memang memalukan."
"Kesudahan
pertarungan antara Tadaaki dengan Kojiro itu bukan rahasia lagi. Kojiro sudah
menceritakannya pada semua orang yang dijumpainya antara Edo dan Buzen. Jadi,
kau bermaksud menjernihkan nama gurumu?"
"Ya, hari-hari
ini.... Sampai lain kali, Pak?" Torazo cepat meninggalkan tempat itu,
seakan-akan tak sanggup tinggal lebih lama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar