Ladang yang Layu
PARA pemain pedang
Perguruan Yoshioka berkumpul di ladang tandus yang menghadap pintu masuk
Nagasaka ke jalan raya Tamba. Di balik pohonpohon yang membatasi ladang itu,
kilau salju pegunungan barat laut Kyoto menyergap mata seperti kilat.
Seorang dari mereka
menyarankan membuat api, karena mata pedang mereka yang seolah tersarung
menjadi semacam penyalur dingin langsung ke tubuh mereka. Waktu itu awal musim semi,
hari kesembilan Tahun Baru. Angin dingin bertiup turun dari Gunung Kinugasa.
Bahkan suara burung-burung pun terdengar sedih.
"Bagus nyalanya,
kan?"
"Tapi lebih baik
hati-hati. Jangan sampai membakar semak."
Api yang
berdetak-detak suaranya itu menghangatkan tangan dan wajah mereka, tapi tak
lama kemudian Ueda Ryohei menggerutu sambil mengipas-ngipas asap dari matanya.
"Terlalu panas!" Sambil menatap orang yang hendak memasukkan lebih
banyak daun ke api, katanya, "Cukup sudah! Berhenti!" Satu jam berlalu
tanpa banyak kejadian. "Tentunya sudah jam enam lebih."
Tanpa pikir panjang
lagi mereka semua mengangkat mata ke arah matahari.
"Hampir jam
tujuh."
"Tuan Muda harus
sudah di sini sekarang."
"Ah, dia datang
sebentar lagi."
Dengan wajah tegang
mereka memandang kuatir ke jalan dari kota. Tak sedikit di antara mereka
menelan ludah gelisah. "Apa yang terjadi dengannya?"
Seekor sapi menguak
memecahkan ketenangan. Ladang itu memang pernah digunakan sebagai tempat
penggembalaan sapi-sapi Kaisar. Di sekitarnya masih ada sapi-sapi tak
terpelihara. Matahari naik lebih tinggi, membawa serta kehangatan serta bau
tahi binatang dan rumput kering.
"Apa menurutmu
Musashi sudah ada di lapangan dekat Rendaiji?"
"Mungkin."
"Mesti ada yang
melihat ke sana. Cuma sekitar enam ratus meter dari sini."
Tapi tak seorang pun
mau melakukannya. Mereka terdiam kembali. Wajah mereka menyala dalam bayangan
yang ditimbulkan asap.
"Tak ada salah
pengertian tentang pengaturannya, kan?"
"Tidak. Ueda
menerimanya langsung dari Tuan Muda tadi malam. Tak mungkin ada
kesalahan."
Ryohei membenarkan.
"Betul. Aku tak heran kalau Musashi sudah ada di sana. Barangkali Tuan
Muda sengaja terlambat untuk bikin Musashi gelisah. Mari kita tunggu dulu.
Kalau kita membuat gerakan keliru dan menimbulkan kesan pada orang banyak bahwa
kita memberikan bantuan kepada Tuan Muda, itu akan bikin malu perguruan. Kita
tidak dapat melakukan sesuatu sebelum dia datang. Apa sih Musashi itu? Cuma
seorang ronin. Tak mungkin dia hebat."
Para murid yang telah
menyaksikan aksi Musashi di dojo Yoshioka tahun sebelumnya lain sikapnya. Tapi
bagi mereka pun mustahil Seijuro akan kalah. Kesepakatan yang mereka capai
adalah bahwa sekalipun guru mereka pasti menang, kecelakaan bisa saja terjadi.
Dan lagi, karena pertarungan itu diumumkan luas, akan banyak penonton yang
kehadirannya menurut mereka tidak hanya akan menambah wibawa perguruan,
melainkan juga meninggikan nama baik guru mereka.
Sekalipun ada
perintah khusus dari Seijuro agar dalam keadaan apa pun mereka tidak
membantunya, empat puluh orang berkumpul di sini untuk menantikan
kedatangannya, untuk memberikan ucapan selamat jalan, dan berjaga-jaga,
barangkali saja diperlukan. Disamping Ueda ada lima dari Sepuluh Pemain Pedang
Perguruan Yoshioka yang hadir.
Sekarang sudah lewat
pukul tujuh. Ketenangan yang dianjurkan Ryohei pada mereka berkembang menjadi
kebosanan, dan mereka menggerutu tak senang.
Para penonton yang
hendak melihat pertarungan, bertanya-tanya apakah telah terjadi kekeliruan.
"Di mana
Musashi?"
"Di mana yang
satunya itu – Seijuro?"
"Siapa saja
samurai di sana itu?"
"Barangkali
mereka datang buat mendukung salah satu pihak."
"Aneh juga
pertarungan ini! Pendukungnya ada, tapi yang bertarung tak ada!"
Sekalipun penonton
terus bertambah banyak dan dengung suara manusia terdengar semakin keras, para
penonton cukup berhati-hati dan tidak mendekati para pengikut Yoshioka,
sedangkan para murid sama sekali tidak memperhatikan kepala-kepala yang
mengintip lewat pohon miskantus yang layu atau menonton dari cabang-cabang
pohon.
Jotaro berjalan ke
sana kemari di tengah orang banyak, meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Dengan pedang kayunya yang amat besar dan sandal yang juga terlalu besar, ia
beralih dari perempuan yang satu ke perempuan lain, memeriksa wajahnya.
"Tidak ada di sini, tak ada di sini," bisiknya. "Apa yang
terjadi dengan Otsu? Dia tahu pertandingan hari ini." Dia mesti hadir di
sini, demikian pikirnya. Musashi bisa dalam bahaya. Apa yang membuat dia tidak
datang?
Pencarian yang
dilakukannya tidak membawa hasil, sekalipun ia sudah berjalan susah payah,
sampai capek setengah mati. "Aneh sekali," pikirnya. "Aku tak
melihat dia sejak Hari Tahun Baru. Apa dia sakit? Perempuan tua jelek itu
bicaranya manis, tapi mungkin juga tipuan. Barangkali dia melakukan tindakan
mengerikan terhadap Otsu."
Soal itu
menggelisahkannya bukan main, jauh lebih menggelisahkan daripada hasil
pertarungan hari itu.
Sebelum itu tak ada
padanya perasaan was-was. Dari beratus-ratus orang yang ada di tempat itu,
hampir tak seorang pun tidak mengharapkan kemenangan Seijuro. Hanya Jotaro
memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Musashi. Di matanya terbayang
gurunya ketika menghadapi lembing para pendeta Hozoin di Dataran Hannya.
Akhirnya ia berhenti
di tengah lapangan. "Dan ada satu lagi yang aneh," renungnya.
"Kenapa semua orang ini ada di sini? Menurut papan pengumuman itu,
pertarungan dilakukan di lapangan dekat Rendaiji." Rupanya hanya ia
seorang yang merasa heran.
Dari tengah orang
banyak yang berbondong-bondong terdengar suara mem-berengut, "Hei, Nak!
Coba sini!"
Jotaro mengenal orang
itu. Dialah yang memperhatikan Musashi dan Akemi ketika mereka saling bisik di
jembatan pada pagi Tahun Baru itu.
"Ada apa,
Pak?" tanya Jotaro.
Sasaki Kojiro
mendekati Jotaro, tapi sebelum bicara ia memandang Jotaro dulu pelan-pelan dari
kepala sampai jari kaki. "Apa bukan kamu yang kulihat di jalan Gojo
baru-baru ini?"
"Oh, jadi Bapak
ingat, ya?"
"Waktu itu kau
bersama seorang perempuan muda."
"Ya, perempuan
itu Otsu."
"Oh, namanya
Otsu. Coba katakan, apa dia itu ada hubungan dengan Musashi?"
"Saya rasa
ada."
"Apa dia saudara
sepupu Musashi?"
"Enggak."
"Saudaranya?"
"Enggak."
"Jadi?"
"Dia suka
Musashi."
"Mereka saling
cinta?"
"Itu saya tak
tahu. Saya cuma muridnya." Jotaro mengangguk bangga.
"Jadi, itu
sebabnya kamu ada di sini? Coba dengar, orang banyak itu mulai gelisah. Kau
tentu tahu di mana Musashi. Apa dia sudah meninggalkan penginapannya?"
"Kenapa tanya
saya? Sudah lama saya tidak melihatnya."
Beberapa lelaki
menerobos orang banyak dan mendekati Kojiro. Kojiro melontarkan pandangan mata
elang pada mereka. "Ah, jadi engkau di sini, Sasaki!"
"Oh,
Ryohei."
"Di mana engkau
selama ini?" tanya Ryohei sambil mencengkeram tangan Kojiro, seakan-akan
menawannya. "Engkau tidak datang ke dojo lebih dari sepuluh hari. Tuan
Muda ingin latihan sedikit denganmu."
"Lalu apa
salahnya kalau aku tidak datang? Hari ini aku di sini."
Ryohei dan
rekan-rekannya mengelilingi Kojiro, kemudian membawanya ke api mereka.
Terdengar bisikan di
tengah orang-orang yang melihat pedang panjang Kojiro dan pakaiannya yang
gemilang, "Orang itu pasti Musashi!"
"Apa itu
dia?"
"Tentunya."
"Mencolok juga
pakaiannya. Tapi kelihatannya bukan orang lemah."
"Itu bukan
Musashi!" teriak Jotaro mencela. "Musashi sama sekali bukan macam
itu! Tak bakal kalian lihat dia pakai pakaian macam pemain Kabuki!"
Tak lama kemudian,
bahkan orang-orang yang tidak mendengar protes anak itu pun menyadari kesalahan
mereka dan kembali bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi.
Kojiro berdiri dengan
para murid Yoshioka dan memandang mereka dengan sikap merendahkan. Mereka
mendengarkannya tanpa mengucapkan sesuatu, tapi wajah mereka cemberut.
"Sungguh
beruntung Perguruan Yoshioka, bahwa Seijuro dan Musashl tidak datang pada
waktunya," kata Kojiro. "Lebih baik kalian memecah diri dalam
beberapa kelompok, mencegat Seijuro, dan cepat-cepat membawanya pulang sebelum
dia terluka."
Usul yang bersifat
pengecut ini membikin mereka meradang, tapi Kojiro berkata lagi, "Apa yang
kunasihatkan ini lebih baik bagi Seijuro daripada bantuan apa pun yang mungkin
dia peroleh dari kalian." Kemudian dengan agak angkuh ia berkata,
"Aku dikirim dari surga kemari sebagai utusan, demi kepantingan Keluarga
Yoshioka. Sekarang aku akan menyampaikan ramalanku: kalau mereka jadi
bertarung, Seijuro akan kalah. Maaf aku mesti mengatakan ini, tapi Musashi
pasti akan mengalahkan-nya, barangkali membunuhnya."
Miike Jurozaemon
membusungkan dada ke dada pemuda itu, dan pekiknya, "Penghinaan!"
Dengan siku kanan terletak di antara wajah sendiri dan Kojiro, ia siap menarik
pedang dan memukul.
Kojiro menunduk dan
menyeringai, "Jadi, kalian tak suka dengan apa yang kukatakan."
"Ugh!"
"Kalau begitu,
maafkan," kata Kojiro gembira. "Aku takkan berusaha memberikan
dukungan lebih lanjut."
"Pertama-tama,
tak ada yang minta bantuanmu."
"Itu tidak
benar. Kalau kalian tidak memerlukan dukunganku, kenapa kalian mendesak aku
datang dari Kema ke rumah kalian? Kenapa kalian berusaha keras membuatku
senang? Kalian, Seijuro, ya, kalian semua!"
"Kami hanya
bersikap sopan pada tamu. Jadi, kau rupanya hanya memikirkan diri sendiri,
ya?"
"Ha, ha, ha, ha!
Mari kita hentikan semua ini, supaya akhirnya aku tidak terpaksa melawan kalian
semua. Tapi kuperingatkan, kalau kalian tidak menuruti nasihatku, kalian akan
menyesal! Aku sudah membandingkan kedua orang itu dengan mataku sendiri, dan
menurutku kemungkinan Seijuro kalah sangat besar, Musashi ada di jembatan Jalan
Gojo pada pagi Tahun Baru. Begitu melihatnya, aku tahu bahaya. Bagiku papan
yang kalian pasang itu tampak lebih sebagai pengumuman berkabung bagi keluarga
Yoshioka. Ini sungguh menyedihkan, tapi rupanya begitulah dunia ini: tak pernah
orang menyadari bahwa sesungguhnya zamannya sudah lewat."
"Cukup! Kenapa
kau datang kemari kalau tujuanmu cuma bicara macam itu?"
Nada Kojiro jadi
menyindir. "Juga, rupanya khas bagi orang yang sedang runtuh bahwa mereka
tak mau menerima uluran tangan dalam semangat seperti yang ditawarkan. Silakan
saja! Berpikirlah kalian semua! Kalian bahkan takkan perlu sampai menanti
habisnya hari ini. Dalam sejam kalian akan tahu, bagaimana kelirunya
kalian."
"Juh!"
Jurozaemon meludahi Kojiro. Empat puluh orang bergerak selangkah ke depan;
kemarahan mereka menyebar gelap ke seluruh lapangan.
Kojiro menanggapinya
dengan penuh keyakinan diri. Ia cepat melompat ke sisi, dan dengan jurusnya ia
memperlihatkan bahwa jika mereka mencari perkelahian, ia siap. Kemauan baik
yang dinyatakannya kini kelihatan menjadi pura-pura. Orang luar pun bisa
bertanya-tanya, barangkali ia sengaja menggunakan psikologi massa untuk
menciptakan kesempatan mencuri pertunjukan dari Musashi dan Seijuro.
Keributan melanda
orang-orang yang cukup dekat dengan kejadian itu. Ini bukan pertarungan yang
ingin mereka saksikan, tapi tampaknya bakal menarik.
Tiba-tiba seorang
gadis muda menyerobot ke tengah suasana pembunuhan itu. Di belakangnya mengejar
pula seekor monyet kecil, seperti bola sedang bergulir. Gadis itu menderas ke
antara Kojiro dan jago-jago pedang Yoshioka, dan jeritnya, "Kojiro, di
mana Musashi? Tak ada di sini?"
Kojiro menoleh marah
kepadanya. "Apa pula ini?" tanyanya.
"Akemi!"
kata salah seorang samurai. "Apa kerjanya di sini?"
"Kenapa kamu
datang kemari?" bentak Kojiro. "Aku sudah bilang jangan, kan?"
"Aku bukan milik
pribadimu! Kenapa pula aku tak bisa datang kemari?"
"Diam! Dan pergi
dari sini! Pulang sana ke Zuzuya," teriak Kojiro mendorong Akemi pelan.
Akemi yang
terengah-engah hebat itu menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan perintah aku
ke sana ke sini! Aku tinggal denganmu, tapi aku bukan milikmu, aku..."
Sampai di situ tercekiklah ia dan mulai tersedusedu, "Berani sekali kau
menyuruh-nyuruh aku, sesudah melakukan semuanya itu padaku? Sesudah mengikatku
dan meninggalkan aku di tingkat dua penginapan itu? Sesudah menggertak dan
menyiksaku, ketika kubilang aku kuatir akan Musashi?"
Kojiro membuka mulut
dan slap berbicara, tapi Akemi tidak memberinya kesempatan. "Salah seorang
tetangga mendengar aku menjerit dan datang melepaskan ikatanku. Dan aku ada di
sini buat melihat Musashi!"
"Apa kau gila?
Apa kau tidak lihat orang banyak di sekitarmu? Diam!"
"Aku tak mau
diam! Aku tak peduli siapa yang dengar. Kau bilang Musashi akan terbunuh hari
ini—kalau Seijuro tak dapat mengatasi, kau akan bertindak membantunya dan
membunuh Musashi sendiri. Barangkali aku gila, tapi Musashi satu-satunya lelaki
di hatiku! Aku mesti ketemu dia. Di mana dia?"
Kojiro mendecapkan
lidah, tapi tak dapat mengatakan apa-apa menghadapi serangan tajam Akemi itu.
Bagi orang-orang
Yoshioka, Akemi kelihatan terlalu bingung untuk dapat dipercayai kata-katanya.
Tapi barangkali ada benarnya juga yang dikatakannya itu. Dan kalau memang
benar, berarti Kojiro telah menggunakan kebaikan sebagai umpan, kemudian
menyiksa Akemi untuk kesenangannya sendiri.
Karena malu, Kojiro
menatap Akemi dengan kebencian yang tak disembunyi-sembunyikan.
Tapi tiba-tiba
perhatian mereka beralih kepada salah seorang pembantu Seijuro, seorang pemuda
bernama Tamihachi. Pembantu itu datang berlari seperti orang liar, sambil
melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. "Tolong!" Tuan Muda!
Dia sudah ketemu Musashi! Dia luka! Ngeri! Oh, ngeri-i-i!"
"Apa yang kamu
ocehkan itu?"
"Tuan Muda?
Musashi?"
"Di mana?
Kapan?"
"Tamihachi, apa
benar katamu itu?"
Pertanyaan-pertanyaan
nyaring dimuntahkan oleh wajah-wajah yang tiba-tiba kehabisan darah.
Tamihachi terus
menjerit-jerit tak jelas. Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka ataupun
beristirahat untuk mengatur napas, ia lari terhuyung-huyung kembali ke jalan
raya Tamba. Setengah percaya setengah ragu, tak tahu benar apa yang hendak
dipikirkan, Ueda, jurozaemon dan yang lain-lain ikut berlari mengikutinya
seperti binatang liar melintasi dataran terbakar.
Sesudah berlari ke
utara sekitar lima ratus meter jauhnya, sampailah mereka di lapangan tandus
yang menghampar di balik pepohonan ke sebelah kanan. Lapangan itu terjemur
sinar matahari musim semi. Permukaannya tenang tenteram. Burung murai dan jagal
yang terus berkicau, seakan tak ada yang baru terjadi, segera berterbangan ke
udara ketika Tamihachi kalang kabut menerjang rerumputan. Ia mendaki bukit
kecil yang tampak seperti kuburan kuno, dan jatuh berlutut. Sambil mencengkeram
tanah ia mengerang dan menjerit, "Tuan Muda!"
Yang lain-lain sampai
juga ke tempat itu, kemudian berdiri terpukau di tanah, ternganga melihat
pemandangan di hadapan mereka. Seijuro tergeletak dengan wajah terbenam di
rumput. Ia berkimono pola kembang biru. Tali kulit mengikat lengan kimono.
Kepalanya terikat kain putih.
"Tuan
Muda!"
"Kami di sini!
Apa yang terjadi?"
Tak ada titik darah
pada ikat kepala putih itu, tidak juga pada lengan kimononya atau pada rumput
di sekitarnya, tapi mata dan dahi Seijuro rampak beku dalam rasa nyeri tak
terkira. Bibirnya sewarna dengan buah anggur liar.
"Apa ... masih
ada napasnya?"
"Sedikit."
"Cepat
angkat!"
Satu orang berlutut
dan memegang lengan kanan Seijuro, siap mengangkat. Seijuro menjerit kesakitan.
"Cari alat
pengangkat! Apa saja!"
Tiga-empat orang
berteriak-teriak bingung dan berlari ke jalan, menuju sebuah rumah pertanian,
dan kembali membawa daun jendela. Hati-hati mereka gulingkan Seijuro ke
atasnya. Tapi sekalipun kelihatannya cuma sadar sedikit, masih juga Seijuro
merintih kesakitan. Agar tenang letaknya, beberapa orang melepaskan obi-nya dan
mengikatnya ke daun jendela.
Mereka mengangkatnya,
seorang di masing-masing sudut, dan mereka berjalan diam seperti pada upacara
penguburan.
Seijuro
menendang-nendang hebat, hingga hampir-hampir memecahkan daun jendela.
"Musashi... apa dia sudah pergi? Oh sakit! ... Lengan kanan-bahu.
Tulangnya... O-w-w-w! Tak tahan. Potong saja!... Kalian tidak dengar? Potong
lengan itu!"
Hebatnya rasa sakit yang
dideritanya menyebabkan orang-orang yang memikul tandu darurat itu memalingkan
mata. Seijuro orang yang mereka hormati sebagai guru. Sungguh tak pantas
melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Mereka berhenti dan
memanggil Ueda dan Jurozaemon. "Dia kesakitan dan minta kami memotong
lengannya. Apa takkan lebih ringan untuknya kalau kita memenuhi
permintaannya?"
"Jangan bicara
macam orang tolol," raung Ryohei. "Tentu saja sakit, tapi dia takkan
mati karenanya. Kalau kita memotong lengannya dan tak bisa menghentikan aliran
darahnya, dia akan mati. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membawa dia
pulang dan melihat seberapa besar lukanya. Kalau lengan itu memang harus
dipotong, kita dapat melakukannya sesudah diambil langkah-langkah lain agar dia
tidak mengalami pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian dari
kalian mesti jalan dulu memanggil dokter ke perguruan."
Di mana-mana masih
banyak orang yang diam berdiri di belakang pohon pinus di sepanjang jalan.
Dengan jengkel Ryohei memberengut suram dan menoleh kepada orang-orang di
belakang. "Usir orang-orang itu," perintahnya. "Tuan Muda bukan
tontonan."
Kebanyakan dari
samurai itu merasa beruntung mendapat kesempatan melampiaskan kemarahan mereka.
Lantas saja mereka berlari dan membuat gerakan-gerakan ganas terhadap para
penonton. Para penonton buyar seperti belalang.
"Tamihachi,
sini!" Ryohei marah, seakan menyalahkan pembantu muda itu atas segala yang
telah terjadi.
Pemuda yang dari tadi
berjalan sambil menangis di samping tandu itu mengkerut ketakutan. "Y
y-ya?" gagapnya.
"Apa kamu
bersama Tuan Muda ketika dia meninggalkan rumah?"
" Y- y-ya"
"Di mana dia
melakukan persiapan?"
"Di sini,
sesudah sampai lapangan."
"Dia mestinya
tahu di mana kami menunggu. Kenapa dia tidak ke sana dulu?"
"Saya tidak
tahu."
"Apa Musashi
sudah ada di sana?"
"Dia berdiri di
bukit kecil di mana... di mana..."
“Apa dia
sendirian?"
"Ya."
"Bagaimana
kejadiannya? Apa kamu cuma berdiri melihat?"
"Tuan Muda
memandang langsung pada saya dan berkata... dia bilang, kalau misalnya dia
kalah, saya mesti memungut tubuhnya dan membawanya ke lapangan yang lain itu.
Dia bilang, Anda dan yang lain-lain sudah ada di sana sejak fajar. Tapi dalam
keadaan apa pun tak boleh saya menyampaikan pada siapa pun sampai pertarungan
selesai. Dia bilang, ada waktunya seorang murid Seni Perang tak punya pilihan
lain kecuali menanggung risiko kalah, dan dia tak ingin menang dengan cara-cara
yang tidak terhormat, yang pengecut. Sesudah itu dia maju menjumpai
Musashi." Tamihachi bicara cepat, puas kerena telah menceritakan hal itu.
"Kemudian apa
yang terjadi?"
"Saya bisa
melihat wajah Musashi. Kelihatannya tersenyum sedikit. Mereka seperti bertukar
salam. Kemudian... kemudian terdengar jeritan. Suara itu terdengar dari ujung
lapangan yang satu ke ujung yang lain. Saya lihat pedang kayu Tuan Muda terbang
ke udara, dan kemudian... hanya Musashi yang berdiri. Dia memakai ikat kepala
warna jingga, tapi rambutnya tegak."
Jalan itu sudah
dibersihkan dari orang-orang yang ingin tahu. Orangorang yang memikul daun
jendela merasa sedih dan tertekan, tetapi tetap melangkah dengan hati-hati
untuk menghindari bertambahnya rasa sakit pada orang yang luka itu.
"Apa itu?"
Mereka berhenti, dan
seorang dari yang ada di depan meletakkan tangannya yang bebas ke leher. Yang
lain menengadah. Daun pinus yang sudah kering berguguran menimpa Seijuro.
Monyet Kojiro bertengger dengan sebelah kakinya di atas mereka, memandang
kosong dan membuat gerakan-gerakan cabul.
"Uh!"
teriak salah seorang ketika sebutir buah pinus jatuh ke wajahnya yang
menengadah. Sambil memaki ia mencabut belati dari sarungnya dan melemparkannya
secepat kilat ke arah si monyet, tapi tidak mengenai sasaran.
Mendengar siul
tuannya, monyet itu berjungkir balik dan hinggap dengan ringan ke bahunya.
Kojiro berdiri dalam bayangan. Akemi ada di sampingnya. Orang-orang Yoshioka
melontarkan pandangan benci kepadanya. Kojiro menatap tajam ke tubuh Seijuro di
atas daun jendela. Senyuman congkak hilang dari wajahnya, dan sekarang wajah
itu menampakkan sikap takzim. Ia menyeringai mendengar rintihan keras Seijuro.
Karena masih ingat benar akan kuliahnya tadi, para samurai hanya bisa
menyimpulkan bahwa Kojiro datang melulu untuk menikmati kebenaran kata-katanya.
Ryohei memerintahkan
pemikul tandu berjalan terus, katanya, "Cuma monyet, bukan manusia. Ayo
terus jalan."
"Tunggu,"
kata Kojiro, lalu pergi ke samping Seijuro dan bicara langsung dengannya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, tapi tanpa menantikan jawabannya.
"Musashi mengalahkan Anda, ya? Di mana dia memukul? Bahu kanan? Wah, berat
ini. Tulangnya berantakan. Lengan Anda seperti kantong kerikil. Anda tak boleh
menelentang, melambung-lambung di atas daun jendela. Darah bisa naik ke
otak."
Sambil menoleh kepada
yang lain-lain, ia memberikan perintah dengan angkuh, "Turunkan dia! Ayo,
turunkan dia! Apa yang kalian tunggu? Kerjakan seperti yang kukatakan!"
Seijuro kelihatan
sudah hampir mati, tapi Kojiro memerintahkannya berdiri. "Anda bisa, kalau
Anda mencoba. Luka itu tidak begitu serius. Cuma lengan kanan Anda. Kalau Anda
mencoba jalan, Anda bisa. Anda masih bisa pakai tangan kiri. Lupakan diri Anda
sendiri! Pikirkan almarhum ayah Anda. Anda mesti lebih banyak menunjukkan
hormat kepada beliau daripada yang Anda tunjukkan sekarang, ya, lebih banyak
lagi. Kalau Anda diangkut lewat jalan-jalan Kyoto... seperti apa nanti
kelihatannya. Coba pikir, bagaimana pengaruhnya itu nanti pada nama baik ayah
Anda?"
Seijuro menatapnya,
matanya putih tak berdarah. Kemudian dengan satu gerakan cepat ia angkat
dirinya untuk berdiri. Lengan kanannya yang sudah tak berguna itu tampak sekali
lebih panjang daripada lengan kirinya.
“Mike!" teriak
Seijuro.
"Ya, Tuan."
"Potong ini!"
"Hah-hh!"
"Jangan cuma
berdiri! Potong tanganku!"
"Tapi...
"Goblok. Sini,
Ueda, potong ini! Sekarang juga!"
"Ya-ya-ya,
Tuan."
Tapi sebelum Ueda
bergerak Kojiro berkata, "Akan kulakukan, kalau Anda menghendakinya."
"Silakan!"
kata Seijuro.
Kojiro pergi ke
sisinya. Ia mencengkeram erat tangan Seijuro, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan
bersamaan dengan itu ia hunus pedang kecilnya. Dengan bunyi cepat mengejutkan
lengan itu jatuh ke tanah dan darah menyembur dari bonggolnya.
Seijuro terhuyung-huyung,
dan para siswa datang serentak untuk membantu serta menutup luka dengan kain,
untuk menghentikan darahnya.
"Sekarang aku
jalan," kata Seijuro. "Aku pulang dengan kedua kakiku sendiri."
Wajahnya pucat seperti lilin. Ia maju sepuluh langkah. Di belakangnya, darah
yang menetes dari lukanya merembes hitam ke tanah.
"Tuan Muda,
hati-hati!"
Para murid terus
mengerumuninya lekat-lekat. Suara mereka yang mengandung rasa kuatir dengan
cepat berubah menjadi kemarahan.
Seorang dari mereka
mengutuk Kojiro, katanya, "Kenapa pula keledai congkak itu ikut campur?
Tuan lebih baik seperti tadi."
Tetapi Seijuro, yang
sudah malu oleh kata-kata Kojiro, mengatakan, "Kukatakan aku jalan, dan
aku akan jalan!" Sesudah beristirahat sebentar, ia maju lagi dua puluh
langkah, tapi sesungguhnya ia lebih banyak digerakkan oleh daya kemauan
daripada oleh kedua kakinya. Ia tak dapat bertahan lama. Sesudah lima puluh
atau enam puluh meter ia pun roboh.
"Cepat! Kita
mesti membawanya ke tabib!"
Mereka mengangkatnya
dan cepat membawanya ke Jalan Shijo. Seijuro tak punya lagi kekuatan untuk
melawan.
Kojiro berdiri
sejenak di bawah pohon, sambil mengawasi dengan wajah suram. Kemudian, sambil
menoleh kepada Akemi dan menyeringai, ia berkata, "Kaulihat? Kukira kau
senang, kan?" Akemi menerima cemoohan Kojiro itu dengan perasaan jijik.
Wajahnya pucat pasi, tapi Kojiro melanjutkan, "Bisamu cuma bicara akan
balas dendam. Apa kau puas sekarang? Apa itu cukup buat ganti keperawananmu
yang hilang?"
Akemi terlampau
bingung untuk bicara. Pada saat itu Kojiro kelihatan olehnya lebih menakutkan,
lebih penuh kebencian, dan lebih jahat daripada Seijuro. Walaupun Seijuro
penyebab penderitaannya, Seijuro bukan orang yang kejam. Ia tidak berhati
hitam, dan bukan bajingan yang sebenarbenarnya. Kojiro sebaliknya, jahat
sejahat-jahatnya – bukan sejenis pendosa yang bisa dibayangkan kebanyakan
orang, melainkan jahanam yang licik dan jahat. Ia bukannya ikut senang jika
orang lain berbahagia, malah sebaliknya bergembira dengan hadir dan menonton
penderitaan orang lain. Ia takkan pernah mencuri atau menipu, tapi ia lebih
berbahaya daripada penjahat biasa.
"Mari kita
pulang," katanya sambil mengembalikan monyetnya ke bahu. Akemi ingin
sekali melarikan diri, tapi tak bisa mengerahkan keberanian. "Tak ada
gunanya kau terus mencari Musashi," gumam Kojiro, sekaligus pada diri
sendiri dan pada Akemi. "Tak ada alasan baginya berlama-lama di sini.
Akemi bertanya pada
diri sendiri, kenapa ia tidak mengambil kesempatan ini untuk lari ke alam
bebas. Kenapa sepertinya ia tak mampu meninggalkan manusia kejam ini. Bahkan
sementara mengutuk kebodohannya sendiri, tidak dapat ia mencegah dirinya pergi
dengan Kojiro.
Monyet itu memutar
kepala dan memandangnya. Sambil mengoceh mengejek ia memamerkan giginya yang
putih dan menyeringai lebar.
Akemi ingin memakinya,
tapi tak dapat. Ia merasa dirinya dan monyet itu terikat oleh nasib yang sama.
Ia ingat, kasihan sekali tampaknya Seijuro tadi. Sekalipun dirinya sudah
dirugikan, hatinya kasihan juga pada Seijuro. Ia benci pada lelaki seperti
Seijuro dan Kojiro, namun sekaligus tertarik pada mereka, seperti ngengat
tertarik pada nyala api.
0 komentar:
Posting Komentar