Rabu, 12 Juli 2017



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg
 Ladang yang Layu

PARA pemain pedang Perguruan Yoshioka berkumpul di ladang tandus yang menghadap pintu masuk Nagasaka ke jalan raya Tamba. Di balik pohonpohon yang membatasi ladang itu, kilau salju pegunungan barat laut Kyoto menyergap mata seperti kilat.

Seorang dari mereka menyarankan membuat api, karena mata pedang mereka yang seolah tersarung menjadi semacam penyalur dingin langsung ke tubuh mereka. Waktu itu awal musim semi, hari kesembilan Tahun Baru. Angin dingin bertiup turun dari Gunung Kinugasa. Bahkan suara burung-burung pun terdengar sedih.

"Bagus nyalanya, kan?"

"Tapi lebih baik hati-hati. Jangan sampai membakar semak."

Api yang berdetak-detak suaranya itu menghangatkan tangan dan wajah mereka, tapi tak lama kemudian Ueda Ryohei menggerutu sambil mengipas-ngipas asap dari matanya. "Terlalu panas!" Sambil menatap orang yang hendak memasukkan lebih banyak daun ke api, katanya, "Cukup sudah! Berhenti!" Satu jam berlalu tanpa banyak kejadian. "Tentunya sudah jam enam lebih."

Tanpa pikir panjang lagi mereka semua mengangkat mata ke arah matahari.

"Hampir jam tujuh."

"Tuan Muda harus sudah di sini sekarang."

"Ah, dia datang sebentar lagi."

Dengan wajah tegang mereka memandang kuatir ke jalan dari kota. Tak sedikit di antara mereka menelan ludah gelisah. "Apa yang terjadi dengannya?"

Seekor sapi menguak memecahkan ketenangan. Ladang itu memang pernah digunakan sebagai tempat penggembalaan sapi-sapi Kaisar. Di sekitarnya masih ada sapi-sapi tak terpelihara. Matahari naik lebih tinggi, membawa serta kehangatan serta bau tahi binatang dan rumput kering.

"Apa menurutmu Musashi sudah ada di lapangan dekat Rendaiji?"

"Mungkin."

"Mesti ada yang melihat ke sana. Cuma sekitar enam ratus meter dari sini."

Tapi tak seorang pun mau melakukannya. Mereka terdiam kembali. Wajah mereka menyala dalam bayangan yang ditimbulkan asap.

"Tak ada salah pengertian tentang pengaturannya, kan?"

"Tidak. Ueda menerimanya langsung dari Tuan Muda tadi malam. Tak mungkin ada kesalahan."

Ryohei membenarkan. "Betul. Aku tak heran kalau Musashi sudah ada di sana. Barangkali Tuan Muda sengaja terlambat untuk bikin Musashi gelisah. Mari kita tunggu dulu. Kalau kita membuat gerakan keliru dan menimbulkan kesan pada orang banyak bahwa kita memberikan bantuan kepada Tuan Muda, itu akan bikin malu perguruan. Kita tidak dapat melakukan sesuatu sebelum dia datang. Apa sih Musashi itu? Cuma seorang ronin. Tak mungkin dia hebat."

Para murid yang telah menyaksikan aksi Musashi di dojo Yoshioka tahun sebelumnya lain sikapnya. Tapi bagi mereka pun mustahil Seijuro akan kalah. Kesepakatan yang mereka capai adalah bahwa sekalipun guru mereka pasti menang, kecelakaan bisa saja terjadi. Dan lagi, karena pertarungan itu diumumkan luas, akan banyak penonton yang kehadirannya menurut mereka tidak hanya akan menambah wibawa perguruan, melainkan juga meninggikan nama baik guru mereka.

Sekalipun ada perintah khusus dari Seijuro agar dalam keadaan apa pun mereka tidak membantunya, empat puluh orang berkumpul di sini untuk menantikan kedatangannya, untuk memberikan ucapan selamat jalan, dan berjaga-jaga, barangkali saja diperlukan. Disamping Ueda ada lima dari Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka yang hadir.

Sekarang sudah lewat pukul tujuh. Ketenangan yang dianjurkan Ryohei pada mereka berkembang menjadi kebosanan, dan mereka menggerutu tak senang.

Para penonton yang hendak melihat pertarungan, bertanya-tanya apakah telah terjadi kekeliruan.

"Di mana Musashi?"

"Di mana yang satunya itu – Seijuro?"

"Siapa saja samurai di sana itu?"

"Barangkali mereka datang buat mendukung salah satu pihak."

"Aneh juga pertarungan ini! Pendukungnya ada, tapi yang bertarung tak ada!"

Sekalipun penonton terus bertambah banyak dan dengung suara manusia terdengar semakin keras, para penonton cukup berhati-hati dan tidak mendekati para pengikut Yoshioka, sedangkan para murid sama sekali tidak memperhatikan kepala-kepala yang mengintip lewat pohon miskantus yang layu atau menonton dari cabang-cabang pohon.

Jotaro berjalan ke sana kemari di tengah orang banyak, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Dengan pedang kayunya yang amat besar dan sandal yang juga terlalu besar, ia beralih dari perempuan yang satu ke perempuan lain, memeriksa wajahnya. "Tidak ada di sini, tak ada di sini," bisiknya. "Apa yang terjadi dengan Otsu? Dia tahu pertandingan hari ini." Dia mesti hadir di sini, demikian pikirnya. Musashi bisa dalam bahaya. Apa yang membuat dia tidak datang?

Pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil, sekalipun ia sudah berjalan susah payah, sampai capek setengah mati. "Aneh sekali," pikirnya. "Aku tak melihat dia sejak Hari Tahun Baru. Apa dia sakit? Perempuan tua jelek itu bicaranya manis, tapi mungkin juga tipuan. Barangkali dia melakukan tindakan mengerikan terhadap Otsu."

Soal itu menggelisahkannya bukan main, jauh lebih menggelisahkan daripada hasil pertarungan hari itu.

Sebelum itu tak ada padanya perasaan was-was. Dari beratus-ratus orang yang ada di tempat itu, hampir tak seorang pun tidak mengharapkan kemenangan Seijuro. Hanya Jotaro memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Musashi. Di matanya terbayang gurunya ketika menghadapi lembing para pendeta Hozoin di Dataran Hannya.

Akhirnya ia berhenti di tengah lapangan. "Dan ada satu lagi yang aneh," renungnya. "Kenapa semua orang ini ada di sini? Menurut papan pengumuman itu, pertarungan dilakukan di lapangan dekat Rendaiji." Rupanya hanya ia seorang yang merasa heran.

Dari tengah orang banyak yang berbondong-bondong terdengar suara mem-berengut, "Hei, Nak! Coba sini!"

Jotaro mengenal orang itu. Dialah yang memperhatikan Musashi dan Akemi ketika mereka saling bisik di jembatan pada pagi Tahun Baru itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Jotaro.

Sasaki Kojiro mendekati Jotaro, tapi sebelum bicara ia memandang Jotaro dulu pelan-pelan dari kepala sampai jari kaki. "Apa bukan kamu yang kulihat di jalan Gojo baru-baru ini?"

"Oh, jadi Bapak ingat, ya?"

"Waktu itu kau bersama seorang perempuan muda."

"Ya, perempuan itu Otsu."

"Oh, namanya Otsu. Coba katakan, apa dia itu ada hubungan dengan Musashi?"

"Saya rasa ada."

"Apa dia saudara sepupu Musashi?"

"Enggak."

"Saudaranya?"

"Enggak."

"Jadi?"

"Dia suka Musashi."

"Mereka saling cinta?"

"Itu saya tak tahu. Saya cuma muridnya." Jotaro mengangguk bangga.

"Jadi, itu sebabnya kamu ada di sini? Coba dengar, orang banyak itu mulai gelisah. Kau tentu tahu di mana Musashi. Apa dia sudah meninggalkan penginapannya?"

"Kenapa tanya saya? Sudah lama saya tidak melihatnya."

Beberapa lelaki menerobos orang banyak dan mendekati Kojiro. Kojiro melontarkan pandangan mata elang pada mereka. "Ah, jadi engkau di sini, Sasaki!"

"Oh, Ryohei."

"Di mana engkau selama ini?" tanya Ryohei sambil mencengkeram tangan Kojiro, seakan-akan menawannya. "Engkau tidak datang ke dojo lebih dari sepuluh hari. Tuan Muda ingin latihan sedikit denganmu."

"Lalu apa salahnya kalau aku tidak datang? Hari ini aku di sini."

Ryohei dan rekan-rekannya mengelilingi Kojiro, kemudian membawanya ke api mereka.

Terdengar bisikan di tengah orang-orang yang melihat pedang panjang Kojiro dan pakaiannya yang gemilang, "Orang itu pasti Musashi!"

"Apa itu dia?"

"Tentunya."

"Mencolok juga pakaiannya. Tapi kelihatannya bukan orang lemah."

"Itu bukan Musashi!" teriak Jotaro mencela. "Musashi sama sekali bukan macam itu! Tak bakal kalian lihat dia pakai pakaian macam pemain Kabuki!"

Tak lama kemudian, bahkan orang-orang yang tidak mendengar protes anak itu pun menyadari kesalahan mereka dan kembali bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi.

Kojiro berdiri dengan para murid Yoshioka dan memandang mereka dengan sikap merendahkan. Mereka mendengarkannya tanpa mengucapkan sesuatu, tapi wajah mereka cemberut.

"Sungguh beruntung Perguruan Yoshioka, bahwa Seijuro dan Musashl tidak datang pada waktunya," kata Kojiro. "Lebih baik kalian memecah diri dalam beberapa kelompok, mencegat Seijuro, dan cepat-cepat membawanya pulang sebelum dia terluka."

Usul yang bersifat pengecut ini membikin mereka meradang, tapi Kojiro berkata lagi, "Apa yang kunasihatkan ini lebih baik bagi Seijuro daripada bantuan apa pun yang mungkin dia peroleh dari kalian." Kemudian dengan agak angkuh ia berkata, "Aku dikirim dari surga kemari sebagai utusan, demi kepantingan Keluarga Yoshioka. Sekarang aku akan menyampaikan ramalanku: kalau mereka jadi bertarung, Seijuro akan kalah. Maaf aku mesti mengatakan ini, tapi Musashi pasti akan mengalahkan-nya, barangkali membunuhnya."

Miike Jurozaemon membusungkan dada ke dada pemuda itu, dan pekiknya, "Penghinaan!" Dengan siku kanan terletak di antara wajah sendiri dan Kojiro, ia siap menarik pedang dan memukul.

Kojiro menunduk dan menyeringai, "Jadi, kalian tak suka dengan apa yang kukatakan."

"Ugh!"

"Kalau begitu, maafkan," kata Kojiro gembira. "Aku takkan berusaha memberikan dukungan lebih lanjut."

"Pertama-tama, tak ada yang minta bantuanmu."

"Itu tidak benar. Kalau kalian tidak memerlukan dukunganku, kenapa kalian mendesak aku datang dari Kema ke rumah kalian? Kenapa kalian berusaha keras membuatku senang? Kalian, Seijuro, ya, kalian semua!"

"Kami hanya bersikap sopan pada tamu. Jadi, kau rupanya hanya memikirkan diri sendiri, ya?"

"Ha, ha, ha, ha! Mari kita hentikan semua ini, supaya akhirnya aku tidak terpaksa melawan kalian semua. Tapi kuperingatkan, kalau kalian tidak menuruti nasihatku, kalian akan menyesal! Aku sudah membandingkan kedua orang itu dengan mataku sendiri, dan menurutku kemungkinan Seijuro kalah sangat besar, Musashi ada di jembatan Jalan Gojo pada pagi Tahun Baru. Begitu melihatnya, aku tahu bahaya. Bagiku papan yang kalian pasang itu tampak lebih sebagai pengumuman berkabung bagi keluarga Yoshioka. Ini sungguh menyedihkan, tapi rupanya begitulah dunia ini: tak pernah orang menyadari bahwa sesungguhnya zamannya sudah lewat."

"Cukup! Kenapa kau datang kemari kalau tujuanmu cuma bicara macam itu?"

Nada Kojiro jadi menyindir. "Juga, rupanya khas bagi orang yang sedang runtuh bahwa mereka tak mau menerima uluran tangan dalam semangat seperti yang ditawarkan. Silakan saja! Berpikirlah kalian semua! Kalian bahkan takkan perlu sampai menanti habisnya hari ini. Dalam sejam kalian akan tahu, bagaimana kelirunya kalian."

"Juh!" Jurozaemon meludahi Kojiro. Empat puluh orang bergerak selangkah ke depan; kemarahan mereka menyebar gelap ke seluruh lapangan.

Kojiro menanggapinya dengan penuh keyakinan diri. Ia cepat melompat ke sisi, dan dengan jurusnya ia memperlihatkan bahwa jika mereka mencari perkelahian, ia siap. Kemauan baik yang dinyatakannya kini kelihatan menjadi pura-pura. Orang luar pun bisa bertanya-tanya, barangkali ia sengaja menggunakan psikologi massa untuk menciptakan kesempatan mencuri pertunjukan dari Musashi dan Seijuro.

Keributan melanda orang-orang yang cukup dekat dengan kejadian itu. Ini bukan pertarungan yang ingin mereka saksikan, tapi tampaknya bakal menarik.

Tiba-tiba seorang gadis muda menyerobot ke tengah suasana pembunuhan itu. Di belakangnya mengejar pula seekor monyet kecil, seperti bola sedang bergulir. Gadis itu menderas ke antara Kojiro dan jago-jago pedang Yoshioka, dan jeritnya, "Kojiro, di mana Musashi? Tak ada di sini?"

Kojiro menoleh marah kepadanya. "Apa pula ini?" tanyanya.

"Akemi!" kata salah seorang samurai. "Apa kerjanya di sini?"

"Kenapa kamu datang kemari?" bentak Kojiro. "Aku sudah bilang jangan, kan?"

"Aku bukan milik pribadimu! Kenapa pula aku tak bisa datang kemari?"

"Diam! Dan pergi dari sini! Pulang sana ke Zuzuya," teriak Kojiro mendorong Akemi pelan.

Akemi yang terengah-engah hebat itu menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan perintah aku ke sana ke sini! Aku tinggal denganmu, tapi aku bukan milikmu, aku..." Sampai di situ tercekiklah ia dan mulai tersedusedu, "Berani sekali kau menyuruh-nyuruh aku, sesudah melakukan semuanya itu padaku? Sesudah mengikatku dan meninggalkan aku di tingkat dua penginapan itu? Sesudah menggertak dan menyiksaku, ketika kubilang aku kuatir akan Musashi?"

Kojiro membuka mulut dan slap berbicara, tapi Akemi tidak memberinya kesempatan. "Salah seorang tetangga mendengar aku menjerit dan datang melepaskan ikatanku. Dan aku ada di sini buat melihat Musashi!"

"Apa kau gila? Apa kau tidak lihat orang banyak di sekitarmu? Diam!"

"Aku tak mau diam! Aku tak peduli siapa yang dengar. Kau bilang Musashi akan terbunuh hari ini—kalau Seijuro tak dapat mengatasi, kau akan bertindak membantunya dan membunuh Musashi sendiri. Barangkali aku gila, tapi Musashi satu-satunya lelaki di hatiku! Aku mesti ketemu dia. Di mana dia?"

Kojiro mendecapkan lidah, tapi tak dapat mengatakan apa-apa menghadapi serangan tajam Akemi itu.

Bagi orang-orang Yoshioka, Akemi kelihatan terlalu bingung untuk dapat dipercayai kata-katanya. Tapi barangkali ada benarnya juga yang dikatakannya itu. Dan kalau memang benar, berarti Kojiro telah menggunakan kebaikan sebagai umpan, kemudian menyiksa Akemi untuk kesenangannya sendiri.

Karena malu, Kojiro menatap Akemi dengan kebencian yang tak disembunyi-sembunyikan.

Tapi tiba-tiba perhatian mereka beralih kepada salah seorang pembantu Seijuro, seorang pemuda bernama Tamihachi. Pembantu itu datang berlari seperti orang liar, sambil melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. "Tolong!" Tuan Muda! Dia sudah ketemu Musashi! Dia luka! Ngeri! Oh, ngeri-i-i!"

"Apa yang kamu ocehkan itu?"

"Tuan Muda? Musashi?"

"Di mana? Kapan?"

"Tamihachi, apa benar katamu itu?"

Pertanyaan-pertanyaan nyaring dimuntahkan oleh wajah-wajah yang tiba-tiba kehabisan darah.

Tamihachi terus menjerit-jerit tak jelas. Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka ataupun beristirahat untuk mengatur napas, ia lari terhuyung-huyung kembali ke jalan raya Tamba. Setengah percaya setengah ragu, tak tahu benar apa yang hendak dipikirkan, Ueda, jurozaemon dan yang lain-lain ikut berlari mengikutinya seperti binatang liar melintasi dataran terbakar.

Sesudah berlari ke utara sekitar lima ratus meter jauhnya, sampailah mereka di lapangan tandus yang menghampar di balik pepohonan ke sebelah kanan. Lapangan itu terjemur sinar matahari musim semi. Permukaannya tenang tenteram. Burung murai dan jagal yang terus berkicau, seakan tak ada yang baru terjadi, segera berterbangan ke udara ketika Tamihachi kalang kabut menerjang rerumputan. Ia mendaki bukit kecil yang tampak seperti kuburan kuno, dan jatuh berlutut. Sambil mencengkeram tanah ia mengerang dan menjerit, "Tuan Muda!"

Yang lain-lain sampai juga ke tempat itu, kemudian berdiri terpukau di tanah, ternganga melihat pemandangan di hadapan mereka. Seijuro tergeletak dengan wajah terbenam di rumput. Ia berkimono pola kembang biru. Tali kulit mengikat lengan kimono. Kepalanya terikat kain putih.

"Tuan Muda!"

"Kami di sini! Apa yang terjadi?"

Tak ada titik darah pada ikat kepala putih itu, tidak juga pada lengan kimononya atau pada rumput di sekitarnya, tapi mata dan dahi Seijuro rampak beku dalam rasa nyeri tak terkira. Bibirnya sewarna dengan buah anggur liar.

"Apa ... masih ada napasnya?"

"Sedikit."

"Cepat angkat!"

Satu orang berlutut dan memegang lengan kanan Seijuro, siap mengangkat. Seijuro menjerit kesakitan.

"Cari alat pengangkat! Apa saja!"

Tiga-empat orang berteriak-teriak bingung dan berlari ke jalan, menuju sebuah rumah pertanian, dan kembali membawa daun jendela. Hati-hati mereka gulingkan Seijuro ke atasnya. Tapi sekalipun kelihatannya cuma sadar sedikit, masih juga Seijuro merintih kesakitan. Agar tenang letaknya, beberapa orang melepaskan obi-nya dan mengikatnya ke daun jendela.

Mereka mengangkatnya, seorang di masing-masing sudut, dan mereka berjalan diam seperti pada upacara penguburan.

Seijuro menendang-nendang hebat, hingga hampir-hampir memecahkan daun jendela. "Musashi... apa dia sudah pergi? Oh sakit! ... Lengan kanan-bahu. Tulangnya... O-w-w-w! Tak tahan. Potong saja!... Kalian tidak dengar? Potong lengan itu!"

Hebatnya rasa sakit yang dideritanya menyebabkan orang-orang yang memikul tandu darurat itu memalingkan mata. Seijuro orang yang mereka hormati sebagai guru. Sungguh tak pantas melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Mereka berhenti dan memanggil Ueda dan Jurozaemon. "Dia kesakitan dan minta kami memotong lengannya. Apa takkan lebih ringan untuknya kalau kita memenuhi permintaannya?"

"Jangan bicara macam orang tolol," raung Ryohei. "Tentu saja sakit, tapi dia takkan mati karenanya. Kalau kita memotong lengannya dan tak bisa menghentikan aliran darahnya, dia akan mati. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membawa dia pulang dan melihat seberapa besar lukanya. Kalau lengan itu memang harus dipotong, kita dapat melakukannya sesudah diambil langkah-langkah lain agar dia tidak mengalami pendarahan yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian dari kalian mesti jalan dulu memanggil dokter ke perguruan."

Di mana-mana masih banyak orang yang diam berdiri di belakang pohon pinus di sepanjang jalan. Dengan jengkel Ryohei memberengut suram dan menoleh kepada orang-orang di belakang. "Usir orang-orang itu," perintahnya. "Tuan Muda bukan tontonan."

Kebanyakan dari samurai itu merasa beruntung mendapat kesempatan melampiaskan kemarahan mereka. Lantas saja mereka berlari dan membuat gerakan-gerakan ganas terhadap para penonton. Para penonton buyar seperti belalang.

"Tamihachi, sini!" Ryohei marah, seakan menyalahkan pembantu muda itu atas segala yang telah terjadi.

Pemuda yang dari tadi berjalan sambil menangis di samping tandu itu mengkerut ketakutan. "Y y-ya?" gagapnya.

"Apa kamu bersama Tuan Muda ketika dia meninggalkan rumah?"

" Y- y-ya"

"Di mana dia melakukan persiapan?"

"Di sini, sesudah sampai lapangan."

"Dia mestinya tahu di mana kami menunggu. Kenapa dia tidak ke sana dulu?"

"Saya tidak tahu."

"Apa Musashi sudah ada di sana?"

"Dia berdiri di bukit kecil di mana... di mana..."

“Apa dia sendirian?"

"Ya."

"Bagaimana kejadiannya? Apa kamu cuma berdiri melihat?"

"Tuan Muda memandang langsung pada saya dan berkata... dia bilang, kalau misalnya dia kalah, saya mesti memungut tubuhnya dan membawanya ke lapangan yang lain itu. Dia bilang, Anda dan yang lain-lain sudah ada di sana sejak fajar. Tapi dalam keadaan apa pun tak boleh saya menyampaikan pada siapa pun sampai pertarungan selesai. Dia bilang, ada waktunya seorang murid Seni Perang tak punya pilihan lain kecuali menanggung risiko kalah, dan dia tak ingin menang dengan cara-cara yang tidak terhormat, yang pengecut. Sesudah itu dia maju menjumpai Musashi." Tamihachi bicara cepat, puas kerena telah menceritakan hal itu.

"Kemudian apa yang terjadi?"

"Saya bisa melihat wajah Musashi. Kelihatannya tersenyum sedikit. Mereka seperti bertukar salam. Kemudian... kemudian terdengar jeritan. Suara itu terdengar dari ujung lapangan yang satu ke ujung yang lain. Saya lihat pedang kayu Tuan Muda terbang ke udara, dan kemudian... hanya Musashi yang berdiri. Dia memakai ikat kepala warna jingga, tapi rambutnya tegak."

Jalan itu sudah dibersihkan dari orang-orang yang ingin tahu. Orangorang yang memikul daun jendela merasa sedih dan tertekan, tetapi tetap melangkah dengan hati-hati untuk menghindari bertambahnya rasa sakit pada orang yang luka itu.

"Apa itu?"

Mereka berhenti, dan seorang dari yang ada di depan meletakkan tangannya yang bebas ke leher. Yang lain menengadah. Daun pinus yang sudah kering berguguran menimpa Seijuro. Monyet Kojiro bertengger dengan sebelah kakinya di atas mereka, memandang kosong dan membuat gerakan-gerakan cabul.

"Uh!" teriak salah seorang ketika sebutir buah pinus jatuh ke wajahnya yang menengadah. Sambil memaki ia mencabut belati dari sarungnya dan melemparkannya secepat kilat ke arah si monyet, tapi tidak mengenai sasaran.

Mendengar siul tuannya, monyet itu berjungkir balik dan hinggap dengan ringan ke bahunya. Kojiro berdiri dalam bayangan. Akemi ada di sampingnya. Orang-orang Yoshioka melontarkan pandangan benci kepadanya. Kojiro menatap tajam ke tubuh Seijuro di atas daun jendela. Senyuman congkak hilang dari wajahnya, dan sekarang wajah itu menampakkan sikap takzim. Ia menyeringai mendengar rintihan keras Seijuro. Karena masih ingat benar akan kuliahnya tadi, para samurai hanya bisa menyimpulkan bahwa Kojiro datang melulu untuk menikmati kebenaran kata-katanya.

Ryohei memerintahkan pemikul tandu berjalan terus, katanya, "Cuma monyet, bukan manusia. Ayo terus jalan."

"Tunggu," kata Kojiro, lalu pergi ke samping Seijuro dan bicara langsung dengannya. "Apa yang terjadi?" tanyanya, tapi tanpa menantikan jawabannya. "Musashi mengalahkan Anda, ya? Di mana dia memukul? Bahu kanan? Wah, berat ini. Tulangnya berantakan. Lengan Anda seperti kantong kerikil. Anda tak boleh menelentang, melambung-lambung di atas daun jendela. Darah bisa naik ke otak."

Sambil menoleh kepada yang lain-lain, ia memberikan perintah dengan angkuh, "Turunkan dia! Ayo, turunkan dia! Apa yang kalian tunggu? Kerjakan seperti yang kukatakan!"

Seijuro kelihatan sudah hampir mati, tapi Kojiro memerintahkannya berdiri. "Anda bisa, kalau Anda mencoba. Luka itu tidak begitu serius. Cuma lengan kanan Anda. Kalau Anda mencoba jalan, Anda bisa. Anda masih bisa pakai tangan kiri. Lupakan diri Anda sendiri! Pikirkan almarhum ayah Anda. Anda mesti lebih banyak menunjukkan hormat kepada beliau daripada yang Anda tunjukkan sekarang, ya, lebih banyak lagi. Kalau Anda diangkut lewat jalan-jalan Kyoto... seperti apa nanti kelihatannya. Coba pikir, bagaimana pengaruhnya itu nanti pada nama baik ayah Anda?"

Seijuro menatapnya, matanya putih tak berdarah. Kemudian dengan satu gerakan cepat ia angkat dirinya untuk berdiri. Lengan kanannya yang sudah tak berguna itu tampak sekali lebih panjang daripada lengan kirinya.

“Mike!" teriak Seijuro.

"Ya, Tuan." "Potong ini!"

"Hah-hh!"

"Jangan cuma berdiri! Potong tanganku!"

"Tapi...

"Goblok. Sini, Ueda, potong ini! Sekarang juga!"

"Ya-ya-ya, Tuan."

Tapi sebelum Ueda bergerak Kojiro berkata, "Akan kulakukan, kalau Anda menghendakinya."

"Silakan!" kata Seijuro.

Kojiro pergi ke sisinya. Ia mencengkeram erat tangan Seijuro, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan bersamaan dengan itu ia hunus pedang kecilnya. Dengan bunyi cepat mengejutkan lengan itu jatuh ke tanah dan darah menyembur dari bonggolnya.

Seijuro terhuyung-huyung, dan para siswa datang serentak untuk membantu serta menutup luka dengan kain, untuk menghentikan darahnya.

"Sekarang aku jalan," kata Seijuro. "Aku pulang dengan kedua kakiku sendiri." Wajahnya pucat seperti lilin. Ia maju sepuluh langkah. Di belakangnya, darah yang menetes dari lukanya merembes hitam ke tanah.

"Tuan Muda, hati-hati!"

Para murid terus mengerumuninya lekat-lekat. Suara mereka yang mengandung rasa kuatir dengan cepat berubah menjadi kemarahan.

Seorang dari mereka mengutuk Kojiro, katanya, "Kenapa pula keledai congkak itu ikut campur? Tuan lebih baik seperti tadi."

Tetapi Seijuro, yang sudah malu oleh kata-kata Kojiro, mengatakan, "Kukatakan aku jalan, dan aku akan jalan!" Sesudah beristirahat sebentar, ia maju lagi dua puluh langkah, tapi sesungguhnya ia lebih banyak digerakkan oleh daya kemauan daripada oleh kedua kakinya. Ia tak dapat bertahan lama. Sesudah lima puluh atau enam puluh meter ia pun roboh.

"Cepat! Kita mesti membawanya ke tabib!"

Mereka mengangkatnya dan cepat membawanya ke Jalan Shijo. Seijuro tak punya lagi kekuatan untuk melawan.

Kojiro berdiri sejenak di bawah pohon, sambil mengawasi dengan wajah suram. Kemudian, sambil menoleh kepada Akemi dan menyeringai, ia berkata, "Kaulihat? Kukira kau senang, kan?" Akemi menerima cemoohan Kojiro itu dengan perasaan jijik. Wajahnya pucat pasi, tapi Kojiro melanjutkan, "Bisamu cuma bicara akan balas dendam. Apa kau puas sekarang? Apa itu cukup buat ganti keperawananmu yang hilang?"

Akemi terlampau bingung untuk bicara. Pada saat itu Kojiro kelihatan olehnya lebih menakutkan, lebih penuh kebencian, dan lebih jahat daripada Seijuro. Walaupun Seijuro penyebab penderitaannya, Seijuro bukan orang yang kejam. Ia tidak berhati hitam, dan bukan bajingan yang sebenarbenarnya. Kojiro sebaliknya, jahat sejahat-jahatnya – bukan sejenis pendosa yang bisa dibayangkan kebanyakan orang, melainkan jahanam yang licik dan jahat. Ia bukannya ikut senang jika orang lain berbahagia, malah sebaliknya bergembira dengan hadir dan menonton penderitaan orang lain. Ia takkan pernah mencuri atau menipu, tapi ia lebih berbahaya daripada penjahat biasa.

"Mari kita pulang," katanya sambil mengembalikan monyetnya ke bahu. Akemi ingin sekali melarikan diri, tapi tak bisa mengerahkan keberanian. "Tak ada gunanya kau terus mencari Musashi," gumam Kojiro, sekaligus pada diri sendiri dan pada Akemi. "Tak ada alasan baginya berlama-lama di sini.

Akemi bertanya pada diri sendiri, kenapa ia tidak mengambil kesempatan ini untuk lari ke alam bebas. Kenapa sepertinya ia tak mampu meninggalkan manusia kejam ini. Bahkan sementara mengutuk kebodohannya sendiri, tidak dapat ia mencegah dirinya pergi dengan Kojiro.

Monyet itu memutar kepala dan memandangnya. Sambil mengoceh mengejek ia memamerkan giginya yang putih dan menyeringai lebar.

Akemi ingin memakinya, tapi tak dapat. Ia merasa dirinya dan monyet itu terikat oleh nasib yang sama. Ia ingat, kasihan sekali tampaknya Seijuro tadi. Sekalipun dirinya sudah dirugikan, hatinya kasihan juga pada Seijuro. Ia benci pada lelaki seperti Seijuro dan Kojiro, namun sekaligus tertarik pada mereka, seperti ngengat tertarik pada nyala api.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP