Rabu, 12 Juli 2017






Angsa-Angsa Sesat

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





"TUNGGU, Matahachi. Kenapa kamu jalan begitu cepat?" Osugi yang jauh ketinggalan dan sudah sama sekali kehabisan napas kini kehilangan kesabaran maupun harga dirinya.

Dengan suara yang disengaja akan dapat didengar ibunya, Matahachi menggerutu, "Begitu buru-buru dia waktu meninggalkan penginapan, tapi coba dengar sekarang. Dia lebih bisa bicara daripada jalan."

Sampai di kaki Gunung Daimonji tadi, mereka masih berada di War, menuju Ichijoji, tapi sekarang, setelah jauh memasuki pegunungan, mereka tersesat.

Osugi tak mau menyerah. "Kau ini mengomeli ibumu saja," geramnya "Orang bisa mengira kau punya dendam hebat kepada ibumu sendiri.Baru selesai ia menghapus keringat, Matahachi sudah berangkat lagi.

"Kamu tak mau lambat sedikit, ya?" teriak Osugi. "Ayo duduk di sini sebentar."

"Kalau Ibu terus berhenti istirahat tiap tiga meter, tak bakal kita sampai di sana sebelum matahari terbit."

"Matahari belum akan terbit, dan biasanya Ibu tidak kesulitan dengan jalan gunung macam ini, tapi Ibu lagi masuk angin."

"Ibu tak pernah mengaku salah, ya? Tadi di sana waktu saya bangunkan pemilik penginapan supaya Ibu dapat istirahat, Ibu tidak bisa duduk tenang sedikit pun. Ibu tak mau minum, dan Ibu mulai mengomel mengatakan kita akan terlambat. Baru saja dapat dua hirupan, Ibu sudah menyeret saya ke luar. Saya tahu Ibu ini ibuku, tapi Ibu sukar sekali diajak bergaul baik—baik."

"Ha! Masih jengkel karena Ibu tidak kasih kesempatan minum, ya? Betul? Kenapa kau ini tak mau berlatih mengendalikan diri sedikit: Ada hal-hal penting yang mesti kita lakukan hari ini!"

"Tapi kan bukan kita sendiri yang akan melecutkan pedang atau melakukan tugas itu? Yang mesti kita lakukan cuma mendapat rambut Musashi, atau bagian lain tubuhnya. Tak ada sukarnya sama sekali."

"Terserah pandanganmu! Tapi tak ada gunanya bertengkar macam ini. Ayo jalan!"

Ketika mereka mulai berjalan lagi, kembali Matahachi bicara sendiri, menyatakan rasa tak puasnya. "Urusan konyol ini. Membawa pulang seberkas rambut ke desa, dan menunjukkannya sebagai bukti bahwa tugas besar hidup sudah terlaksana! Dan orang-orang udik itu tak pernah keluar dari pegunungan, karena itu mereka akan terkesan sekali! Oh, aku benci sekali desa itu!"

Ia memang belum bosan sake Nada yang baik, dengan gadis-gadis Kyoto yang manis, dan dengan sejumlah hal lain lagi. Ia masih percaya bahwa di kota itulah ia akan memperoleh nasib baik. Siapa dapat membantah bahwa pada suatu pagi nanti ia bangun dan sudah memperoleh segala yang pernah diinginkannya? "Aku tak akan pernah kembali ke desa kecil itu," sumpahnya diam-diam.

Osugi yang kembali tertinggal di belakang kini lupa akan harga dirinya. "Matahachi," bujuknya, "gendong aku di punggungmu. Ayolah, sebentar saja."

Matahachi mengerutkan kening tanpa berkata-kata, tapi ia berhenti juga untuk memberi kesempatan kepada ibunya mengejar. Baru saja ibunya sampai di tempatnya, mereka sudah mendengar jeritan mengerikan yang tadi mengguncangkan Otsu dan Jotaro. Dengan wajah tertegun mereka berdiri diam mendengarkan baik-baik. Sesaat kemudian Osugi berteriak cemas, karena Matahachi tiba-tiba berlari ke ujung batu karang.

"Ke mana kamu?"

"Mestinya di bawah sana!" kata Matahachi, dan menghilang ke balik batu karang itu. "Ibu tinggal saja di situ. Saya akan lihat siapa itu."

Sebentar kemudian Osugi mengejar kembali. "Tolol!" teriaknya. "Ke mana kamu pergi?"

"Tuli, ya? Apa Ibu tidak dengar jeritan itu?"

"Ada urusan apa denganmu? Kembali kamu! Kembali sini!"

Tanpa memedulikan ibunya, dengan cepat Matahachi bergerak dari akar pohon yang satu ke akar pohon yang lain, menuju dasar ngarai kecil itu. "Tolol! Orang tolol!" teriak Osugi. Ia kelihatan seperti sedang menyalak ke bulan.

Matahachi kembali berteriak kepadanya, minta supaya tinggal di tempat, tapi ia sendiri sudah demikian jauh di bawah, hingga Osugi hampir tidak mendengarnya. "Bagaimana sekarang?" pikirnya, mulai menyesali tindakannya yang terburu-buru itu. Kalau ia keliru menduga arah datangnya teriakan itu, berarti ia membuang-buang waktu dan tenaga.

Walaupun cahaya bulan tidak menembus dedaunan, sedikit demi sedikit matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Sampailah ia di salah satu jalan pintas yang saling menyilang pegunungan sebelah timur Kyoto menuju Sakamoto dan Otsu. Sesudah berjalan menyusuri sungai kecil berair terjun dan beriam, ia temukan sebuah gubuk yang mungkin tempat berteduh bagi orang-orang yang datang untuk menombak ikan forel gunung. Gubuk itu terlalu kecil untuk lebih dari satu orang, dan agaknya kosong, tapi dl belakang tampak olehnya sesosok tubuh yang wajahnya merunduk dan tangannya putih semata.

"Oh, perempuan!" pikirnya senang, lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar.

Beberapa menit kemudian, perempuan itu merangkak dari belakang gubuk, pergi ke tepi sungai dan menciduk air untuk diminum. Matahachi melangkah mendekat. Seakan digerakkan oleh naluri binatang, gadis itu menoleh diam-diam ke sekitarnya, lalu mulai lari.

"Akemi!"

"Oh, engkau bikin aku ketakutan!" Tapi dalam suaranya terdengar nada lega. Ia menelan air yang tersangkut di tenggorokannya dan menarik keluhan dalam.

Sesudah memandang Akemi dari atas ke bawah, Matahachi bertanya. "Apa yang terjadi? Apa kerjamu di sini malam begini, dan dengan pakaian perjalanan pula?"

"Di mana ibumu?"

"Dia di atas sana." Matahachi melambaikan tangan. "Berani bertaruh, dia pasti marah sekali."

"Karena uang itu?"

"Ya. Aku betul-betul minta maaf, Matahachi. Waktu itu aku harus lekas-lekas pergi, tapi aku tak punya cukup uang buat membayar rekening, dan tak punya apa pun buat bepergian. Aku tahu perbuatan itu salah, tapi aku panik. Maafkan aku. Jangan paksa aku kembali! Aku berjanji akan mengembalikan uang itu nanti." Dan ia mulai berurai air mata.

"Buat apa segala permintaan maaf itu? Oh, begitu, ya? Jadi, pikirmu kami datang kemari buat menangkapmu?"

"Ya, aku tidak menyalahkanmu. Biarpun perbuatanku itu cuma menurutkan kata hati, tapi aku betul-betul sudah melarikan uang itu. Kala aku ditangkap dan diperlakukan seperti pencuri, kukira tak pantas aku mengeluh."

"Memang begitu mestinya pandangan ibuku, tapi aku bukan orang macam itu. Lagi pula, uang itu jumlahnya tidak banyak. Sekiranya engkau memang membutuhkannya, dengan senang hati aku memberikannya kepadamu. Aku tidak marah. Yang lebih ingin kuketahui adalah kenapa kau begitu tiba-tiba pergi dan apa kerjamu di sini?"

"Aku mendengar pembicaraanmu dengan ibumu tadi malam."

"Oh? Tentang Musashi?"

"Ya."

"Dan engkau tiba-tiba memutuskan pergi ke Ichijoji?" Akemi tidak menjawab.

"Oh ya, aku lupa!" kata Matahachi, ingat akan maksud kedatangannya ke ngarai itu. "Apa engkau yang menjerit beberapa menit yang lalu?"

Akemi mengangguk, kemudian cepat mencuri pandang takut ke lereng di atas mereka. Dengan perasaan puas karena tak ada suatu pun lagi di sana, ia menyampaikan pada Matahachi bahwa tadi ia menyeberang sungai dan mendaki tebing terjal, tapi ketika menoleh ke atas, ia lihat hantu bertampang jahat sekali duduk di batu tinggi, menatap bulan. Hantu itu tubuhnya cebol, tetapi wajahnya wajah perempuan dan warnanya mengerikan, lebih putih dari putih, dan mulutnya tersayat sebelah, sampai ke telinga. Hantu itu kelihatan secara gaib menertawakannya, sehingga ia ketakutan sampai kehilangan akal. Belum lagi sadar, ia sudah merosot kembali masuk ngarai.

Walaupun cerita itu keterlaluan kedengarannya, tapi Akemi menceritakannya dengan sungguh-sungguh sekali. Matahachi mencoba mendengarkan dengan sopan, tapi segera kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

"Ha, ha! Engkau mengarang saja semua itu! Barangkali kau yang menakuti hantu itu. Kau kan dulu biasa menjelajahi medan perang? Kau malah tidak menunggu sampai jiwa-jiwa itu pergi, langsung saja melucuti mayat-mayat itu."

"Aku masih kanak-kanak waktu itu. Belum kenal rasa takut."

"Tapi waktu itu kau tidak terlalu muda juga.... Kukira, kau masih merana karena Musashi sekarang."

"Dia... Dia memang cinta pertamaku, tapi..."

"Kalau begitu, kenapa kau pergi ke Ichijoji?"

"Aku sendiri tidak tahu kenapa. Cuma terpikir kalau aku pergi, aku dapat melihatnya."

"Menghabis-habiskan waktu saja," kata Matahachi penuh tekanan, kemudian disampaikannya kepada Akemi bahwa Musashi tak punya kesempatan satu banding seribu untuk keluar dari pertempuran dalam keadaan hidup.

Sesudah mengalami peristiwa dengan Seijuro dan Kojiro, pikiran Akemi tentang Musashi tidak lagi dapat membangkitkan khayal kebahagiaan bersama seperti yang pernah ia punyai. Ia tidak mati, namun tidak pula menemukan hidup yang menggairahkannya, karena itu ia merasa seperti jiwa yang telantar-seperti angsa yang terpisah dari kawanannya, dan tersesat.

Melihat tampang Akemi, Matahachi terkesan sekali oleh miripnya keadaan Akemi itu dengan keadaannya sendiri. Mereka berdua terputus dan hanyut dari tambatan. Dari wajah Akemi yang berbedak itu, tampak bahwa ia membutuhkan teman.

Matahachi memeluknya dan menempelkan pipinya ke pipi Akemi, dan bisiknya, "Akemi, mari kita pergi ke Edo."

"Ke... ke Edo? Kau berkelakar, ya?" kata Akemi, tapi gagasan tentang pergi ke Edo itu membuatnya sadar.

Sambil mengeratkan pelukannya pada bahu Akemi, Matahachi berkata, "Tidak mesti Edo, tapi tiap orang mengatakan Edo kota masa depan. Osaka dan Kyoto sudah tua sekarang. Barangkali itu sebabnya shogun membangun ibu kota baru di timur. Kalau kita pergi ke sana sekarang, mestinya masih banyak pekerjaan yang baik, bahkan juga untuk sepasang angsa sesat macam engkau dan aku ini. Mari, Akemi, katakanlah kau mau pergi." Melihat wajah Akemi semakin memperlihatkan minat, Matahachi meneruskan dengan lebih berapi-api.

"Kita bisa bersenang-senang, Akemi. Kita dapat melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan. Buat apa hidup, kalau kita tak dapat melakukannya? Kita masih muda. Kita mesti belajar berani dan pandai. Kalau berlaku seperti orang lemah, kita takkan mendapat apa-apa. Semakin kita mencoba menjadi orang baik, tulus dan bersungguh-sungguh, semakin keras nasib menyepak dan menertawakan kita. Akhirnya kita cuma bisa menangis saja, lalu apa gunanya itu?

"Kukira itulah selalu yang kau alami, kan? Kau selamanya membiarkan dirimu dilalap oleh ibumu dan oleh lelaki-lelaki brutal. Dari sekarang, kau mesti menjadi yang makan, bukan yang dimakan."

Akemi mulai bimbang. Memang mereka berdua telah melarikan diri dari sangkar, yaitu warung teh ibunya. Namun semenjak itu dunia tidak memperlihatkan apa pun kepadanya, kecuali kekejaman. Ia merasa Matahachi lebih kuat dan lebih mampu mengatasi hidup ini daripada dirinya. Bagaimanapun, Matahachi kan lelaki.

"Mau kau pergi?" tanya Matahachi.

Sekalipun Akemi tahu, ia bagaikan orang yang berusaha membangun kembali rumah yang sudah hancur terbakar dengan abunya, tidak mudah juga mengibaskan khayalnya: mimpi siang bolong memesona, tentang Musashi yang menjadi miliknya seorang. Tapi akhirnya ia mengangguk juga tanpa mengatakan sesuatu.

"Kalau begitu, jadi. Mari pergi sekarang!"

"Bagaimana dengan ibumu?"

"Dia?" Matahachi mendengus menengadah ke batu karang. "Kalau nanti dia berhasil mendapat barang yang bisa dipakainya membuktikan bahwa Musashi sudah mati, dia akan pulang ke desa. Memang kalau ditemukannya aku tak ada, dia akan marah seperti lalat kerbau. Aku sudah bisa membayangkannya sekarang, dia mengatakan pada semua orang aku telah meninggalkannya di gunung, supaya mati, seperti kebiasaan membuang perempuan tua di beberapa tempat di negeri kita. Tapi kalau nanti aku mendapat sukses, itu yang akan menentukan segalanya. Bagaimanapun, kita sudah mengambil keputusan. Mari kita pergi!"

Ia melangkah, tapi Akemi menahannya.

"Matahachi, jangan lewat jalan itu!"

"Kenapa?"

"Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi."

"Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi? Lupakanlah! Aku bersamamu sekarang. Oh, tapi dengarkan... apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu? Ayo cepat! Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka seram itu."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP