bagian 8
Sasaki Kojiro
TEPAT di
selatan Kyoto, Sungai Yodo melingkar mengelilingi sebuah bukit bernama Momoyama
(daerah Puri Fushimi), kemudian mengalir terus melintasi Dataran Yamashiro ke
arah benteng Puri Osaka, sekitar 20 mil ke sebelah barat daya. Sebagian karena
hubungan air yang langsung ini, setiap gejolak politik di daerah Kyoto segera
menimbulkan gemanya di Osaka. Sedangkan di Fushimi setiap patah kata yang
diucapkan oleh seorang samurai Osaka, apalagi seorang jenderal Osaka, dianggap
orang sebagai isyarat masa depan.
Di sekitar
Momoyama sedang terjadi pergolakan, karena Tokugawa Ieyasu memutuskan mengubah
cara hidup yang telah berkembang di zaman Hideyoshi. Puri Osaka yang dihuni
oleh Hideyori dan ibunya, Yodogimi, masih terus berusaha bergayut pada sisa
kekuasaan yang sudah pudar, tepat seperti matahari yang sedang terbenam
berteguh pada keindahannya yang perlahan menghilang. Kekuasaan yang sebenarnya
berada di Fushimi, yang dipilih Ieyasu sebagai tempat tinggalnya selama
perjalanan-perjalanan jauhnya ke daerah Kansai. Perbenturan antara yang lama
dan yang baru tampak di mana-mana. Itu kelihatan dari perahu-perahu yang
hilir-mudik di sungai, dan tingkah laku orang-orang di jalan raya, dari
lagu-lagu rakyat, dan dari wajah para samurai telantar yang mencari pekerjaan.
Puri Fushimi
sedang dibetulkan. Batu-batu karang yang dimuntahkan dari perahu-perahu ke tepi
sungai benar-benar menggunung. Kebanyakan batu itu besar, luasnya paling
sedikit dua meter persegi dan tingginya sekitar satu meter. Batu-batu itu
mendesis-desis terkena sinar matahari yang mendidih. Walaupun waktu itu musim
gugur menurut kalender, panas yang membakar mengingatkan orang pada hari-hari
terpanas setelah musim hujan di awal musim panas.
Pohon-pohon
liu di dekat jembatan berkilauan putih. Seekor jangkrik melesat berkelok-kelok
dari sungai ke sebuah rumah kecil di dekat tepi sungai. Atap-atap rumah di desa
itu berwarna abu-abu kering, berdebu, kehilangan warna lembut cahaya lenteranya
di waktu senja. Dalam panasnya tengah hari, dua pekerja yang beruntung mendapat
istirahat setengah jam dari kerja yang mematahkan tulang punggung itu berbaring
telentang di permukaan sebuah batu besar yang lebar, sambil mengobrol tentang
soal yang sedang menjadi buah bibir setiap orang.
"Kau
pikir akan ada perang lagi?"
"Kenapa
tidak? Rasanya tak ada orang yang cukup kuat untuk memegang kontrol."
"Kupikir
kau benar. Jenderal-jenderal Osaka tampaknya sedang mengumpulkan semua ronin
yang dapat mereka temukan."
"Memang
kupikir begitu. Barangkali tak boleh aku bicara keras-keras, tapi kudengar
Keluarga Tokugawa sedang membeli senapan dan amunisi kapal-kapal asing."
"Kalau
begitu, kenapa Ieyasu mengawinkan cucu perempuannya, Senhime, dengan
Hideyori?"
"Mana
aku tahu? Apa pun yang dia lakukan, kita boleh bertaruh, pasti ada alasannya.
Orang-orang biasa macam kita ini tak mungkin tahu, apa yang ada dalam pikiran
Ieyasu."
Lalat-lalat
merubung kedua orang itu. Segerombolan lain merubung dua ekor sapi jantan tak
jauh dari situ. Kedua ekor binatang itu masih terpasang pada gerobak balok yang
kosong, bermalas-malasan di bawah sinar matahari, diam, tenang, dan berliur
mulutnya.
Alasan
sebenarnya kenapa kuil itu diperbaiki tidak diketahui oleh pekerja rendahan,
yang mengira Ieyasu akan tinggal di situ. Padahal perbaikan itu merupakan satu
tahap saja dalam program pembangunan besar-besaran, suatu bagian penting dari
rencana pemerintahan Tokugawa. Kerja pembangunan besar-besaran dilaksanakan
juga di Edo, Nagoya, Suruga, Hikone, Otsu, dan selusin kota kuil yang lain
lagi. Tujuannya sebagian besar bersifat politik. Salah satu cara Ieyasu untuk
mengendalikan para daimyo adalah memerintahkan mereka menangani proyek
bangunan. Karena tak ada yang cukup kuat untuk menolak, cara ini membuat
tuan-tuan feodal yang bersahabat terlampau sibuk untuk melunak, sekaligus
memaksa para daimyo yang melawan Ieyasu di Sekigahara berpisah dengan sebagian
besar penghasilan mereka. Tujuan lain pemerintah adalah memperoleh dukungan
rakyat banyak, yang secara langsung atau tidak mendapat keuntungan juga dari
pekerjaan umum yang besar itu.
Di Fushimi
saja, hampir seribu pekerja dikerahkan memperluas gerigi batu di atas benteng.
Akibatnya kota di sekitar kuil tiba-tiba dibanjiri para penjaja, pelacur, dan
lalat langau—lambang-lambang kemakmuran. Masyarakat luas gembira dengan masa
baik yang didatangkan Ieyasu, dan para pedagang mengkhayal bahwa di atas ini
semua akan ada kesempatan buat terjadinya perang lagi—yang akan lebih
menguntungkan. Barang-barang berlalu lintas dengan sibuknya, bahkan sekarang
pun kebanyakan barangbarang itu berupa perbekalan militer. Sesudah menghitung
dengan sipoa kolektifnya, para pengusaha besar menyimpulkan bahwa perbekalan
militerlah yang paling menguntungkan.
Penduduk kota
dengan cepat melupakan hari-hari yang tenang pada masa kekuasaan Hideyoshi.
Sebagai gantinya, mereka berspekulasi tentang apa yang mungkin diperoleh di
hari-hari mendatang. Bagi mereka tidak banyak bedanya siapa yang berkuasa.
Selama mereka dapat memenuhi kebutuhan remehnya, tak ada alasan untuk mengeluh.
Dalam hal ini pun Ieyasu tidak mengecewakan mereka, karena ia dapat
menghamburkan uang seperti menyebarkan gula-gula kepada anak-anak. Memang bukan
uangnya sendiri, melainkan uang orang-orang yang bisa menjadi musuhnya.
Dalam
pertanian pun ia memperkenalkan sistem pengendalian baru. Tokoh-tokoh setempat
tidak lagi diizinkan memerintah semaunya atau mengerahkan petani semaunya untuk
kerja luar. Dari sekarang, para petani harus diperbolehkan menggarap
tanahnya—dengan sedikit sekali mengerjakan yang lain. Mereka harus dibuat masa
bodoh terhadap politik dan diajar mengandalkan diri pada kekuasaan yang ada.
Penguasa yang
berbudi, menurut jalan pikiran Ieyasu, adalah orang yang tidak membiarkan para
penggarap tanah mati kelaparan, sekaligus menjaga agar mereka tidak naik
melebihi statusnya. Dengan kebijaksanaan inilah ia bermaksud mengabadikan
kekuasaan Tokugawa. Baik orang kota, petani, maupun daimyo tidak sadar bahwa
mereka dengan hati-hati sedang dijalinkan ke dalam sistem feodal yang akhirnya
akan mengikat kaki dan tangan mereka. Tak seorang pun berpikir tentang apa yang
bakal terjadi lima ratus tahun lagi. Tak seorang pun, kecuali Ieyasu.
Para pekerja
di Puri Fushimi itu pun tidak memikirkan hari esok. Mereka hanya memiliki
harapan sederhana. Yaitu sekadar melewati hari itu, makin cepat makin baik.
Sekalipun mereka berbicara tentang perang dan tentang kapan perang bisa
meletus, namun rencana-rencana besar untuk menjaga perdamaian dan meningkatkan
kemakmuran tidak berhubungan sama sekali dengan mereka. Apa pun yang terjadi,
tak mungkinlah keadaan mereka lebih buruk dari yang sekarang.
"Semangka?
Ya, siapa beli semangka?" seru seorang anak perempuan petani yang setiap
hari, di waktu seperti itu, biasa berkeliling. Begitu muncul, ia pun berhasil
menjual semangka pada beberapa lelaki yang sedang mengadu mata uang di bawah
bayangan batu besar. Dengan riangnya ia beralih dari satu gerombolan ke
gerombolan lain sambil berseru, "Siapa lagi?"
"Kamu
gila, ya? Kaukira kami punya uang buat semangka?"
"Sini!
Saya sih mau saja—kalau tanpa bayar."
Kecewa karena
keberuntungan awalnya terhenti, gadis itu mendekati seorang pekerja muda. yang
sedang duduk di antara dua batu besar. Ia bersandar pada batu yang satu, dan
kakinya menyandar pada batu lain, sedangkan tangannya merangkul lutut.
"Semangka?" tanya gadis itu, walaupun tidak begitu menaruh harapan.
Pekerja itu
kurus, matanya cekung, sedangkan kulitnya merah sehat terbakar matahari.
Bayangan kelelahan menyamarkan usia mudanya. Namun demikian, teman-teman
dekatnya masih mengenalnya. Dialah Hon'iden Matahachi. Dengan lesu ia
menghitung beberapa keping mata uang kotor dalam telapak tangannya, lalu
memberikannya kepada gadis itu.
Ketika ia
menyandarkan diri kembali ke batu, kepalanya merunduk murung. Gerakan kecil itu
saja sudah membuatnya kehabisan tenaga. Merasa mual, ia mencondongkan badan ke
samping dan mulai meludah ke rumput. Sedikit pun tak ada lagi tenaganya untuk
mengambil kembali semangka yang terjatuh dari pangkuannya. Dengan jemu ia
memandang semangka itu, sedangkan matanya yang hitam tidak memperlihatkan
tanda-tanda kekuatan ataupun harapan.
"Babi!"
gumamnya lemah. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang hendak dibalasnya:
Oko, si Wajah Berpupur, dan Takezo, pemilik pedang kayu. Kekeliruannya yang
pertama adalah pergi ke Sekigahara. Yang kedua, tunduk kepada janda yang
menggairahkan itu. Sampailah ia pada keyakinan bahwa sekiranya bukan karena
kedua peristiwa itu, ia sudah ada di rumahnya di Miyamoto sekarang, menjadi
kepala Keluarga Hon'iden, menjadi suami seorang istri yang cantik, dan membikin
iri seluruh kampung.
"Kukira
Otsu pasti membenciku sekarang.... Apa gerangan yang sedang dia lakukan?"
Dalam keadaan sekarang, kadang-kadang memikirkan bekas tunangannya itu
merupakan hiburannya satu-satunya. Ketika sifat Oko yang sebenarnya akhirnya ia
pahami, mulailah ia merindukan Otsu kembali. Dan semenjak ia berakal sehat, dan
membebaskan diri dari Warung Teh Yomogi, semakin sering ia memikirkan Otsu.
Pada malam
keberangkatannya, ia mengetahui bahwa Miyamoto Musashi yang meraih reputasi
sebagai pemain pedang di ibu kota itu ternyata teman lamanya, Takezo. Guncangan
keras ini segera disusul gelombang cemburu hebat.
Karena ingat
akan Otsu, ia sudah berhenti minum, dan mencoba menanggalkan sifat malas dan
kebiasaan buruknya. Tetapi mulanya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang
cocok. Disumpahinya dirinya sendiri karena selama lima tahun tidak mengikuti
arus perubahan, sementara selama itu seorang perempuan yang lebih tua
menanggung hidupnya. Untuk sesaat kelihatan olehnya seolah sudah terlambat
untuk mengadakan perubahan.
"Belum
terlambat!" demikiari ia meyakinkan dirinya. "Umurku baru dua puluh
dua. Aku dapat melakukan apa saja kalau aku mencoba!" Setiap orang bisa
saja mengalami perasaan seperti itu, tapi dalam hal Matahachi, itu berarti
menutup mata, meloncati jurang lima tahun lamanya, dan menjual tenaga sebagai
buruh harian di Fushimi.
Di situ ia
bekerja keras, membudakkan diri dengan tekun dari hari ke hari, sementara
matahari menyengatnya dari musim panas sampai musim gugur. Agak bangga juga ia
dapat bertahan di situ.
"Akan
kutunjukkan pada semua orang!" demikian pikirnya, sekalipun sedang mau
muntah. "Tak ada alasan, kenapa aku tak dapat memperoleh nama untuk
diriku. Aku dapat melakukan apa saja yang dilakukan Takezo! Aku dapat melakukan
lebih dari itu, dan akan kulakukan. Lalu aku akan melakukan pembalasan, biarpun
sudah mengalami peristiwa dengan Oko. Yang kubutuhkan sekarang cuma sepuluh
tahun."
Sepuluh
tahun? Ia berhenti untuk menghitung, berapa sudah umur Otsu waktu itu. Tiga
puluh satu! Apakah Otsu akan tetap sendiri, dan menunggunya selama itu? Sedikit
kemungkinannya. Matahachi tak tahu sama sekali tentang apa yang belum lama itu
terjadi di Mimasaka. Tak dapat ia mengetahui bahwa khayalannya kosong. Tapi
sepuluh tahun—tak mungkin! Tak akan lebih dari lima atau enam tahun! Dalam
jangka waktu itu ia sudah mencapai sukses. Pada waktu itu ia akan kembali ke
kampung, meminta maaf kepada Otsu, dan membujuknya untuk kawin. "Itulah
satu-satunya cara!" ucapnya. "Lima tahun, atau paling banyak enam
tahun." Ia menatap semangka itu, dan kilas cahaya tampak kembali pada
matanya.
Justru pada
waktu itu salah seorang teman kerjanya berdiri di seberang batu besar di
depannya. Sambil menopangkan siku ke puncak batu besar lebar itu, teman itu
berseru, "Hei, Matahachi, apa yang kau gumamkan sendiri? Mukamu kelihatan
hijau. Apa semangka itu busuk?"
Matahachi
terpaksa menampakkan senyuman lemah, namun sekali lagi ia terserang gelombang
pusing. Air liur keluar dari mulutnya ketika ia mengguncang-guncangkan
kepalanya. "Ini bukan apa-apa, bukan apa-apa!" Sengal-nya.
"Kukira terlalu banyak aku terkena panas matahari. Biar aku beristirahat
di sini sekitar sejam."
Para penghela
batu besar yang tegap-tegap itu mencemoohkan kelunglaiannya, walaupun dengan
cara baik-baik saja. Salah seorang bertanya, "Kenapa kamu beli semangka
kalau kamu tak bisa makan semangka?"
"Aku
beli ini untuk kalian semua," jawab Matahachi. "Kukira itulah yang
baik, karena aku tak bisa mengerjakan bagian kerjaku."
"Oh,
bagus juga. Hei, kawan-kawan! Makan ini, Matahachi yang bayar."
Buruh-buruh
pun memecahkan semangka itu di sudut batu dan menyerbu-nya seperti semut,
membagi-bagi daging buah yang merah, manis menetes-netes itu. Begitu semangka
habis, seseorang melompat ke atas batu dan pekiknya, "Kembali kerja, hei,
kalian!"
Samurai yang
bertugas keluar dari sebuah gubuk memegang cambuk. Bau keringatnya menyebar ke
atas tanah. Segera kemudian terdengar lagu kerja para penghela batu di medan
kerja itu, ketika sebuah batu raksasa dipindahkan dengan pengumpil-pengumpil
besar ke atas gelindingan dan diseret
dengan tali-tali setebal lengan. Batu itu maju dengan berat dan lambat, seperti
gunung yang bergeser.
Dengan
ramainya pembangunan puri, lagu-lagu berirama ini pun berkembang biak.
Sekalipun kata-katanya jarang dituliskan, tidak kurang dari Yang Dipertuan
Hachisuka dari Awa, yang bertanggung jawab atas pembangunan Puri Nagoya, telah
mencatat beberapa syairnya dalam sebuah surat. Yang Dipertuan, yang tentunya
tak ada kesempatan biarpun cuma menyentuh bahan-bahan bangunan, jelas telah
mengetahui syair-syair itu dari sebuah pesta. Karangan sederhana seperti di
bawah ini menjadi semacam mode di tengah masyarakat, juga di antara para
pekerja.
Dari
Awataguchi kita menariknya
Menyeretnya
batu demi batu-demi batu.
Buat Tuan
Yang Mulia, Yang Dipertuan Togoro.
Ei, sa, ei,
sa...
Tarik ya!
Seret ya! Tarik ya! Seret ya!
Tuan kita
bicara,
Kaki tangan
kita gemetar.
Tapi kita
setia padanya-sampai mati.
Penulisnya berkomentar, "Semua orang,
tua-muda, menyanyikan lagu ini, karena lagu ini bagian dari dunia mengambang
yang kita tinggali!"
Kaum buruh di
Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini, namun lagu-lagu mereka
benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-lagu populer pada zaman
merosotnya ke-shogun-an Ashikaga pada umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan
dinyanyikan secara pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi,
lagu-lagu bahagia dan gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari,
ketika kerasnya kekuasaan Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan
sebagian semangat gembiranya. Ketika kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat,
nyanyian yang spontan sifatnya cenderung memberikan tempat kepada musik yang
digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para shogun.
Matahachi
meletakkan kepalanya ke tangan. Kepala itu demam oleh suhu tinggi, dan nyanyian
dengan kata-kata "tarik-ya" itu mendengung, mengiang di telinganya,
seperti segerombolan lebah. Dalam keadaan seorang diri, kini ia menjadi murung.
"Tapi
apa gunanya," rintihnya. "Lima tahun. Umpamanya aku kerja keras, apa
untungnya itu untukku? Aku kerja sehari penuh, yang kudapat cuma cukup buat
makan sehari. Kalau tidak kerja, aku tidak makan."
Waktu itu
dirasanya ada orang berdiri di dekatnya, dan ia menengadah. Tampak olehnya
seorang pemuda jangkung. Kepalanya tertutup topi anyaman kasar dalam-dalam, dan
di pinggangnya tergantung satu bungkusan seperti yang biasa dibawa oleh
shugyosha. Sebuah emblem dalam bentuk kipas bertulang baja yang setengah
terbuka, menghiasi bagian depan topinya. Ia sedang memandang kerangka bangunan
dengan penuh renungan dan sedang menaksir medannya.
Sesudah
beberapa waktu, ia pun mendudukkan diri di samping sebuah batu yang lebar rata.
Tinggi batu itu tepat sekali untuk meja tulis. Ditiupnya pasir di atas batu
itu, termasuk juga iringan semut yang sedang berbaris di situ, kemudian sambil
menopangkan kepala ke batu dengan sikunya, ia kembali mengamati baik-baik
lingkungan sekitar. Sekalipun panas matahari menyengat langsung wajahnya, ia
tetap tak bergerak, dan kelihatannya tak mempan oleh panas yang tak
menyenangkan itu. Ia tidak melihat Matahachi yang waktu itu masih terlalu
merana untuk peduli, apakah ada orang atau tidak di dekatnya. Orang lain tidak
ada artinya sama sekali baginya. Ia duduk membelakangi pendatang itu dan
sekali-sekali muntah.
Segera
kemudian samurai itu tahu bahwa Matahachi sedang muntah.
"Hei,"
katanya. "Kenapa kamu?"
"Panas
ini," jawab Matahachi.
"Kau
sedang kurang sehat rupanya."
"Sebetulnya
lebih baik dari biasanya, tapi saya pusing."
"Mau
obat?" kata samurai itu sambil membuka kotak obat yang dipernis hitam dan
menumpahkan pil-pil merah ke telapak tangannya. Ia mendekat dan memasukkan obat
itu ke mulut Matahachi. "Sebentar lagi kau sembuh," katanya.
"Terima
kasih."
"Apa kau
mau istirahat lebih lama di sini?"
"Ya."
"Kalau
begitu, aku mau minta tolong. Kasih tahu aku kalau nanti ada orang dating
lemparkan saja kerikil atau yang lain."
Ia kembali ke
batunya sendiri, duduk di situ, dan mengeluarkan kuas dari kantong tulisnya dan
buku tulis dari kimononya. Ia buka alas di atas batu itu, dan mulailah ia
menggambar. Di bawah tepi topinya, matanya bergerak ke sana kemari dari puri ke
lingkungan terdekatnya, termasuk juga menara utama, benteng, pegunungan di
latar belakang, sungai, dan kali-kali kecil.
Tepat sebelum
Pertempuran Sekigahara, puri ini diserang oleh kesatuankesatuan Tentara Barat,
dan dua pekarangannya, juga sebagian paritnya, menderita kerusakan besar.
Sekarang benteng ini tidak hanya dibangun kembali, melainkan juga diperkuat,
sehingga akan mengalahkan Benteng Hideyori di Osaka.
Calon
prajurit itu membuat sketsa sepintas-lintas secara cepat, namun dengan
perincian luas mengenai seluruh puri, dan pada halaman kedua ia mulai membuat
diagram jalan-jalan dari belakang.
"Uh-Oh!"
ujar Matahachi pelan. Entah dari mana datangnya, tapi tibatiba saja muncul
inspektur proyek, yang kemudian berdiri di belakang pembuat sketsa itu,
berpakaian setengah zirah dan mengenakan sandal jerami. Orang itu berdiri diam,
seakan-akan menanti dilihat orang. Matahachi merasa bersalah karena tidak
melihat pada waktunya, supaya dapat memberikan peringatan. Kini sudah
terlambat.
Segera
kemudian calon prajurit itu mengangkat tangan untuk mengusir lalat dari
kerahnya yang berkeringat, dan waktu itulah tampak olehnya si pengganggu itu.
Ia menengadah dengan mata terkejut, dan si inspektur menatap kembali dengan
marahnya sebentar, kemudian mengulurkan tangan ke arah gambar. Calon prajurit
itu menangkap pergelangan tangannya dan bangkit berdiri.
"Apa
yang kamu lakukan ini?" serunya.
Inspektur
mengambil buku tulis itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. "Aku mau lihat
dulu," salaknya.
"Kau tak
punya hak."
"Ini
tugasku!"
"Mengganggu
urusan orang lain itu tugasmu?"
"Kenapa?
Apa tak boleh aku melihat?"
"Orang
bebal macam kamu tak bakal mengerti."
"Kupikir
lebih baik aku menyimpannya."
"He,
jangan, jangan!" teriak calon prajurit itu hendak merebut buku tulisnya.
Kedua orang itu tarik-menarik, dan buku tulis sobek menjadi dua.
"Awas
kamu!" seru si inspektur. "Lebih baik kamu memberi penjelasan
baik-baik. Atau kuadukan kau."
"Apa
dasarnya? Apa kamu perwira?"
"Betul."
"Apa
kelompokmu? Siapa komandanmu?"
"Bukan
urusanmu. Tapi kau boleh tahu, aku punya perintah untuk menyelidiki siapa saja
di tempat ini yang kelihatan mencurigakan. Siapa kasih kamu izin membuat
sketsa?"
"Lho,
aku sedang membuat telaah tentang puri-puri dan ciri-ciri geografisnya buat
rujukan masa depan. Apa salahnya?"
"Tempat
ini penuh mata-mata musuh. Mereka semua mengajukan alasan macam itu. Tak peduli
siapa kamu. Kamu mesti menjawab beberapa pertanyaan. Ayo sini ikut aku!"
"Jadi,
kau menuduhku penjahat?"
"Tutup
mulutmu dan ikut aku."
"Oh,
pegawai-pegawai bejat! Terlalu biasa kalian menakut-nakuti orang banyak, tiap
kali kalian membuka mulut besar itu!"
"Diam
kamu! Ayo ikut!"
"Jangan
kau coba-coba denganku!" Calon prajurit itu tetap tak mau menyerah.
Nadi-nadi di
dahinya menggelembung marah. Inspektur itu menjatuhkan belahan buku tulis
tersebut, menginjaknya, dan menarik lembing kapaknya. Si calon prajurit
melompat mundur selangkah, memperbaiki kedudukannya.
"Kalau
kamu tak mau ikut dengan sukarela, terpaksa aku mengikat dan menyeret-mu,"
kata si inspektur.
Belum lagi
kata-kata itu selesai diucapkan, lawannya sudah beraksi. Sambil melolong keras
ditangkapnya leher inspektur itu dengan sebelah tangan, dan dengan tangan lain
dicengkeramnya ujung bawah baju zirahnya, kemudian dibantingnya ke sebuah batu
besar.
"Orang
udik tak berguna!" jeritnya, tapi kata-kata itu kurang cepat waktunya
untuk didengar si inspektur, karena kepala si inspektur sudah menganga di atas
batu, seperti semangka. Matahachi berteriak ngeri sambil menutup muka dengan
tangan untuk melindungi diri dari gumpalan-gumpalan benda encer merah yang
melayang ke arahnya.
Sementara
itu, si calon prajurit cepat kembali kepada sikap tenang sepenuhnya.
Matahachi
sungguh terpesona. Mungkinkah orang itu sudah terbiasa mem-bunuh dengan cara
brutal seperti itu? Ataukah sifat darah dingin itu sekadar akibat ledakan
kemarahan? Karena gentar yang sehebat-hebatnya, Matahachi mulai mengucurkan
keringat. Menurut terkaannya, orang itu belum lagi berumur tiga puluh. Wajahnya
yang kurus dan terbakar matahari itu bopeng, dan kelihatannya tidak berdagu.
Barangkali karena bekas luka pedang yang dalam dan mencekung aneh bentuknya.
Calon
prajurit itu tidak terburu-buru melarikan diri. Ia mengumpulkan dahulu
bagian-bagian buku tulisnya yang robek-robek. Kemudian ia menoleh ke sekitar
tenang-tenang, untuk mencari topinya yang terbang ketika ia melaksanakan
lemparan hebat tadi. Sesudah ditemukannya topi itu, ia mengenakannya dengan
hati-hati di kepala, dan sekali lagi menyembunyikan mukanya yang mengerikan itu
dari pandangan mata. Kemudian pergilah ia dengan langkah cepat dan semakin
cepat, sampai akhirnya seolah-olah ia terbang bersama angin.
Seluruh
peristiwa itu terjadi demikian cepat, hingga tak seorang pun dari beratus-ratus
buruh yang ada di sekitar tempat itu, ataupun orang-orang yang mengawasi
pekerjaan mereka, sempat melihatnya. Para pekerja melanjutkan kerja keras
seperti lebah, sementara para pengawas yang bersenjatakan cambuk dan lembing
kapak meneriakkan perintah-perintah ke punggung mereka yang berkeringat.
Namun ada
sepasang mata khusus yang menyaksikan semua itu. Mata pengawas umum para tukang
kayu dan pembelah kayu yang berdiri di puncak perancah tinggi, yang
memungkinkannya meninjau seluruh wilayah tersebut. Melihat calon prajurit itu
melarikan diri, ia meneriakkan perintah, dan sekelompok serdadu, yang semula
minum teh di bawah perancah, segera bergerak.
"Ada
apa?"
"Perkelahian
lagi?"
Yang
lain-lain mendengar seruan untuk memegang senjata, dan segera kemudian berkepul
debu kuning di dekat gerbang kayu benteng yang memisahkan wilayah pembangunan
dengan kampung. Teriakan-teriakan marah mengudara dari kerumunan orang banyak.
"Ada
mata-mata! Mata-mata dari Osaka!"
"Tak mau
juga mereka itu belajar."
"Bunuh
dia! Bunuh dia!"
Para penghela
batu, pengangkut tanah, dan lain-lainnya berteriak-teriak seakan-akan
"mata-mata" itu musuh pribadinya, dan menyerbu ke arah samurai tak
berdagu itu. Samurai itu berlari di belakang kereta sapi yang sedang keluar
dari gerbang, dan mencoba menyelinap, tapi seorang penjaga melihatnya dan
menjegalnya dengan tongkat berpaku.
Dari atas
perancah pengawas terdengar teriakan, "Jangan lepaskan dia!"
Tanpa
ragu-ragu lagi orang banyak itu menyerang si pelaku kejahatan, yang terus
melawan seperti binatang kena perangkap. Ia merebut tongkat dari tangan
penjaga, lalu menyerang si penjaga, dan dengan ujung senjata itu ia banting si
penjaga dengan kepala di bawah. Setelah menjatuhkan empat atau lima orang lagi
dengan cara seperti itu, ia menarik pedang besarnya dan mengambil sikap
menyerang. Orang-orang yang hendak menangkapnya undur ketakutan, tapi ketika ia
bersiap-siap menerobos lingkaran yang mengepungnya, hujan batu menimpanya dari
segala jurusan.
Orang banyak
melampiaskan kemarahan sepuas-puasnya. Sikap mereka lebih kejam lagi, karena
rasa benci yang dalam terhadap semua shugyosha. Seperti umumnya orang
kebanyakan, kaum buruh ini menganggap samurai pengembara tak berguna, tidak
produktif, dan sombong.
"Hei,
jangan seperti orang kasar bodoh!" teriak samurai yang sudah terkepung
itu, mencoba menyuruh orang-orang itu berpikir dan menahan diri. Ia memang
melawan mereka, tapi agaknya ia lebih suka mengumpat para penyerangnya daripada
menghindari batu-batu yang dilontarkan kepadanya. Tidak sedikit para penonton
yang tidak bersalah ikut terluka dalam perkelahian itu.
Kemudian
dalam sekejap segalanya berlalu. Teriakan mereda, dan kaum buruh mulai kembali
ke tempat kerja masing-masing. Dalam lima menit saja wilayah pembangunan yang
luas itu kembali seperti keadaan semula, seakan-akan tak ada yang telah
terjadi. Bunga-bunga api yang berterbangan dari berbagai alat pemotong, ringkik
kuda yang sudah setengah kacau karena panas matahari, dan panas yang
menumpulkan pikiran-semuanya kembali biasa.
Dua pengawal
berdiri di samping tubuh yang jatuh itu, yang telah diikat dengan tali rami
besar. "Sudah sembilan puluh persen mati," kata salah seorang
pengawal, "jadi bisa kita tinggalkan dia di sini sampai hakim
datang." Ia memandang ke sekitar, dan terlihatlah olehnya Matahachi.
"He, kamu! Jaga orang ini. Biar dia mati, tak apa-apa."
Matahachi
mendengar kata-kata itu, tapi kepalanya tidak dapat menangkap maksudnya atau
makna peristiwa yang baru saja disaksikannya. Semua itu seperti mimpi buruk
yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, tapi tak dimengerti oleh
otaknya.
"Hidup
ini begini rapuh," pikirnya. "Beberapa menit yang lalu dia masih
sibuk membuat sketsa. Sekarang dia sekarat. Padahal dia belum lagi tua."
Ia merasa
kasihan kepada samurai tak berdagu itu. Kepalanya tergeletak miring di tanah,
hitam oleh kotoran dan darah kental, dan mukanya masih memperlihatkan
kemarahan. Tali itu mengikatkannya pada sebuah batu besar. Matahachi merasa
heran, kenapa para pengawal mengambil tindakan berjaga-jaga demikian rupa, padahal
orang itu sudah sedemikian dekat dengan maut, hingga mengeluarkan suara pun tak
bisa. Barangkali juga ia sudah mati. Sebelah kakinya menyembul aneh dari tengah
sobekan panjang hakama-nya, sedangkan tulang keringnya yang putih menyembul
dari tengah daging yang merah tua. Darah merembes dari kulit kepalanya, dan
tawon-tawon mulai terbang di sekitar rambutnya yang kusut. Semut-semut sudah
hampir menutup kedua tangan dan kakinya.
"Orang
sial," pikir Matahachi. "Kalau dia belajar sungguh-sungguh, pasti dia
mempunyai ambisi besar dalam hidup. Ingin tahu juga, dari mana dia datang...
dan apa orangtuanya masih hidup."
Matahachi
tercengkam oleh kesangsian aneh. Apakah ia benar-benar meratapi nasib orang
itu, ataukah ia prihatin dengan kekaburan masa depannya sendiri? "Untuk
orang yang mempunyai ambisi," demikian pikirnya, "mestinya ada cara
yang lebih baik untuk maju."
Waktu itu
adalah abad yang memacu harapan orang muda, yang mendorong mereka untuk
mendambakan suatu impian, melecut mereka untuk memperbaiki statusnya dalam
hidup. Ya, abad ketika orang seperti Matahachi pun dapat berkhayal akan bangkit
dari ketiadaan dan menjadi penguasa sebuah puri. Seorang prajurit yang berbakat
sederhana dapat mencapai sukses hanya dengan mengadakan perjalanan dari kuil
satu ke kuil lain, dan hidup dari kedermawanan para pendeta. Kalau beruntung,
ia dapat diambil oleh salah seorang bangsawan daerah, dan jika lebih beruntung
lagi ia dapat menerima penghasilan tetap dari seorang daimyo.
Namun, dari
semua pemuda yang mulai dengan harapan-harapan tinggi itu, hanya satu dalam
seribu yang benar-benar mengakhiri usahanya dengan menemukan kedudukan dengan
pendapatan memadai. Selebihnya harus merasa puas dengan kepuasan yang dapat
mereka peroleh dari pengetahuan bahwa cita-cita mereka sukar dan berbahaya.
Sementara
Matahachi merenungkan samurai yang terbaring di depannya itu, seluruh jalan
pikirannya mulai dirasa betul-betul bodoh olehnya. Ke manakah arah jalan yang
ditempuh Musashi? Keinginan Matahachi untuk menyamai atau melebihi temannya
semasa kanak-kanak memang belum mereda, tetapi melihat prajurit yang berlumur
darah itu, Jalan Pedang pun jadi tampak sia-sia dan tolol.
Kengerian
tiba-tiba menyadarkannya bahwa prajurit di depannya itu bergerak, dan urutan
pikirannya pun tiba-tiba berhenti. Tangan orang itu menjulur seperti sirip
penyu dan mencakar tanah. Dengan lemah ia mengangkat tubuhnya, menegakkan
kepala, dan menarik tali tegang-tegang.
Hampir
Matahachi tak percaya dengan matanya. Orang itu bergerak sedikit demi sedikit
di tanah, menyeret batu karang seberat hampir dua ratus kilogram yang menjadi
tambatan tali pengikatnya. Satu kaki, dua kaki—sungguh suatu peragaan kekuatan
seorang manusia super! Tak seorang pun manusia berotot atau tukang hela batu
yang dapat melakukan itu, sekalipun banyak orang menyombongkan diri memiliki
kekuatan setara sepuluh atau dua puluh orang. Samurai yang terbaring di ambang
kematian itu telah dikuasai oleh suatu kekuatan setani yang memungkinkan-nya
jauh melebihi kekuatan manusia biasa.
Bunyi
menggelegak terdengar dari tenggorokan orang sekarat itu. Ia mencoba
mati-matian untuk berbicara, tetapi lidahnya sudah menjadi hitam dan kering,
hingga tak mungkin baginya membentuk kata-kata. Napasnya terdengar sebagai desisan
yang merongga terputus-putus. Matanya yang menonjol dari ceruknya memandang
dengan nada memohon kepada Matahachi.
"To-lo-lo-ng..."
Sedikit demi
sedikit mengertilah Matahachi bahwa orang itu mengatakan "tolong".
Kemudian terdengar bunyi lain yang tak jelas ucapannya, dan Matahachi
menangkapnya sebagai ucapan "saya minta". Namun mata orang itulah
yang terutama berbicara. Di situlah terletak akhir air matanya dan kepastian
mautnya. Kepalanya jatuh ke belakang dan napasnya berhenti. Maka lebih banyak lagi
semut keluar dari dalam rumput untuk menjelajahi rambut yang memutih oleh debu
itu. Sebagian di antaranya bahkan masuk ke dalam lubang hidungnya yang sudah
tersumbat keringan darah, dan tampaklah oleh Matahachi, kulit di bawah kerah
kimononya sudah berwarna biru kehitaman.
Apakah yang
diinginkan orang itu darinya? Matahachi merasa dikejar-kejar oleh pikiran bahwa
kini ia menanggung kewajiban. Samurai itu sudah mendatanginya ketika ia sakit,
dan telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan memberikan obat kepadanya. Kenapa
nasib telah membutakan mata Matahachi, sedangkan seharusnya ia mengingat-kan
orang itu akan datangnya sang inspektur? Apakah memang sudah ditakdirkan itu
terjadi?
Matahachi
mencoba-coba meraba bungkusan kain dalam obi orang mati itu. Isinya pastilah
dapat mengungkapkan siapa orang itu dan dari mana ia datang. Matahachi menduga
bahwa permintaan orang itu di waktu sekarat adalah agar tanda mata yang ada
padanya disampaikan pada keluarganya.
Maka
diambilnya bungkusan itu dan dimasukkannya cepat-cepat ke dalam kimononya
sendiri.
Lalu ia
bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, apakah akan memotong sedikit rambut orang
itu untuk disampaikan kepada ibunya, tapi ketika sedang menatap wajah yang
mengerikan itu, ia dengar langkah-langkah kaki mendekat. Ditengoknya dari balik
sebuah batu, dan tampak olehnya seorang samurai datang untuk mengambil mayat
itu. Kalau tertangkap menyimpan milik orang mati itu, pasti ia mengalami
kesulitan hebat. Maka ia mengendap rendah-rendah dan menyelinap dari bayangan batu
yang satu ke bayangan batu yang lain dan meninggalkan tempat itu seperti seekor
tikus ladang.
Dua jam
kemudian ia tiba di toko manisan tempat ia tinggal. Istri pemilik toko sedang
berada di samping rumah, membasuh diri dengan air tempayan. Mendengar Matahachi
ada di dalam rumah, ia memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih dari balik
pintu samping, dan serunya, "Kamu itu, Matahachi?"
Matahachi
menjawab dengan gerutuan keras, kemudian masuk cepat ke kamarnya sendiri dan
mengambil kimono dan pedang dari lemari, kemudian ia ikatkan handuk yang sudah digulung di sekitar
kepalanya dan bersiapsiap mengenakan sandal lagi.
"Apa
tidak gelap di situ?" seru perempuan itu.
"Tidak,
saya bisa lihat dengan jelas."
"Akan
saya bawakan lampu."
"Tak
perlu. Saya akan pergi."
"Apa
tidak mandi? "
"Tidak.
Nanti saja."
Ia bergegas
keluar menuju ladang dan cepat menghindar dari rumah jembel itu. Beberapa menit
kemudian ia menoleh ke belakang, dan terlihat olehnya sekelompok samurai datang
dari seberang padang miskantus. Tak sangsi lagi mereka datang dari puri. Mereka
memasuki toko manisan itu dari depan dan belakang.
"Hampir
saja aku celaka," pikirnya. "Tapi aku tidak mencuri sesuatu. Aku cuma
mengambilnya untuk disimpan. Aku harus melakukannya. Dia minta betul aku
melakukannya."
Menurut jalan
pikirannya, selama ia mengakui barang-barang itu bukan miliknya, ia tidak
merasa melakukan kejahatan. Tapi bersamaan dengan itu ia pun sadar bahwa ia
tidak dapat lagi memperlihatkan diri di wilayah pembangunan itu.
Bunga
miskantus tegak setinggi bahunya, dan tabir kabut petang mengambang di atasnya.
Tak seorang pun dapat melihatnya dari kejauhan. Mudahlah ia menyelinap pergi
dari situ. Tapi ke mana ia harus pergi? Suatu pilihan yang sukar. Lebih-lebih
karena ia yakin benar bahwa keberuntungan terletak di satu jurusan dan nasib
malang di jurusan lain.
Osaka? Kyoto?
Nagoya? Edo? Ia tak punya seorang pun teman di tempat-tempat itu. Rasanya ingin
ia melempar dadu untuk memutuskan ke mana akan pergi. Seperti halnya pada
Matahachi, pada dadu semua adalah kemungkinan. Kalau angin bertiup, angin akan
membawanya berembus.
Ia merasa
makin jauh ia berjalan, makin dalam ia masuk ke rumpun miskantus. Serangga
mendengung-dengung di sekitarnya, dan kabut yang turun melembapkan pakaiannya.
Tepi pakaiannya yang basah melibat kakinya. Biji-biji rumput menempel ke lengan
kimononya. Tulang keringnya gatal. Ingatan mengenai rasa muak yang dialaminya
tengah hari itu kini hilang, tapi sekarang ia lapar bukan kepalang. Segera
sesudah merasa jauh dari jangkauan para pengejarnya, ia pun mulai merasa
sengsara karena harus berjalan.
Karena ingin
menemukan tempat berbaring dan beristirahat, ia terus berjalan menempuh
panjangnya ladang itu, dan di seberang sana tampak atap sebuah rumah. Ketika ia
sudah lebih dekat, tampak bahwa pagar dan pintu gerbang rumah itu miring,
agaknya dirusak badai yang belum lama menimpa. Atap rumah itu pun membutuhkan
perbaikan. Namun rumah itu tadinya tentu milik satu keluarga berada, karena ada
keanggunan tertentu, walaupun sudah layu. Ia membayangkan seorang wanita istana
cantik, duduk di kereta bertabir mewah yang sedang mendekati rumah itu dengan
langkah megah.
Ketika
melintas gerbang yang tampak murung itu, tampak olehnya rumah utama dan rumah
kecil yang terpisah itu sudah hampir terkubur rumput liar. Pemandangan di situ
mengingatkannya pada sebagian sajak penyair Saigyo yang pernah ia pelajari di
masa kanak-kanak:
Saya dengar
ada kenalan saya tinggal di Fushimi, dan saya pergi berkunjung kepadanya,
tetapi halamannya demikian tertutup semak! Saya bahkan tak dapat melihat
jalannya. Sementara serangga-serangga menyanyi, saya pun menggubah sajak ini:
Menerobos
rumput liar,
Kusembunyikan
rasa senduku
Dalam lipatan
lengan kimonoku.
Di halaman
penuh embun
Serangga yang
hina pun berlagu.
Hati
Matahachi jadi menggigil. Ia meringkuk di dekat rumah itu sambil membisikkan
kata-kata yang sudah lama dilupakannya itu.
Baru saja ia
akan menyimpulkan rumah itu kosong, seberkas cahaya merah muncul dari dalam.
Segera kemudian ia dengar ratapan merana shakuhachi, suling bambu yang biasa
dimainkan pendeta pengemis apabila sedang mengemis di jalan-jalan. Ketika
menengok ke dalam, didapatinya si pemain memang anggota kelas itu. Orang itu
duduk di samping perapian. Api yang baru dinyalakannya bertambah terang, dan
bayangan dirinya di dinding makin besar. Ia memainkan lagu sedih, ratapan
tunggal mengenai kesendirian dan sendunya musim gugur, yang hanya dimaksud
untuk telinga sendiri. Orang itu bermain sederhana saja, tanpa banyak kembang,
hingga Matahachi mendapat kesan bahwa ia cuma menaruh sedikit rasa bangga pada
permainannya sendiri.
Ketika lagu
berhenti, pendeta itu mengeluh dalam dan mulai meratap.
"Orang
bilang, kalau kita berumur empat puluh tahun, kita bebas dari godaan. Tapi
cobalah lihat diriku ini! Empat puluh tujuh ketika kuhancurkan nama baik
keluargaku. Empat puluh tujuh tahun! Dan masih saja aku tergoda angan-angan
buruk dan kehilangan semuanya-pendapatan, kedudukan, nama baik. Bukan hanya
itu. Telah kubiarkan anak lelakiku satusatunya mengurus diri sendiri di dunia
yang brengsek ini.... Untuk apa? Cinta buta?
"Memalukan—tak
dapat lagi aku menghadapi arwah istriku, juga anak lelakiku, di mana pun ia
berada. Ha! Kalau orang berbicara bahwa kita menjadi bijaksana sesudah umur
empat puluh, mestinya yang dibicarakan itu orang-orang besar, bukan orang-orang
tolol seperti aku ini. Daripada menganggap diri bijaksana karena usia, lebih
baik aku harus lebih berhati-hati. Sungguh gila tidak berhati-hati, kalau
soalnya menyangkut perempuan."
Sambil
menegakkan shakuhachi di depannya dan mengganjalkan kedua tangan pada pipinya,
ia meneruskan, "Ketika urusan dengan Otsu itu terjadi, tak seorang pun mau
memaafkan aku lagi. Sudah terlambat, terlambat."
Matahachi
merangkak masuk kamar sebelah. Ia mendengarkan, tetapi jijik dengan apa yang
dilihatnya. Pipi pendeta itu cekung, bahunya kelihatan lancip seperti bahu
anjing liar, dan rambutnya tidak mengilat. Matahachi meringkuk diam-diam. Dalam
cahaya api yang mengejap-ngejap, sosok tubuh orang itu menimbulkan khayalan
tentang setan-setan malam.
"Oh, apa
yang harus kuperbuat?" rintih pendeta itu lagi sambil mengangkat matanya
yang cekung ke langit-langit. Kimononya polos dan kumal, tetapi ia mengenakan
juga baju jubah hitam, yang menunjukkan bahwa ia pengikut guru Zen Cina,
P'u-hua. Tikar buluh tempat ia duduk, yang digulungnya dan dibawanya ke mana
saja ia pergi itu, barangkali satusatunya harta rumah tangganya-tempat
tidurnya, tabirnya, dan dalam cuaca buruk, juga atapnya.
Pendeta itu
memungut shakuhachi-nya dan berjalan dengan lesu ke luar rumah. Matahachi
seperti melihat ada kumis menyerabut di bawah hidungnya yang kurus.
"Sungguh orang aneh!" pikirnya. "Dia belum lagi tua, tapi
berdirinya sudah begitu goyah." Karena dikiranya orang itu kurang waras,
Matahachi merasa sedikit kasihan kepadanya.
Karena tiupan
angin malam, nyala api dari ranting-ranting patah mulai membakar lantai.
Matahachi masuk kamar kosong itu, menemukan kendi air, dan menuangkan isinya ke
api. Sambil melakukan itu terpikir olehnya, alangkah cerobohnya pendeta itu.
Tak apa-apa
kalau yang terbakar habis cuma rumah tua yang kosong itu. tapi bagaimana kalau
yang terbakar itu kuil kuno dari zaman Asuka atau Kamakura? Matahachi merasakan
gejolak kemarahan yang jarang terjadi padanya. "Justru karena orang-orang
seperti dia itu kuil-kuil kuno di Nara dan Gunung Koya begitu sering
hancur," pikirnya. "Pendeta-pendeta pengembara yang gila ini tak
punya harta milik, tak punya keluarga. Mereka tak pernah berpikir, betapa
besarnya bahaya api. Mereka bisa saja menyalakan api di ruang besar sebuah
biara tua, di dekat lukisan dinding, hanya untuk menghangatkan bangkainya
sendiri yang tak ada manfaatnya bagi siapa pun.
"Tapi
ini ada yang menarik," gumamnya sambil menolehkan matanya ke arah ceruk
kamar. Bukan pola anggun kamar ataupun sisa-sisa jambangan berharga yang
memikat perhatiannya, melainkan sebuah kuali logam yang sudah hitam dan sebuah
guci sake bermulut sumbing di sebelahnya. Di dalam kuali itu ada sedikit bubur
nasi, dan ketika ia mengguncangkan guci itu, terdengar dari dalamnya suara
gemericik gembira. Ia tersenyum lebar, merasa bersyukur atas nasib baiknya,
namun kurang pikir tentang hak milik orang lain, seperti yang biasa terjadi
pada orang lapar mana pun.
Cepat ia
mengosongkan sake itu dengan beberapa tegukan panjang, kemudian mengosongkan
isi kuali nasi dan mengucapkan selamat kepada dirt sendiri karena perutnya
sudah kenyang.
Sambil
mengangguk-angguk mengantuk di samping perapian, ia mendengar dengung serangga
yang seperti hujan datang dari ladang gelap di luar—tidak hanya dari ladang,
melainkan juga dari dinding, langit-langit, dan tikar tatami yang membusuk.
Tepat sebelum
berlayar ke alam tidur, teringat olehnya bungkusan yang diambil-nya dari
prajurit yang sekarat tadi. Ia bangun dan membukanya. Bungkusan itu berupa kain
krep kotor yang dicelup dengan celupan kayu sappan merah tua. Isinya pakaian
dalam yang sudah dicuci bersih, serta barang-barang yang biasa dibawa musafir.
Ketika pakaian dibuka, ditemukannya sebuah benda yang ukuran dan bentuknya
seperti gulungan surat, terbungkus dengan amat hati-hati dalam kertas minyak.
Terdapat juga sebuah pundi-pundi yang seketika jatuh dari lipatan kain dengan
denting nyaring. Pundi-pundi itu terbuat dari kulit bercelup warna lembayung.
Isinya emas dan perak dalam jumlah demikian banyak, hingga tangan Matahachi
gemetar ketakutan. "Ini uang orang lain, bukan uangku," demikian ia
mengingatkan dirinya.
Ketika
dibukanya kertas minyak yang membungkus barang yang panjang, tampak sebuah
gulungan dililitkan pada sebuah gelindingan dengan kain brokat emas di
ujungnya. Segera ia merasa bahwa gulungan itu mengandung rahasia penting.
Dengan rasa ingin tahu yang besar diletakkannya gulungan itu di hadapannya, dan
pelan-pelan dibukanya. Bunyinya,
SERTIFIKAT
Dengan sumpah
suci saya bersumpah telah menurunkan kepada Sasaki Kojiro tujuh metoda rahasia
seni pedang Gaya Chujo berikut ini:
Secara
terang-terangan - gaya kilat, gaya roda, gaya bulat, gaya perahu mengapung.
Secara
rahasia - Berlian, Olah Batin, Tak Terhingga.
Dikeluarkan
di Kampung Jokyoji, Usaka Demesne, Provinsi Echizen, pada bari... bulan…
Kinemaki
Jisai, murid Toda Seigen
Di atas
secarik kertas yang agaknya ditambahkan kemudian, terdapat sebuah sajak.
Bulan yang
memancarkan sinar
Ke air yang
tiada
Dalam sumur
yang belum digali
Menghasilkan manusia
Tanpa
bayangan ataupun bentuk
Matahachi sadar bahwa ia memegang sertifikat
yang diberikan kepada seorang murid yang telah mempelajari segala yang
diajarkan gurunya, tetapi nama Kanemaki Jisai itu tak ada artinya sama sekali
baginya. Ia pasti akan dapat mengenali nama Ito Yagoro, yang dengan nama
Ittosai telah menciptakan gaya main pedang yang terkenal dan sangat dikagumi,
tapi ia tidak tahu bahwa Jisai guru Ito. Ia pun tidak tahu bahwa Jisai seorang
samurai yang baik sekali wataknya, yang telah menguasai Gaya Toda Seigen sejati
dan telah mengundurkan diri ke sebuah
kampung terpencil untuk menghabiskan masa tuanya sebagai orang tak dikenal, dan
sesudah itu menurunkan Metoda Seigen hanya kepada beberapa murid pilihan.
Matahachi
membaca kembali nama pertama itu. "Sasaki Kojiro ini pasti samurai yang
terbunuh di Fushimi hari ini," pikirnya. "Dia tentunya pemain pedang
mahir yang patut mendapat hadiah surat keterangan untuk Gaya Chujo, apa pun
macamnya gaya itu. Sungguh sayang dia mesti mati! Tapi aku jadi yakin sekarang.
Betul sekali dugaanku. Dia tentunya ingin aku menyampaikan ini pada seseorang,
barangkali orang yang berasal dari tempat kelahirannya."
Macahachi
membacakan doa pendek kepada sang Budha untuk Sasaki Kojiro, kemudian berjanji
pada diri sendiri bahwa bagaimanapun ia akan melaksanakan misinya yang baru
ini.
Untuk
menghilangkan rasa dingin, ia menghidupkan api kembali, kemudian membaringkan
diri di dekat perapian. Segera ia jatuh tertidur.
Dari kejauhan
terdengar bunyi shakuhachi pendeta tua itu. Lagu sedih yang agaknya mencari-cari
sesuatu dan menyeru pada seseorang terus mendayu-dayu, sementara gelombang
pedih mengalun di atas desir ladang.
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar