Tukang yang Santun
SAMPAI hari
meninggalnya, ayah Musashi tak berhenti mengingatkan Musashi akan leluhurnya.
"Aku memang hanya samurai desa," katanya, "tapi jangan
sekali-kali lupa, marga Akamatsu pernah terkenal dan perkasa. Hal itu mesti
menjadi sumber kekuatan dan kebanggaanmu."
Karena berada di
Kyoto, Musashi memutuskan untuk mengunjungi Kuil Rakanji. Di dekat kuil itu
Keluarga Akamatsu pernah memiliki rumah. Marga itu sudah lama runtuh, tapi ada
kemungkinan Musashi menemukan catatan tentang leluhurnya di kuil itu. Seandainya
tak dapat menemukannya, ia masih dapat membakar dupa untuk mengenang mereka.
Sampai Jembatan Rakan
yang melintasi Kogawa Hilir, ia merasa sudah sampai dekat kuil itu, karena kata
orang kuil itu terletak agak ke timur dari tempat beralihnya Kogawa Hulu
menjadi Kogawa Hilir. Ia bertanya pada orang-orang sekitar tempat itu, tapi
tidak berhasil. Tak seorang pun pernah mendengar tentang kuil itu.
Ia kembali ke
jembatan, berdiri memandang air jernih dangkal yang mengalir di bawahnya. Belum
lama Munisai meninggal, tapi rupanya kuil itu sudah dipindahkan atau hancur,
tidak ada lagi sisa-sisanya atau kenangannya.
Dengan malas ia
memandang pusaran putih yang sekali muncul sekali menghilang, kemudian muncul
dan menghilang kembali. Melihat lumpur yang menetes-netes dari petak berumput
di tepi kiri, ia menyimpulkan bahwa lumpur itu berasal dari bengkel pengasah
pedang.
"Musashi!"
Musashi menoleh, dan
tampaklah olehnya biarawati tua Myoshu kembali dari melakukan tugas.
"Terima kasih
kamu datang kemari," serunya. Disangkanya Musashi ada di situ untuk
berkunjung. "Koetsu ada di rumah hari ini. Dia pasti senang bertemu
kamu." Ia mengantar Musashi melewati gerbang rumah yang tak jauh letaknya
dari situ dan menyuruh seorang pesuruh menjemput anaknya.
Koetsu menyambut
tamunya dengan hangat, katanya, "Saat ini aku sedang sibuk melakukan
asahan penting, tapi nanti kita akan dapat mengobrol leluasa. "
Musashi merasa senang
melihat kedua ibu dan anak itu bersikap akrab dan wajar, sebagaimana waktu
mereka pertama kali bertemu. Sore dan malam itu ia mengobrol dengan mereka, dan
ketika mereka mendesaknya
untuk bermalam, ia
menerimanya. Hari berikutnya, ketika Koetsu memperlihatkan kepadanya bengkelnya
dan menjelaskan teknik mengasah pedang, ia minta Musashi tinggal di sana
seberapa lama ia suka.
Rumah yang gerbangnya
tampak sederhana itu berdiri di sebuah sudut tenggara reruntuhan Jissoin. Di
seputar tempat itu terdapat beberapa rumah milik saudara sepupu dan kemenakan
Koetsu, atau orang-orang lain yang sama pekerjaannya. Semua anggota Keluarga
Hon'ami hidup dan bekerja di sini, seperti gaya marga-marga di provinsi besar
di masa lalu.
Keluarga Hon'ami
berasal dari keluarga militer yang cukup terkemuka dan menjadi abdi para shogun
Ashikaga. Dalam hierarki sosial sekarang, keluarga itu tergolong kelas tukang,
tapi dilihat dari kekayaan dan prestisenya, Koetsu dianggap anggota kelas
samurai. Ia bergaul rapat dengan kaum bangsawan tinggi istana dan pernah
diundang oleh Tokugawa Ieyasu datang ke Benteng Fushimi.
Kedudukan seperti
yang dimiliki keluarga Hon'ami itu tidak istimewa. Kebanyakan tukang-tukang dan
saudagar-saudagar kaya zaman itu-di antaranya Suminokura Soan, Chaya Shirojiro,
dan Haiya Shoyu-adalah keturunan samurai. Di bawah para shogun Ashikaga, nenek
moyang mereka itu diserahi pekerjaan yang ada hubungannya dengan pembuatan
barang atau perdagangan. Keberhasilan yang mereka capai dalam bidang-bidang itu
sedikit demi sedikit mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan kelas
militer, dan ketika perusahaan swasta mulai mendatangkan untung, mereka tidak
lagi tergantung pada upah feodal mereka. Sekalipun tingkat sosial mereka lebih
rendah daripada tingkat sosial prajurit, mereka itu kuat sekali.
Untuk bisnis, status
samurai lebih bersifat menghalangi daripada membantu. Dan lagi ada
keuntungan-keuntungan yang pasti kalau orang menjadi orang biasa, terutama
dalam hal kestabilan. Apabila meletus pertempuran, saudagar-saudagar besar
biasanya dilindungi kedua pihak yang bertempur. Benar, mereka kadang-kadang
dipaksa menyediakan perbekalan militer dengan pembayaran kecil atau tanpa
pembayaran, tapi mereka menganggap beban ini sebagai sekadar pembayaran untuk
mengganti harta benda yang hancur selama perang.
Selama berlangsungnya
perang Onin tahun 1460-an dan 1470-an, seluruh daerah sekitar reruntuhan
Jissoin diratakan dengan tanah, bahkan sekarang orang-orang yang menanam pohon
di sana sering masih menemukan bagian-bagian pedang atau topi baja yang
berkarat. Gedung kediaman Hon'ami adalah satu dari yang pertama dibangun di
sekitar tempat icu sesudah perang.
Cabang Sungai
Arisugawa mengalir melintasi tempat itu, mula-mula berkelok-kelok melintasi
sekitar satu ekar kebun sayuran, kemudian menghilang ke tengah semak, dan
akhirnya muncul lagi dekat sumur tak jauh dari depan bangunan utama. Ada satu
cabangnya yang mengalir menuju sebuah warung teh sederhana dan kasar, di mana
air jernihnya dipergunakan untuk upacara teh. Sungai itu merupakan sumber air
bagi bengkel tempat pedang yang ditempa ahli seperti Masamune, Muramasa, dan
Osafune, digosok dengan cermat. Karena bengkel itu suci bagi keluarga itu, maka
ada tali yang digantungkan di atas jalan masuknya, seperti di kuil-kuil Shinto.
Hampir tanpa
sepengetahuannya empat hari telah berlalu, dan Musashi memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum ia mendapat kesempatan menyampaikannya,
Koetsu sudah berkata, "Kami barangkali tak banyak menghiburmu, tapi kalau
engkau tidak bosan, tinggallah di sini semaumu. Di kamar belajarku ada
buku-buku tua dan barang-barang menarik. Kalau kau suka memperhatikannya,
lihatlah dengan sebebasnya. Sehari-dua hari lagi aku akan membakar mangkuk dan
pinggan teh. Mungkin engkau akan suka melihatnya. Engkau akan melihat nanti
bahwa keramik hampir sama menariknya dengan pedang. Mungkin engkau dapat
membuat satu-dua model sendiri."
Tersentuh oleh
ramahnya undangan dan kata-kata tuan rumah bahwa takkan ada orang tersinggung
kalau ia memutuskan untuk pergi seketika, Musashi memutuskan tinggal di situ
dan menikmati suasana santai itu. Ia jauh dari merasa bosan. Kamar belajar itu
berisi buku-buku dalam bahasa Cina dan Jepang, lukisan-lukisan gulung dari
zaman Kamakura, salinansalinan kaligrafi dari ahli-ahli Cina, dan
berlusin-lusin karya lain lagi yang masing-masing dapat dengan senang dinikmati
oleh Musashi untuk sehari atau lebih. Terutama la tertarik pada sebuah lukisan
yang tergantung di ceruk kamar. Lukisan itu berjudul Buah Berangan oleh pelukis
ulung Liangk'ai dari zaman Sung. Lukisan itu kecil, sekitar enam puluh senti
tingginya dan lima belas senti lebarnya, sudah demikian tua, sehingga tak
mungkin orang mengatakan jenis kertas apa yang dipakai melukis.
Musashi duduk
memandangnya pada jam-jam tertentu. Akhirnya pada suatu hari ia menyatakan pada
Koetsu, "Saya yakin tak ada pelukis amatir awam yang dapat membuat lukisan
seperti yang Bapak lukis, tapi ingin tahu juga saya, apakah saya tak dapat
membuat lukisan sesederhana itu?"
"Sebaliknya,"
jelas Koetsu. "Orang dapat belajar melukis seperti aku. Tetapi di dalam
lukisan Liang-k'ai itu terdapat kedalaman dan keagungan spiritual yang tak
dapat dicapai hanya dengan mempelajari seni."
"Apakah benar
demikian?" tanya Musashi heran. Dan ia pun diyakinkan bahwa memang
demikianlah adanya.
Lukisan itu hanya
memperlihatkan seekor bajing yang memperhatikan dua buah berangan yang jatuh.
Yang satu terbuka dan yang lain masih utuh, seakan-akan ia ingin mengikuti
dorongan alamiahnya untuk melalap buah berangan itu, tetapi ragu-ragu karena
takut pada durinya. Karena lukisan itu dibuat bebas sekali dengan tinta hitam,
maka mulanya Musashi merasa lukisan itu tampak naif. Tapi sesudah berbicara
dengan Koetsu, semakin diperhatikannya semakin jelas ia melihat bahwa seniman
itu benar.
Pada suatu sore,
Koetsu datang dan berkata, "Engkau memperhatikan lukisan Liang-k'ai lagi?
Rupanya kau suka sekali dengannya. Kalau nanti kau pergi, gulung itu dan bawa
pulang. Aku senang engkau memilikinya."
Tapi Musashi
keberatan. "Berat rasanya saya menerimanya. Terlalu lama tinggal di rumah
ini saja sudah kurang baik buat saya. Tentunya lukisan ini pusaka
keluarga!"
"Tapi engkau
menyukainya, kan?" Orang tua itu tersenyum ramah. "Kau boleh
memilikinya, kalau kau mau. Aku betul-betul tidak membutuhkannya. Lukisan mesti
dimiliki oleh orang-orang yang betul-betul mencintai dan menghargainya. Aku
yakin itulah yang diinginkan oleh si seniman."
"Kalau demikian
pendapat Bapak, saya bukan orangnya yang mesti memiliki lukisan seperti itu.
Terus terang, sudah beberapa kali saya berpikir, senang rasanya memilikinya,
tapi kalau saya memilikinya, apa yang akan saya buat dengannya? Saya hanya
pemain pedang pengembara. Saya tak pernah tinggal di satu tempat."
"Saya kira memang
repot sekali membawa-bawa lukisan ke mana kita pergi. Pada umur seperti
sekarang ini barangkali engkau pun belum ingin memiliki rumah sendiri, tapi
kupikir setiap orang mesti memiliki tempat yang dia pandang sebagai rumahnya,
sekalipun tak lebih dari sebuah gubuk kecil. Tanpa rumah, orang bisa
kesepian-merasa bingung. Bagaimana kalau engkau mengumpulkan balok dan kemudian
membangun pondok di sudut kota yang tenang?"
"Tak pernah saya
memikirkan hal itu. Saya ingin melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh,
pergi ke ujung terjauh Kyushu, dan melihat bagaimana orang hidup di bawah
pengaruh asing di Nagasaki. Dan saya ingin sekali melihat ibu kota baru yang
sedang dibangun oleh shogun di Edo; juga melihat gunung-gunung besar dan
sungai-sungai di Honshu Utara. Barangkali di dalam hati ini, saya hanya seorang
pengelana."
"Engkau sama
sekali bukan satu-satunya. Itu wajar sekali, tapi kau harus menghindari godaan
untuk berpikir bahwa impian-impian itu hanya dapat ditujukan di tempat yang
jauh letaknya. Kalau engkau berpikir seperti itu, engkau akan mengabaikan
kemungkinan dalam lingkunganmu yang terdekat. Aku kuatir kebanyakan orang muda
memang berpikir demikian, lalu kecewa dengan hidupnya." Koetsu tertawa.
"Tapi orang tua malas macam aku ini tak ada urusan berkhotbah kepada orang
muda. Bagaimanapun, aku datang kemari bukan untuk bicara tentang itu. Aku
datang untuk mengajakmu pergi malam ini. Pernah engkau pergi ke daerah
lokalisasi?"
"Daerah
geisha?"
"Ya. Aku punya
teman, namanya Haiya Shoyu. Walaupun umurnya sudah lanjut, selalu ada saja yang
dilakukannya. Baru saja aku menerima suratnya yang mengundangku ikut dia di
dekat Jalan Rokujo malam ini. Aku ingin tahu apa engkau mau ikut."
"Tidak, saya
kira tidak."
"Kalau engkau
benar-benar tak ingin, aku takkan memaksa, tapi kupikir akan menarik
untukmu."
Myoshu, yang
diam-diam datang mendekat dan mendengarkan percakapan mereka dengan penuh
perhatian, menyela, "Kupikir kau mesti pergi, Musashi. Kesempatan melihat
hal yang belum kaulihat. Haiya Shoyu bukan orang yang mesti dihadapi dengan
kaku dan resmi, dan aku percaya kau akan menikmati pengalaman itu. Biar
bagaimana, pergilah!"
Biarawati tua itu
pergi ke lemari dan megeluarkan kimono dan obi. Pada umumnya orang-orang tua
berusaha benar mencegah orang muda membuang-buang waktu luangnya di rumah
geisha, tapi Myoshu begitu bersemangat, seakan ia sendiri pun siap pergi.
"Nah, coba
lihat, mana kimono yang kamu suka?" tanyanya. "Obi ini cocok,
tidak?" Sambil terus mengoceh, ia sibuk mengeluarkan barangbarang untuk
Musashi, seakan Musashi anaknya. Ia pilih kotak obat pernis, sebilah pedang
pendek dekoratif, dan sebuah dompet brokat. Kemudian ia ambil beberapa mata
uang emas dari laci uang dan ia masukkan dalam dompet itu.
"Yah," kata
Musashi yang kini hampir hilang enggannya, "kalau Ibu mendesak, saya akan
pergi, tapi saya takkan pantas dengan barang-barang bagus itu. Saya memakai
kimono tua yang saya pakai ini saja. Saya tidur dengan kimono ini, kalau sedang
di udara terbuka. Saya terbiasa dengannya."
"Oh, kamu tak
boleh begitu!" kata Myoshu tegas. "Kau sendiri barangkali tak
apa-apa, tapi pikirkan orang-orang lain! Di kamar yang indah itu nanti kau bisa
kelihatan tak lebih dari gombal kotor. Orang pergi ke sana untuk
bersenang-senang dan melupakan kesulitan hidup. Mereka ingin dilingkari
barang-barang bagus. Jangan mengira ke sana itu cuma bersolek supaya kau tampak
seperti orang lain. Dan lagi pakaian ini tidak seindah yang dipakai orang-orang
lain. Cuma bersih dan rapi. Nah, pakailah sekarang!"
Musashi menurut.
Sesudah ia
berpakaian, kata Myoshu riang, "Nah, kelihatan tampan sekali kamu
sekarang."
Ketika akan
berangkat, Koetsu pergi ke altar Budha di rumah dan menyalakan lilin di situ.
Ia dan ibunya anggota setia sekte Nichiren.
Di pintu depan, Myoshu
meletakkan dua pasang sandal dengan tali baru. Ketika mereka sedang
mengenakannya, Myoshu berbisik-bisik dengan salah seorang pembantu yang berdiri
menanti untuk menutup gerbang depan sesudah mereka pergi.
Koetsu mengucapkan
selamat tinggal pada ibunya, tapi ibunya cepat memandangnya, katanya,
"Tunggu sebentar." Wajahnya tampak kusut karena kerutan kekuatiran.
"Ada apa?"
"Dia bilang tiga
samurai bertampang angker baru saja datang dan bicara kasar sekali. Apa
menurutmu penting?"
Koetsu memandang Musashi
dengan nada bertanya.
"Tak ada alasan
untuk takut," kata Musashi menenangkan. "Mereka barangkali dari
Keluarga Yoshioka. Mereka bisa menyerang saya, tapi mereka tak punya soal
dengan Bapak."
"Salah seorang
pembantu itu mengatakan beberapa hari lalu terjadi hal serupa. Cuma seorang
samurai, tapi dia datang lewat gerbang tanpa dipersilakan dan melongok lewat
pagar dekat jalan ke warung teh, ke arah bagian rumah tempat kamu
tinggal."
"Kalau begitu,
saya yakin mereka orang-orang Yoshioka."
"Kupikir juga
begitu," kata Koetsu menyetujui. Ia menoleh kepada penjaga gerbang yang
gemetaran. "Apa kata mereka?"
"Para pekerja
sudah pulang semua, dan saya baru saja mau menutup gerbang, tapi tiba-tiba
samurai itu mengepung saya. Seorang dari mereka yang kelihatan gampang marah
mengeluarkan surat dari dalam kimononya dan memerintahkan saya menyampaikan
surat itu kepada tamu yang tinggal di sini."
"Dia tidak
bilang Musashi?"
"Ya, kemudian
dia bilang 'Miyamoto Musashi'. Dan dia bilang Musashi sudah tinggal di sini
beberapa hari."
"Lalu apa
katamu?"
"Bapak sudah
kasih perintah tidak bicara tentang Musashi kepada orang lain, jadi saya
menggeleng dan bilang tak ada orang dengan nama itu di sini. Dia marah dan
menyebut saya pembohong, tapi seorang dari mereka yang agak lebih tua dan
selalu senyum menenangkan dia dan mengatakan mereka akan mencari jalan
menyampaikan surat itu langsung. Saya tak mengerti apa yang dia maksud, tapi
kedengarannya seperti ancaman. Lalu mereka pergi ke sudut di sana itu."
"Bapak sebaiknya
berjalan sedikit di depan saya," kata Musashi. "Saya tak ingin Bapak
terluka atau terlibat kesulitan karena saya."
Koetsu menjawab
dengan tertawa, "Tak perlu kuatir dengan aku, terutama kalau kau yakin
mereka itu orang-orang Yoshioka. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mari
jalan."
Sesudah berada di
luar, Koetsu kembali melongokkan kepala ke pintu kecil pada gerbang dan
memanggil, "Bu!"
"Ada yang
terlupa?" tanya ibunya.
"Tidak, cuma
terpikir olehku, kalau Ibu kuatir denganku aku dapat menyuruh orang ke Shoyu,
mengatakan padanya aku tak dapat datang malam ini."
"Oh, tidak. Aku
lebih takut akan terjadi apa-apa dengan Musashi. Tapi kupikir dia takkan
kembali, biarpun kau mencoba menghentikannya. Pergilah. dan mudah-mudahan
senang!"
Koetsu menyusul
Musashi, dan ketika mereka sudah berjalan santai menyusuri tepi sungai, Koetsu
berkata, "Rumah Shoyu di sana, di Jalan Ichijo dan Jalan Horikawa.
Barangkali dia sudah siap-siap sekarang, jadi mari kita menjemputnya. Rumahnya
di tengah perjalanan."
Hari masih terang.
Berjalan sepanjang sungai itu menyenangkan, lebih-lebih karena sedang senggang
sekali pada waktu semua orang lain sedang sibuk.
Kata Musashi,
"Saya sudah pernah mendengar nama Haiya Shoyu, tapi saya tidak tahu
apa-apa tentang dia."
"Aku heran kau
belum pernah mendengar tentangnya. Dia terkenal ahli dalam membuat sajak
berangkai."
"Oh! Jadi, dia
penyair!"
"Ya, tapi tentu
saja dia tidak hidup dari menulis sajak. Dia berasal dari keluarga saudagar
Kyoto lama."
"Dari mana dia
mendapat nama Haiya?"
"Itu nama
usahanya."
"Apa yang dia
jual?"
"Namanya itu
artinya 'penjual abu', dan memang itu yang dia jual abu."
"Abu?"
"Ya, abu itu
dipakai untuk mencelup kain. Oh, itu usaha besar. Dia menjualnya pada
serikat-serikat pencelup besar di seluruh negeri. Pada permulaan zaman
Ashikaga, perdagangan abu dikendalikan oleh agen shogun, tapi kemudian
diserahkan kepada grosir swasta. Di Kyoto ada tiga rumah grosir besar, dan
Shoyu satu di antaranya. Dia sendiri tentu saja tidak perlu kerja. Dia sudah
berhenti kerja dan hidup tenteram. Lihat ke sana itu, kau bisa melihat rumahnya
yang gerbangnya bergaya itu."
Sementara mendengarkan,
Musashi mengangguk-angguk, tapi perhatiannya teralih kepada rasa di lengan
kimononya. Lengan sebelah kanan melambailambai ringan oleh angin, tapi lengan
kiri tak bergerak sama sekali. Ia masukkan tangannya dan ia keluarkan sebuah
benda, cukup untuk melihat barang apa itu-tali kulit ungu yang baik samakannya,
seperti yang biasa dipakai para prajurit untuk mengikat lengan kimono waktu
berkelahi. "Myoshu," pikirnya. "Hanya dia yang mungkin
memasukkannya."
Ia menoleh ke
belakang dan tersenyum pada orang-orang lelaki di belakang mereka.
Sepengetahuannya, sejak ia dan Koetsu keluar dari Jalan Hon'ami, mereka
membuntutinya pada jarak yang cukup hati-hati.
Senyuman itu agaknya
melegakan hati ketiga orang itu. Mereka berbisik-bisik sedikit, lalu mengambil
langkah lebih panjang.
Tiba di rumah Haiya,
Koetsu membunyikan genta di pintu gerbang, dan seorang pembantu yang membawa
sapu datang mempersilakan mereka. Ketika Koetsu melewati pintu gerbang dan
berada di halaman muka, barulah ia tahu bahwa Musashi tidak bersamanya. Sambil
menoleh ke pintu gerbang ia berseru, "Masuk, Musashi. Tak usah
ragu-ragu."
Ketiga samurai itu
mengepung Musashi, menyorongkan siku, dan mencengkeram pedang. Koetsu tak dapat
menangkap apa yang mereka katakan kepada Musashi dan apa jawaban lirih Musashi.
Musashi minta Koetsu
untuk tidak menunggu, dan Koetsu menjawab dengan nada tenang sekali,
"Baik, aku di rumah itu. Ikutlah aku nanti, begitu engkau selesai dengan
urusanmu."
Salah seorang samurai
itu berkata, "Kami di sini bukan untuk berbantah tentang apakah Anda sudah
lari sembunyi atau tidak. Nama saya Otaguro Hyosuke. Saya seorang dari Sepuluh
Pemain Pedang Perguruan Yoshioka. Saya membawa surat dari adik Seijuro, Denshichiro."
Ia mengeluarkan surat itu dan memperlihatkannya kepada Musashi. "Silakan
baca, dan berikan balasannya segera."
Musashi membukanya
biasa saja, membacanya cepat, dan katanya, "Saya terima."
Hyosuke memandangnya
curiga. "Anda yakin?"
Musashi mengangguk.
"Yakin sekali."
Sikap Musashi yang
tidak formal itu membuat mereka tak lagi berjaga-jaga.
"Kalau Anda
tidak memenuhi janji, Anda takkan dapat lagi memperlihatkan muka di
Kyoto."
Pandangan mata
Musashi disertai senyum simpul, tapi la tidak mengatakan sesuatu.
"Anda puas
dengan persyaratannya? Tak banyak lagi waktu buat Anda mempersiapkan
diri."
"Saya sudah
siap," jawab Musashi tenang.
"Kalau begitu,
kami akan bertemu lagi dengan Anda malam ini."
Ketika Musashi
melewati gerbang, Hyosuke mendekatinya lagi dan bertanya, "Anda akan di
sini sampai waktu yang sudah ditentukan itu?"
"Tidak. Tuan
rumah mengajak saya pergi ke daerah lokalisasi dekat Jalan Rokujo."
"Daerah
lokalisasi?" tanya Hyosuke heran. "Kalau begitu, Anda di sini atau di
sana. Kalau Anda terlambat, akan saya kirim orang menjemput Anda. Saya percaya
Anda takkan menggunakan tipu daya."
Musashi sudah
membalikkan badan dan memasuki halaman depan, satu langkah yang membawanya ke
suatu dunia lain.
Batu-batu pijakan
yang bentuknya tidak teratur dan bertebaran secara asal saja di halaman itu
kelihatan begitu alamiah. Di kiri-kanan terdapat rumpun bambu basah, pendek
seperti pakis, di sana-sini disela rebung yang lebih tinggi, tidak lebih besar
dari kuas tulis. Ketika ia berjalan terus, tampaklah olehnya atap bangunan
utama, kemudian pintu depan, sebuah rumah kecil terpisah dan rumah musim panas
di halaman. Masing-masing ikut menciptakan suasana kuno yang patut dimuliakan
dan tradisi lama. Di sekitar semua bangunan itu tumbuh pohon-pohon pinus tinggi
yang mengingatkan orang pada kemakmuran dan kenyamanan.
Musashi mendengar
orang bermain bola sepak. Bunyi gedebak-gedebuk itu sering terdengar dari
belakang dinding rumah persemayaman para bangsawan istana. Ia heran
mendengarnya dari rumah saudagar.
Sampai di rumah, ia
dipersilakan masuk ruangan yang menghadap halaman. Dua pelayan masuk membawa
teh dan kue-kue, seorang antaranya menyampaikan bahwa tuan rumah akan segera
datang. Melihat tingkah laku para pelayan, Musashi dapat mengatakan bahwa
mereka terlatih sempurna.
Koetsu berbisik,
"Sesudah matahari terbenam, udara dingin, ya?" Ia berharap agar shoji
ditutup, tapi ia tidak memintanya karena Musashi rupanya menikmati pemandangan
kembang prem. Koetsu melayangkan juga mata ke arah pemandangan itu. "Aku
melihat ada awan di atas Gunung." ucapnya. "Kukira dari utara. Apa
engkau tidak kedinginan?"
"Tidak
terlalu," jawab Musashi jujur, sama sekali tidak menangkap isyarat
temannya.
Seorang pelayan
membawa tempat lilin, dan Koetsu menggunakan kesempatan itu untuk menutup
shoji. Musashi jadi sadar akan suasana ruangan itu, damai. Sambil mendengarkan
suara-suara yang datang dari halaman dalam rumah, ia terpukau oleh tiadanya
sama sekali sifat bermegah-megah, seakan-akan dekorasi lingkungan itu dengan
sengaja dibuat sesederhana mungkin. Bahkan terbayang olehnya dirinya sedang
berada di kamar sebuah pertanian besar di pedesaan.
Haiya Shoyu memasuki
ruangan, katanya, "Saya minta maaf merepotkan Anda sekalian menunggu
demikian lama." Suaranya yang terbuka, bersemangat, dan mengandung
kemudaan itu berlawanan dengan suara Koetsu lembut diseret-seret. Orangnya
kurus seperti burung bangau, umurnya sepuluh tahun lebih tua dari temannya,
tapi wataknya periang. Ketika Koetsu menjelaskan tentang Musashi, ia
mengatakan. "Jadi Anda ini kemenakan Matsuo Kaname? Saya kenal baik dengan
dia.'
Perkenalan Shoyu
dengan pamannya itu tentunya lewat keluarga pikir Musashi yang mulai merasakan
eratnya hubungan antara saudagar kaya dengan orang-orang istana.
Tanpa berpanjang
kata, saudagar tua yang gesit itu berkata, "Mari kita jalan sekarang.
Tadinya saya bermaksud pergi sementara hari masih terang, supaya kita dapat
bercengkerama. Tapi karena sekarang sudah gelap, aku pikir kita mesti panggil
joli. Saya percaya, orang muda ini ikut kita."
Joli pun dipanggil,
dan ketiga orang itu berangkat, Shoyu dan Koetsu di depan, dan Musashi di
belakang. Itulah pertama kali Musashi naik joli.
Ketika mereka sampai
Lapangan Berkuda Yanagi, para pemikul sudah mengepulkan uap putih.
"Oh,
dingin!" keluh salah seorang. "Anginnya menusuk-nusuk, ya?"
"Padahal katanya
ini musim semi!"
Lentera mereka
terayun ke sana kemari, berkelip-kelip tertiup angin. Awan gelap di atas kota
mengalamatkan datangnya cuaca yang lebih buruk lagi sebelum malam berlalu. Di
seberang lapangan berkuda, lampu-lampu kota bersinar penuh semarak. Musashi
mendapat kesan seolah-olah lautan kunang-kunang berkelip-kelip riang di tengah
angin yang dingin jernih.
"Musashi!"
panggil Koetsu dari joli tengah. "Kita ke sana itu. Rasanya aneh mendadak
pergi ke sana, ya?" Ia menjelaskan bahwa sampai tiga tahun lalu, daerah
lokalisasi itu terletak di Jalan Nijo, dekat istana, tapi kemudian Hakim Itakura
Katsushige memindahkannya, karena suara nyanyian dan mabuk-mabukan pada malam
hari mengganggu sekali. Ia mengatakan bahwa seluruh daerah itu berkembang
pesat. Semua mode baru berasal dari tengah deretan lampu itu.
"Kita hampir
dapat mengatakan bahwa suatu kebudayaan baru tercipta di sana." Sambil
berhenti dan mendengarkan sebentar dengan saksama, ia menambahkan, "Engkau
dapat mendengarnya, kan? Itu suara dawai dan nyanyian."
Musashi belum pernah
mendengar jenis musik itu.
"Alat musiknya
shamisen, versi yang sudah dikembangkan dari alat musik bersenar tiga dari
Kepulauan Ryukyu. Banyak sekali lagu baru diciptakan daerah ini, kemudian
tersebar di tengah penduduk biasa. Jadi, kau dapat mengerti, bagaimana
berpengaruhnya daerah ini dan mengapa ukuran-ukuran kesopanan tertentu mesti
dipertahankan, sekalipun daerah itu agak terpencil dari bagian kota yang
lain."
Mereka membelok ke
salah satu jalan lain. Cahaya lampu dan lentera gemilang yang tak terhitung
jumlahnya dan bergantungan di pohon-pohon Liu tercermin dalam mata Musashi.
Daerah itu tetap memakai nama lama sebelum dipindahkan, yaitu Yanagimachi, Kota
Pohon Liu, karena pohon Liu sudah lama dihubungkan orang dengan kebiasaan minum
dan membuangbuang waktu.
Koetsu dan Shoyu
dikenal orang di tempat yang mereka masuki itu. Sambutan orang terasa menjilat,
namun lucu. Segera menjadi jelas bahwa di sini mereka menggunakan nama-nama
julukan atau "nama ejekan". Koetsu dikenal dengan nama
Mizuochi-sama-Tuan Air Terjun-akibat sungai-sungai yang melintasi tanah
miliknya, sedangkan Shoyu adalah Funabashi-sama-Tuan Jembatan Perahu-akibat
jembatan ponton yang ada di dekat rumahnya.
Kalau Musashi menjadi
pengunjung tetap tempat itu, pasti ia memperoleh nama julukan sendiri, karena
di tanah antah berantah ini hanya sedikit orang menggunakan nama sebenarnya.
Hayashiya Yojibei hanyalah nama samaran pemilik rumah yang mereka kunjungi itu,
tetapi la lebih sering dipanggil Ogiya, nama perusahaannya. Bersama dengan
Kikyoya, Ogiva adalah satu dari dua rumah yang paling terkenal di daerah itu.
Hanya dua itu saja yang dikenal betul-betul bereputasi kelas satu. Perempuan
cantik yang paling berkuasa di Ogiya adalah Yoshino Dayu, sedangkan rekanm-a di
Kikyoya adalah Murogimi Dayu. Kemasyhuran kedua wanita itu di seluruh kota
hanya dapat tersaingi oleh kemasyhuran daimyo terbesar.
Sekalipun Musashi
berusaha keras untuk tidak menganga, ia terkagumkagum oleh keanggunan
lingkungan yang mendekati keanggunan istana-istana paling mewah itu.
Langit-langitnya yang rumit, lubang-lubang anginnya yang penuh ukiran dan
sulaman, susuran tangganya yang belekuk-lekuk indah, dan kebun-kebun dalamnya
yang dirawat dengan teliti-semuanya merupakan pesta bagi mata yang memandang.
Karena sibuk menikmati lukisan pada daun pintu kayu, ia tak sadar
teman-temannya telah jauh di depan, sampai Koetsu kembali menjemputnya.
Pintu-pintu warna
perak dari kamar yang mereka masuki berpendar-pendar oleh sinar lampu. Satu
sisi menghadap kebun gaya Kobori Enshu. Pasirnya yang digaruk baik-baik dan
susunan batunya mengingatkan orang pada pemandangan gunung di Tiongkok, seperti
dapat dilihat dalam lukisan zaman Sung.
Shoyu mengeluh
kedinginan, ia duduk di bantalan dan menguncupkan bahunya. Koetsu duduk juga
dan mempersilakan Musashi berbuat sama. Tak lama kemudian, gadis-gadis pelayan
datang membawa sake hangat.
Melihat mangkuk yang
disodorkan kepada Musashi mendingin, Shoyu jadi mendesak. "Minumlah, anak
muda," katanya, "dan ambil yang panas."
Sesudah hat itu
berulang dua-tiga kali, tingkah Shoyu mulai mendekati kekerasan.
"Kobosatsu!" katanya kepada salah seorang gadis pelayan. "Suruh
dia minum! Kamu, Musashi! Kenapa kamu? Kenapa tidak minum?"
"Saya minum,
Pak," protes Musashi.
Orang tua itu sudah
sedikit pusing. "Ah, kurang baik itu. Kamu punya semangat!"
"Saya memang
bukan peminum."
"Maksudmu, kamu
bukan pemain pedang yang kuat, kan?"
"Barangkali
betul juga," kata Musashi lunak, dan menertawakan penghinaan itu.
"Kalau kamu
kuatir minum itu mengganggu pelajaranmu atau menghilangkan keseimbanganmu atau
melemahkan daya kemauanmu atau mencegahmu memasyhurkan nama, artinya kamu tak
punya keberanian menjadi petarung."
"Ah, bukan itu
soalnya. Hanya ada satu masalah kecil."
"Apa masalah
itu?"
"Minum bikin
saya ngantuk."
"Nah, kamu bisa
pergi tidur di sini atau di mana saja di tempat ini. Tak ada yang
keberatan." Sambil menoleh kepada gadis-gadis, katanya, "Orang muda
ini takut mengantuk kalau dia minum. Kalau dia ngantuk, masukkan dia ke tempat
tidur!"
"Oh, dengan
senang hati!" kata gadis-gadis itu bersama-sama sambil tersenyum malu-malu
kucing.
"Kalau dia
tidur, harus ada yang bikin dia tetap hangat. Koetsu, yang mana baiknya?"
"Ya, yang mana,
ya?" kata Koetsu, tak mau terlibat.
"Sumigiku Dayu
tak mungkin, dia istriku yang manis. Dan engkau sendiri tak mau kalau mesti
Kobosatsu Dayu. Ada si Karakoto Dayu. Ah, tapi dia tak cocok. Terlalu keras
untuk mengawani."
"Apa Yoshino
Dayu tidak datang?" tanya Koetsu.
"Betul. Dia yang
paling cocok! Bahkan tamu kita yang enggan ini akan senang padanya. Ingin tahu
juga aku, kenapa dia tak ada di sini sekarang. Tolong panggil dia. Mau
kutunjukkan dia pada samurai muda ini."
Sumigiku keberatan.
"Yoshino tidak seperti kami. Dia punya banyak langganan, dan dia takkan
lekas datang memenuhi panggilan."
"Oh, dia akan
datang—untukku! Katakan aku di sini, dia akan datang, tak peduli sedang dengan
siapa. Pergi sana panggil dia!" Shoyu menegakkan kepala, memandang ke
sekitar, dan berteriak kepada gadis-gadis kecil pembantu para pelacur yang kini
sedang bermain-main di kamar sebelah, "Rin'ya ada di situ?"
Rin'ya sendiri yang
menyahut.
"Ke sini
sebentar. Kamu biasa meladeni Yoshino Dayu, kan? Kenapa dia tak ada di sini?
Katakan padanya Funabashi di sini, dia mesti datang sekarang juga. Kalau bisa
bawa dia kemari, kukasih kamu hadiah."
Rin'ya tampak sedikit
bingung. Matanya membelalak, tapi sebentar kemudian la memberi isyarat setuju.
Anak itu sudah menunjukkan tandatanda akan menjadi cantik sekali, dan hampir
pasti bahwa ia akan menjadi pengganti Yoshino yang terkenal itu dalam angkatan
berikutnya. Tapi ia baru berumur sebelas tahun. Baru saja sampai di gang luar
dan menutup pintu di belakangnya, ia sudah bertepuk tangan dan
memanggil-manggil keras, "Uneme, Tamami, Itonosuke! Lihat sini!"
Ketiga gadis itu
berlari keluar dan mulai bertepuk-tepuk tangan dan berteriak-teriak gembira
menemukan salju di luar.
Orang-orang menengok
ke luar untuk melihat kenapa anak-anak itu begitu ramai. Kecuali Shoyu, semua
senang melihat pembantu-pembantu muda itu berkicau dengan riangnya, mencoba
menerka-nerka apakah pagi berikutnya salju masih akan ada di tanah. Rin'ya
sudah lupa akan apa yang dikerjakannya dan berlari ke halaman untuk bermain di
salju.
Karena tak sabar,
Shoyu menyuruh salah seorang pelacur mencari Yoshino Dayu. Pelacur itu kembali
dan berbisik ke telinganya, "Yoshino mengatakan dia senang sekali dapat
berkumpul dengan Bapak, tapi tamunya tidak mengizinkannya."
"Tidak
mengizinkannya! Lucu! Perempuan lain boleh dipaksa melakukan suruhan
langganannya, tapi Yoshino bisa melakukan apa saja yang dia mau. Atau
barangkali dia sudah membiarkan dirinya dibeli dengan uang sekarang?"
"Oh, tidak, tapi
tamu yang ditemaninya malam ini keras kepala sekali. Tiap kali Yoshino
mengatakan akan pergi, tamu itu mendesak keras lagi supaya Yoshino tinggal."
"Hm. Kukira
memang tak seorang pun di antara langganan itu menghendaki Yoshino pergi. Tapi
dengan siapa dia sekarang?"
"Yang Dipertuan
Karasumaru."
"Yang Dipertuan
Karasumaru?" ulang Shoyu disertai senyum ironis. "Apa dia
sendirian?"
"Tidak."
"Bersama
beberapa sahabatnya yang biasa?"
"Ya."
Shoyu menepuk
lututnya sendiri. "Oh, ini bisa menarik. Salju sedang baik sekarang, sake
juga bagus, dan kalau ada Yoshino, segalanya akan bagus sekali. Koetsu, mari
kita menulis kepada Yang Dipertuan. Coba. Nona, ambilkan aku tempat tinta dan
kuas."
Dan ketika gadis itu
meletakkan alat-alat tulis di depan Koetsu, katanya. "Apa yang mesti saya
tulis?"
"Sajak panjang
dan bagus. Prosa bisa juga, tapi sajak lebih baik. Yang Dipertuan Karasumaru
salah seorang penyair kita yang terkemuka."
"Saya sangsi
apakah saya bisa membuatnya. Yang kita inginkan syair untuk meyakinkan dia agar
menyerahkan Yoshino kepada kita, kan?"
"Betul."
"Kalau sajaknya
tidak bagus, tak akan bisa mengubah pikirannya. Tapi sajak yang baik tidak
mudah ditulis seketika. Bagaimana kalau engkau menulis baris-baris pertamanya,
dan aku selebihnya?"
"Hmm. Mari kita
lihat, apa yang dapat kita lakukan." Shoyu mengambil kertas dan menulis:
Ke gubuk kami yang
hina
Biarlah datang
sebatang pohon ceri, Pohon ceri dari Yoshino.
"Kurasa
bagus," kata Koetsu, lalu menulis:
Bunga-bunga gemetar
karena dingin Di tengah awan di atas kemuncak.
Shoyu senang bukan
main. "Bagus sekali," katanya. "Ini mestinya dapat menarik Yang
Dipertuan dari para pengiringnya yang mulia—'orang-orang di atas awan'
itu." Kertas itu dilipat rapi, kemudian diserahkannya kepada Sumigiku,
katanya sungguh-sungguh, "Gadis-gadis lain rasanya tidak memiliki martabat
seperti yang kaumiliki, karena itu kutunjuk kau menjadi utusanku kepada Yang
Dipertuan Kangan. Kalau tak salah, itulah namanya yang dikenal di tempat
ini." Nama julukan yang artinya "Tebing Gunung Dingin" itu dipakai
untuk menunjukkan status agung Yang Dipertuan Karasumaru.
Sumigiku kembali tak
lama kemudian. "Silakan, ini jawaban Yang Dipertuan Kangan," katanya,
dan dengan hormat meletakkan kotak surat yang dibuat dengan indahnya di depan
Shoyu dan Koetsu. Mereka memandang kotak yang secara tak langsung menunjukkan
sikap resmi itu, kemudian mereka saling pandang. Apa yang dimulai sebagai
lelucon kecil ternyata berkembang menjadi lebih serius.
"Nah," kata
Shoyu. "Kita mesti lebih hati-hati lain kali. Mereka tentunya kaget. Pasti
mereka tidak tahu bahwa kita di sini malam ini."
Dengan harapan tetap
dapat mengambil manfaat dari pertukaran itu, Shoyu membuka kotak dan
merentangkan balasan. Tapi alangkah kagetnya mereka kerena tak ada yang mereka
lihat kecuali secarik kertas berwarna krem, tanpa tulisan apa pun.
Karena pikirnya ada
yang terjatuh dari tangannya, Shoyu menoleh ke sekitar, mencari lembar kedua,
kemudian menengok kembali ke dalam kotak.
"Sumigiku, apa
ini artinya?"
"Saya sendiri
tak mengerti, Tuan. Yang Dipertuan Kangan menyerahkan kotak itu pada saya dan
menyuruh saya menyerahkannya pada Tuan."
"Apa dia mencoba
menertawakan kita? Atau barangkali sajak kita terlalu tinggi untuknya, hingga
dia menaikkan bendera putih tanda menyerah?"
Shoyu memang terbiasa
menafsirkan segala sesuatu sesuai keinginannya sendiri, tapi kali ini ia tampak
ragu-ragu. Ia serahkan kertas itu pada
Koetsu, dan tanyanya,
"Apa pendapatmu?"
"Kupikir,
maksudnya kita disuruh membaca."
"Membaca kertas
kosong?"
"Tapi kupikir,
bagaimanapun dapat ditafsirkan."
"Dapat? Lalu apa
kira-kira maksudnya?"
Koetsu berpikir
sejenak, "Salju... salju menutup segalanya."
"Hmm. Mungkin
juga kau benar."
"Menjawab
permintaan kita yang berupa pohon ceri dari Yoshino, surat ini bisa berarti:
Kala Anda memandang
salju
Dan mengisi mangkuk
sake Anda, Tanpa bunga pun ...
"Dengan kata
lain, ia menyatakan pada kita karena malam ini salju turun, kita mesti
melupakan cinta, membuka pintu, dan mengagumi salju sambil minum. Atau setidak-tidaknya
begitulah kesanku."
"Sungguh
menjengkelkan!" seru Shoyu tak senang. "Tak ada maksudku minum
semaunya macam itu. Aku tak akan duduk berdiam diri. Biar bagaimana, kita
tanamkan pohon Yoshino itu di kamar kita, dan kita kagumi kembangnya." Ia
jadi naik darah, dan membasahi bibirnya dengan lidah.
Koetsu mengajaknya
bergurau agar ia tenang, tapi Shoyu terus juga menyuruh gadis-gadis itu membawa
Yoshino, dan lama sekali menolak mengganti pokok pembicaraan. Kegigihannya
tidak membawa hasil, yang akhirnya menjadi lucu, hingga gadis-gadis itu
berguling-guling di lantai sambil tertawa.
Diam-diam Musashi
meninggalkan tempat duduknya. Ia memilih waktu yang tepat. Tak seorang pun
melihat kepergiannya.
0 komentar:
Posting Komentar