Rabu, 12 Juli 2017




 Tukang yang Santun


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg









SAMPAI hari meninggalnya, ayah Musashi tak berhenti mengingatkan Musashi akan leluhurnya. "Aku memang hanya samurai desa," katanya, "tapi jangan sekali-kali lupa, marga Akamatsu pernah terkenal dan perkasa. Hal itu mesti menjadi sumber kekuatan dan kebanggaanmu."

Karena berada di Kyoto, Musashi memutuskan untuk mengunjungi Kuil Rakanji. Di dekat kuil itu Keluarga Akamatsu pernah memiliki rumah. Marga itu sudah lama runtuh, tapi ada kemungkinan Musashi menemukan catatan tentang leluhurnya di kuil itu. Seandainya tak dapat menemukannya, ia masih dapat membakar dupa untuk mengenang mereka.

Sampai Jembatan Rakan yang melintasi Kogawa Hilir, ia merasa sudah sampai dekat kuil itu, karena kata orang kuil itu terletak agak ke timur dari tempat beralihnya Kogawa Hulu menjadi Kogawa Hilir. Ia bertanya pada orang-orang sekitar tempat itu, tapi tidak berhasil. Tak seorang pun pernah mendengar tentang kuil itu.

Ia kembali ke jembatan, berdiri memandang air jernih dangkal yang mengalir di bawahnya. Belum lama Munisai meninggal, tapi rupanya kuil itu sudah dipindahkan atau hancur, tidak ada lagi sisa-sisanya atau kenangannya.

Dengan malas ia memandang pusaran putih yang sekali muncul sekali menghilang, kemudian muncul dan menghilang kembali. Melihat lumpur yang menetes-netes dari petak berumput di tepi kiri, ia menyimpulkan bahwa lumpur itu berasal dari bengkel pengasah pedang.

"Musashi!"

Musashi menoleh, dan tampaklah olehnya biarawati tua Myoshu kembali dari melakukan tugas.

"Terima kasih kamu datang kemari," serunya. Disangkanya Musashi ada di situ untuk berkunjung. "Koetsu ada di rumah hari ini. Dia pasti senang bertemu kamu." Ia mengantar Musashi melewati gerbang rumah yang tak jauh letaknya dari situ dan menyuruh seorang pesuruh menjemput anaknya.

Koetsu menyambut tamunya dengan hangat, katanya, "Saat ini aku sedang sibuk melakukan asahan penting, tapi nanti kita akan dapat mengobrol leluasa. "

Musashi merasa senang melihat kedua ibu dan anak itu bersikap akrab dan wajar, sebagaimana waktu mereka pertama kali bertemu. Sore dan malam itu ia mengobrol dengan mereka, dan ketika mereka mendesaknya

untuk bermalam, ia menerimanya. Hari berikutnya, ketika Koetsu memperlihatkan kepadanya bengkelnya dan menjelaskan teknik mengasah pedang, ia minta Musashi tinggal di sana seberapa lama ia suka.

Rumah yang gerbangnya tampak sederhana itu berdiri di sebuah sudut tenggara reruntuhan Jissoin. Di seputar tempat itu terdapat beberapa rumah milik saudara sepupu dan kemenakan Koetsu, atau orang-orang lain yang sama pekerjaannya. Semua anggota Keluarga Hon'ami hidup dan bekerja di sini, seperti gaya marga-marga di provinsi besar di masa lalu.

Keluarga Hon'ami berasal dari keluarga militer yang cukup terkemuka dan menjadi abdi para shogun Ashikaga. Dalam hierarki sosial sekarang, keluarga itu tergolong kelas tukang, tapi dilihat dari kekayaan dan prestisenya, Koetsu dianggap anggota kelas samurai. Ia bergaul rapat dengan kaum bangsawan tinggi istana dan pernah diundang oleh Tokugawa Ieyasu datang ke Benteng Fushimi.

Kedudukan seperti yang dimiliki keluarga Hon'ami itu tidak istimewa. Kebanyakan tukang-tukang dan saudagar-saudagar kaya zaman itu-di antaranya Suminokura Soan, Chaya Shirojiro, dan Haiya Shoyu-adalah keturunan samurai. Di bawah para shogun Ashikaga, nenek moyang mereka itu diserahi pekerjaan yang ada hubungannya dengan pembuatan barang atau perdagangan. Keberhasilan yang mereka capai dalam bidang-bidang itu sedikit demi sedikit mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan kelas militer, dan ketika perusahaan swasta mulai mendatangkan untung, mereka tidak lagi tergantung pada upah feodal mereka. Sekalipun tingkat sosial mereka lebih rendah daripada tingkat sosial prajurit, mereka itu kuat sekali.

Untuk bisnis, status samurai lebih bersifat menghalangi daripada membantu. Dan lagi ada keuntungan-keuntungan yang pasti kalau orang menjadi orang biasa, terutama dalam hal kestabilan. Apabila meletus pertempuran, saudagar-saudagar besar biasanya dilindungi kedua pihak yang bertempur. Benar, mereka kadang-kadang dipaksa menyediakan perbekalan militer dengan pembayaran kecil atau tanpa pembayaran, tapi mereka menganggap beban ini sebagai sekadar pembayaran untuk mengganti harta benda yang hancur selama perang.

Selama berlangsungnya perang Onin tahun 1460-an dan 1470-an, seluruh daerah sekitar reruntuhan Jissoin diratakan dengan tanah, bahkan sekarang orang-orang yang menanam pohon di sana sering masih menemukan bagian-bagian pedang atau topi baja yang berkarat. Gedung kediaman Hon'ami adalah satu dari yang pertama dibangun di sekitar tempat icu sesudah perang.

Cabang Sungai Arisugawa mengalir melintasi tempat itu, mula-mula berkelok-kelok melintasi sekitar satu ekar kebun sayuran, kemudian menghilang ke tengah semak, dan akhirnya muncul lagi dekat sumur tak jauh dari depan bangunan utama. Ada satu cabangnya yang mengalir menuju sebuah warung teh sederhana dan kasar, di mana air jernihnya dipergunakan untuk upacara teh. Sungai itu merupakan sumber air bagi bengkel tempat pedang yang ditempa ahli seperti Masamune, Muramasa, dan Osafune, digosok dengan cermat. Karena bengkel itu suci bagi keluarga itu, maka ada tali yang digantungkan di atas jalan masuknya, seperti di kuil-kuil Shinto.

Hampir tanpa sepengetahuannya empat hari telah berlalu, dan Musashi memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum ia mendapat kesempatan menyampaikannya, Koetsu sudah berkata, "Kami barangkali tak banyak menghiburmu, tapi kalau engkau tidak bosan, tinggallah di sini semaumu. Di kamar belajarku ada buku-buku tua dan barang-barang menarik. Kalau kau suka memperhatikannya, lihatlah dengan sebebasnya. Sehari-dua hari lagi aku akan membakar mangkuk dan pinggan teh. Mungkin engkau akan suka melihatnya. Engkau akan melihat nanti bahwa keramik hampir sama menariknya dengan pedang. Mungkin engkau dapat membuat satu-dua model sendiri."

Tersentuh oleh ramahnya undangan dan kata-kata tuan rumah bahwa takkan ada orang tersinggung kalau ia memutuskan untuk pergi seketika, Musashi memutuskan tinggal di situ dan menikmati suasana santai itu. Ia jauh dari merasa bosan. Kamar belajar itu berisi buku-buku dalam bahasa Cina dan Jepang, lukisan-lukisan gulung dari zaman Kamakura, salinansalinan kaligrafi dari ahli-ahli Cina, dan berlusin-lusin karya lain lagi yang masing-masing dapat dengan senang dinikmati oleh Musashi untuk sehari atau lebih. Terutama la tertarik pada sebuah lukisan yang tergantung di ceruk kamar. Lukisan itu berjudul Buah Berangan oleh pelukis ulung Liangk'ai dari zaman Sung. Lukisan itu kecil, sekitar enam puluh senti tingginya dan lima belas senti lebarnya, sudah demikian tua, sehingga tak mungkin orang mengatakan jenis kertas apa yang dipakai melukis.

Musashi duduk memandangnya pada jam-jam tertentu. Akhirnya pada suatu hari ia menyatakan pada Koetsu, "Saya yakin tak ada pelukis amatir awam yang dapat membuat lukisan seperti yang Bapak lukis, tapi ingin tahu juga saya, apakah saya tak dapat membuat lukisan sesederhana itu?"

"Sebaliknya," jelas Koetsu. "Orang dapat belajar melukis seperti aku. Tetapi di dalam lukisan Liang-k'ai itu terdapat kedalaman dan keagungan spiritual yang tak dapat dicapai hanya dengan mempelajari seni."

"Apakah benar demikian?" tanya Musashi heran. Dan ia pun diyakinkan bahwa memang demikianlah adanya.

Lukisan itu hanya memperlihatkan seekor bajing yang memperhatikan dua buah berangan yang jatuh. Yang satu terbuka dan yang lain masih utuh, seakan-akan ia ingin mengikuti dorongan alamiahnya untuk melalap buah berangan itu, tetapi ragu-ragu karena takut pada durinya. Karena lukisan itu dibuat bebas sekali dengan tinta hitam, maka mulanya Musashi merasa lukisan itu tampak naif. Tapi sesudah berbicara dengan Koetsu, semakin diperhatikannya semakin jelas ia melihat bahwa seniman itu benar.

Pada suatu sore, Koetsu datang dan berkata, "Engkau memperhatikan lukisan Liang-k'ai lagi? Rupanya kau suka sekali dengannya. Kalau nanti kau pergi, gulung itu dan bawa pulang. Aku senang engkau memilikinya."

Tapi Musashi keberatan. "Berat rasanya saya menerimanya. Terlalu lama tinggal di rumah ini saja sudah kurang baik buat saya. Tentunya lukisan ini pusaka keluarga!"

"Tapi engkau menyukainya, kan?" Orang tua itu tersenyum ramah. "Kau boleh memilikinya, kalau kau mau. Aku betul-betul tidak membutuhkannya. Lukisan mesti dimiliki oleh orang-orang yang betul-betul mencintai dan menghargainya. Aku yakin itulah yang diinginkan oleh si seniman."

"Kalau demikian pendapat Bapak, saya bukan orangnya yang mesti memiliki lukisan seperti itu. Terus terang, sudah beberapa kali saya berpikir, senang rasanya memilikinya, tapi kalau saya memilikinya, apa yang akan saya buat dengannya? Saya hanya pemain pedang pengembara. Saya tak pernah tinggal di satu tempat."

"Saya kira memang repot sekali membawa-bawa lukisan ke mana kita pergi. Pada umur seperti sekarang ini barangkali engkau pun belum ingin memiliki rumah sendiri, tapi kupikir setiap orang mesti memiliki tempat yang dia pandang sebagai rumahnya, sekalipun tak lebih dari sebuah gubuk kecil. Tanpa rumah, orang bisa kesepian-merasa bingung. Bagaimana kalau engkau mengumpulkan balok dan kemudian membangun pondok di sudut kota yang tenang?"

"Tak pernah saya memikirkan hal itu. Saya ingin melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh, pergi ke ujung terjauh Kyushu, dan melihat bagaimana orang hidup di bawah pengaruh asing di Nagasaki. Dan saya ingin sekali melihat ibu kota baru yang sedang dibangun oleh shogun di Edo; juga melihat gunung-gunung besar dan sungai-sungai di Honshu Utara. Barangkali di dalam hati ini, saya hanya seorang pengelana."

"Engkau sama sekali bukan satu-satunya. Itu wajar sekali, tapi kau harus menghindari godaan untuk berpikir bahwa impian-impian itu hanya dapat ditujukan di tempat yang jauh letaknya. Kalau engkau berpikir seperti itu, engkau akan mengabaikan kemungkinan dalam lingkunganmu yang terdekat. Aku kuatir kebanyakan orang muda memang berpikir demikian, lalu kecewa dengan hidupnya." Koetsu tertawa. "Tapi orang tua malas macam aku ini tak ada urusan berkhotbah kepada orang muda. Bagaimanapun, aku datang kemari bukan untuk bicara tentang itu. Aku datang untuk mengajakmu pergi malam ini. Pernah engkau pergi ke daerah lokalisasi?"

"Daerah geisha?"

"Ya. Aku punya teman, namanya Haiya Shoyu. Walaupun umurnya sudah lanjut, selalu ada saja yang dilakukannya. Baru saja aku menerima suratnya yang mengundangku ikut dia di dekat Jalan Rokujo malam ini. Aku ingin tahu apa engkau mau ikut."

"Tidak, saya kira tidak."

"Kalau engkau benar-benar tak ingin, aku takkan memaksa, tapi kupikir akan menarik untukmu."

Myoshu, yang diam-diam datang mendekat dan mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian, menyela, "Kupikir kau mesti pergi, Musashi. Kesempatan melihat hal yang belum kaulihat. Haiya Shoyu bukan orang yang mesti dihadapi dengan kaku dan resmi, dan aku percaya kau akan menikmati pengalaman itu. Biar bagaimana, pergilah!"

Biarawati tua itu pergi ke lemari dan megeluarkan kimono dan obi. Pada umumnya orang-orang tua berusaha benar mencegah orang muda membuang-buang waktu luangnya di rumah geisha, tapi Myoshu begitu bersemangat, seakan ia sendiri pun siap pergi.

"Nah, coba lihat, mana kimono yang kamu suka?" tanyanya. "Obi ini cocok, tidak?" Sambil terus mengoceh, ia sibuk mengeluarkan barangbarang untuk Musashi, seakan Musashi anaknya. Ia pilih kotak obat pernis, sebilah pedang pendek dekoratif, dan sebuah dompet brokat. Kemudian ia ambil beberapa mata uang emas dari laci uang dan ia masukkan dalam dompet itu.

"Yah," kata Musashi yang kini hampir hilang enggannya, "kalau Ibu mendesak, saya akan pergi, tapi saya takkan pantas dengan barang-barang bagus itu. Saya memakai kimono tua yang saya pakai ini saja. Saya tidur dengan kimono ini, kalau sedang di udara terbuka. Saya terbiasa dengannya."

"Oh, kamu tak boleh begitu!" kata Myoshu tegas. "Kau sendiri barangkali tak apa-apa, tapi pikirkan orang-orang lain! Di kamar yang indah itu nanti kau bisa kelihatan tak lebih dari gombal kotor. Orang pergi ke sana untuk bersenang-senang dan melupakan kesulitan hidup. Mereka ingin dilingkari barang-barang bagus. Jangan mengira ke sana itu cuma bersolek supaya kau tampak seperti orang lain. Dan lagi pakaian ini tidak seindah yang dipakai orang-orang lain. Cuma bersih dan rapi. Nah, pakailah sekarang!"

Musashi menurut.

Sesudah ia berpakaian, kata Myoshu riang, "Nah, kelihatan tampan sekali kamu sekarang."

Ketika akan berangkat, Koetsu pergi ke altar Budha di rumah dan menyalakan lilin di situ. Ia dan ibunya anggota setia sekte Nichiren.

Di pintu depan, Myoshu meletakkan dua pasang sandal dengan tali baru. Ketika mereka sedang mengenakannya, Myoshu berbisik-bisik dengan salah seorang pembantu yang berdiri menanti untuk menutup gerbang depan sesudah mereka pergi.

Koetsu mengucapkan selamat tinggal pada ibunya, tapi ibunya cepat memandangnya, katanya, "Tunggu sebentar." Wajahnya tampak kusut karena kerutan kekuatiran.

"Ada apa?"

"Dia bilang tiga samurai bertampang angker baru saja datang dan bicara kasar sekali. Apa menurutmu penting?"

Koetsu memandang Musashi dengan nada bertanya.

"Tak ada alasan untuk takut," kata Musashi menenangkan. "Mereka barangkali dari Keluarga Yoshioka. Mereka bisa menyerang saya, tapi mereka tak punya soal dengan Bapak."

"Salah seorang pembantu itu mengatakan beberapa hari lalu terjadi hal serupa. Cuma seorang samurai, tapi dia datang lewat gerbang tanpa dipersilakan dan melongok lewat pagar dekat jalan ke warung teh, ke arah bagian rumah tempat kamu tinggal."

"Kalau begitu, saya yakin mereka orang-orang Yoshioka."

"Kupikir juga begitu," kata Koetsu menyetujui. Ia menoleh kepada penjaga gerbang yang gemetaran. "Apa kata mereka?"

"Para pekerja sudah pulang semua, dan saya baru saja mau menutup gerbang, tapi tiba-tiba samurai itu mengepung saya. Seorang dari mereka yang kelihatan gampang marah mengeluarkan surat dari dalam kimononya dan memerintahkan saya menyampaikan surat itu kepada tamu yang tinggal di sini."

"Dia tidak bilang Musashi?"

"Ya, kemudian dia bilang 'Miyamoto Musashi'. Dan dia bilang Musashi sudah tinggal di sini beberapa hari."

"Lalu apa katamu?"

"Bapak sudah kasih perintah tidak bicara tentang Musashi kepada orang lain, jadi saya menggeleng dan bilang tak ada orang dengan nama itu di sini. Dia marah dan menyebut saya pembohong, tapi seorang dari mereka yang agak lebih tua dan selalu senyum menenangkan dia dan mengatakan mereka akan mencari jalan menyampaikan surat itu langsung. Saya tak mengerti apa yang dia maksud, tapi kedengarannya seperti ancaman. Lalu mereka pergi ke sudut di sana itu."

"Bapak sebaiknya berjalan sedikit di depan saya," kata Musashi. "Saya tak ingin Bapak terluka atau terlibat kesulitan karena saya."

Koetsu menjawab dengan tertawa, "Tak perlu kuatir dengan aku, terutama kalau kau yakin mereka itu orang-orang Yoshioka. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mari jalan."

Sesudah berada di luar, Koetsu kembali melongokkan kepala ke pintu kecil pada gerbang dan memanggil, "Bu!"

"Ada yang terlupa?" tanya ibunya.

"Tidak, cuma terpikir olehku, kalau Ibu kuatir denganku aku dapat menyuruh orang ke Shoyu, mengatakan padanya aku tak dapat datang malam ini."

"Oh, tidak. Aku lebih takut akan terjadi apa-apa dengan Musashi. Tapi kupikir dia takkan kembali, biarpun kau mencoba menghentikannya. Pergilah. dan mudah-mudahan senang!"

Koetsu menyusul Musashi, dan ketika mereka sudah berjalan santai menyusuri tepi sungai, Koetsu berkata, "Rumah Shoyu di sana, di Jalan Ichijo dan Jalan Horikawa. Barangkali dia sudah siap-siap sekarang, jadi mari kita menjemputnya. Rumahnya di tengah perjalanan."

Hari masih terang. Berjalan sepanjang sungai itu menyenangkan, lebih-lebih karena sedang senggang sekali pada waktu semua orang lain sedang sibuk.

Kata Musashi, "Saya sudah pernah mendengar nama Haiya Shoyu, tapi saya tidak tahu apa-apa tentang dia."

"Aku heran kau belum pernah mendengar tentangnya. Dia terkenal ahli dalam membuat sajak berangkai."

"Oh! Jadi, dia penyair!"

"Ya, tapi tentu saja dia tidak hidup dari menulis sajak. Dia berasal dari keluarga saudagar Kyoto lama."

"Dari mana dia mendapat nama Haiya?"

"Itu nama usahanya."

"Apa yang dia jual?"

"Namanya itu artinya 'penjual abu', dan memang itu yang dia jual abu."

"Abu?"

"Ya, abu itu dipakai untuk mencelup kain. Oh, itu usaha besar. Dia menjualnya pada serikat-serikat pencelup besar di seluruh negeri. Pada permulaan zaman Ashikaga, perdagangan abu dikendalikan oleh agen shogun, tapi kemudian diserahkan kepada grosir swasta. Di Kyoto ada tiga rumah grosir besar, dan Shoyu satu di antaranya. Dia sendiri tentu saja tidak perlu kerja. Dia sudah berhenti kerja dan hidup tenteram. Lihat ke sana itu, kau bisa melihat rumahnya yang gerbangnya bergaya itu."

Sementara mendengarkan, Musashi mengangguk-angguk, tapi perhatiannya teralih kepada rasa di lengan kimononya. Lengan sebelah kanan melambailambai ringan oleh angin, tapi lengan kiri tak bergerak sama sekali. Ia masukkan tangannya dan ia keluarkan sebuah benda, cukup untuk melihat barang apa itu-tali kulit ungu yang baik samakannya, seperti yang biasa dipakai para prajurit untuk mengikat lengan kimono waktu berkelahi. "Myoshu," pikirnya. "Hanya dia yang mungkin memasukkannya."

Ia menoleh ke belakang dan tersenyum pada orang-orang lelaki di belakang mereka. Sepengetahuannya, sejak ia dan Koetsu keluar dari Jalan Hon'ami, mereka membuntutinya pada jarak yang cukup hati-hati.

Senyuman itu agaknya melegakan hati ketiga orang itu. Mereka berbisik-bisik sedikit, lalu mengambil langkah lebih panjang.

Tiba di rumah Haiya, Koetsu membunyikan genta di pintu gerbang, dan seorang pembantu yang membawa sapu datang mempersilakan mereka. Ketika Koetsu melewati pintu gerbang dan berada di halaman muka, barulah ia tahu bahwa Musashi tidak bersamanya. Sambil menoleh ke pintu gerbang ia berseru, "Masuk, Musashi. Tak usah ragu-ragu."

Ketiga samurai itu mengepung Musashi, menyorongkan siku, dan mencengkeram pedang. Koetsu tak dapat menangkap apa yang mereka katakan kepada Musashi dan apa jawaban lirih Musashi.

Musashi minta Koetsu untuk tidak menunggu, dan Koetsu menjawab dengan nada tenang sekali, "Baik, aku di rumah itu. Ikutlah aku nanti, begitu engkau selesai dengan urusanmu."

Salah seorang samurai itu berkata, "Kami di sini bukan untuk berbantah tentang apakah Anda sudah lari sembunyi atau tidak. Nama saya Otaguro Hyosuke. Saya seorang dari Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka. Saya membawa surat dari adik Seijuro, Denshichiro." Ia mengeluarkan surat itu dan memperlihatkannya kepada Musashi. "Silakan baca, dan berikan balasannya segera."

Musashi membukanya biasa saja, membacanya cepat, dan katanya, "Saya terima."

Hyosuke memandangnya curiga. "Anda yakin?"

Musashi mengangguk. "Yakin sekali."

Sikap Musashi yang tidak formal itu membuat mereka tak lagi berjaga-jaga.

"Kalau Anda tidak memenuhi janji, Anda takkan dapat lagi memperlihatkan muka di Kyoto."

Pandangan mata Musashi disertai senyum simpul, tapi la tidak mengatakan sesuatu.

"Anda puas dengan persyaratannya? Tak banyak lagi waktu buat Anda mempersiapkan diri."

"Saya sudah siap," jawab Musashi tenang.

"Kalau begitu, kami akan bertemu lagi dengan Anda malam ini."

Ketika Musashi melewati gerbang, Hyosuke mendekatinya lagi dan bertanya, "Anda akan di sini sampai waktu yang sudah ditentukan itu?"

"Tidak. Tuan rumah mengajak saya pergi ke daerah lokalisasi dekat Jalan Rokujo."

"Daerah lokalisasi?" tanya Hyosuke heran. "Kalau begitu, Anda di sini atau di sana. Kalau Anda terlambat, akan saya kirim orang menjemput Anda. Saya percaya Anda takkan menggunakan tipu daya."

Musashi sudah membalikkan badan dan memasuki halaman depan, satu langkah yang membawanya ke suatu dunia lain.

Batu-batu pijakan yang bentuknya tidak teratur dan bertebaran secara asal saja di halaman itu kelihatan begitu alamiah. Di kiri-kanan terdapat rumpun bambu basah, pendek seperti pakis, di sana-sini disela rebung yang lebih tinggi, tidak lebih besar dari kuas tulis. Ketika ia berjalan terus, tampaklah olehnya atap bangunan utama, kemudian pintu depan, sebuah rumah kecil terpisah dan rumah musim panas di halaman. Masing-masing ikut menciptakan suasana kuno yang patut dimuliakan dan tradisi lama. Di sekitar semua bangunan itu tumbuh pohon-pohon pinus tinggi yang mengingatkan orang pada kemakmuran dan kenyamanan.

Musashi mendengar orang bermain bola sepak. Bunyi gedebak-gedebuk itu sering terdengar dari belakang dinding rumah persemayaman para bangsawan istana. Ia heran mendengarnya dari rumah saudagar.

Sampai di rumah, ia dipersilakan masuk ruangan yang menghadap halaman. Dua pelayan masuk membawa teh dan kue-kue, seorang antaranya menyampaikan bahwa tuan rumah akan segera datang. Melihat tingkah laku para pelayan, Musashi dapat mengatakan bahwa mereka terlatih sempurna.

Koetsu berbisik, "Sesudah matahari terbenam, udara dingin, ya?" Ia berharap agar shoji ditutup, tapi ia tidak memintanya karena Musashi rupanya menikmati pemandangan kembang prem. Koetsu melayangkan juga mata ke arah pemandangan itu. "Aku melihat ada awan di atas Gunung." ucapnya. "Kukira dari utara. Apa engkau tidak kedinginan?"

"Tidak terlalu," jawab Musashi jujur, sama sekali tidak menangkap isyarat temannya.

Seorang pelayan membawa tempat lilin, dan Koetsu menggunakan kesempatan itu untuk menutup shoji. Musashi jadi sadar akan suasana ruangan itu, damai. Sambil mendengarkan suara-suara yang datang dari halaman dalam rumah, ia terpukau oleh tiadanya sama sekali sifat bermegah-megah, seakan-akan dekorasi lingkungan itu dengan sengaja dibuat sesederhana mungkin. Bahkan terbayang olehnya dirinya sedang berada di kamar sebuah pertanian besar di pedesaan.

Haiya Shoyu memasuki ruangan, katanya, "Saya minta maaf merepotkan Anda sekalian menunggu demikian lama." Suaranya yang terbuka, bersemangat, dan mengandung kemudaan itu berlawanan dengan suara Koetsu lembut diseret-seret. Orangnya kurus seperti burung bangau, umurnya sepuluh tahun lebih tua dari temannya, tapi wataknya periang. Ketika Koetsu menjelaskan tentang Musashi, ia mengatakan. "Jadi Anda ini kemenakan Matsuo Kaname? Saya kenal baik dengan dia.'

Perkenalan Shoyu dengan pamannya itu tentunya lewat keluarga pikir Musashi yang mulai merasakan eratnya hubungan antara saudagar kaya dengan orang-orang istana.

Tanpa berpanjang kata, saudagar tua yang gesit itu berkata, "Mari kita jalan sekarang. Tadinya saya bermaksud pergi sementara hari masih terang, supaya kita dapat bercengkerama. Tapi karena sekarang sudah gelap, aku pikir kita mesti panggil joli. Saya percaya, orang muda ini ikut kita."

Joli pun dipanggil, dan ketiga orang itu berangkat, Shoyu dan Koetsu di depan, dan Musashi di belakang. Itulah pertama kali Musashi naik joli.

Ketika mereka sampai Lapangan Berkuda Yanagi, para pemikul sudah mengepulkan uap putih.

"Oh, dingin!" keluh salah seorang. "Anginnya menusuk-nusuk, ya?"

"Padahal katanya ini musim semi!"

Lentera mereka terayun ke sana kemari, berkelip-kelip tertiup angin. Awan gelap di atas kota mengalamatkan datangnya cuaca yang lebih buruk lagi sebelum malam berlalu. Di seberang lapangan berkuda, lampu-lampu kota bersinar penuh semarak. Musashi mendapat kesan seolah-olah lautan kunang-kunang berkelip-kelip riang di tengah angin yang dingin jernih.

"Musashi!" panggil Koetsu dari joli tengah. "Kita ke sana itu. Rasanya aneh mendadak pergi ke sana, ya?" Ia menjelaskan bahwa sampai tiga tahun lalu, daerah lokalisasi itu terletak di Jalan Nijo, dekat istana, tapi kemudian Hakim Itakura Katsushige memindahkannya, karena suara nyanyian dan mabuk-mabukan pada malam hari mengganggu sekali. Ia mengatakan bahwa seluruh daerah itu berkembang pesat. Semua mode baru berasal dari tengah deretan lampu itu.

"Kita hampir dapat mengatakan bahwa suatu kebudayaan baru tercipta di sana." Sambil berhenti dan mendengarkan sebentar dengan saksama, ia menambahkan, "Engkau dapat mendengarnya, kan? Itu suara dawai dan nyanyian."

Musashi belum pernah mendengar jenis musik itu.

"Alat musiknya shamisen, versi yang sudah dikembangkan dari alat musik bersenar tiga dari Kepulauan Ryukyu. Banyak sekali lagu baru diciptakan daerah ini, kemudian tersebar di tengah penduduk biasa. Jadi, kau dapat mengerti, bagaimana berpengaruhnya daerah ini dan mengapa ukuran-ukuran kesopanan tertentu mesti dipertahankan, sekalipun daerah itu agak terpencil dari bagian kota yang lain."

Mereka membelok ke salah satu jalan lain. Cahaya lampu dan lentera gemilang yang tak terhitung jumlahnya dan bergantungan di pohon-pohon Liu tercermin dalam mata Musashi. Daerah itu tetap memakai nama lama sebelum dipindahkan, yaitu Yanagimachi, Kota Pohon Liu, karena pohon Liu sudah lama dihubungkan orang dengan kebiasaan minum dan membuangbuang waktu.

Koetsu dan Shoyu dikenal orang di tempat yang mereka masuki itu. Sambutan orang terasa menjilat, namun lucu. Segera menjadi jelas bahwa di sini mereka menggunakan nama-nama julukan atau "nama ejekan". Koetsu dikenal dengan nama Mizuochi-sama-Tuan Air Terjun-akibat sungai-sungai yang melintasi tanah miliknya, sedangkan Shoyu adalah Funabashi-sama-Tuan Jembatan Perahu-akibat jembatan ponton yang ada di dekat rumahnya.

Kalau Musashi menjadi pengunjung tetap tempat itu, pasti ia memperoleh nama julukan sendiri, karena di tanah antah berantah ini hanya sedikit orang menggunakan nama sebenarnya. Hayashiya Yojibei hanyalah nama samaran pemilik rumah yang mereka kunjungi itu, tetapi la lebih sering dipanggil Ogiya, nama perusahaannya. Bersama dengan Kikyoya, Ogiva adalah satu dari dua rumah yang paling terkenal di daerah itu. Hanya dua itu saja yang dikenal betul-betul bereputasi kelas satu. Perempuan cantik yang paling berkuasa di Ogiya adalah Yoshino Dayu, sedangkan rekanm-a di Kikyoya adalah Murogimi Dayu. Kemasyhuran kedua wanita itu di seluruh kota hanya dapat tersaingi oleh kemasyhuran daimyo terbesar.

Sekalipun Musashi berusaha keras untuk tidak menganga, ia terkagumkagum oleh keanggunan lingkungan yang mendekati keanggunan istana-istana paling mewah itu. Langit-langitnya yang rumit, lubang-lubang anginnya yang penuh ukiran dan sulaman, susuran tangganya yang belekuk-lekuk indah, dan kebun-kebun dalamnya yang dirawat dengan teliti-semuanya merupakan pesta bagi mata yang memandang. Karena sibuk menikmati lukisan pada daun pintu kayu, ia tak sadar teman-temannya telah jauh di depan, sampai Koetsu kembali menjemputnya.

Pintu-pintu warna perak dari kamar yang mereka masuki berpendar-pendar oleh sinar lampu. Satu sisi menghadap kebun gaya Kobori Enshu. Pasirnya yang digaruk baik-baik dan susunan batunya mengingatkan orang pada pemandangan gunung di Tiongkok, seperti dapat dilihat dalam lukisan zaman Sung.

Shoyu mengeluh kedinginan, ia duduk di bantalan dan menguncupkan bahunya. Koetsu duduk juga dan mempersilakan Musashi berbuat sama. Tak lama kemudian, gadis-gadis pelayan datang membawa sake hangat.

Melihat mangkuk yang disodorkan kepada Musashi mendingin, Shoyu jadi mendesak. "Minumlah, anak muda," katanya, "dan ambil yang panas."

Sesudah hat itu berulang dua-tiga kali, tingkah Shoyu mulai mendekati kekerasan. "Kobosatsu!" katanya kepada salah seorang gadis pelayan. "Suruh dia minum! Kamu, Musashi! Kenapa kamu? Kenapa tidak minum?"

"Saya minum, Pak," protes Musashi.

Orang tua itu sudah sedikit pusing. "Ah, kurang baik itu. Kamu punya semangat!"

"Saya memang bukan peminum."

"Maksudmu, kamu bukan pemain pedang yang kuat, kan?"

"Barangkali betul juga," kata Musashi lunak, dan menertawakan penghinaan itu.

"Kalau kamu kuatir minum itu mengganggu pelajaranmu atau menghilangkan keseimbanganmu atau melemahkan daya kemauanmu atau mencegahmu memasyhurkan nama, artinya kamu tak punya keberanian menjadi petarung."          

"Ah, bukan itu soalnya. Hanya ada satu masalah kecil."

"Apa masalah itu?"

"Minum bikin saya ngantuk."

"Nah, kamu bisa pergi tidur di sini atau di mana saja di tempat ini. Tak ada yang keberatan." Sambil menoleh kepada gadis-gadis, katanya, "Orang muda ini takut mengantuk kalau dia minum. Kalau dia ngantuk, masukkan dia ke tempat tidur!"

"Oh, dengan senang hati!" kata gadis-gadis itu bersama-sama sambil tersenyum malu-malu kucing.

"Kalau dia tidur, harus ada yang bikin dia tetap hangat. Koetsu, yang mana baiknya?"

"Ya, yang mana, ya?" kata Koetsu, tak mau terlibat.

"Sumigiku Dayu tak mungkin, dia istriku yang manis. Dan engkau sendiri tak mau kalau mesti Kobosatsu Dayu. Ada si Karakoto Dayu. Ah, tapi dia tak cocok. Terlalu keras untuk mengawani."

"Apa Yoshino Dayu tidak datang?" tanya Koetsu.

"Betul. Dia yang paling cocok! Bahkan tamu kita yang enggan ini akan senang padanya. Ingin tahu juga aku, kenapa dia tak ada di sini sekarang. Tolong panggil dia. Mau kutunjukkan dia pada samurai muda ini."

Sumigiku keberatan. "Yoshino tidak seperti kami. Dia punya banyak langganan, dan dia takkan lekas datang memenuhi panggilan."

"Oh, dia akan datang—untukku! Katakan aku di sini, dia akan datang, tak peduli sedang dengan siapa. Pergi sana panggil dia!" Shoyu menegakkan kepala, memandang ke sekitar, dan berteriak kepada gadis-gadis kecil pembantu para pelacur yang kini sedang bermain-main di kamar sebelah, "Rin'ya ada di situ?"

Rin'ya sendiri yang menyahut.

"Ke sini sebentar. Kamu biasa meladeni Yoshino Dayu, kan? Kenapa dia tak ada di sini? Katakan padanya Funabashi di sini, dia mesti datang sekarang juga. Kalau bisa bawa dia kemari, kukasih kamu hadiah."

Rin'ya tampak sedikit bingung. Matanya membelalak, tapi sebentar kemudian la memberi isyarat setuju. Anak itu sudah menunjukkan tandatanda akan menjadi cantik sekali, dan hampir pasti bahwa ia akan menjadi pengganti Yoshino yang terkenal itu dalam angkatan berikutnya. Tapi ia baru berumur sebelas tahun. Baru saja sampai di gang luar dan menutup pintu di belakangnya, ia sudah bertepuk tangan dan memanggil-manggil keras, "Uneme, Tamami, Itonosuke! Lihat sini!"

Ketiga gadis itu berlari keluar dan mulai bertepuk-tepuk tangan dan berteriak-teriak gembira menemukan salju di luar.

Orang-orang menengok ke luar untuk melihat kenapa anak-anak itu begitu ramai. Kecuali Shoyu, semua senang melihat pembantu-pembantu muda itu berkicau dengan riangnya, mencoba menerka-nerka apakah pagi berikutnya salju masih akan ada di tanah. Rin'ya sudah lupa akan apa yang dikerjakannya dan berlari ke halaman untuk bermain di salju.

Karena tak sabar, Shoyu menyuruh salah seorang pelacur mencari Yoshino Dayu. Pelacur itu kembali dan berbisik ke telinganya, "Yoshino mengatakan dia senang sekali dapat berkumpul dengan Bapak, tapi tamunya tidak mengizinkannya."

"Tidak mengizinkannya! Lucu! Perempuan lain boleh dipaksa melakukan suruhan langganannya, tapi Yoshino bisa melakukan apa saja yang dia mau. Atau barangkali dia sudah membiarkan dirinya dibeli dengan uang sekarang?"

"Oh, tidak, tapi tamu yang ditemaninya malam ini keras kepala sekali. Tiap kali Yoshino mengatakan akan pergi, tamu itu mendesak keras lagi supaya Yoshino tinggal."

"Hm. Kukira memang tak seorang pun di antara langganan itu menghendaki Yoshino pergi. Tapi dengan siapa dia sekarang?"

"Yang Dipertuan Karasumaru."

"Yang Dipertuan Karasumaru?" ulang Shoyu disertai senyum ironis. "Apa dia sendirian?"

"Tidak."

"Bersama beberapa sahabatnya yang biasa?"

"Ya."

Shoyu menepuk lututnya sendiri. "Oh, ini bisa menarik. Salju sedang baik sekarang, sake juga bagus, dan kalau ada Yoshino, segalanya akan bagus sekali. Koetsu, mari kita menulis kepada Yang Dipertuan. Coba. Nona, ambilkan aku tempat tinta dan kuas."

Dan ketika gadis itu meletakkan alat-alat tulis di depan Koetsu, katanya. "Apa yang mesti saya tulis?"

"Sajak panjang dan bagus. Prosa bisa juga, tapi sajak lebih baik. Yang Dipertuan Karasumaru salah seorang penyair kita yang terkemuka."

"Saya sangsi apakah saya bisa membuatnya. Yang kita inginkan syair untuk meyakinkan dia agar menyerahkan Yoshino kepada kita, kan?"

"Betul."

"Kalau sajaknya tidak bagus, tak akan bisa mengubah pikirannya. Tapi sajak yang baik tidak mudah ditulis seketika. Bagaimana kalau engkau menulis baris-baris pertamanya, dan aku selebihnya?"

"Hmm. Mari kita lihat, apa yang dapat kita lakukan." Shoyu mengambil kertas dan menulis:



Ke gubuk kami yang hina

Biarlah datang sebatang pohon ceri, Pohon ceri dari Yoshino.



"Kurasa bagus," kata Koetsu, lalu menulis:



Bunga-bunga gemetar karena dingin Di tengah awan di atas kemuncak.



Shoyu senang bukan main. "Bagus sekali," katanya. "Ini mestinya dapat menarik Yang Dipertuan dari para pengiringnya yang mulia—'orang-orang di atas awan' itu." Kertas itu dilipat rapi, kemudian diserahkannya kepada Sumigiku, katanya sungguh-sungguh, "Gadis-gadis lain rasanya tidak memiliki martabat seperti yang kaumiliki, karena itu kutunjuk kau menjadi utusanku kepada Yang Dipertuan Kangan. Kalau tak salah, itulah namanya yang dikenal di tempat ini." Nama julukan yang artinya "Tebing Gunung Dingin" itu dipakai untuk menunjukkan status agung Yang Dipertuan Karasumaru.

Sumigiku kembali tak lama kemudian. "Silakan, ini jawaban Yang Dipertuan Kangan," katanya, dan dengan hormat meletakkan kotak surat yang dibuat dengan indahnya di depan Shoyu dan Koetsu. Mereka memandang kotak yang secara tak langsung menunjukkan sikap resmi itu, kemudian mereka saling pandang. Apa yang dimulai sebagai lelucon kecil ternyata berkembang menjadi lebih serius.

"Nah," kata Shoyu. "Kita mesti lebih hati-hati lain kali. Mereka tentunya kaget. Pasti mereka tidak tahu bahwa kita di sini malam ini."

Dengan harapan tetap dapat mengambil manfaat dari pertukaran itu, Shoyu membuka kotak dan merentangkan balasan. Tapi alangkah kagetnya mereka kerena tak ada yang mereka lihat kecuali secarik kertas berwarna krem, tanpa tulisan apa pun.

Karena pikirnya ada yang terjatuh dari tangannya, Shoyu menoleh ke sekitar, mencari lembar kedua, kemudian menengok kembali ke dalam kotak.

"Sumigiku, apa ini artinya?"

"Saya sendiri tak mengerti, Tuan. Yang Dipertuan Kangan menyerahkan kotak itu pada saya dan menyuruh saya menyerahkannya pada Tuan."

"Apa dia mencoba menertawakan kita? Atau barangkali sajak kita terlalu tinggi untuknya, hingga dia menaikkan bendera putih tanda menyerah?"

Shoyu memang terbiasa menafsirkan segala sesuatu sesuai keinginannya sendiri, tapi kali ini ia tampak ragu-ragu. Ia serahkan kertas itu pada

Koetsu, dan tanyanya, "Apa pendapatmu?"

"Kupikir, maksudnya kita disuruh membaca."

"Membaca kertas kosong?"

"Tapi kupikir, bagaimanapun dapat ditafsirkan."

"Dapat? Lalu apa kira-kira maksudnya?"

Koetsu berpikir sejenak, "Salju... salju menutup segalanya."

"Hmm. Mungkin juga kau benar."

"Menjawab permintaan kita yang berupa pohon ceri dari Yoshino, surat ini bisa berarti:



Kala Anda memandang salju

Dan mengisi mangkuk sake Anda, Tanpa bunga pun ...



"Dengan kata lain, ia menyatakan pada kita karena malam ini salju turun, kita mesti melupakan cinta, membuka pintu, dan mengagumi salju sambil minum. Atau setidak-tidaknya begitulah kesanku."

"Sungguh menjengkelkan!" seru Shoyu tak senang. "Tak ada maksudku minum semaunya macam itu. Aku tak akan duduk berdiam diri. Biar bagaimana, kita tanamkan pohon Yoshino itu di kamar kita, dan kita kagumi kembangnya." Ia jadi naik darah, dan membasahi bibirnya dengan lidah.

Koetsu mengajaknya bergurau agar ia tenang, tapi Shoyu terus juga menyuruh gadis-gadis itu membawa Yoshino, dan lama sekali menolak mengganti pokok pembicaraan. Kegigihannya tidak membawa hasil, yang akhirnya menjadi lucu, hingga gadis-gadis itu berguling-guling di lantai sambil tertawa.

Diam-diam Musashi meninggalkan tempat duduknya. Ia memilih waktu yang tepat. Tak seorang pun melihat kepergiannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP