Sabtu, 15 Juli 2017




Buah Bibir Orang Kota

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg

ISTRI Kosuke sedang berada di dapur, membuat bubur untuk Shinzo, ketika Iori masuk.

"Buah prem itu sudah kuning," katanya.

"Kalau buah prem hampir masak, artinya jangkrik-jangkrik akan segera berbunyi," jawab istri Kosuke iseng.

"Apa Ibu tidak bikin acar buah prem?"

"Tidak. Tak banyak orang di sini, sedangkan untuk mengacar semua buah prem itu dibutuhkan beberapa kilo garam."

"Garam takkan terbuang sia-sia, tapi buah prem akan terbuang kalau Ibu tidak mengacarnya. Dan kalau ada perang atau banjir, buah prem akan berguna, kan? Karena Ibu sibuk merawat orang luka, bagaimana kalau saya yang membuat acar untuk Ibu?"

"Oh, lucu sekali kau ini, menguatirkan banjir dan segalanya itu. Pikiranmu macam orang tua."

Iori sudah mengeluarkan ember kayu kosong dari lemari dinding. Sambil membawa ember, ia pergi ke halaman dan menengadah ke pohon prem. Sayang sekali, walaupun ia cukup dewasa hingga menguatirkan masa depan, namun ia masih terlalu muda, hingga mudah saja perhatiannya menyeleweng pada seekor jangkrik yang sedang berbunyi. Ia pun mendekat, menangkapnya, dan menyekap jangkrik itu dengan tangannya, hingga jangkrik itu menjerit seperti perempuan tua ketakutan.

Iori mengintip lewat kedua ibu jarinya, dan ia memperoleh perasaan yang lain dari yang lain. Serangga mestinya tidak berdarah, tapi kenapa jangkrik terasa hangat? Barangkali jangkrik pun mengeluarkan panas tubuhnya kalau berhadapan dengan bahaya maut. Tiba-tiba ia diliputi campuran rasa takut dan kasihan. Dibukanya telapak tangannya, ia lemparkan jangkrik itu ke udara, dan ia lihat jangkrik itu terbang ke arah jalan.

Pohon prem yang sangat besar itu merupakan tempat kediaman satu khalayak yang besar juga-ulat-ulat gemuk berbulu indah, kepik-kepik tutul, kodok-kodok biru kecil yang bersembunyi di bawah-bawah daun, kupu-kupu malam kecil, dan lalat-lalat ternak yang suka menari-nari. Memandang dengan asyik ke arah sudut kecil kerajaan binatang ini, ia merasa tidak berperikemanusiaan sekiranya membikin ketakutan tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini dengan mengguncangkan sebuah dahan. Hati-hati ia menggapai, memetik satu buah prem, dan menggigitnya. Kemudian pelan-pelan ia mengguncang-kan dahan terdekat, tapi ia heran, karena buah itu tidak juga jatuh. Ia mengulurkan tangan, memetik beberapa buah prem, dan menjatuhkannya ke ember di bawah.

"Hei!" teriak Iori. Tiba-tiba ia melemparkan tiga-empat buah prem ke jalan sempit di samping rumah. Galah jemuran pakaian antara rumah dan pagar ambruk ke tanah dengan bunyi berderak, dan langkah-langkah kaki terdengar bergegas menyingkir dari jalan kecil itu, ke jalan besar.

Wajah Kosuke muncul di antara jeruji bambu jendela kamar kerjanya. "Bunyi apa itu?" tanyanya. Matanya membelalak heran.

Sambil melompat turun dari pohon, Iori berteriak, "Ada orang sembunyi dalam gelap, jongkok di jalan kecil sana. Saya lempar dengan buah prem, lalu dia lari."

Kosuke keluar dan menghapus tangannya dengan handuk. "Orang macam apa?"

"Bromocorah."

"Orang Hangawara?"

"Saya tidak tahu. Kenapa orang-orang itu mengintai di sini?"

"Mereka cari kesempatan menyerang Shinzo lagi."

Iori melihat ke kamar belakang, tempat orang yang terluka itu sedang menyelesaikan makan bubur. Lukanya sudah sembuh dan tidak perlu dibalut lagi.

"Kosuke," panggil Shinzo.

Yang dipanggil pergi ke ujung beranda dan bertanya, "Bagaimana perasaan Anda?"

Shinzo menyingkirkan nampannya dan mengubah letak duduknya agar lebih resmi. "Saya ingin minta maaf karena sudah banyak menyulitkan."

"Tidak apa-apa. Saya juga minta maaf karena terlalu sibuk, hingga tak dapat berbuat lebih banyak."

"Saya lihat, disamping menguatirkan diri sava. Anda juga diganggu penjahat-penjahat Hangawara. Makin lama saya tinggal di sini, makin banyak bahayanya; mereka akan menganggap Anda sebagai musuh juga. Saya pikir saya mesti pergi dari sini."

"Jangan pikirkan dahulu."

"Seperti Anda lihat, keadaan saya sudah jauh lebih balk. Saya sudah siap pulang."

"Hari ini?"

"Ya."

"Jangan terburu-buru begitu. Setidaknya, tunggu sampai Musashi kembali."

"Saya pikir lebih baik tidak, tapi tolong sampaikan terima kasih saya kepadanya. Dia besar juga jasanya pada saya. Saya sudah bisa jalan sekarang„

"Anda rupanya tak mengerti. Orang-orang Hangawara mengawasi rumah ini siang-malam. Mereka akan segera menerkam Anda, begitu Anda melangkah ke luar. Saya kira tak bisa saya membiarkan Anda pergi sendiri."

"Saya punya alasan untuk membunuh Kojiro. Kojiro yang memulai semua ini, bukan saya. Tapi kalau mereka mau menyerang saya, biar mereka menyerang."

Shinzo berdiri dan siap pergi. Karena merasa tak bisa lagi menahannya, Kosuke dan istrinya pergi ke depan toko untuk mengantarnya pergi.

Justru pada waktu itu Musashi muncul di pintu, dahinya yang terbakar matahari basah oleh keringat. "Mau pergi?" tanyanya. "Mau pulang?... Saya senang melihat Anda merasa cukup sehat, tapi berbahaya kalau Anda pergi sendiri. Akan saya temani."

Shinzo mencoba menolak, tapi Musashi bersikeras. Beberapa menit kemudian, mereka berangkat bersama.

"Tentunya sukar berjalan, sesudah berbaring begitu lama."

"Rasanya tanah ini lebih tinggi daripada sebenarnya."

"Hirakawa Tenjin itu jauh dari sini. Bagaimana kalau kita sewa joli buat Anda?"

"Mestinya saya menyampaikannya dari tadi. Saya tidak akan kembali ke perguruan saya."

"Oh? Lalu ke mana?"

Sambil menunduk, Shinzo menjawab, "Agak memalukan juga, tapi saya pikir saya akan pulang ke rumah ayah saya sebentar. Tempatnya di Ushigome."

Musashi menghentikan sebuah joli, dan benar-benar memaksa Shinzo masuk. Pemikul-pemikul joli mendesak Musashi untuk naik joli juga, tapi ia menolak, dan ini mengecewakan orang-orang Hangawara yang mengawasi dari sekitar sudut di depan.

"Lihat, dia suruh Shinzo masuk joli."

"Aku lihat dia memandang kemari."

"Masih terlalu pagi buat bertindak."

Sesudah joli membelok ke kanan, lewat parit luar, mereka menaikkan rok, menyingsingkan lengan kimono, dan mengikuti dari belakang dengan mata berkilat-kilat, seakan-akan mata itu bakal meloncat dan meluncur ke punggung Musashi.

Ketika Musashi dan Shinzo sampai di kitaran Ushigafuchi, sebuah batu mengenai pikulan joli dan terlontar. Pada saat itu juga, segerombolan orang mulai berteriak-teriak dan bergerak mengepung korbannya.

"Tunggu!" seru seorang di antaranya.

"Jangan bergerak, bajingan!"

Karena ketakutan, para pemikul joli menjatuhkan joli dan melarikan diri. Shinzo merangkak keluar dari joli, tangannya memegang pedang. Sesudah berhasil berdiri, ia memasang jurus dan berteriak, "Aku yang kalian suruh tunggu?"

Musashi melompat ke depannya dan berteriak, "Sebutkan urusan kalian!"

Para penjahat itu maju dengan hati-hati, selangkah demi selangkah, seakan-akan meraba jalan di air yang dangkal.

"Kau tahu apa yang kami kehendaki!" kata seorang dari mereka, sambil meludah. "Serahkan pengecut yang kau lindungi itu, dan jangan coba melakukan yang aneh-aneh. Kalau tidak, kau akan mati juga."

Terdorong oleh sesumbar itu, kemarahan mereka semakin menggelegak dan bernada haus darah, tapi tak seorang pun maju menyerang dengan pedang. Api dalam mata Musashi sudah cukup membuat mereka mengambil sikap tetap bertahan. Mereka hanya menggonggong dan memaki dari jarak yang aman.

Musashi dan Shinzo menatap dengan diam. Beberapa saat berlalu, kemudian tanpa disangka-sangka Musashi berteriak kepada mereka, "Kalau Hangawara Yajibei ada di antara kalian, suruh dia maju."

"Majikan tak ada di sini. Tapi kalau ada yang mau kaukatakan, katakan padaku, Nembutsu Tazaemon, dan aku akan sediakan waktu buat mendengarkan." Orang tua itu melangkah maju. Ia mengenakan kimono resmi putih dan berkalung manik-manik tasbih Budha.

"Apa urusanmu dengan Hojo Shinzo?"

Sambil membidangkan dada, Tazaemon menjawab, "Dia membunuh dua orang kami."

"Menurut Shinzo, dua orang kalian sudah membantu Kojiro membunuh beberapa siswa Obata."

"Itu satu hal. Yang ini lain. Kalau kami tidak melakukan perhitungan dengan Shinzo, kami akan ditertawakan orang di jalan."

"Begitulah barangkali kebiasaan di dunia kalian," kata Musashi dengan nada ber-damai. "Tapi lain halnya di dunia samurai. Di antara kaum prajurit, kita tak bisa menyalahkan orang yang berusaha dan kemudian melakukan balas dendam yang sudah semestinya. Seorang samurai boleh membalas dendam demi keadilan, atau untuk mempertahankan kehormatannya, tapi bukan untuk memuaskan dendam perorangan. Itu tidak jantan. Dan apa yang hendak kalian lakukan sekarang ini tidak jantan."

"Tidak jantan? Kau menuduh kami tidak jantan?"

"Kalau Kojiro maju dan menantang kami atas namanya sendiri, itu tidak apa-apa. Tapi kami tak mau terlibat dalam pertengkaran yang ditimbulkan oleh antek-antek Kojiro."

"Nah, kau berkhotbah seenakmu sendiri, seperti samurai lainnya. Bicaralah semaumu, tapi kami mesti melindungi nama kami."

"Kalau samurai dan orang-orang di luar hukum bertengkar tentang peraturan siapa yang berlaku, jalanan-jalanan akan penuh dengan darah. Satu-satunya tempat buat menyelesaikan urusan adalah kantor hakim. Bagaimana, Nembutsu?"

"Omong kosong! Kalau soal ini dapat diselesaikan hakim, tak bakal kami ada di sini."

"Coba dengar, berapa umurmu?"

"Apa urusannya itu denganmu?"

"Menurutku, kau sudah cukup tua, hingga mestinya tahu, tak perlu memimpin gerombolan anak muda menuju maut yang tak ada artinya."

"Ah, simpan saja itu buat dirimu sendiri. Aku belum terlalu tua buat berkelahi!" Tazaemon menarik pedang, dan penjahat-penjahat lain bergerak maju, berdesak-desakan sambil berteriak-teriak.

Musashi mengelakkan tusukan Tazaemon dan mencekal belakang kepalanya yang sudah ubanan. Dengan langkah lebar, ia bergegas ke parit yang jauhnya sekitar sepuluh langkah, dan dengan cepat mendorong orang itu ke parit tersebut. Kemudian, ketika orang banyak itu menyerbu, ia bergegas berbalik, mengangkat Shinzo pada bagian pinggangnya, dan membawanya pergi.

Ia lari melintas ladang, menuju bagian tengah sebuah bukit. Di bawah mereka, sebuah sungai mengalir masuk parit, dan paya kebiruan tampak di dasar lerengnya. Sesudah setengah jalan mendaki, Musashi berhenti dan melepaskan Shinzo. "Nah, sekarang marl kita lari," katanya. Shinzo ragu-ragu, tapi Musashi mendesaknya supaya mulai lari.

Para penjahat, yang sudah sadar kembali dari keterkejutan mereka, melakukan pengejaran.

"Tangkap dia!"

"Tak punya malu!"

"Itu namanya samurai?"

"Tak bisa dia begitu saja melempar Tazaemon ke parit, lalu lari!"

Tanpa menghiraukan celaan dan cercaan, Musashi berkata pada Shinzo, "Jangan sekali-sekali terlibat dengan mereka. Lari! Ini satu-satunya cara dalam situasi macam ini." Sambil menyeringai, tambahnya, "Berat juga menempuh medan macam ini, ya?" Mereka melewati tempat yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushigafuchi dan Bukit Kudan, tapi waktu itu tempat itu masih hutan lebat.

Begitu para pengejar tidak kelihatan lagi, wajah Shinzo sudah tampak pucat seperti mayat.

"Capek?" tanya Musashi dengan nada ingin membantu.

"Oh... oh, tidak terlalu."

"Saya kira, sebenarnya Anda tak suka membiarkan mereka menghina seperti itu tanpa dilawan."

"Yah..."

"Ha, ha! Tapi pikirkanlah hal itu baik-baik dengan tenang, dan nanti Anda akan mengerti kenapa demikian. Ada masanya kita merasa lebih baik lari. Di sana ada sungai: Berkumurlah, nanti saya antar Anda ke rumah ayah Anda."

Dalam beberapa menit, hutan sekitar Tempat Suci Akagi Myojin sudah tampak. Rumah Yang Dipertuan Hojo letaknya di bawah.

"Saya harap Anda mau masuk menjumpai ayah saya," kata Shinzo ketika mereka sampai di tembok tanah yang melingkari rumah itu.

"Lain kali saja. Istirahatlah baik-baik, dan jaga diri Anda." Dengan kata-kata itu, Musashi pun pergi.



Sesudah peristiwa itu, nama Musashi sangat sering terdengar di jalanjalan Edo, jauh lebih sering daripada yang diharapkannya. Orang menyebutnya "orang palsu", "paling pengecut di antara semua pengecut", "tak kenal malu... aib buat golongan samurai. Kalau orang gadungan macam itu yang mengalahkan Keluarga Yoshioka di Kyoto, mereka tentunya sudah sangat lemah. Dia tentunya menantang mereka, karena tahu mereka sudah tak dapat melindungi diri. Dan kemudian barangkali dia melarikan diri sebelum benar-benar menghadapi bahaya. Yang ingin dilakukan orang lancung macam itu cuma menjual nama kepada orang banyak yang tak kenal permainan pedang." Tak lama kemudian, tak mungkin lagi menemukan orang yang bicara baik tentangnya.

Penghinaan tertinggi bagi Musashi adalah papan-papan pengumuman yang dipasang di seluruh Edo, Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari. Janda Hon'iden ingin membalas dendam. Kami juga ingin melihat wajahmu, bukan punggungmu. Kalau engkau seorang samurai, keluarlah, dan berkelahilah. Persatuan Hangawara.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP