Prajurit Kiso
BELUM lagi jauh
Musashi berlari, seorang musafir sudah berseru kepadanya, "Apa tadi Anda
tidak bersama seorang perempuan muda dan anak laki-1aki?”
Musashi berhenti
seketika. "Ya," katanya terenyak.
"Apa yang
terjadi dengan mereka?"
Agaknya dialah
satu-satunya orang yang belum mendengar cerita yang dengan cepat menjadi
desas-desus umum sepanjang jalan raya itu. Seorang pemuda mendekati gadis itu
dan... menculiknya! Pemuda itu terlihat mencambuki lembu dan membawanya masuk
ke sebuah jalan samping di dekat perbatasan. Belum sempat musafir itu selesai
mengulang ceritanya. Musashi sudah berangkat.
Dengan kecepatan
setinggi-tingginya, ia masih membutuhkan waktu sejam untuk dapat sampai
perbatasan yang ditutup pada pukul enam. Bersama tutupnya pintu itu, tutup juga
warung-warung teh di kedua sisi jalan. Dengan wajah agak kalut, Musashi
mendekati seorang lelaki tua yang sedang menumpuk bangku-bangku di depan
warungnya.
"Ada apa, Pak?
Ada yang terlupa?"
"Tidak. Saya
mencari seorang perempuan muda dan anak lelaki yang beberapa waktu lalu lewat
tempat ini."
"Apa gadis yang
kelihatan seperti Fugen naik lembu itu?"
"Itu dia!"
jawab Musashi tanpa berpikir. "Ada yang bilang, seorang ronin membawanya
pergi. Barangkali Anda tahu ke mana perginya?"
"Saya tidak
melihat sendiri peristiwa itu, tapi saya dengar mereka meninggalkan jalan utama
dekat bukit kuburan-kepala. Artinya menuju Empang Nobu."
Musashi sungguh tak
mengerti, siapa yang menculik Otsu, dan kenapa? Nama Matahachi tak pernah masuk
dalam pikirannya. Menurut bayangannya, tentunya orang itu ronin gombal, seperti
beberapa yang ia jumpai di Nara. Atau barangkali seorang dari bromocorah yang
kata orang biasa berkeliaran di hutan sekitar tempat itu. Ia berharap penculik
itu sekadar orang brengsek kecil-kecilan, bukan penjahat yang memang usahanya
menculik dan menjual perempuan dan kadang-kadang dikenal kejam.
Ia berlari terus
mencari Empang Nobu. Sesudah matahari terbenam, ia hampir tak dapat melihat
jarak satu kaki ke depan, sekalipun bintang-bintang terang di atas. Jalan mulai
mendaki. Ia simpulkan sedang memasuki perbukitan bawah Gunung Koma.
Karena tak melihat
apa pun yang menyerupai empang, dan karena takut salah jalan, ia berhenti dan
menoleh ke sekitar. Di tengah lautan kegelapan yang luas itu, ia dapat melihat
sebuah rumah pertanian yang berdiri sendirian, juga deretan pohon penahan
angin, dan gunung yang membayang gelap di atasnya.
Ketika ia dekati,
kelihatan rumah itu besar dan kokoh, walaupun rumput liar tumbuh di atas atap
lalangnya, dan atap lalang itu sendiri mulai membusuk. Di luar terlihat cahaya
entah obor atau api dan di dekat dapur terlihat lembu belang. Ia yakin itulah
binatang yang tadi dinaiki Otsu.
Ia mendekat
mengendap-endap, dan berusaha terus bersembunyi dalam bayangan. Ketika sudah
cukup dekat untuk melihat ke dalam dapur, ia dengar suara keras lelaki yang
berasal dari lumbung di sebelah sana timbunan jerami dan kayu bakar.
"Simpan
pekerjaanmu itu, Bu," kata orang itu. "Ibu selalu mengeluh
penglihatan kurang baik, tapi Ibu terus bekerja dalam gelap."
Di kamar perapian
sebelah dapur ada api, dan Musashi mengira mendengar desir roda pintal. Sesaat
kemudian bunyi itu berhenti, dan ia dengar orang berjalan ke sana kemari.
Lelaki itu keluar
dari lumbung dan menutup pintu di belakangnya. "Saya akan kembali sesudah
mencuci kaki," serunya. "Ibu bisa menyiapkan makan malam."
Ia meletakkan
sandalnya di atas batu, di tepi kali yang mengalir di belakang dapur. Sementara
ia duduk memainkan kakinya di air, lembu itu mendekatkan kepala ke bahunya dan
ia membelai hidung lembu itu.
"Ibu,"
panggilnya, "coba ke sini sebentar. Hari ini aku menemukan barang bagus.
Coba tebak? ... Lembu! Lembu yang betul-betul bagus."
Diam-diam Musashi
melintasi pintu depan rumah. Sambil merunduk pada batu di bawah jendela
samping, ia melihat ke dalam ruangan yang ternyata kamar perapian. Barang
pertama yang dilihatnya adalah sebatang lembing yang tergantung pada rak yang
menghitam dekat bagian atas dinding. Sebuah senjata bagus yang dipoles dan
dirawat dengan penuh kecintaan. Keping-keping emas berkilau redup pada kulit
sarungnya. Musashi tak tahu untuk apa barang itu. Lembing itu bukan barang yang
biasa ada dalam rumah petani. Para petani dilarang memiliki senjata, sekalipun
mereka bisa memilikinya.
Orang itu muncul
sebentar dalam terang api luar. Sepintas kilas Musashi tahu ia bukan petani
biasa. Matanya terlampau terang, terlampau waspada. Ia mengenakan kimono kerja
setinggi lutut dan pembalut kaki yang terpercik lumpur. Wajahnya bulat dan
rambutnya yang lebat diikat di belakang dengan dua-tiga potong jerami. Walaupun
tubuhnya pendek, tak lebih dari 165 cm, dadanya tebal dan badannya pejal. Kalau
ia berjalan, langkahnya pasti dan mantap.
Asap mulai keluar
dari jendela. Musashi mengangkat lengan kimono untuk menutup mukanya, tapi
terlambat. Ia hirup asap itu sepenuh paruparunya, dan tak bisa lagi menghindari
batuk.
"Siapa
itu?" seru perempuan tua itu dari dapur. Ia masuk kamar perapian, dan
katanya, "Gonnosuke, apa lumbung sudah kaututup? Ada pencuri jewawut di
sini. Aku dengar batuknya."
Musashi menyelinap
meninggalkan jendela dan menyembunyikan diri di antara pohon-pohon pelindung.
"Di mana?"
teriak Gonnosuke, bergegas dari belakang rumah.
Perempuan tua itu
muncul di jendela kecil. "Kira-kira di sini. Aku dengar tadi
batuknya."
"Apa bukan
karena telingamu?"
"Pendengaranku
masih baik! Dan aku yakin melihat wajahnya di jendela. Asap api itu yang bikin
dia batuk."
Pelan-pelan dan penuh
curiga, Gonnosuke maju lima belas atau dua puluh langkah, sambil melihat
hati-hati ke kanan dan ke kiri, seakan-akan ia seorang penjaga yang mengawal
sebuah benteng. "Barangkali Ibu benar," katanya. "Aku seperti
mencium bau manusia."
Mengambil isyarat
dari pandangan Gonnosuke, Musashi menunggu kesempatan yang baik. Ada yang
tampak mencolok pada postur orang itu, hal yang menyatakan bahwa sebaiknya ia
berhati-hati. Tubuh orang itu tampak agak mencondong ke depan, mulai dari
pinggangnya. Musashi tak dapat memastikan senjata apa yang dibawanya, tapi
ketika ia menoleh, Musashi melihat orang itu memegang tongkat semeter di
belakang punggungnya. Senjata itu bukan galah biasa. Melihat kilaunya, senjata
itu telah banyak dipakai, dan rupanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
tubuh orang itu. Tak ada keraguan dalam pikiran Musashi bahwa orang itu hidup
dengan senjatanya hari demi hari, dan tahu dengan tepat bagaimana
menggunakannya.
Musashi
memperlihatkan diri, berteriak, "Hei, tak peduli siapa kau, tapi aku
datang menjemput teman-temanku!"
Gonnosuke menatapnya
tanpa mengatakan sesuatu.
"Kembalikan
padaku perempuan dan anak lelaki yang kauculik di jalan raya itu! Kalau mereka
tidak cedera, kita hentikan persoalan sampai di sini Tapi kalau cedera, kau
yang bertanggung jawab."
Salju yang mencair
memenuhi kali-kali di daerah itu menyebabkan angin menusuk dingin, yang entah
bagaimana menambah ketenangan waktu itu.
"Kembalikan
mereka padaku. Sekarang!" Suara Musashi lebih tajam daripada tusukan
angin.
Gonnosuke memegang
tongkatnya dengan cara yang dinamakan pegangan terbalik. Rambutnya tegak
seperti bulu landak. Ia pun menegakkan diri dan pekiknya, "Bedebah kau!
Siapa yang kausebut penculik itu?"
"Kau! Kau tentu
melihat anak lelaki dan perempuan itu tak ada pelindungnya, karena itu kau
culik mereka dan kau bawa kemari. Keluarkan mereka!"
Tongkat itu
menghilang dari sisi Gonnosuke dalam gerakan demikian cepat, hingga Musashi tak
dapat melihat di mana akhir tangan orang itu, dan di mana awal senjatanya.
Musashi melompat ke
samping. "Jangan lakukan perbuatan yang akan membuatmu menyesal!"
katanya memperingatkan, kemudian mundur beberapa langkah.
"Kaupikir siapa
kau ini, bajingan gila?" Sambil meludahkan jawabannya, Gonnosuke cepat
beraksi lagi, dengan tekad tidak memberikan istirahat sedikit pun pada Musashi.
Ketika Musashi beranjak sepuluh langkah, ia serentak menutup jarak itu.
Dua kali Musashi
mulai menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedangnya, tapi dua kali juga ia
berhenti di tengah jalan. Pada detik ia meraba pedangnya, sikunya pasti
terbuka. Musashi telah melihat cepatnya gerak tongkat Gonnosuke, dan ia tahu ia
takkan sempat menyelesaikan gerakan itu. Ia pun melihat, jika ia membiarkan
dirinya menganggap enteng lawannya yang pejal itu, ia akan mengalami kesulitan.
Dan kalau ia tidak tinggal tenang, mengambil napas saja pun dapat
membahayakannya.
Musashi harus
mengukur kekuatan musuhnya, yang waktu itu menunjukkan jurus indah dengan kaki
dan tubuhnya, jurus jenis Sempurna Tak-Terpatahkan. Musashi sudah mulai merasa
bahwa petani ini memiliki teknik lebih unggul daripada teknik pemain pedang
ahli mana pun yang pernah dijumpainya, dan pandangan matanya menunjukkan bahwa
ia menguasai pula Jalan yang selama itu terus dicari Musashi.
Tapi hanya sedikit
waktu yang dipunyainya untuk menaksir. Pukulan demi pukulan dijatuhkan hanya
dalam hitungan detik, sementara kata-kata kutukan mencurah dari mulut
Gonnosuke. Kadang-kadang ia menggunakan kedua tangannya, kadang-kadang hanya
satu, dalam melakukan pukulan atas kepala, pukulan samping, tusukan dan
geseran, dan semua itu dilakukan dengan kecekatan luar biasa. Sebilah pedang
jelas terbagi atas mata dan gagangnya, dan hanya punya satu ujung, tapi kedua
ujung tongkat dapat dipergunakan secara sama-sama mematikan. Gonnosuke
menggunakan tongkat itu sama cekatannya dengan seorang pembuat gula-gula
menangani gula-gula. Sekali panjang, sekali pendek, sekali tak tampak, sekali
tinggi, dan sekali rendah. Ia kelihatan ada di mana-mana sekaligus.
Dari jendela,
perempuan tua itu mendesak anaknya untuk berhati-hati.
"Gonnosuke!
Kelihatannya dia bukan samurai biasa!" Tampak perempuan itu ikut terlibat
dalam perkelahian anaknya.
"Jangan
kuatir!" Karena tahu ibunya memperhatikan, semangat juang Gonnosuke naik
setinggi-tingginya.
Saat itu juga Musashi
menghindari hantaman ke arah bahunya, dan dengan gerakan yang sama, menyerobot
ke arah Gonnosuke dan menangkap pergelangannya. Detik berikutnya petani itu
sudah telentang, kakinya menendang-nendang ke udara.
"Tunggu!"
pekik si ibu, heboh, sambil merusak kisi-kisi jendela. Rambutnya tegak, ia
seperti disambar petir melihat anaknya dijatuhkan.
Pandangan liar pada
wajah ibu itu menyebabkan Musashi tidak mengambil langkah logis berikutnya,
yaitu melecutkan pedangnya dan menghabisi Gonnosuke. "Baik, aku akan
menunggu," teriaknya mengangkangi dada Gonnosuke dan menjepitnya ke tanah.
Gonnosuke berjuang
dengan gagah berani untuk membebaskan diri. Kakinya yang tidak dikuasai Musashi
terbang ke udara, kemudian menubruk bumi ketika ia melengkungkan punggungnya.
Hanya itu yang dapat dilakukan Musashi, supaya Gonnosuke tetap di bawah.
Si ibu datang berlari
dari pintu dapur sambil menjerit mencaci maki. "Lihat dirimu itu!
Bagaimana mungkin kau jadi macam itu?" Tapi kemudian ia menambahkan,
"Jangan menyerah. Aku di sini membantumu."
Karena tadi ia minta
Musashi menunggu, Musashi mengira perempuan itu akan berlutut dan mohon padanya
agar tidak membunuh anaknya. Tapi sekali tatap, ia tahu bahwa ia salah besar.
Perempuan itu memegang lembing yang sudah terhunus di belakang badannya.
Musashi melihat kilaunya, dan ia merasa mata perempuan itu menyala menembus
punggungnya. "Mau pakai lemparan tipuan, ya? Kaupikir kami cuma petani
bodoh?"
Musashi tak dapat
membalik untuk menangkis serangan dari belakang. karena Gonnosuke terus
menggeliat dan mencoba memaksa Musashi berada pada kedudukan yang menguntungkan
ibunya.
"Jangan kuatir,
Bu!" katanya. "Akan kuusahakan. Dan jangan terlalu dekat."
"Tenang,"
kata ibunya mengingatkan. "Kau tak boleh kalah dengan orang macam dia!
Ingat nenek moyangmu! Apa yang terjadi dengan darah yang kauwarisi dari Kakumyo
Agung, yang berjuang berdampingan dengan Jenderal Kiso?"
"Aku takkan
lupa!" pekik Gonnosuke. Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia
berhasil mengangkat kepalanya dan membenamkan giginya ke paha Musashi, dan
bersamaan dengan itu melepaskan tongkatnya dan memukul Musashi dengan kedua
tangannya. Ibunya memilih saat itu untuk menujukan lembingnya ke punggung
Musashi.
"Tunggu!"
teriak Musashi.
Kini sampailah mereka
pada tahap di mana pemecahan persoalan hanya mungkin dicapai dengan kematian
salah seorang dari mereka. Sekiranya Musashi yakin benar bahwa dengan
memperoleh kemenangan ia dapat membebaskan Otsu dan Jotaro, ia akan menekan
terus. Sekaranglah saat terbaik baginya untuk menghentikan pertempuran dan
membicarakan persoalannya. Ia memutar bahu ke arah perempuan tua itu dan
memintanya menurunkan lembing.
"Apa yang mesti
kulakukan, Nak?"
Gonnosuke masih
terpaku di tanah, tapi ia mulai berpikir kembali. Barangkali ronin ini punya
alasan untuk menduga bahwa teman-temannya ada di sini. Tak ada gunanya
membahayakan jiwa, kalau hanya karena salah paham.
Mereka saling
melepaskan cengkeraman, dan dalam beberapa menit saja menjadi jelas, bahwa
semua itu cuma kesalahan.
Ketiga orang itu
mengundurkan diri ke rumah, ke depan api yang menyala-nyala. Sambil berlutut di
dekat perapian, si ibu berkata, "Berbahaya sekali! Bayangkan, tak ada
alasan sama sekali buat berkelahi!"
Ketika Gonnosuke
bersiap duduk di samping ibunya, si ibu menggelengkan kepala. "Sebelum kau
duduk," kata ibunya, "bawa samurai ini melihat-lihat rumah, supaya
dia membuktikan sendiri, teman-temannya tak ada di sini." Kemudian kepada
Musashi, "Lihatlah baik-baik, dan saksikan sendiri."
"Gagasan bagus
juga," kata Gonnosuke setuju. "Mari ikut saya. Periksa rumah ini dari
atas sampai bawah. Saya tak suka dicurigai menculik."
Musashi sudah duduk,
dan ia menolak tawaran itu.
"Tak perlu. Dari
cerita Anda, saya sudah yakin Anda tak ada hubungan dengan penculikan itu.
Maafkan saya telah menuduh Anda."
"Sebagian juga
kesalahan saya," kata Gonnosuke meminta maaf. "Mestinya saya tanyakan
dulu, apa yang Anda bicarakan itu, sebelum naik darah."
Kemudian Musashi
bertanya agak ragu-ragu tentang lembu itu. Ia juga menjelaskan bahwa ia yakin
benar lembu itulah yang disewanya di Seta.
"Saya kebetulan
sekali menemukan lembu itu," jawab Gonnosuke. "Petang tadi, saya ada
di Empang Nobu, menjaring ikan lumpur, dan dalam perjalanan pulang saya lihat
lembu itu terbenam sebelah kakinya di lumpur. Tempat itu memang berawa-rawa.
Makin dia meronta, makin dalam dia terbenam. Dia heboh bukan main, jadi saya
tarik dia keluar. Ketika saya tanya-tanyakan ke sekitar, ternyata lembu itu bukan
milik siapa-siapa, jadi saya pikir tentunya seorang pencuri sudah mencurinya
dan kemudian menelantarkannya.
"Nilai lembu itu
sekitar setengah manusia di pertanian, dan lembu ini lembu baik, susunya masih
muda." Gonnosuke tertawa. "Padahal saya sudah mengambil kesimpulan,
tentunya langit mengirim lembu itu untuk saya, karena saya miskin dan tak dapat
melakukan apa pun buat ibu saya tanpa sedikit bantuan tangan gaib. Saya tidak
keberatan mengembalikan binatang itu kepada pemiliknya, tapi saya tak tahu siapa
pemiliknya."
Musashi melihat bahwa
Gonnosuke menyampaikan ceritanya dengan ketulusan yang sederhana, seperti biasa
ditunjukkan orang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa.
Ibunya menunjukkan
sikap simpatik. "Aku yakin ronin ini prihatin dengan nasib
teman-temannya." katanya. "Makan malamlah dulu, kemudian bawa dia
mencarinya. Kuharap mereka masih di daerah empang itu. Bukit-bukit itu bukan
tempat yang tepat buat orang dari daerah lain. Penuh dengan bandit, pencuri
segala macam barang, kuda, sayuran, apa saja! Soal ini kelihatannya kerja
mereka juga!"
Angin berembus bagai
bisikan, kemudian mengencang menjadi siulan keras, dan akhirnya meraung di
antara pepohonan, mendatangkan kebinasaan pada tumbuh-tumbuhan kecil.
Ketika angin meneduh
dan bintang-bintang di langit diam mengancam, Gonnosuke mengangkat obornya
tinggi-tinggi, menanti Musashi menyusulnya.
"Sayang,"
katanya, "tapi rupanya tak ada yang tahu tentang mereka. Tinggal satu
rumah lagi dari tempat ini sampai empang. Tempatnya di belakang hutan di sana
itu. Penghuninya pada pokoknya bertani, dan selebihnya berburu. Kalau dia tak
dapat menolong kita, tak ada lagi tempat yang dapat kita lihat."
"Terima kasih
atas kesediaan ikut bersusah-payah. Kita sudah menengok lebih dari sepuluh
rumah, jadi saya kira tak banyak harapan bahwa mereka ada di sekitar daerah
ini. Kalau di rumah berikut ini tidak kita temukan apa-apa, kita akhiri saja,
dan kita pulang."
Waktu itu lewat
tengah malam. Musashi berharap setidaknya dapat menemukan jejak Jotaro, tapi
ternyata tak seorang pun melihatnya. Sementara itu, gambaran yang diberikannya
pada orang banyak tentang Otsu tidak mendatangkan apa-apa, kecuali pandangan
kosong dan perhentian-perhentian lama di desa.
"Kalau jalan
yang Anda pikirkan, tidak jadi soal buat saya. Saya dapat berjalan sepanjang
malam. Apa perempuan dan anak lelaki itu pembantu Anda? Atau saudara lelaki?
Atau saudara perempuan?"
"Mereka orang
yang paling dekat dengan saya."
Sebetulnya
masing-masing pihak masih ingin bertanya lebih banyak: tentang yang lain, tapi
Gonnosuke terdiam, kemudian maju selangkah-dua langkah mendahului dan memimpin
Musashi menyusuri jalan setapak menuju Empang Nobu.
Musashi ingin sekali
tahu tentang keterampilan Gonnsuke memainkan tongkat dan cara ia memperolehnya,
tapi rasa kesopanan mencegahnya bertanya. Ia merasa pertemuannya dengan orang
itu akibat kecelakaan dan kecerobohannya sendiri, namun ia merasa sangat
bersyukur. Sungguh sayang kalau ia tidak menyaksikan teknik memikat petarung
besar ini.
Gonnosuke berhenti,
katanya, "Lebih baik Anda tunggu di sini. Orang-orang itu barangkali
tidur, dan kita tidak ingin mereka jadi takut. Saya pergi sendiri, melihat apa
ada yang dapat saya ketahui."
Ia menuding rumah
yang atap lalangnya tampak seperti hampir terkubur di tengah pepohonan.
Langkah-langkah larinya diiringi gemeresik pohon bambu. Tak lama kemudian,
Musashi mendengarnya mengetuk keras pintu rumah itu.
Beberapa menit
kemudian, ia kembali membawa cerita yang memberikan Musashi petunjuk nyata
pertama. Ia butuh waktu beberapa lama untuk memberikan pengertian pada
suami-istri di rumah itu tentang apa yang ditanyakannya, tapi akhirnya sang
istri bercerita kepadanya tentang peristiwa yang terjadi sore itu.
Sesaat sebelum
matahari tenggelam, dalam perjalanan pulang berbelanja, perempuan itu melihat
seorang anak lelaki berlari menuju Yabuhara dengan tangan dan kaki kotor oleh
lumpur. Anak itu membawa pedang kayu panjang dalam obi-nya. Ia hentikan anak
itu dan bertanya apa yang terjadi, tapi anak itu balas bertanya kepadanya, di
mana kantor wakil shogun. Selanjutnya anak itu mengatakan bahwa seorang jahat
telah melarikan teman seperjalanannya. Kepada anak itu, perempuan tersebut
menyatakan bahwa ia cuma membuang-buang waktu, karena perwira-perwira shogun
takkan melakukan pencarian atas orang yang tidak penting. Jika yang dicari itu
orang besar atau penting, atau ada perintah dari atasan, baru mereka akan
meneliti setiap gumpal tahi kuda dan setiap butir pasir yang ada. Bagi mereka,
rakyat biasa bukan apa-apa. Bagaimanapun, bukan hal luar biasa kalau seorang
perempuan diculik atau seorang musafir dihadang oleh para penyamun. Hal-hal
seperti itu terjadi pagi, siang, maupun malam.
Ia suruh anak itu
pergi lewat Yabuhara, ke tempat bernama Narai. Di sebuah persimpangan jalan
yang mudah terlihat di sana, ia akan menemukan rumah seorang pedagang ramuan
bumbu masak. Pedagang itu bernama Daizo. Ia akan mau mendengarkan ceritanya,
dan kemungkinan sekali akan memberikan bantuan kepadanya. Tidak seperti para
pejabat, Daizo tidak hanya bersimpati kepada orang lemah, melainkan juga akan
berusaha keras membantu mereka, jika menurut pendapatnya persoalan mereka itu
ada nilainya.
Gonnosuke mengakhiri
ceritanya dengan mengatakan, "Rasanya anak yang dimaksudnya itu Jotaro.
Bagaimana pendapat Anda?"
"Saya
yakin," kata Musashi. "Saya kira yang terbaik adalah pergi ke Narai
secepat-cepatnya dan menjumpai orang yang namanya Daizo itu. Berkat bantuan
Anda, setidaknya saya sudah mendapat gagasan, apa yang mesti saya perbuat."
"Bagaimana kalau
Anda menghabiskan sisa malam ini di rumah saya? Anda dapat berangkat pagi hari,
sesudah sarapan."
"Boleh?"
"Tentu. Kalau
kita menyeberang Empang Nobu, kita dapat sampai di rumah lebih cepat dari
separuh waktu yang kita butuhkan untuk kemari. Saya sudah minta pada orang
tadi, dan dia bilang kita dapat menggunakan perahunya."
Empang yang terletak
di ujung jalan pendek yang menuruni bukit itu tampak seperti kulit genderang
raksasa. Empang itu dilingkungi pohonpohon liu lembayung, dan garis tengahnya
kira-kira seribu dua ratus atau tiga ratus meter. Bayangan gelap Gunung Koma
tercermin di airnya. termasuk langit penuh bintang.
Mereka meluncur
tenang melintas tengah empang itu. Musashi memegang obor dan Gonnosuke
memainkan galah. Pantulan obor di air yang lembut jauh lebih merah daripada
obornya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar