bagian 3
Pohon
Kriptomeria Tua
SEKALIPUN
pagi itu bukan saat biasanya lonceng kuil dibunyikan, namun gema suara
lonceng yang berat teratur itu terdengar
mendayu-dayu di seluruh kampung dan menggaung sampai jauh ke pegunungan. Hari itu hari
perhitungan. Batas waktu yang diberikan pada Takuan sudah habis. Penduduk kampung bergegas menuju
bukit, untuk melihat apakah Takuan
berhasil melakukan tugas yang mustahil itu. Berita keberhasilannya
menyebar seperti api liar.
"Takezo
sudah tertangkap!"
"Betul?
Siapa yang menangkap?"
"Takuan!"
"Ah,
tak percaya aku! Tanpa senjata? Tak mungkin!"
Orang
membanjir ke Shippoji clan memandang ternganga ke arah penjahat yang relah tertangkap itu. la diikat seperti binatang ke
pagar tangga di depan bangunan suci utama.
Beberapa orang menahan napas dan terengah-engah melihat pemandangan itu,
seakan-akan mereka sedang menyaksikan
wajah jin Gunung Oe yang ditakuti. Seakan-akan untuk mengecilkan reaksi mereka yang
dibesar-besarkan itu, Takuan pun duduk sedikit ke atas tangga sambil bertelekan pada sikunya, dan
menyeringai dengan sikap bersahabat.
"Orang-orang
Miyamoto," serunya, "sekarang kalian dapat kembali ke ladang kalian
dengan damai. Tentara akan segera
pergi!"
Bagi orang
kampung yang biasa ditakut-takuti itu, Takuan pun segera menjadi pahlawan, pembebas, dan pelindung dari yang jahat.
Beberapa orang membungkuk rendah, kepala hampir
menyentuh tanah di halaman kuil. Yang lain mendesakkan diri ke depan
untuk menyentuh tangan atau jubahnya.
Yang lain lagi berlutut di kakinya. Ngeri oleh sikap mendewakan diri ini, Takuan pun menarik diri dari
kerumunan itu dan mengangkat tangan untuk
menenangkan mereka.
"Dengar,
penduduk Miyamoto. Ada yang mau kukatakan kepada kalian, sesuatu yang penting." Tepik sorak orang banyak pun mereda.
"Bukan aku yang berjasa atas penangkapan Takezo. Bukan aku yang melaksanakannya, tapi hukum
alam. Orang yang melanggar hukum alam
akhirnya akan kalah. Hukum itulah yang harus kalian hormati."
"Jangan
melucu begitu! Anda yang menangkapnya, bukan alam!"
"Jangan
merendahkan diri, Biarawan!"
"Kami
hanya memberikan penghargaan yang pada tempatnya!"
"Lupakan
hukum itu. Kami mau berterima kasih pada Anda!"
"Nah,
kalau begitu berterima kasihlah padaku," lanjut Takuan. "Aku tidak
keberatan. Tapi kalian mesti menghormati
hukum. Baiklah, yang sudah, sudahlah, dan sekarang ini ada sesuatu yang sangat penting, yang hendak
kuminta dari kalian. Aku membutuhkan bantuan
kalian."
"Bantuan
apa?" terdengar pertanyaan dari kerumunan yang ingin tahu.
"Cuma
ini: apa yang akan kita lakukan terhadap Takezo sekarang? Janjiku kepada
wakil Keluarga Ikeda, aku yakin kalian
pernah melihatnya, adalah kalau aku tidak membawa pulang pelarian itu dalam tiga hari, aku akan
menggantung diri di potion kriptomeria
besar itu. Tapi kalau aku berhasil, akulah yang menentukan
nasibnya."
Orang
banyak mulai berbisik-bisik.
"Kami
tahu!"
Takuan
kembali mengambil sikap hakim. "Nah, kalau begitu apa yang akan kita
lakukan dengan dia? Seperti kalian lihat,
binatang yang ditakuti ini sudah ada di sini dalam keadaan hidup. Dia tidak begitu mengerikan,
kan? Sebetulnya, dia sampai kemari ini tanpa
perkelahian, si orang lembek ini. Akan kita bunuh dia, atau kita
lepaskan?"
Terdengar
suara heboh tanda tak setuju dengan gagasan untuk melepaskan Takezo. Satu orang berteriak, "Mesti kita bunuh dia!
Dia tak berguna, dia jahat! Kalau kita biarkan
hidup, dia akan jadi kutukan buat kampung ini."
Selagi
Takuan berhenti bicara dan tampaknya sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinannya, suara-suara marah
dan tak sabaran terdengar dari belakang,
"Bunuh dia! Bunuh dia!"
Pada saat
itu, seorang perempuan tua mendesakkan diri ke depan dan menyingkirkan orang-orang lelaki yang badannya dua kali
lebih besar darinya dengan tusukan-tusukan
tajam sikunya. Tak salah lagi, dialah Osugi si pemarah itu. Sampai di
tangga, ia membelalak pada Takezo
sejenak, kemudian menoleh pada orang-orang kampung. Sambil mengacungkan ranting pohon arbei ke udara ia
pun berteriak, "Aku tak akan puas kalau dia hanya dibunuh! Biar dia menderita dulu! Lihat
saja mukanya yang mengerikan itu!" Sambil
kembali menoleh kepada tawanan, ia mengangkat ranting pohon itu, dan
pekiknya, "Kamu makhluk rendah,
memuakkan!" Dan ia pun menyabetkan ranting di tangannya beberapa kali kepada Takezo, sampai akhirnya la kehabisan
napas dan tangannya jatuh ke samping
tubuhnya. Takezo menyeringai kesakitan, sementara Osugi menoleh kepada Takuan
dengan pandangan mengancam.
"Apa
yang Ibu inginkan dariku?" tanya biarawan itu.
"Karena
pembunuh inilah hidup anakku hancur." Badan Osugi berguncang hrbat. dan
ia menjerit, "Padahal tanpa
Matahachi tak ada yang akan meneruskan nama keluarga kami!"
"Yah,"
balas Takuan. "Matahachi itu, kalau boleh aku mengatakannya, sebetulnya
cuma kroco belaka. Apa tak akan lebih
baik kalau kelak Ibu mengangkat menantu lelaki Ibu sebagai ahli waris dan memberikan padanya
nama Hon'iden yang terhormat itu?"
"Berani
betul kamu berkata seperti itu!" Tiba-tiba janda bangsawan yang sombong
itu meledak sedu sedannya. "Aku tak
peduli dengan pendapatmu. Memang tak ada orang yang mengerti dia. Sebetulnya dia tidak jelek,
buah hatiku itu." Kemarahannya timbul lagi, dan ia menunjuk Takezo. "Dialah yang
menyesatkan anakku, dia yang membuat anakku jadi brengsek seperti dia sendiri. Aku punya hak
untuk membalas dendam." Ia meminta kepada
khalayak, "Biarkan aku yang memutuskan. Beri aku kesempatan. Aku
tahu apa yang mesti dilakukan
terhadapnya!"
Tepat pada
saat itu satu teriakan keras dan marah menghentikan perempuan itu.
Kerumunan orang terbelah menjadi dua
seperti kain sobek, dan orang yang baru datang itu pun berjalan cepat ke depan. Orang itu si Jenggot
Jarang. Kemarahannya sedang menjulang.
"Ada
apa di sini? Ini bukan pertunjukan ekstra! Pergi semua dari sini! Kembali
kerja. Pulang. Cepat!" Terdengar
kaki-kaki diseret, tapi tak seorang pun mau pergi. "Kalian sudah dengar apa kataku! Ayo jalan! Apa yang
kalian tunggu?" Ia melangkah dengan sikap
mengancam ke arah mereka. Tangannya tertumpang di pedang. Orang-orang
yang ada di depan mundur dengan mata
melotot.
"Tidak!"
sela Takuan. "Tak ada alasan mengusir orang-orang baik ini. Aku
mengundang mereka kemari justru untuk
dengan cepat membicarakan apa yang harus dilakukan terhadap Takezo."
"Diam
kamu!" perintah Kapten. "Kau tak perlu bicara dalam soal ini."
la berdiri tegak dan membelalak kepada
Takuan, kemudian kepada Osugi, dan akhirnya kepada orang banyak. la pun berkata dengan suara menggelegar,
"Shimmen Takezo ini tidak hanya sudah melakukan kejahatan-kejahatan berat dan serius terhadap
hukum provinsi, dia juga pelarian dari
Sekigahara. Hukumannya tidak bisa ditentukan oleh rakyat. Dia harus
dikembalikan kepada pemerintah!"
Takuan
menggelengkan kepala. "Omong kosong!" Melihat si Jenggot Jarang sudah
siap menjawab, ia pun mengangkat jari
menyuruhnya diam. "Bukan itu yang sudah kausetujui!"
Merasa
martabatnya terancam, Kapten mulai mencari-cari alasan. "Takuan, kau pasti
akan menerima uang yang sudah ditawarkan
pemerintah sebagai hadiah. Tapi sebagai wakil resmi Yang Dipertuan Terumasa, adalah kewajibanku
untuk mengambil tanggung jawab atas tawanan
ini. Nasib tawanan ini tidak lagi menjadi kepentinganmu. Tidak usah kau
menyusahkan diri. Memikirkan dia pun tak
perlu."
Takuan
tidak berusaha menjawab, tapi tertawa terpingkal-pingkal. Tiap kali tawa
itu seperti akan berhenti, tapi lalu
meningkat lagi.
"Perhatikan
tingkahmu, Biarawan!" kata Kapten memperingatkan. la mulai meludah
dan menggerutu, "Apanya yang lucu?
Hah? Kaupikir semua ini lelucon?"
"Tingkahku?"
ulang Takuan, dan tawanya pun pecah lagi. "Tingkahku? Dengar. Jenggot Jarang, apa kau bermaksud melanggar
persetujuan kita dan tidak memenuhi janjimu yang suci? Kalau benar demikian, kuperingatkan,
akan kulepaskan Takezo sekarang juga di
tempat ini!"
Terengah-engah
orang kampung serentak mulai menyingkir.
"Siap?"
tanya Takuan sambil menjangkau tali yang mengikat Takezo.
Kapten
bungkam.
"Dan
kalau kulepaskan dia akan kusuruh dia pertama-tama menyerangmu. Kalian
dapat menyelesaikan perkelahian itu
berdua. Lalu tahanlah dia kalau kau bisa!"
"Tunggu
dulu... sebentar saja!"
"Aku
sudah memegang janjiku," Takuan terus berlalu, seolah akan melepaskan
belenggu tawanan itu.
"Tunggu."
Di dahi samurai itu bermunculan titik-titik keringat.
"Kenapa?"
"Ya,
karena... karena..." la hampir menggagap. "Dia sudah terikat. Tak
boleh dia dilepaskan. Cuma akan bikin
kesulitan lagi. Dengarlah! Kau bisa membunuh Takezo sendiri. Ini... ini pedangku. Cuma, berikan kepalanya
padaku untuk kubawa pulang. Adil, kan?" •
"Kepalanya
untukmu! Tak bakalan! Urusan kependetaan antara lain memimpin upacara pemakaman. Tapi membuang mayat atau
bagian-bagiannya... itu akan memberikan nama jelek pada kami para pendeta, betul tidak? Tak
seorang pun akan mempercayakan mayat keluarga
mereka, kalau kami hanya akan membuangnya, dan kuil-kuil akan bangkrut
dalam waktu singkat." Walau tangan
samurai itu sudah mencengkeram gagang pedang, Takuan tidak tahan untuk tidak mengejeknya.
Menghadap
kepada khalayak, biarawan itu mengambil sikap sungguhsungguh lagi.
"Kuminta kalian bicarakan hal ini
sekali lagi di antara kalian, dan berikan jawabannya padaku. Apa yang akan kita lakukan? Perempuan itu
bilang, tidak cukup membunuhnya seketika, kita
harus menyiksanya dulu. Bagaimana kalau dia diikatkan ke cabang pohon
kriptomeria itu beberapa hari: Kita
dapat mengikat tangan dan kakinya, dan dia akan merasakan cuaca siang dan malam. Burung-burung gagak
barangkali akan mematuk bola-bola matanya.
Bagaimana?"
Usul
biarawan itu terdengar sangat kejam oleh para pendengarnya, tak
berperikemanusiaan, hingga mula-mula tak
seorang pun dapat menjawab.
Kecuali
Osugi, yang mengatakan, "Takuan, gagasanmu itu menunjukkan kau
sungguh-sungguh bijaksana. Tapi kupikir
kita harus menggantungnya seminggu lamanya-o, tidak, lebih! Biar dia tergantung di sana sepuluh atau dua puluh
hari. Lalu aku sendiri akan datang memberikan
pukulan maut."
Tanpa
panjang kata, Takuan pun mengangguk, "Baik. Jadi!"
Ia memegang
tall yang sudah dilepasnya dari pagar, dan diseretnya Takezo seperti
seekor anjing menuju pohon. Tawanan itu
berjalan tanpa perlawanan, kepalanya tertunduk tanpa kata-kata. la tampak begitu menyesal, hingga
beberapa orang yang berhati lunak merasa
sedikit kasihan kepadanya. Namun kegembiraan karena telah menangkap
"binatang liar" itu tidak juga
usai, dan dengan penuh semangat semua orang ikut serta dalam kesenangan
itu. Beberapa potong tali
disambung-sambungkan menjadi satu. Takezo dinaikkan ke sebuah cabang, sekitar sepuluh meter tingginya dari
tanah, dan diikat erat. Dalam keadaan
terikat, ia lebih mirip boneka jerami besar daripada seorang manusia
hidup.
Sekembalinya
ke kuil dari pegunungan itu, Otsu mulai merasakan kesenduan yang aneh dan amat sangat apabila ia berada sendirian di
dalam kamar. Ia bertanya-tanya kenapa
demikian. Tinggal sendirian bukanlah hal baru baginya. Dan lagi di
sekitar kuil selalu ada beberapa orang.
la memiliki segala yang menyenangkan di rumah. Namun ia merasa lebih sepi kini daripada sewaktu tiga hari lamanya
berada di sisi bukit terpencil, hanya
berteman Takuan. Duduk bertopang dagu menghadap meja rendah di dekat
jendela, ia menimbang-nimbang
perasaannya setengah hari lamanya, sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan.
la merasa
pengalaman ini telah memberikan pemahaman ke dalam hatinya sendiri. Ia menyadari, kesepian ternyata seperti rasa
lapar. Bukan di luar, tapi di dalam diri
seseorang. Kesepian berarti merasa kekurangan sesuatu. Sesuatu yang
harus ada, namun tak tahu ia apakah itu.
Baik.
Orang-orang di sekitarnya maupun keramahan hidup di kuil tidak dapat
meredakan perasaan terpencil yang
sekarang ia rasakan. Di pegunungan yang ada hanya kesunyian, pepohonan, dan kabut, tapi waktu itu ada juga
Takuan. Kesadaran datang bagai wahyu.
Takuan tidak sama sekali berada di luar dirinya. Kata-kata Takuan masuk
langsung ke dalam hatinya, menghangatkan
dan meneranginya. Api atau lampu mana pun tak dapat menandingi. Kemudian sampailah ia kepada
kesadaran polos bahwa ia kesepian karena Takuan
tidak ada di dekatnya.
Sadar akan
penemuan ini, ia pun berdiri, tapi pikirannya masih terus digeluti oleh masalah itu. Sesudah memutuskan hukuman untuk
Takezo, hampir sepanjang waktu Takuan
rapat di kamar tamu dengan samurai Himeji. Karena harus mondar-mandir ke
kampung untuk menyampaikan ini-itu,
Takuan tak punya waktu lagi untuk duduk bercakap-cakap dengan Otsu seperti yang ia lakukan di pegunungan itu.
Otsu duduk kembali.
Oh,
sekiranya ia punya seorang teman! la tidak membutuhkan banyak. Satu saja
yang mengenalnya dengan baik. Satu orang
yang dapat disandarinya. Satu orang yang kuat dan sepenuhnya dapat dipercayai. Itulah yang ia
rindukan, itulah yang ia dambakan sekali
sampai ia hampir gila.
Memang
selalu ada suling itu. Tapi pada saat seorang gadis mencapai umur enam
belas tahun, ada soal-soal clan hal-hal
tak menentu di dalam dirinya yang tidak dapat dijawab oleh sebatang bambu. la membutuhkan keakraban
clan rasa kebersamaan, bukan sekadar hidup
yang mengamati, yang nyata.
"Semua
memuakkan!" katanya keras. Tapi menyuarakan perasaannya itu sama sekali
tidak meredakan kebenciannya kepada
Matahachi. Air matanya tumpah ke meja kecil yang dipernis itu. Darah yang bergejolak di dalam nadinya
membuat pelipisnya biru. Kepalanya
berdenyut.
Diam-diam
pintu di belakangnya bergeser terbuka. Di dapur kuil, api untuk memasak
makan malam menyala terang.
"Ah
ha! Jadi, di sinilah kamu sembunyi! Duduk di sini dan membiarkan hari
lewat sia-sia!"
Tubuh Osugi
muncul di pintu. Terkejut dari lamunannya, sesaat Otsu ragu-ragu sebelum menyambut perempuan tua itu dan meletakkan
bantal tempat duduk. Tanpa menunggu kata-kata
tuan rumah, Osugi langsung duduk.
"Menantuku
yang baik...," Osugi memulai dengan nada-nada megah.
"Ya,
Bu," jawab Otsu. Karena takutnya, ia membungkuk rendah di hadapan
perempuan tua jelek itu.
"Karena
kau sudah mengakui ada hubungan di antara kita, ada satu hal kecil yang
ingin kubicarakan denganmu. Tapi
ambilkan dulu teh untukku. Aku baru saja bicara dengan Takuan dan samurai Himeji itu, tapi pembantu pendeta
tidak menyuguhkan minuman. Tenggorokanku
kering!"
Otsu
menurut dan mengambilkan teh.
"Aku
ingin bicara tentang Matahachi," kata perempuan tua itu tanpa pendahuluan
lagi. "Tentu saja bodoh kalau aku
percaya kata-kata Takezo si tukang bohong itu, tapi rupanya Matahachi masih hidup dan tinggal di provinsi
lain."
"Betul?"
kata Otsu dingin.
"Aku
tak yakin. Tapi yang jelas, pendeta yang bertindak sebagai pelindungmu di
sini sudah menyetujui perkawinanmu
dengan anakku, dan keluarga Hon'iden sudah menerimamu sebagai istri anakku. Apa pun yang terjadi
nanti, aku percaya kamu tak punya pikiran
buat melanggar janji."
"Eh....
"Kamu
tak akan melakukan hal seperti itu, kan?"
Otsu
mengeluh pelan.
"Baiklah
kalau begitu, aku gembira!" Ia berbicara seolah-olah menangguhkan
suatu pertemuan. "Kamu tahu omongan
orang. Tak ada berita kapan Matahachi kembali. Karena itu aku ingin kamu tinggalkan kuil ini dan
menetap bersamaku. Pekerjaanku banyak sekali. Tak dapat kukerjakan sendiri. Dan karena
menantuku juga repot dengan keluarganya sendiri, tak bisa aku terlalu banyak memaksanya. Jadi,
aku perlu bantuanmu."
"Tapi
saya..."
"Siapa
lagi yang bisa masuk rumah Hon'iden, kalau bukan istri Matahachi?"
"Tak
tahu saya, tapi..."
"Apa
kamu mau bilang keberatan? Apa kamu tak ingin tinggal di rumahku?
Kebanyakan gadis-gadis akan melompat
mendapat kesempatan itu!"
"Bukan,
bukan itu. Tapi..."
"Nah,
kalau begitu jangan membuang-buang waktu lagi! Kumpulkan barang-barangmu!"
"Sekarang
juga? Apa tidak lebih baik menunggu?" "Tunggu apa?"
"Sampai...
sampai Matahachi kembali."
"Sama
sekali jangan!" Nada Osugi terdengar pasti. "Bisa-bisa kamu mulai
memikirkan lelaki lain. Tugasku menjaga
supaya kamu tidak berlaku tak senonoh. Sementara itu, aku perlu mengatur supaya kamu belajar melakukan
pekerjaan ladang, memelihara ulat sutra,
menjahit lurus keliman, dan berlaku seperti nyonya bangsawan."
"0...
begitu." Otsu tak berdaya untuk membantah. Kepalanya masih berdenyut.
Pembicaraan tentang Matahachi itu
membuat dadanya sesak. la takut bicara lagi, jangan-jangan air matanya membanjir.
"Dan
ada satu hat lagi," kata Osugi. Tanpa menghiraukan bingungnya gadis itu,
la mengangkat kepala dengan angkuhnya.
"Aku masih belum merasa pasti, apa yang hendak dilakukan biarawan yang tak bisa diduga itu
atas Takezo. Aku khawatir. Aku ingin kamu
mengawasi baik-baik kedua orang itu, sampai kita yakin bahwa Takezo
mati. Siang dan malam. Kalau kamu tidak
khusus berjaga malam hari, tak bisa diketahui apa yang mungkin dilakukan Takuan. Mereka bisa
bersekongkol!"
"Jadi,
Ibu tidak keberatan saya tinggal di sini?"
"Sementara
tidak. Kamu tak bisa tinggal di dua tempat sekaligus, kan? Kamu datang
dengan barang-barangmu ke rumah keluarga
Hon'iden nanti, waktu kepala Takezo sudah terpisah dari badannya. Mengerti?"
"Ya,
saya mengerti."
"Jangan
sampai lupa!" salak Osugi seraya mendesis keluar dari ruangan itu.
Sesudah
itu, seakan-akan sudah lama menanti kesempatan, muncullah sebuah bayangan
di jendela yang tertutup kertas itu.
Suara lelaki memanggil pelan, "Otsu! Otsu!"
Karena
berharap orang itu Takuan, Otsu tak lagi memandang bentuk bayangannya dan langsung bergegas membuka jendela. Ketika
jendela dibuka, ia tersentak mundur karena
kagetnya. Mata yang menyambutnya ternyata mata Kapten. Kapten
mengulurkan tangan, menangkap tangan
Otsu dan meremasnya keras-keras.
"Kau
sudah berbuat baik padaku," katanya, "tapi aku baru saja terima
perintah dari Himeji untuk pulang."
"0,
sayang sekali." Otsu berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman kapten
itu terlalu kuat.
"Rupanya
mereka sedang melakukan penyelidikan tentang kejadian di sini,"
jelasnya. "Kalau saja aku bisa
memperoleh kepala Takezo, aku bisa mengatakan telah melaksanakan tugas dengan penuh kehormatan. Aku akan
mendapat nama baik. Tapi Takuan yang gila dan
keras kepala itu tidak membiarkan aku memilikinya. Dia tak mau
mendengarkan apa pun yang kukatakan.
Kupikir kau ada di pihakku; itu sebabnya aku datang kemari. Ambil surat
ini, dan baca kemudian kalau tak ada
orang melihatmu."
Kapten
memasukkan surat itu ke tangan Otsu, dan pergi seketika itu juga. Otsu
dapat mendengarnya bergegas menuruni
tangga, ke jalanan.
Barang itu
ternyata lebih dari sekadar surat, karena di dalamnya terdapat sepotong
besar uang emas. Namun isi tulisannya
sendiri cukup jelas: ia minta Otsu memotong kepala Takezo dalam beberapa hari itu dan membawanya
ke Himeji. Si penulis akan memperistrinya,
dan Otsu akan hidup di tengah kekayaan dan kemuliaan selama hidupnya.
Surat itu ditandatangani oleh "Aoki
Tanzaemon", nama yang menurut pengakuan si penulis sendiri termasuk salah satu prajurit paling ternama
di daerah itu. Otsu ingin tertawa
terbahak-bahak, tapi ia terlalu murka waktu itu.
Ketika ia
selesai membaca,Takuan memanggil, "Otsu, kau belum makan?"
Otsu
mengenakan sandal dan keluar.
"Rasanya
saya tak ingin makan. Kepala saya sakit."
"Apa
yang kaupegang itu?" ,
"Surat."
"Lain
lagi?"
"Ya."
"Dari
siapa?"
"Bapak
ini mau campur tangan saja!"
"Ingin
tahu, Nak, dan ingin menyelidiki. Bukan mau campur tangan!"
"Apa
Bapak mau lihat?"
"Kalau
kau tidak keberatan."
"Cuma
buat mengisi waktu?"
"Itu
alasan yang sama baiknya dengan alasan yang lain."
"Ini.
Saya tidak keberatan sama sekali."
Otsu
menyerahkan surat itu, clan sesudah membacanya Takuan pun tertawa dengan
riangnya. Otsu tidak bisa berbuat lain
kecuali tersenyum.
"Kasihan!
Dia begitu putus asa, sampai-sampai mencoba menyuapmu dengan cinta dan
uang sekaligus. Surat ini sungguh surat
yang lucu! Sesungguhnya dunia kita ini beruntung karena diberkati dengan samurai yang demikian
terkemuka dan jujur! Dia demikian berani,
hingga seorang gadis dia minta menggantikannya memotong kepala. Dan
demikian bodohnya, hingga dia
menuliskannya."
"Surat
itu tidak merisaukan saya," kata Otsu, "tapi apa yang akan saya
lakukan dengan uang ini?" Ia
menyerahkan kepingan emas itu kepada Takuan.
"Barang
ini cukup besar nilainya," kata Takuan sambil menimbang-nimbang barang
itu dengan tangannya.
"Itulah
yang merisaukan saya."
"Jangan
khawatir. Aku pintar membuang uang."
Takuan pun
pergi ke depan kuil, di mana terdapat kotak derma. Sebelum memasukkan mata uang itu ke dalamnya, ia sentuhkan uang itu
ke dahinya, sebagai tanda hormat kepada sang
Budha. Tapi kemudian ia berubah pikiran. "Kalau dipikir sekali
lagi, lebih baik ini kausimpan. Aku
berani mengatakan, ini tak akan mengganggu."
"Saya
tak mau. Cuma akan bikin sulit. Saya bisa ditagih kemudian hari. Lebih baik
saya berpura-pura tak pernah
melihatnya."
"Emas
ini bukan lagi milik Aoki Tanzaemon, Otsu. Ini sudah menjadi persembahan bagi
sang Budha, dan sang Budha
menyerahkannya kepadamu. Simpanlah untuk keberuntunganmu."
Tanpa
protes lagi Otsu memasukkan mata uang itu ke dalam obi-nya. Kemudian,
sambil menengadah ke langit, ia berkata,
"Angin, ya? Akan hujan malam ini barangkali. Sudah berabad-abad lamanya tidak hujan."
"Musim
semi sudah hampir lewat, jadi sudah waktunya turun hujan lebat. Kita membutuhkannya untuk membersihkan semua bunga
mati, termasuk menghilangkan kebosanan
orang."
"Tapi
kalau hujan itu lebat, apa yang akan terjadi dengan Takezo?"
"Hmmm.
Takezo...." Takuan termenung.
Baru saja
kedua orang itu menoleh ke arah pohon kriptomeria, terdengar panggilan
dari cabang-cabangnya di atas. •
"Takuan!
Takuan!"
"Apa?
Kamu yang memanggilku, Takezo?"
Ketika
Takuan menjeling untuk melihat ke atas pohon, Takezo pun menghujankan kutukan-kutukannya. "Biarawan babi kamu!
Penipu kotor! Coba berdiri di bawah sini! Ada
yang mau kukatakan padamu!"
Angin
menerpa deras cabang-cabang pohon itu. Suara Takezo terdengar patah-patah
dan putus-putus. Daun-daun berguguran di
sekitar pohon dan mengenai wajah Takuan yang
menengadah.
Biarawan
itu tertawa. "Kulihat kau masih segar bugar. Bagus, cocok betul buatku.
Kuharap itu bukan sekadar daya palsu,
karena kau tahu akan segera mati."
"Diam
kamu!" teriak Takezo, yang tidak segar-bugar, melainkan sangat marah.
"Kalau aku takut mati, kenapa pula
aku mesti diam saja ketika kau mengikatku?"
"Kau
melakukan itu karena aku kuat dan kamu lemah!"
"Itu
bohong, dan kau tahu itu!"
"Kalau
begitu, akan kukatakan dengan cara lain: aku pandai dan kamu bodoh."
"Kau
mungkin benar. Aku betul-betul bodoh membiarkan kau menangkapku."
"Jangan
menggeliat terlalu banyak, hai, monyet pohon! Itu tak baik buatmu, cuma
bikin kau berdarah, kalau memang masih
ada sisa darahmu. Dan terus terang, itu sangat tak pantas."
"Dengar,
Takuan!"
"Aku
dengarkan."
"Kalau
aku mau melawanmu di gunung itu, aku bisa dengan mudah melumatkanmu
seperti ketimun dengan sebelah
kakiku."
"Itu
bukan persamaan yang sangat menyanjung. Tapi biar bagaimanapun kau tidak melakukannya, jadi lebih baik kau
meninggalkan jalan pikiran itu. Lupakan yang sudah terjadi. Sudah terlambat untuk
menyesal."
"Kau
mengecohku dengan khotbahmu yang muluk-muluk. Sungguh menjijikkan, bajingan!
Kau menyuruhku percaya padamu, tapi kau
berkhianat. Kubiarkan kau menangkapku karena kupikir kau lain dart yang lain. Aku tak mengira akan
dihina seperti ini."
"Langsung
saja pada soalnya, Takezo," kata Takuan tak sabar.
"Kenapa
kau melakukan lm?" bungkah jerami itu menjerit. "Kenapa tidak
kaupenggal saja kepalaku, habis perkara!
Kupikir, kalau aku memang harus mati lebih baik kaupilih cara menghukumku daripada membiarkan orang banyak
yang haus darah itu melakukannya. Walau kau
seorang biarawan, katamu kau mengerti juga Jalan Samurai."
"0,
memang aku mengerti, hai, orang sesat yang malang. Jauh lebih mengerti
daripada kamu!"
"Rasanya
lebih baik kalau orang-orang kampung itu yang menangkapku. Paling tidak,
mereka manusia."
"Itukah
kesalahanmu satu-satunya, Takezo? Apa segala yang pernah kau lakukan itu
bukan kesalahan? Selagi kau di atas,
kenapa tidak kaucoba memikirkan masa lalu sedikit?"
"0,
diam kamu, munafik! Aku tidak malu! Ibu Matahachi boleh menyebutku apa
saja semaunya, tapi Matahachi temanku,
temanku yang terbaik. Kewajibankulah untuk datang menyampaikan kepada perempuan setan tua itu
apa yang terjadi dengan Matahachi, tapi apa
yang dia lakukan? Dia mencoba menghasut orang banyak untuk menyiksaku!
Membawa berita untuknya tentang anak
yang disayanginya, itulah satu-satunya sebab kenapa aku menerobos rintangan dan datang kemari. Apa itu
pelanggaran atas tata krama prajurit?"
"Bukan
itu soalnya, pandir! Susahnya, berpikir pun kamu tak bisa. Kau rupanya
salah mengerti. Perbuatan berani
semata-mata seakan-akan dapat membuatmu menjadi samurai. Padahal tidak begitu! Kau merasa yakin bahwa
tindak kesetiaanmu itu benar. Semakin kau
yakin, semakin kau merugikan dirimu clan semua orang lain. Dan sekarang,
di mana kau berada? Tertangkap dalam
perangkap yang kaupasang sendiri!" Takuan berhenti sebentar. "Tapi omong-omong, bagaimana pemandangan
dari atas, Takezo?"
"Babi
kamu! Tak akan kulupakan perbuatanmu ini!"
"Kau
akan segera lupa segalanya. Sebelum kau berubah jadi daging kering, Takezo,
cobalah pandang dunia luas di sekitarmu.
Perhatikan dunia manusia, clan ubahlah cara berpikirmu yang cuma mementingkan diri sendiri.
Kemudian, kalau kau sampai di dunia sana clan
bersatu dengan nenek moyangmu, katakan pada mereka bahwa tepat sebelum
kau mati, ada orang bernama Takuan Soho
yang mengatakan hal ini padamu. Mereka akan girang sekali mengetahui bahwa kau sudah memperoleh
bimbingan yang begitu baik, walau kau mempelajari hakikat hidup ini sudah terlambat sekali,
hingga yang kaudapat untuk keluargamu hanyalah
aib."
Otsu yang
selama itu berdiri terpaku tidak jauh dari situ datang berlarilari dan menyerang Takuan dengan suara nyaring.
"Pak
Takuan, ini sudah keterlaluan! Saya dengar. Saya dengar semuanya. Bagaimana
Bapak bisa begitu kejam pada orang yang
mempertahankan diri pun tak bisa? Bapak kan orang saleh, atau mestinya begitu! Takezo benar,
waktu dia mengatakan percaya pada Bapak dan
membiarkan Bapak menangkapnya tanpa perlawanan."
"Lho,
apa pula ini? Apa teman seperjuanganku sudah berbalik melawanku?"
"Kasihan,
Pak! Kalau mendengar Bapak bicara seperti itu, sungguh saya benci pada
Bapak. Kalau Bapak bermaksud membunuh
dia, bunuh saja, habis perkara! Takezo sudah pasrah untuk mati. Biarlah dia mati dengan damai!" Begitu
berangnya Otsu, hingga disambarnya dada
Takuan dengan kalut.
"Diam
kamu!" kata Takuan dengan sikap brutal, tidak seperti biasanya.
"Perempuan tak tahu apa-apa soal
ini. Tahan mulutmu; atau akan kugantung juga kamu bersama dia di sana."
"Tidak,
saya tak mau, tak mau!" pekik Otsu. "Tapi saya mesti dikasih
kesempatan bicara juga. Saya sudah ikut
Bapak ke pegunungan dan tinggal di sana tiga hari tiga malam, bukan?"
"Tak
ada hubungannya itu. Takuan Soho yang akan menghukum Takezo dengan hukuman
yang menurut dia cocok."
"Kalau
begitu, hukumlah dia! Bunuh dia! Sekarang. Tidak betul kalau Bapak
menertawakan kesengsaraannya selagi dia
terbaring setengah mati di sana."
"Kebetulan
itulah satu-satunya kelemahanku, menertawakan orang-orang tolol macam
dia."
"Itu
tidak berperikemanusiaan."
"Pergi
dari sini, sekarang! Pergi, Otsu; tinggalkan aku sendiri."
"Saya
tak mau!"
"Jangan
kamu keras kepala lagi," seru Takuan sambil menyikut Otsu dengan keras.
Begitu
sadar, Otsu sudah tertelungkup di pohon. la menempelkan muka dan dadanya
ke batang pohon dan mulai meratap. Tak
pernah ia membayangkan bahwa Takuan bisa demikian kejam. Orang kampung percaya bahwa kalaupun
biarawan itu mengikat Takezo sementara
waktu, akhirnya ia akan melunakkan dan meringankan hukuman itu. Sekarang
Takuan mengaku bahwa kelemahannya adalah
menikmati Takezo menderita! Otsu menggigil melihat kebuasan manusia ini.
Jadi, kalau
Takuan yang ia percayai dengan sepenuh hati saja dapat menjadi orang yang tak berhati, seluruh dunia ini tentunya jahat
luar biasa. Dan kalau tak ada seorang pun
yang dapat la percayai...
la
merasakan kehangatan aneh pada pohon ini. Batangnya kuno dan besar, demikian
besar hingga sepuluh orang tidak dapat
mencakupnya dengan rentangan tangan. Dalam batang itu la merasakan darah Takezo beredar, mengalir
turun dari penjaranya yang genting di
cabang-cabang pohon di atas itu.
Sungguh ia
mirip anak seorang samurai! Sungguh ia berani! Ketika Takuan pertama kali mengikatnya, dan sekali lagi belum lama mi,
Otsu melihat kelemahan Takezo. Takezo dapat
menangis. Sampai saat ini Otsu terbawa arus pendapat orang banyak,
terbuai olehnya, tanpa memiliki gambaran
nyata tentang manusianya sendiri. Apakah yang membuat orang banyak itu membencinya seperti iblis dan
memburunya seperti binatang?
Punggung
dan bahu Otsu naik-turun karena sedu sedannya. Masih bergayut erat pada
batang pohon, la menggosokkan pipinya
yang basah oleh air mata ke kulit pohon. Angin bersiul keras lewat cabang-cabang atas yang
berayun-ayun lebar ke sana kemari. Titik-titik air besar jatuh di leher kimononya dan mengalir
menuruni punggung, membuat dingin tulang
punggungnya.
"Ayolah,
Otsu," seru Takuan sambil memayungi kepalanya dengan tangan. "Kita
basah kuyup nanti."
Otsu tidak
menjawab.
"Semua
ini salahmu, Otsu! Kau ini bayi cengeng! Kau menangis, langit menangis
juga." Kemudian nada ejekan itu
hilang dari suaranya, "Angin makin keras, clan kelihatannya akan datang badai besar, karena itu ayo
masuk. Jangan buang-buang air matamu untuk orang yang biar bagaimanapun akan mati! Ayo!"
Sambil menutupkan ujung kimononya ke kepala,
Takuan berlari ke tempat berteduh di kuil.
Dalam
beberapa saat saja hujan deras turun. Titik-titik hujan menimbulkan
titik-titik putih saat menghunjam tanah.
Sekalipun air sudah mengaliri punggungnya, Otsu tidak juga beranjak. la tak sanggup pergi, sekalipun
kimononya yang basah kuyup sudah menempel ke
kulitnya dan ia kedinginan sampai ke tulang sumsum. Ketika pikirannya
tertuju kepada Takezo, hujan jadi tak
berarti lagi. Tidak terpikir olehnya kenapa ia mesti menderita semata-mata karena Takezo menderita. Otaknya
dipenuhi gambaran yang baru terbentuk
tentang bagaimana seharusnya seorang lelaki. Diam-diam ia berdoa agar
hidup Takezo terselamatkan.
la berjalan
berputar-putar mengelilingi pangkal potion dan berkali-kali memandang ke Takezo, tapi tak dapat melihatnya karena
badai. Serta-merta ia memanggil namanya, tapi
tidak ada jawaban. Timbul kecurigaan dalam benaknya, jangan-jangan ia
dianggap salah seorang anggota keluarga
Hon'iden, atau sekadar orang kampung yang memusuhinya.
"Kalau
dia terus kehujanan," demikian pikirnya putus asa, "pasti dia mati
sebelum pagi. Oh, apa tak ada orang di
dunia ini yang dapat menyelamatkan dia?"
Ia berlari
sekencang-kencangnya, sebagian terdorong angin yang menggila. Bangunan
dapur dan petak pendeta di belakang kuil
utama tertutup rapat. Air yang melimpah dari talang menimbulkan selokan-selokan yang dalam di
tanah ketika menderas menuruni bukit.
"Pak
Takuan!" pekiknya. la sudah sampai di pintu kamar Takuan dan mulai menggedor-gedornya sekuat tenaga.
"Siapa?" terdengar suara Takuan dari dalam. "Saya-Otsu!"
"Kenapa
masih di luar saja?" Takuan cepat membuka pintu dan memandang Otsu
keheranan. Bangunan itu memiliki tepi
atap yang panjang, namun hujan menyiram Takuan juga. "Cepat masuk!" serunya sambil langsung
mencengkeram lengan Otsu, tapi Otsu menariknya kembali.
"Tidak.
Saya datang untuk minta tolong, bukan untuk mengeringkan badan. Saya
mohon, Bapak, turunkan dia dari pohon itu!"
"Apa?
Tak akan aku melakukannya!" kata Takuan bersikeras.
"Saya
motion, Pak, turunkanlah dia. Saya akan berterima kasih pada Bapak untuk selama-lamanya." la pun berlutut di
lumpur dan mengangkat kedua tangannya memohon.
"Tentang saya sendiri tak usah dipikirkan, tapi Bapak mesti
menolongnya! Ayolah, Pak! Bapak tak bisa
membiarkannya mati-tak bisa!"
Bunyi air
yang menderas hampir menenggelamkan suaranya yang bercampur tangis. Dengan tangan masih diacungkan ke depan la tampak
seperti seorang penganut Budha yang sedang
menjalani latihan ketahanan dengan berdiri di bawah air terjun dingin.
"Saya
sembah Bapak. Saya mohon. Akan saya lakukan apa saja untuk Bapak, tapi saya
minta, selamatkan dia!"
Takuan
diam. Matanya terpejam erat, seperti pintu-pintu bangunan suci tempat
penyimpanan Budha yang rahasia. la
menarik keluh panjang. la membuka mata dan menyemburkan api.
"Tidur
sana! Sekarang juga! Badanmu lemah! Dan berada di luar pada cuaca seperti
ini sama saja dengan bunuh diri."
"Tolong,
Pak, tolong," mohon Otsu mendekati pintu.
"Aku
mau tidur. Dan aku nasihati kamu tidur juga." Suaranya seperti es.
Pintu pun
mengatup keras.
Tapi Otsu
tetap tidak menyerah. la merangkak di bawah rumah sampai mencapai tempat
yang menurut perkiraannya tempat tidur
Takuan. la panggili Takuan lagi. "Saya mohon, Pak Takuan. Ini soal paling penting di dunia buat
saya! Pak, apa Bapak dengar suara saya?
Jawab, Pak! 0, sungguh Bapak binatang! Jahanam tak berhati dan berdarah
dingin!"
Untuk
sesaat lamanya biarawan itu mendengarkan saja dengan sabar tanpa menjawab,
tapi tindakan Otsu itu membuatnya tak
bisa tidur. Akhirnya dalam ledakan kemarahan ia pun melompat keluar clan tempat tidur, dan
serunya, "Tolong! Pencuri! Pencuri di bawah lantai! Tangkap!"
Otsu
merangkak ke luar menuju badai lagi dan mundur kalah. Tapi ia belum menyerah. ۩
Batu Karang
dan Pohon
PAGI
harinya, angin clan hujan telah menghalau musim semi tanpa jejak. Matahari
panas melecut bumi dengan garangnya.
Hanya sedikit orang kampung yang berjalan tanpa mengenakan caping pelindung.
Osugi
mendaki bukit menuju kuil, dan tiba di pintu Takuan dalam keadaan haus dan kehabisan napas. Titik-titik keringat muncul
di atas rambutnya dan menyatu menjadi
alur-alur keringat yang mengalir langsung menuruni hidungnya yang lurus.
la tidak memperhatikannya, karena sudah
tak sabar ingin mengetahui nasib korbannya.
"Takuan,"
panggilnya, "apa Takezo tetap hidup kena badai itu?"
Biarawan
itu muncul di beranda. "Oh, Ibu. Mengerikan sekali hujan kemarin,
ya?"
"Ya."
Osugi tersenyum licik. "Bisa bikin mati."
"Tapi
saya yakin Ibu tahu, tidak terlalu sukar satu-dua malam menahan hujan yang terderas pun. Tubuh manusia mampu menahan
banyak lecutan. Mataharilah yang bisa
membunuh."
"Maksud
Anda, dia masih hidup?" kata Osugi tak percaya, dan seketika ia
menolehkan mukanya yang keriput itu ke
pohon kriptomeria tua. Matanya yang seperti jarum menciut dalam cahaya matahari yang menyilaukan. la
mengangkat tangan untuk melindungi matanya
clan sesaat ia pun lega sedikit. "Menunduk dia seperti gombal
basah," katanya dengan harapan
baru. "Tentunya sudah tak mungkin dia hidup lagi, tak mungkin."
"Saya
belum lihat burung gagak mematuk mukanya," kata Takuan tersenyum.
"Saya pikir itu artinya dia masih
bernapas."
"Terima
kasih. Orang terpelajar seperti Anda pasti lebih tahu daripada saya
tentang hal-hal seperti itu." la
pun menjulurkan lehernya dan mengintip ke dalam ruangan. "Saya tak melihat menantu saya di mana-mana.
Tolonglah Anda panggilkan."
"Menantu
Ibu? Saya tak pernah bertemu dengannya. Paling tidak, saya tak kenal
namanya. Jadi, bagaimana mungkin saya
memanggilnya?"
"Panggil
dia, kataku!" ulang Osugi tak sabaran. "Siapa pula yang Ibu bicarakan
ini?"
"Lho,
tentu saja Otsu!"
"Otsu?
Kenapa Ibu sebut dia menantu Ibu? Dia belum masuk keluarga Hon'iden, kan?"
"Belum,
tapi aku punya rencana memasukkannya segera, sebagai istri Matahachi."
"Sukar
dibayangkan. Bagaimana mungkin dia mengawini seseorang, kalau orang itu
tidak ada?"
Osugi jadi
lebih naik darah lagi. "Dengar, gelandangan! Ini tak ada hubungannya denganmu! Katakan saja, di mana Otsu!"
"Rasanya
masih di tempat tidur."
"O ya,
mestinya tadi aku menyangka begitu," gerutu perempuan tua itu, setengah
kepada dirinya. "Aku memang
menyuruhnya mengawasi Takezo malam hari, jadi mestinya dia capek juga slang hari. Apa kamu tidak harus
mengawasinya kalau siang?" tanyanya mengandung tuduhan.
Tanpa
menanti jawaban, ia sudah balik kanan dan berjalan menuju bawah pohon. Di sana
ia menatap ke atas lama-lama,
seakan-akan kesurupan. Ketika akhirnya selesai, ia berjalan tertatih-tatih ke kampung, bertopang tongkat
kayu arbei.
Takuan
kembali ke kamar dan tinggal di situ sampai malam.
Kamar Otsu
tidak jauh dari kamarnya, di bangunan yang sama. Pintunya tertutup juga sepanjang hari, kecuali apabila dibuka oleh
pembantu pendeta. Beberapa kali pembantu
membawakan obat atau mangkuk tanah berisi bubur betas kental. Ketika
orang menemukan Otsu dalam keadaan setengah
mati di tengah hujan malam sebelumnya, orang terpaksa menyeretnya masuk dan memaksanya minum
sedikit teh. la menendang-nendang dan
menjerit-jerit. Pendeta melancarkan cacian keras kepadanya, tapi ia
duduk bisu bersandar di dinding. Pagi
harinya ia demam hebat, hampir tidak dapat mengangkat kepala untuk makan buburnya.
Malam tiba.
Bertentangan sekali dengan malam sebelumnya, bulan bersinar terang,
seperti lubang yang dibuat dengan rapi
di langit. Ketika semua orang sedang tidur nyenyak, Takuan meletakkan buku yang sedang dibacanya,
mengenakan bakiak, dan keluar ke halaman.
"Takezo!"
panggilnya.
Jauh di
atas kepalanya satu cabang bergoyang, dan titik-titik embun yang
berkelipan jatuh.
"Kasihan.
Mungkin dia tak punya tenaga lagi buat menjawab," kata Takuan
sendiri. "Takezo! Takezo!"
"Apa
maumu, biarawan bajingan?" terdengar jawaban garang.
Takuan
orang yang selalu waspada, tapi kali itu la tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. "Keras juga suaramu,
untuk ukuran orang yang sudah mau mati. Yakin kau betul-betul bukan seekor ikan atau sejenis
monster laut? Kalau begini caranya, kau butuh
lima atau enam hari lagi. Tapi omong-omong, bagaimana perutmu? Cukup
kosong, ya?"
"Lupakan
omongan tetek-bengek ini, Takuan, potong kepalaku, habis perkara."
"O,
tidak! Tidak secepat itu! Orang mesti hati-hati menghadapi hal-hal seperti
itu. Kalau kupotong kepalamu sekarang
juga, barangkali dia akan terbang ke bawah dan berusaha menggigitku." Suara Takuan melemah, dan
ia memandang ke langit. "Indah sekali bulan itu! Kau beruntung dapat melihatnya dari tempat
yang begitu menguntungkan."
"Baiklah,
pandangilah aku, biarawan anjing kampung kotor! Akan kutunjukkan apa yang
aku bisa, kalau aku mau!" Dengan
segenap kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya mulailah ia menggoyangkan badannya sehebat-hebatnya,
mengempaskan bobot tubuhnya ke atas ke
bawah, hingga hampir patah cabang yang menjadi gantungannya. Kulit kayu
dan dedaunan menghujani orang yang di
bawah. Namun Takuan tetap tenang, atau agak berpura-pura bodoh.
Biarawan
itu dengan tenang mengusap bahunya, dan ketika selesai, ia pun menengadah
lagi. "Itulah yang dinamakan
semangat, Takezo! Memang baik marah seperti kau sekarang ini. Teruskan! Rasakan kekuatanmu sepenuhpenuhnya,
tunjukkan bahwa kau manusia sejati,
tunjukkan pada kami, terbuat dari apakah kau ini! Orang zaman sekarang
menyangka bahwa mampu menahan marah
adalah tanda kebijaksanaan dan kepribadian, tapi menurut pendapatku mereka itu bodoh. Aku benci melihat orang
muda yang menahan diri, yang sopan santun.
Mereka memiliki lebih banyak semangat daripada orang-orang tua, dan
mereka harus menunjukkannya. Jangan
menahan-nahan diri, Takezo! Makin gila kamu, makin baik!"
"Tunggu,
Takuan, tunggu! Kalau aku memang mesti mengunyah tali ini dengan gigi telanjang, aku akan mengunyahnya supaya aku
dapat menangkapmu dan mempreteli anggota
tubuhmu!"
"Itu
janji atau ancaman? Kalau menurutmu kau memang dapat melakukannya, aku akan
tinggal di bawah sini, menanti. Apa kau
yakin bisa mengerjakannya tanpa membunuh dirimu sendiri, sebelum tali itu putus?"
"Diam!"
pekik Takezo parau.
"Kau
memang betul-betul kuat, Takezo! Seluruh pohon bergoyang. Tapi maaf saja,
tidak kulihat tanah bergetar. Susahnya,
kenyataannya kamu itu lemah. Kemarahanmu itu tidak lebih dari kedengkian pribadi. Kemarahan
lelaki sejati adalah ungkapan kemarahan moral.
Kemarahan karena tetek-bengek emosional yang tak ada artinya adalah
untuk perempuan, bukan lelaki."
"Sebentar
lagi," ancam Takezo. "Aku akan langsung ke lehermu!"
Takezo
berjuang terus, tapi tali besar itu tidak menunjukkan tanda-tanda melemah.
Takuan memandang terus sejenak, kemudian
memberikan nasihat persahabatan. "Kenapa kau tidak menyerah saja, Takezo, kau tidak bakal
berhasil. Kau cuma melelahkan dirimu, dan apa
gunanya untukmu? Biar kau menggeliat-geliat seperti apa pun, tak bakalan
kau bisa mematahkan satu pun cabang
pohon ini, apalagi membuat penyok alam semesta ini."
Takezo
memperdengarkan erangan keras. Kemarahannya sudah lewat. Ia sadar bahwa
biarawan itu benar.
"Kurasa
kekuatan itu lebih baik digunakan bekerja untuk kebaikan negeri. Kau mesti mencoba berbuat sesuatu untuk orang lain,
Takezo, biarpun sudah sedikit telat untuk
mulai sekarang. Kalau kau mencoba, kau akan punya kesempatan
menggerakkan dewa-dewa atau bahkan alam
semesta, belum lagi orang-orang biasa yang sederhana." Suara Takuan
kini ganti jadi sedikit bernada petuah.
"Sayang, sayang sekali! Biarpun kau dilahirkan sebagai manusia, kau lebih mirip binatang,
tidak lebih baik daripada babi hutan atau
serigala. Sungguh menyedihkan bahwa seorang pemuda tampan seperti kau
mesti menemui ajal di sini, tanpa pernah
menjadi manusia sebenarnya! Sungguh sia-sia!"
"Kausebut
dirimu sendiri manusia?" Takezo meludah.
"Dengar,
orang barbar! Kau percaya betul dengan kekuatan kasarmu sendiri, dan
mengira kau tak ada tandingannya di
dunia ini. Tapi coba lihat, di mana kau sekarang!"
"Tak
ada yang perlu kumalukan. Ini pertarungan tak adil."
"Pada
akhirnya tak ada bedanya, Takezo. Kau bukannya kena hajar, tapi kena diakali
dan dibikin bungkam. Kalau kalah, kalah
sajalah. Suka atau tidak, sekarang aku duduk di batu karang ini, sedangkan kau terbaring di atas
situ tanpa daya. Apa kau tak bisa lihat
perbedaan antara kau dan aku?"
"Ya.
Tapi kau curang. Kau penipu dan pengecut!"
"0,
sungguh gila aku, kalau aku mencoba menangkapmu dengan kekuatan. Tubuhmu
terlalu kuat. Manusia tak punya banyak
kesempatan menang bergulat dengan macan. Tapi untunglah jarang manusia mesti bergulat dengan macan,
karena dia lebih pandai. Tidak banyak orang
yang membantah kenyataan bahwa macan lebih rendah daripada
manusia."
Tak ada
petunjuk bahwa Takezo masih mendengarkan.
"Itu
sama saja dengan yang kaunamakan keberanianmu itu. Tingkah lakumu sampai
sekarang ini tidak lebih dari keberanian
binatang, jenis keberanian yang tak menghargai
nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Itu bukan jenis keberanian yang
menciptakan seorang samurai. Keberanian
sejati mengenal rasa takut. Dia tahu bagaimana takut pada apa yang harus ditakuti. Orang-orang yang tulus
menghargai hidup dengan penuh kecintaan.
Mereka mendekapnya sebagai permata yang berharga. Dan mereka memilih
waktu dan tempat yang tepat untuk
menyerahkannya. Mati dengan penuh kemuliaan."
Tetap tak
ada jawaban.
"Itulah
yang kumaksud, kalau kukatakan kau ini payah. Kau dilahirkan dengan
kekuatan fisik dan keuletan, tapi kau
kurang pengetahuan dan kebijaksanaan. Kau berhasil menguasai beberapa ciri kurang baik dari
Jalan Samurai, tapi kau tidak berusaha mencapai
pengetahuan atau kebajikan. Orang bicara tentang bagaimana mencampurkan
Jalan Pengetahuan dengan Jalan Samurai,
padahal kalau dicampurkan dengan balk keduanya itu bukan dua-keduanya itu satu. Hanya ada satu
jalan, Takezo."
Pohon itu
diam, sediam batu karang yang diduduki Takuan. Kegelapan itu pun diam. Beberapa waktu kemudian, Takuan bangkit
pelan-pelan dan berhati-hati. "Pikirkan satu malam lagi, Takezo. Sesudah itu, akan
kupotong kepalamu seperti kauminta." la
meninggalkan tempat itu dengan langkahlangkah panjang penuh pikiran,
kepala menunduk. Belum lagi dua puluh
langkah, suara Takezo mendering keras clan terasa mendesak.
"Tunggu!"
Takuan
menoleh, dan serunya, "Apa maumu sekarang?"
"Kembalilah."
"Mm.
Apa kau mau mendengar lebih banyak lagi? Apa kau akhirnya mulai berpikir?"
"Takuan!
Selamatkan aku!" Teriakan minta tolong Takezo itu keras dan sedih. Cabang
pohon itu mulai bergetar, seakan-akan
seluruh pohon itu menangis.
"Aku
mau jadi orang yang lebih baik. Aku sadar sekarang, betapa penting dan
istimewanya lahir sebagai manusia. Aku
hampir mati, tapi aku mengerti apa artinya hidup. Dan pada saat aku sadar, hidupku hanya tinggal terikat
pada pohon ini! Tak dapat aku menghapuskan
apa-apa yang telah kulakukan."
"Akhirnya
kau sadar. Untuk pertama kali dalam hidupmu kau bicara sebagai manusia."
"Aku
tak mau mati, Takuan!" teriak Takezo, "Aku mau hidup. Aku mau pergi,
mencoba lagi, dan melakukan semuanya
baik-baik." Tubuhnya mengejang-ngejang karena sedu sedan. "Takuan... aku mohon! Tolonglah aku...
tolong!"
Biarawan
itu menggelengkan kepala. "Maaf, Takezo. Itu di luar kekuasaanku. Itu
hukum alam. Kau tak bisa mengulangnya.
Itulah hidup. Segala yang terjadi adalah untuk
selamanya. Segalanya! Kau tak bisa mengembalikan kepalamu di tempatnya
sesudah musuh memenggalnya. Begitulah
adanya. Tentu saja aku kasihan padamu, tapi aku tak dapat melepaskan tali itu, karena bukan aku yang
mengikatkannya. Kau sendirilah yang
mengikatkannya. Yang dapat kulakukan hanyalah memberikan nasihat padamu.
Hadapilah maut dengan berani dan tenang.
Ucapkan doa dan berharaplah ada orang yang mau mendengarkan. Dan demi nenek moyangmu, Takezo, matilah
dengan layak, dengan wajah damai!"
Gemeratak
sandal Takuan menghilang di kejauhan. Takuan telah pergi, dan Takezo tidak berteriak lagi. Mengikuti nasihat biarawan
itu, ia menutup mata yang baru saja mengalami
kesadaran luar biasa dan melupakan segalanya. la lupakan kehidupan dan
kematian, dan di bawah sejuta bintang
kecil ia terbaring diam. Angin malam berdesir melintas pohon. la merasa dingin, dingin sekali.
Sejenak
kemudian ia merasa ada orang di pangkal pohon. Orang itu, entah siapa,
mendekap batang pohon yang lebar itu dan
berusaha setengah mati naik ke dahan terendah. Terasa ia tidak begitu cakap. Takezo dapat mendengarkan
bagaimana si pemanjat itu tergelincir
hampir di tiap usahanya untuk naik. la pun dapat mendengar
potongan-potongan kulit pohon berguguran
ke tanah, dan ia yakin bahwa tangan-tangan itu jauh lebih terkelupas
daripada pohonnya. Tetapi si pemanjat
meneruskan usahanya dengan tabah, mencoba berkali-kali lagi menempel pada pohon, sampai akhirnya dahan
yang pertama dapat dicapai. Kemudian sosok
itu naik dengan agak mudah ke tempat Takezo terbaring dalam keadaan
kehabisan tenaga. Tubuh Takezo hampir
tak bisa dibedakan dari dahan tempatnya terikat. Suara terengah-engah membisikkan namanya.
Dengan
susah payah Takezo membuka mata dan ternyata ia berhadapan dengan kerangka.
Hanya matanya yang hidup dan tampak
bersemangat. Wajah itu bicara. "Ini aku!" katanya dengan keluguan kanak-kanak.
"Otsu?"
"Ya,
aku. Takezo, ayo kita lari! Aku dengar kau memekik ingin sekali hidup."
"Lari?
Kau akan melepas ikatanku dan membebaskan aku?"
"Ya.
Aku juga tak tahan lagi diam di kampung ini. Kalau aku tinggal di sini... oh,
aku tak ingin lagi memikirkan itu. Aku
punya alasan sendiri. Aku cuma mau keluar dari tempat yang bodoh dan kejam ini. Aku akan
menolongmu. Takezo! Kita dapat saling menolong!" Otsu sudah mengenakan pakaian perjalanan, dan
semua miliknya sudah bergantung pada bahunya,
dalam sebuah kantong kain kecil.
"Cepat
putuskan tali! Apa lagi yang kautunggu? Potong!"
"Takkan
makan waktu lama."
Otsu
menghunus belati kecilnya, dan dalam sekejap mata ia sudah meretas ikatan
tahanan itu. Beberapa menit berlalu
sebelum rasa berdenyut pada kaki-tangan Takezo mereda dan ia dapat melenturkan otot-ototnya. Otsu mencoba
mendukung seluruh bobot Takezo, tapi
akibatnya, ketika Takezo tergelincir, Otsu pun terperosok bersama. Kedua
tubuh itu saling bergayutan, lalu lepas
terpelanting, berputar di udara clan jatuh ke tanah.
Takezo
berdiri. Kepalanya pusing karena jatuh dari ketinggian sepuluh meter, dan badannya lemah dan kaku, namun ia menjejakkan
kaki di tanah mantap-mantap. Otsu
merangkak, menggeliat kesakitan.
"O-o-h-h,"
erangnya.
Takezo
merangkulnya clan membantunya berdiri. "Ada yang patah?"
"Entah,
tapi rasanya aku masih bisa jalan."
"Kita
jatuh menimpa cabang-cabang itu, jadi barangkali lukamu tidak seberapa."
"Kau
sendiri bagaimana? Tidak apa-apa?"
"Ya...
Aku... Aku... tidak apa-apa, aku..." la berhenti sedetik-dua, kemudian
ucapnya, "Aku hidup! Aku
betul-betul hidup!"
"Tentu
saja kau hidup!"
"Itu
bukan 'tentu saja'."
"Mari
kita lekas pergi dari sini. Kalau ada yang menemukan kita di sini, celaka
nanti."
Otsu
berjalan terpincang-pincang, dan Takezo mengikutinya... pelan-pelan,
diam-diam, seperti dua ekor serangga
rapuh terluka sedang berjalan di udara dingin musim gugur.
Mereka
berjalan sedapat-dapatnya, terpincang-pincang dalam diam. Kediaman yang
lama kemudian baru terpecahkan, ketika
Otsu berteriak, "Lihat! Sudah mulai terang di arah Harima."
"Di
mana kita ini?"
"Di
puncak Celah Nakayama."
"Apa
betul sudah begitu jauh?"
"Ya."
Otsu tersenyum lemah. "Mengagumkan memang apa yang dapat dilakukan orang,
kalau sudah bertekad. Tapi,
Takezo..." Otsu kelihatan khawatir. "Kau tentunya kelaparan. Kau tidak makan apa-apa berhari-hari."
Mendengar
kata makanan, Takezo tiba-tiba menyadari bahwa perutnya yang kisut kejang kesakitan. Begitu ia sadar, keadaan jadi
menyiksa. Terasa berjam-jam lamanya, sebelum
akhirnya Otsu dapat membuka kantongnya dan mengeluarkaan makanan. Hadiah
kehidupan Otsu adalah kue bakpao yang
dipadati kacang manis. Ketika rasa manis kue itu menurun lembut dalam kerongkongannya, kepala Takezo pun
menjadi pusing. Jari-jari yang memegang kue itu
bergetar. "Aku hidup," pikirnya berulang-ulang. la bersumpah
sejak saat itu akan hidup secara berbeda
sama sekali.
Awan yang
kemerah-merahan pagi itu membuat pipi mereka berwarna merah muda. Ketika Takezo bisa memandang wajah Otsu dengan lebih
jelas, dan rasa laparnya berganti menjadi
tenang karena kenyang, terasa olehnya seperti mimpi bahwa ia kini duduk
di sini, sehat walafiat, bersama Otsu.
"Kalau
hari terang, kita harus sangat hati-hati. Kita hampir sampai perbatasan provinsi," kata Otsu.
Mata Takezo
melebar. "Perbatasan! Betul, aku lupa. Aku harus pergi ke Hinagura."
"Hinagura?
Kenapa?"
"Di
sana kakak perempuanku dikurung. Aku harus mengeluarkannya dari sana. Kukira
aku terpaksa mengucapkan selamat
tinggal."
Otsu
memandang wajah Takezo dengan tajam, diam terpukau. "Kalau memang itu
yang kaurasakan, pergilah! Tapi kalau
aku tahu kau akan meninggalkan aku, tak akan aku meninggalkan Miyamoto."
"Apa
lagi yang dapat kulakukan? Membiarkan dia dl benteng sana?"
Dengan
pandangan menghunjam, Otsu menggenggam tangan Takezo. Wajah dan seluruh
tubuhnya menyala oleh cinta.
"Takezo," mohonnya, "akan kukatakan padamu bagaimana
perasaanku kemudian, kalau ada waktu,
tapi kuminta jangan tinggalkan aku di sini sendiri! Bawa aku ke mana saja kau pergi!"
"Tapi
aku tak bisa!"
"Ingatlah"-Otsu
mencengkeram tangan Takezo erat-erat-"suka atau tidak, aku akan ikut. Kalau kau berusaha menyelamatkan Ogin, aku
akan pergi ke Himeji dan menanti."
"Baiklah,"
kata Takezo langsung setuju.
"Kau
pasti akan datang, kan?"
"Tentu."
"Aku
menunggu di Jembatan Hanada, di pinggiran Himeji. Kutunggu kau di sana, biar
sampai seratus atau seribu hari."
Dengan
jawaban anggukan kecil, Takezo berangkat tanpa banyak berkatakata lagi. la bergegas menyusuri pegunungan yang membujur
dari celah itu ke pegunungan di kejauhan.
Otsu mengangkat kepala untuk memperhatikannya, sampai tubuh Takezo
menyatu dengan pemandangan.
Sementara
itu di kampung, cucu Osugi berlari-lari naik ke rumah besar Hon'iden,
sambil berseru, "Nek! Nenek!"
Sambil
menghapus hidung dengan punggung tangan, la melongok ke dapur dan katanya
ribut, "Nek, apa Nenek sudah
dengar? Ada kejadian hebat!"
Osugi yang
sedang berdiri di depan tungku dan menghidupkan api dengan kipas, hampir tidak memperhatikan cucunya.
"Apa
sih ribut-ribut ini?"
"Nek,
Nenek belum tahu? Takezo lari!"
"Lari!"
Dan kipas pun jatuh ke api. "Apa katamu?" "Pagi ini dia tak ada
di pohon. Talinya putus."
"Heita,
kau ingat apa kata Nenek kalau orang bohong?" "Ini betul, Nek,
sumpah! Semua orang bilang begitu."
"Kau yakin betul?"
"Ya,
Nek. Dan di kuil orang mencari Otsu. Dia hilang juga. Semua orang lari ke
sana kernari berteriak-teriak."
Akibat
berita itu sungguh penuh warna. Muka Osugi memutih, penuh bayang-bayang
nyala kipasnya yang terbakar itu, yang
berubah warna dari merah ke biru dan lembayung. Segera wajah itu seolah-olah kehilangan darah,
sedemikian rupa hingga Heita mengerut ketakutan.
"Heita!"
"Ya?"
"Lari
secepat-cepatnya. Jemput ayahmu, lalu pergilah ke pinggir kali dan panggil
Paman Gon! Cepat!" Suara Osugi
menggeletar.
Sebelum
Heita sampai di gerbang, sejumlah orang kampung sudah datang. Mereka ramai berbicara sendiri. Di antara mereka terdapat
menantu lelaki Osugi, Paman Gon, sanak
keluarga yang lain, dan sejumlah petani penyewa.
"Jadi,
Otsu lari juga, ya?"
"Dan
Takuan juga tidak kelihatan lagi!" "Pasti mereka kerja sama."
"Apa
yang dilakukan perempuan tua itu nanti? Kehormatan keluarganya jadi
taruhan!"
Menantu
Osugi dan Paman Gon yang membawa lembing turun-temurun dari nenek moyang, memandang kosong ke arah rumah. Mereka belum
dapat melakukan sesuatu. Mereka butuh
petunjuk. Karena itu mereka berdiri saja di sana dengan gelisah, menanti
Osugi keluar memberikan
perintah-perintahnya.
"Nek!"
seru seseorang akhirnya. "Apa Nenek belum dengar?"
"Aku
akan datang segera ke sana," terdengar jawabannya. "Kalian semua
tenang saja, dan tunggu."
Osugi segera
bertindak. Ketika ia mengetahui bahwa berita mengerikan itu benar,
darahnya pun mendidih, tapi ia berusaha
mengendalikan dirinya dengan berlutut di depan altar keluarga. Sesudah menyampaikan doa permohonan
dengan diam, ia mengangkat kepala, membuka
mata, dan menoleh ke sekitar. Tenang ia membuka tutup peti pedang,
menarik lacinya dan mengeluarkan senjata
simpanannya. la kenakan pakaian yang cocok untuk memburu orang, ia selipkan pedang pendek itu dalam obi-nya, dan
pergilah ia ke pintu gerbang. Di situ ia
ikatkan tall sandal baik-baik pada pergelangan kakinya.
Keheningan
penuh pesona yang menyambutnya ketika ia mendekati gerbang jelas
menunjukkan bahwa orang-orang itu sudah
tahu untuk apa ia berpakaian demikian. Perempuan tua yang keras kepala itu memang bermaksud bertindak,
dan ia lebih dari siap untuk membalas
dendam atas penghinaan terhadap keluarganya.
"Semuanya
akan beres," ucapnya dengan nada pendek-pendek. "Akan kuburu sendiri
perempuan jalang yang tak kenal malu
itu, dan mengaturnya supaya dia mendapat hukuman setimpal." Rahangnya mengatup.
la sudah
berjalan cepat di jalan, barulah akhirnya seorang dari antara orang banyak
itu memperdengarkan suaranya.
"Kalau perempuan tua itu pergi, kita harus pergi juga." Semua sanak keluarga dan penyewa pun berdiri dan
serentak mengikuti bunda mereka yang gagah
berani itu. Bersenjatakan tongkat, dan sambil membuat tombak bambu dalam
perjalanan, mereka beriring-iring menuju
Celah Nakayama, tanpa berhenti untuk istirahat. Mereka sampai di sana tepat sebelum tengah hari,
tapi sudah terlambat.
"Mereka
sudah berhasil lolos!" seru seseorang. Orang banyak itu pun
menggelegak marahnya. Kekecewaan mereka
ditambah lagi dengan penjelasan seorang pejabat perbatasan bahwa rombongan sebesar itu tidak bisa lewat.
Paman Gon
maju ke depan clan memohon dengan sangat kepada pejabat itu. la melukiskan Takezo sebagai seorang "penjahat",
Otsu "setan", dan Takuan "gila". "Kalau tidak kami selesaikan soal ini sekarang," jelasnya,
"nama nenek moyang kami akan ternoda. Dan kami tak akan pernah bisa menegakkan kepala. Kami
akan menjadi bahan tertawaan orang kampung.
Bahkan keluarga Hon'iden bisa terpaksa meninggalkan tanahnya."
Pejabat itu
mengatakan dapat memahami keadaan sulit tersebut, tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa untuk menolong. Hukum
adalah hukum. Barangkali la dapat melakukan penyelidikan di Himeji dan memintakan izin khusus untuk
menyeberang perbatasan bagi mereka, tapi itu
akan makan waktu.
Sesudah
berunding dengan sanak saudara dan petani penyewa, Osugi maju ke hadapan
pejabat itu dan bertanya, "Kalau
begitu, apa ada alasan kenapa kami berdua, yaitu saya sendiri dan Paman Gon, tidak bisa jalan terus?"
"Sampai
lima orang bisa diizinkan." Osugi mengangguk setuju. Kemudian kelihatannya
ia hendak mengucapkan kata-kata
perpisahan yang mengharukan. Tapi akhirnya ia hanya menyuruh para pengikutnya berkumpul dengan
singkat. Mereka berbaris di depannya,
memandang penuh perhatian kepada mulutnya yang berbibir tipis clan
giginya yang besar merongos.
Ketika mereka
semua sudah diam, la berkata, "Tak usah kalian bingung. Sejak sebelum berangkat pun aku sudah membayangkan ini akan
terjadi. Ketika aku mengambil pedang
pendek ini, salah satu pusaka Hon'iden yang paling berharga, aku
berlutut di depan tanda peringatan nenek
moyang kita dan mengucapkan selamat berpisah secara resmi pada mereka. Aku juga mengucapkan dua sumpah.
"Satu,
aku akan mengejar dan menghukum perempuan kurang ajar yang sudah mencoreng
nama kita dengan lumpur. Yang kedua, aku
harus memastikan-bahkan sampai mati-apakah anakku Matahachi masih hidup. Dan kalau dia masih
hidup, akan kubawa dia pulang untuk
melanjutkan nama keluarga. Aku bersumpah melakukan ini, dan akan
kulaksanakan, biarpun misalnya aku
terpaksa mengikat lehernya clan menyeretnya pulang. Dia punya kewajiban tidak hanya kepadaku dan kepada mereka yang
sudah pergi, tapi juga kepada kalian. Baru
sesudah itu dia akan mencari seorang istri yang seratus kali lebih baik
dari Otsu dan menghapuskan aib ini
selamanya, supaya orang kampung sekali lagi mengakui keluarga kita sebagai keluarga yang mulia dan
terhormat."
Ketika
mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorai, seorang lelaki mengucapkan
sesuatu yang kedengaran seperti erangan.
Osugi menatap tajam menantunya.
"Sekarang
ini, Paman Gon an aku sudah cukup tua untuk pensiun," lanjutnya.
"Kami berdua sependapat mengenai
segala sesuatu yang sudah kusumpahkan tadi, dan dia juga sudah bertekad untuk melaksanakan sumpah itu,
biarpun menghabiskan waktu dua-tiga tahun tanpa
melakukan apa-apa, biarpun terpaksa menjelajahi negeri ini. Selama aku
pergi, menantuku akan mengambil alih
jabatanku sebagai kepala keluarga. Selama itu kalian harus berjanji untuk bekerja keras seperti biasanya. Aku tak
ingin mendengar ada di antara kalian yang
menelantarkan ulat sutra atau membiarkan rumput tumbuh liar di ladang.
Mengerti?"
Paman Gon
hampir lima puluh tahun umurnya, sedangkan Osugi sepuluh tahun lebih tua. Orang-orang itu rupanya bimbang untuk
membiarkan mereka berdua pergi sendiri, karena
jelas kedua orang itu bukan tandingan Takezo apabila mereka
menemukannya. Mereka semua membayangkan
Takezo sebagai orang gila yang baru mencium bau darah saja sudah menyerang dan membunuh.
"Apa
tidak lebih baik kalau Ibu membawa tiga pemuda?" saran seseorang. "Pejabat
itu mengatakan lima orang bisa
lewat."
Perempuan
tua itu menggelengkan kepalanya keras-keras. "Aku tidak butuh bantuan
apa-apa. Aku tak pernah dibantu,dan aku
tak akan mau. Ha! Semua orang berpendapat Takezo sangat kuat, tapi itu tidak bikin aku takut! Dia itu
cuma anak bandel. Rambutnya tak lebih dari
yang pernah kukenal waktu dia bayi. Aku tak sebanding dengan dia dalam
kekuatan tubuh, pasti, tapi aku belum
kehilangan akalku. Aku masih dapat mengakali seorang dua orang musuh. Paman Gon juga belum pikun. Sekarang
sudah kusampaikan pada kalian apa yang akan
kulakukan," katanya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke
hidung. "Dan aku akan melaksanakannya.
Tak ada lagi yang mesti kalian lakukan sekarang kecuali pulang. Jadi, pulanglah clan urus semuanya sampai kami
kembali."
la mengusir
mereka dan pergi menuju perbatasan. Tak seorang pun mencoba
menghentikannya lagi. Mereka menyerukan
salam perpisahan dan memandangi pasangan tua itu memulai perjalanannya ke timur, menuruni sisi gunung.
"Perempuan
tua itu betul-betul berani, ya?" kata seseorang.
Seorang
lelaki lain mencorongkan tangannya dan berseru, "Kalau Ibu jatuh sakit,
kirim suruhan ke kampung."
Orang
ketiga berseru khawatir, "Jaga diri baik-baik."
Ketika
Osugi sudah tak dapat lagi mendengar suara orang-orang itu, ia menoleh pada
Paman Gon. "Biar bagaimana kita
akan mati sebelum orang orang muda itu."
"Nenek
benar sekali," jawab Paman Gon yakin. Paman Gon hidup dengan berburu, tapi
di masa mudanya ia samurai. Menurut
ceritanya sendiri, ia pernah terlibat dalam banyak pertempuran berdarah. Sampai sekarang pun
kulitnya masih merah sehat dan rambutnya
sehitam biasanya. Nama keluarganya Fuchikawa; Gon adalah singkatan
Gonroku, namanya sendiri. Sebagai paman
Matahachi, dengan sendirinya ia sangat prihatin dan bingung oleh peristiwa-peristiwa yang baru terjadi itu.
"Nek," katanya.
“Apa?"
"Nenek
sempat memikirkan pakaian perjalanan, tapi aku sendiri cuma memakai
pakaian sehari-hari. Aku harus berhenti
nanti, mencari sandal dan topi."
"Ada
warung teh kira-kira setengah jalan turun bukit ini."
"Ya,
betul! Aku ingat. Namanya Warung Teh Mikazuki, kan? Aku yakin mereka menjual
barang yang kubutuhkan."
Ketika
sampai di warung teh itu, heranlah mereka melihat matahari sudah mulai
terbenam. Tadinya mereka mengira masih
mempunyai waktu beberapa jam lagi, karena hari-hari memang bertambah panjang bersama datangnya musim
panas berarti lebih banyak waktu untuk
melakukan pencarian. Hari pertama mengejar kehormatan keluarga yang
hilang.
Mereka minum
sedikit teh dan beristirahat sebentar. Ketika mengeluarkan uang, Osugi berkata, "Takano terlalu jauh kalau
dicapai malam hari. Kita terpaksa tidur di tikar bau di penginapan kusir kuda beban di Shingu,
meskipun tidak tidur sama sekali barangkali
lebih balk."
"Kita
butuh tidur justru sekarang ini. Ayo kita jalan," kata Gonroku sambil
bangkit mencekau topi jerami yang
barusan dibelinya. "Tapi tunggu sebentar."
"Ada
apa?"
"Aku
mau mengisi tabung bambu ini dengan air minum"
Gonroku
berjalan ke belakang rumah dan mencelupkan tabungnya ke kali yang mengalir jernih, sampai gelembung-gelembung air tidak
naik lagi ke permukaan. Dalam perjalanan
kembali ke jalan di depan, sekilas ia memandang lewat jendela samping ke
bagian dalam warung teh yang samar-samar
itu. Tiba-tiba ia pun terhenti, karena terkejut melihat sesosok tubuh yang terbaring di lantai,
berselimut tikar jerami. Bau obat-obatan
memenuhi udara. Gonroku tak dapat melihat wajah orang itu, tapi dapat
melihat rambut hitam yang terburai ke
sana kemari di atas bantal.
"Paman
Gon, lekas!" seru Osugi tak sabaran.
"Sebentar."
"Ada
apa?"
"Kelihatannya
ada orang sakit di dalam," kata Gonroku sambil berjalan di belakang
Osugi seperti anjing yang sedang
dihukum.
"Apa
itu luar biasa? Perhatianmu ini gampang teralih, seperti anak-anak."
"Maaf,
maaf," Gonroku lekas-lekas minta maaf. la memang gampang ditakut-takuti
Osugi, seperti orang lain juga, tapi ia
lebih tahu cara mengendalikan perempuan itu daripada kebanyakan orang lain.
Mereka
berangkat menuruni bukit yang cukup terjal, menuju jalan Harima. Jalan
yang sehari-harinya dilalui kuda-kuda
beban dari tambang perak itu penuh dengan lubang.
"Jangan
sampai jatuh, Nek," nasihat Gon.
"0,
jangan berani-berani kau mengajariku! Jalan ini bisa kulalui dengan mata
tertutup. Kau sendiri yang mesti
hati-hati, orang sinting tua!"
Pada saat
itu terdengar suara yang menyapa mereka dari belakang. "Anda berdua
ini cekatan sekali."
Mereka
menoleh, dan tampaklah oleh mereka pemilik warung teh itu menunggang kudanya.
"0,
ya, kami baru saja istirahat di tempat Anda, terima kasih. Dan ke mana Anda
akan pergi?"
"Tatsuno."
"Malam
begini?"
"Tidak
ada dokter, kecuali di sana. Biarpun naik kuda, baru tengah malam saya
akan sampai."
"Apa
istri Anda sakit?"
"O,
tidak." Keningnya mengerut. "Kalau istri saya sendiri atau salah
seorang anak saya, tidak apalah. Tapi
berat rasanya kalau buat orang lain, orang yang baru datang buat istirahat."
"O,"
kata Paman Gon, "Apa itu gadis yang ada di kamar belakang Anda? Kebetulan
saya melihatnya tadi sekilas."
Kening
Osugi sekarang ikut berkerut.
"Ya,"
kata pemilik warung. "Ketika dia istirahat badannya mulai menggigil, jadi
saya tawarkan kamar belakang buat
berbaring. Saya merasa harus berbuat sesuatu. Tapi tidak juga dia membaik. Sebaliknya, keadaannya jauh
lebih buruk. Badannya panas sekali karena
demam. Kelihatannya cukup gawat."
Osugi
menghentikan jalannya. "Apa gadis itu sekitar enam belas tahun, dan
sangat ramping?"
"Ya,
sekitar enam belas, saya kira. Katanya dia datang dari Miyamoto."
Osugi pun
mengedip pada Gonroku dan mulai menggerayangi obi-nya. Tapi pandangan
kecewa tergambar pada wajahnya, ketika
la berseru, "Oh, ketinggalan di warung teh itu!"
"Apa
yang ketinggalan?"
"Tasbih.
Aku ingat sekarang-tadi kutaruh di atas bangku."
"O,
celaka," kata tukang warung seraya membalikkan kudanya. "Sebentar
saya ambilkan."
"Jangan,
jangan! Anda mesti menjemput dokter. Gadis yang sakit itu lebih penting daripada tasbih saya. Biar kami sendiri
kembali mengambilnya."
Paman Gon
sementara itu sudah berbalik, melangkah cepat mendaki bukit. Begitu
selesai berbicara dengan pemilik warung
teh yang baik budi itu, Osugi pun segera menyusul. Tak lama kemudian mereka berdua terengah-engah
kehabisan napas. Tak seorang pun bicara.
Pasti itu Otsu!
Otsu
sebetulnya belum sembuh benar dari demam yang menyerangnya pada malam ia
diseret masuk dari tengah badai itu. la
dapat melupakan sakitnya ketika beberapa jam berada bersama Takezo, tapi sesudah Takezo
meninggalkannya ia hanya dapat berjalan sedikit
sebelum akhirnya mulai menyerah pada rasa sakit clan lelah. Ketika
sampai di warung teh itu, ia sudah
benar-benar tidak tahan.
Tak tahu ia
sudah berapa lama terbaring di kamar belakang itu, dan berkali-kali
meminta air dalam igauannya. Sebelum
pergi, tukang warung menjenguknya dan mendesaknya supaya bertahan. Beberapa waktu kemudian Otsu sudah
lupa bahwa tukang warung pernah bicara
dengannya.
Mulutnya
kering. la merasa mulutnya penuh duri. "Air, air, minta air!" serunya
lemah. Karena tak ada jawaban, ia pun
menegakkan badan dengan kedua sikunya dan menjulurkan leher ke arah tempayan air yang ada di luar
pintu. Pelan-pelan la berhasil merangkak ke
situ, tapi ketika ia mengulurkan tangan untuk memegang ciduk bambu di
sampingnya, didengarnya tirai hujan
jatuh ke tanah di belakangnya. Warung teh itu memang tak lebih dari gubuk pegunungan, clan tidak suatu pun
dapat mencegah orang mengangkat satu atau
seluruh tirai yang tak terikat itu.
Osugi dan
Paman Gon menerobos dari tempat tirai terbuka itu.
"Aku
tidak lihat apa-apa," keluh perempuan tua itu dengan suara yang menurutnya
hanya bisikan.
"Tunggu,"
jawab Gon yang waktu itu sedang menuju kamar perapian, lalu mengaduk bara
dan memasukkan sedikit kayu untuk
sedikit menerangi ruangan.
"Tak
ada di sini, Nek!"
"Dia
pasti di sini! Tak mungkin dia pergi!" Hampir seketika itu juga Osugi pun
melihat pintu kamar belakang terbuka.
"Lihat di sana!" serunya.
Otsu, yang
sudah berdiri di luar, menyiramkan air yang sudah diciduk tadi lewat
lubang sempit ke muka perempuan tua itu
dan berlari kencang menuruni bukit seperti burung di tengah angin, sampai lengan baju dan
kimononya mengembung di belakangnya.
Osugi
berlari ke luar dan memaki-maki.
"Gon,
Gon. Kejar, Gon, kejar!" ,
"Apa
dia lari?"
"Tentu
saja lari! Kita sudah kasih dia kesempatan lari, karena banyak ribut itu.
Mana kau menjatuhkan tirai segala!"
Wajah perempuan tua itu sudah berubah bentuk karena berang. "Apa tak bisa kaukejar?"
Paman Gon
mengarahkan pandangannya ke sosok tubuh yang seperti' kijang terbang di kejauhan. la mengangkat tangan clan menuding.
"Itu dia, kan? Jangan khawatir, dia tak
jauh mendahului kita. Dia sakit, dan lagi kakinya kaki gadis. Sebentar
lagi dia pasti terkejar olehku." la
menarik dagunya dan langsung berlari. Osugi segera menyusulnya.
"Paman
Gon," teriaknya, "kau boleh menggunakan pedang, tapi jangan potong
kepalanya sebelum aku sempat kasih dia
sedikit pendapatku."
Paman Gon
tiba-tiba memekik kaget dan jatuh tengkurap. "Ada apa?" teriak Osugi
yang menyusulnya.
"Lihat
itu ke bawah." Osugi pun melihat ke sana. Tepat di depan mereka ternganga
jurang terjal penuh bambu. "Dia
terjun ke situ?"
"Ya.
Kukira tidak terlalu dalam, tapi terlalu gelap. Terpaksa kembali ke warung teh
buat ambil obor." Ketika ia sedang
berlutut memandang ke dalam jurang, Osugi berteriak, "Apa yang kautunggu, tolol?" dan menyodoknya
dengan keras. Terdengar bunyi kaki-kaki yang
mencoba mencari pijakan, merangkak-rangkak, clan akhirnya berhenti di
dasar jurang.
"Tukang
sihir tua!" teriak Paman Gon marah. "Cobalah turun sendiri! Biar tahu
sendiri rasanya!"
Takezo
duduk di atas batu besar sambil melipat tangan dan memandang ke seberang
lembah, ke benteng Hinagura. la
membayangkan di bawah salah satu atap itulah kakak perempuannya dipenjarakan. la sudah duduk di situ sejak
matahari terbit sampai matahari terbenam
sehari sebelumnya clan sepanjang hari ini, namun belum juga la dapat
menyusun rencana untuk mengeluarkan
kakaknya. la bermaksud terus duduk sampai ia mendapatkan rencana itu.
Pikirannya
sudah sampai pada keyakinan bahwa la dapat membikin lumpuh lima puluh atau seratus serdadu yang mengawal benteng itu,
tapi ia masih terus mempertimbangkan letak
tanah. Yang la perlukan bukan hanya masuknya, tapi juga keluarnya.
Keadaannya tidak begitu membesarkan
hati. Di belakang benteng terdapat parit dalam, sedangkan di depan, jalan masuk benteng itu dilindungi dengan
baik oleh gerbang ganda. Yang lebih buruk
lagi, mereka berdua nantinya akan terpaksa melarikan din menyeberangi
dataran rata yang tidak ditumbuhi
sebatang pohon pun untuk berlindung. Pada hari tak berawan seperti ini, tak ada sasaran yang lebih baik dari itu.
Jadi,
keadaan itu memaksanya melakukan serangan malam, tapi ia sudah melihat
bahwa gerbang-gerbang itu ditutup dan
dikunci sebelum matahari terbenam. Setiap usaha untuk mendobraknya pasti membunyikan tanda bahaya
berupa anak genta dari kayu yang ingar-bingar
bunyinya itu. Agaknya tak ada cara yang mudah untuk mendekati benteng itu.
Tak ada
jalan, pikir Takezo sedih. "Sekalipun aku mengambil jalan terbaik,
pasti membahayakan hidupku sendiri dan
hidupnya. Tak bisa." Ia merasa terhina dan tak berdaya. "Bagaimana mungkin aku jadi begini
pengecut?" tanyanya pada diri sendiri. "Seminggu yang lalu aku bahkan tidak berpikir sempat lolos
dalam keadaan hidup."
Setengah
hari kemudian tangannya masih tetap terlipat di dada, seakan terkunci. Ia mengkhawatirkan sesuatu yang tak dapat
dirumuskannya, dan ia ragu-ragu mendekati benteng itu. Berkali-kali ia mencela dirinya sendiri.
"Aku sudah kehilangan keberanian. Tak
pernah aku seperti ini. Barangkali berhadapan dengan maut membikin orang
jadi pengecut."
Ia pun menggelengkan
kepala. Tidak, bukan itu, bukan sikap pengecut. Ia menarik pelajaran yang dengan segala jerih payah
diberikan oleh Takuan, dan sekarang ia bisa
melihat segala sesuatu dengan lebih jernih. la merasakan ketenangan
baru, perasaan damai. Rasanya perasaan
itu mengalir di dadanya seperti sungai yang lembut. Berani, lain sekali dengan ganas. la paham sekarang. la
tidak merasa seperti binatang, ia merasa
seperti seorang manusia. Manusia berani yang sudah melampaui
kesembronoan remajanya. Hidup yang
diberikan padanya adalah sesuatu yang harus dihargai clan dijunjung,
dipoles clan disempurnakan.
Ia menatap
langit terang yang cantik, yang warnanya saja rasanya sudah merupakan keajaiban. Namun ia tidak dapat membiarkan
kakak perempuannya ditahan, sekalipun artinya
ia harus melanggar untuk terakhir kalinya pengetahuan diri yang sangat
berharga, yang baru saja la peroleh
dengan penuh penderitaan.
Sebuah
rencana mulai terbentuk. "Kalau malam tiba, aku akan menyeberangi lembah
dan memanjat karang di sebelah sana.
Rintangan alam itu bisa menjadi samaran. Tak ada gerbang di bagian belakang, clan agaknya
tempat itu tidak dikawal ketat."
Belum lagi
la sampai pada kesimpulan ini, sebatang anak panah mendesis ke arahnya dan menancap di tanah, beberapa inci dari jemari
kakinya. Di seberang lembah sana ia melihat
kerumunan orang banyak bergerak ke sana kemari di dalam benteng. Jelas
mereka telah melihatnya. Hampir seketika
itu juga mereka buyar. la menduga tembakan itu percobaan untuk melihat, reaksinya, tapi dengan sengaja
ia diam tak bergerak di tempatnya.
Tak lama
kemudian, cahaya matahari sore mulai mengabur di belakang puncak
pegunungan barat. Tepat sebelum
kegelapan menyelimuti, ia bangkit dan memungut sebuah batu. la sudah melihat makan malamnya melayang di atas
kepala. Begitu dilemparnya burung itu pun
jatuh, dikoyaknya dan dibenamkannya giginya ke dalam daging yang hangat
itu.
Selagi ia
makan, lebih dari dua puluh serdadu bergerak ribut mencari posisi clan mengepungnya. Begitu posisi rapi, mereka
memperdengarkan teriakan perang. Satu orang
berseru, "Itu Takezo! Takezo dari Miyamoto!"
"Dia
berbahaya! Jangan sepelekan dia!" satu orang lagi mengingatkan.
Takezo
menghentikan pesta unggas mentah itu dan menyorotkan pandangan kejam ke arah
para calon penangkapnya. Pandangan yang
biasa diperlihatkan oleh binatang ketika terganggu di tengah makannya.
"Ya-a-h-h!"
pekiknya sambil mengambil sebuah batu besar dan melontarkannya ke baris depan dinding manusia itu. Batu itu menjadi
merah oleh darah, dan dalam sekejap ia
sendiri sudah menerobos, berlari langsung ke arah gerbang benteng.
Orang-orang
itu ternganga.
"Apa
yang dia lakukan?"
"Ke
mana perginya orang sinting itu?" "Dia gila!"
Takezo
terbang seperti capung yang keranjingan, dikejar para serdadu yang memperdengarkan teriakan-teriakan perang.
Namun ketika mereka sampai di gerbang luar,
Takezo sudah melompat naik. Sekarang ia berada di antara kedua gerbang,
yang sebetulnya sebuah perangkap. Mata
Takezo sama sekali tak melihat. la tak dapat melihat serdadu yang mengejarnya, pagar, maupun para pengawal di
gerbang kedua. la bahkan tak sadar ketika
merobohkan dengan satu pukulan saja seorang penjaga yang mencoba
melompatinya. Dengan kekuatan yang
hampir-hampir di luar kekuatan manusia, ia merenggut sebuah tiang di gerbang dalam, ia guncangkan matimatian,
sampai tercerabut dari tanah. Kemudian ia
berbalik kepada para pengejarnya. la tak tahu jumlah mereka. Yang
diketahuinya hanyalah sesuatu yang besar
dan hitam menyerangnya. la membidik sebaik-baiknya, lalu la hantam benda tak berbentuk itu dengan tiang gerbang.
Sejumlah besar lembing dan pedang
berantakan, terbang ke udara dan jatuh berantakan ke tanah.
"Ogin!"
teriak Takezo sambil berlari ke bagian belakang benteng. "Ogin, ini
aku, Takezo."
Ia tatap
gedung-gedung itu dengan mata menyala, sambil terus memanggilmanggil kakak perempuannya. "Apa semua ini tipu
daya?" pikirnya panik. Satu demi satu ia gedor pintu-pintu itu dengan tiang gerbang.
Ayam-ayam pengawal berkaok-kaok menyelamatkan
hidup, terbang ke segala jurusan.
"Ogin!"
Setelah
gagal mengetahui tempat kakak perempuannya, teriakan-teriakannya yang
serak menjadi hampir tak bisa
dimengerti.
Akhirnya di
dalam bayangan salah satu sel kecil dan kotor, ia melihat seorang lelaki mencoba menyelinap.
"Berhenti!"
serunya sambil melemparkan tiang gerbang yang bernoda darah itu ke kaki makhluk seperti musang tersebut. Ketika
Takezo melompat ke arahnya, orang itu mulai
menangis tak kenal malu. Takezo menampar keras pipinya, "Mana
kakakku?" raungnya. "Diapakan
dia? Katakan di mana dia, kalau tidak kubunuh kau!"
"Dia...
dia tidak di sini. Kemarin dulu dia dibawa pergi. Perintah dari puri."
"Di
mana. baiinw<m hocloh, di maim."'
"Himeji?"
„1, y y ya „
"Kalau
kau bohong, ku..." Takezo mencekau rambut orang yang menangis tersedu-sedu
itu.
"Betul...
betul. Sumpah!"
"Nah,
lebih balk kalau begitu. Tapi kalau kau bohong, aku akan kembali khusus mencarimu!"
Serdadu-serdadu
itu merapat lagi. Takezo mengangkat orang itu dan melemparkannya ke arah mereka. Kemudian ia menghilang ke dalam
bayangan sel-sel yang mesum. Setengah lusin anak panah terbang melewatinya, sebuah menempel
seperti jarum jahit raksasa di kimononya.
Takezo menggigit kuku ibu jarinya dan memandang anak-anak panah itu
melaju lewat, kemudian tiba-tiba ia
menuju pagar, dan dalam sekejap mata sudah melompatinya.
Di
belakangnya terdengar ledakan keras. Gema tembakan senapan itu meraung ke
seberang lembah.
Takezo
meluncur menuruni jurang, dan sementara berlari petikan-petikan ajaran Takuan
pun melintas dalam kepalanya,
"Belajarlah takut pada apa yang menakutkan.... Kekuatan yang kasar dalam permainan anak-anak, kekuatan
binatang yang tak berakal.... Punyailah
kekuatan prajurit sejati... keberanian yang nyata.... Hidup itu
berharga." ۩
Lahirnya
Musashi
TAKEZO
menanti di pinggiran kota Himeji, kadang-kadang bersembunyi di bawah
Jembatan Hanada, tapi lebih sering
berdiri di jembatan clan diamdiam memperhatikan orang-orang lewat. Apabila sedang tidak berada di dekat
jembatan itu, ia biasa melakukan pesiar
singkat sekitar kota, dengan hati-hati membenamkan topi clan
menyembunyikan wajahnya, seperti
pengemis, dengan anyaman jerami.
la sangat
risau bahwa Otsu belum juga muncul; baru seminggu berlalu sejak gadis itu bersumpah akan menanti di situ-bukan seratus
hari, tapi seribu. Sekali Takezo membuat
janji, pantang ia melanggarnya. Tetapi bersamaan dengan berlalunya
waktu, ia pun semakin tergoda untuk
mondarmandir, sekalipun janjinya pada Otsu bukanlah satu-satunya alasan kenapa ia ke Himeji. la pun harus menemukan
di mana orang menahan Ogin.
la sedang
berada di dekat pusat kota pada suatu hari, ketika didengarnya suara orang memanggil namanya. Langkah-langkah kaki
terdengar di belakangnya. la mengangkat kepala
dengan tegas, dan tampak olehnya Takuan datang mendekat sambil berseru,
"Takezo! Tunggu!"
Takezo
terperanjat, dan seperti biasa di hadapan biarawan ini ia merasa sedikit
rendah diri. la menyangka penyamarannya
sudah aman, dan merasa yakin bahwa tak seorang pun mengenalinya, bahkan juga Takuan.
Biarawan
itu menangkap pergelangan tangannya. "Ayo ikut aku," perintahnya.
rintahnya. Nada gawat yang ada dalam
suaranya itu mustahil diabaikan. "Dan jangan bikin ribut. Sudah lama aku mencarimu."
Takezo ikut
tanpa melawan. Tak terpikir olehnya ke mana mereka pergi, tapi sekali lagi ia merasa tanpa daya menghadapi orang
istimewa ini. Ia heran, kenapa demikian. Ia
merdeka sekarang dan sepanjang pengetahuannya mereka berjalan langsung
kembali ke pohon gila di Miyamoto itu.
Atau barangkali ke kamar bawah tanah di dalam puri. la menduga kakaknya ditahan di dalam salah satu benteng,
tapi tak ada satu bukti pun untuk
membenarkan dugaannya itu. la berharap ia benar. Kalau ia tertangkap di
sana, setidak-tidaknya mereka dapat mati
bersama. Kalaupun mereka harus mati, memang tak ada orang lain yang cukup dicintainya yang dapat
diajaknya berbagi saat-saat akhir hidup
yang berharga ini.
Puri Himeji
muncul di hadapan matanya. la dapat melihat sekarang, kenapa puri itu disebut "Puri Bangau Putih".
Bangunan megah itu berdiri di atas kubu batu yang sangat besar, seperti burung besar angkuh yang turun
dari langit. Takuan mendahuluinya
menyeberangi jembatan lengkung lebar yang membentang hingga parit luar.
Sebarisan pengawal berdiri tegak di
depan gerbang besi. Cahaya matahari yang memantulkan lembinglembing terhunus membuat Takezo
sekejap ragu-ragu lewat. Walaupun tidak menoleh, Takuan dapat merasakan keraguannya. Dengan
isyarat tak sabar la mendesak Takezo maju
terus. Lewat menara gerbang, mereka mendekati gerbang kedua. Di sini
serdadu-serdadu memandang lebih cermat
dan waspada lagi, clan siap untuk berkelahi begitu ada perintah. Ini puri seorang daimyo. Sulit bagi
penghuninya untuk dapat santai dan menerima
kenyataan bahwa negeri telah berhasil dipersatukan. Seperti banyak puri
lain pada zaman itu, ia belum terbiasa
akan kemewahan perdamaian.
Takuan
memanggil kapten pengawal. "Aku sudah menangkapnya," ucapnya. Sambil
menyerahkan Takezo, biarawan itu
menasihati orang tersebut untuk memperlakukan Takezo baik-baik sebagaimana diinstruksikan sebelumnya, tapi
ia menambahkan, "Hati-hati. Dia anak macan
yang bertaring. Dia masih liar. Kalau kau menggodanya, dia akan
menggigit."
Takuan
melewati gerbang kedua menuju bangunan tengah, di mana terletak kediaman daimyo. Rupanya ia kenal baik jalan di situ. Buktinya
ia tidak memerlukan penunjuk jalan ataupun
petunjuk. la hampir tidak mengangkat kepala waktu berjalan, dan tak
seorang pun mengganggu jalannya.
Sesuai
perintah Takuan, Kapten tidak menyentuh orang yang jadi tanggungannya. la
hanya minta Takezo mengikutinya. Takezo
ikut tanpa berkata-kata. Segera mereka sampai di rumah mandi, dan Kapten memerintahkannya membasuh
badan. Saat itu punggung Takezo pun
mengejang, karena ia ingat benar akan waktu mandi terakhir kali di rumah
Osugi, ingat akan perangkap yang untung
berhasil diterobosnya. Ia melipat tangan dan mencoba berpikir, mengulur waktu dan memperhatikan
sekitarnya. Segalanya begitu damai-sebuah
pulau ketenangan, di mana seorang daimyo dapat menikmati kenikmatan
hidup, apabila tidak sedang mengatur
strategi. Segera kemudian seorang pembantu datang membawa kimono katun hitam hakama. Ia mengangguk dan berkata
sopan, "Saya letakkan di sini. Anda dapat
memakainya kalau nanti keluar."
Takezo
hampir menangis. Perlengkapan itu mencakup tidak hanya kipas lipat dan
kertas tisu, melainkan juga sepasang
pedang samurai panjang dan pendek. Segalanya sederhana dan tidak mahal, tapi tak ada yang kurang. Ia
diperlakukan sebagai manusia lagi, dan ingin
ia mengangkat kain katun bersih itu ke wajahnya dan menggosokkannya ke
pipi serta menghirup bau segarnya. Ia
berbalik dan masuk rumah mandi.
Ikeda
Terumasa, yang dipertuan di puri itu, menyandarkan diri pada tangan kursi
dan memandang ke luar, ke kebun.
Tubuhnya pendek, kepalanya tercukur bersih, dan noda-noda gelap bekas cacar menaburi wajahnya. Walau
tidak mengenakan pakaian paling resmi, ia
mengenakan juga tutup kepala dan kain sutra longgar yang sesuai dengan
lingkungannya.
"Itu
dia?" tanyanya kepada Takuan sambil menudingkan kipas lipatnya.
"Ya,
itu dia," jawab biarawan itu sambil membungkuk hormat.
"Wajahnya
cakap. Bagus sekali Anda menyelamatkannya."
"Dia
berutang nyawa pada Tuan. Bukan pada saya."
"Tidak
betul itu, Takuan, dan Anda tahu itu. O, sekiranya aku memiliki banyak anak
buah seperti Anda di sini, tak sangsi
lagi banyak orang berguna akan diselamatkan, dan dunia akan menjadi lebih baik karenanya."
Daimyo itu mengeluh. "Susahnya, semua orangku menyangka bahwa satu-satunya tugas mereka
adalah mengikat orang atau memenggal
kepalanya."
Satu jam
kemudian Takezo sudah duduk di kebun di luar beranda, kepalanya tertunduk
dan tangannya terletak rata di atas
lutut, dengan sikap hormat mendengarkan.
"Jadi,
namamu Shimmen Takezo?" tanya Yang Dipertuan Ikeda.
Takezo
menengadah cepat dan melihat wajah orang terkenal itu, kemudian dengan
hormat menunduk kembali. "Ya,
Tuan," jawabnya terang.
"Keluarga
Shimmen adalah cabang keluarga Akamatsu, klan Akamatsu Masanori, seperti kau tahu betul, pernah menjadi yang dipertuan di
puri mi.
Kerongkongan
Takezo jadi kering. Baru sekali itu ia kehabisan kata. Selamanya ia menganggap dirinya kambing hitam keluarga
Shimmen, yang tak ada perasaan hormat khusus
ataupun perasaan kagum kepada daimyo itu, namun demikian ia merasa malu
karena telah mendatangkan aib besar
kepada nenek moyangnya dan nama keluarganya. Wajahnya serasa terbakar.
"Yang
kauperbuat itu tak dapat diampuni," lanjut Terumasa dengan nada lebih
keras.
"Ya,
Tuan."
"Karenanya,
aku terpaksa menghukummu." Sambil menoleh kepada Takuan ia bertanya,
"Apa betul pembantuku Aoki
Tanzaemon tanpa izinku berjanji, kalau Anda berhasil menangkap orang ini, Anda dapat memutuskan dan
memberikan hukuman?"
"Saya
kira Anda dapat mengetahui hal itu dengan langsung bertanya pada
Tanzaemon."
"Aku
sudah bertanya padanya."
"Kalau
begitu, apakah menurut pendapat Anda saya berbohong?"
"Tentu
saja tidak. Tanzaemon sudah mengaku, tapi aku menginginkan pembenaran
Anda. Karena dia bawahan langsungku, sumpahnya
pada Anda berarti sumpahku. Karena itu,
walaupun aku yang dipertuan di tanah ini, aku telah kehilangan hakku
menghukum Takezo dengan hukuman yang
cocok. Tentu aku tak akan mengizinkan dia pergi tanpa hukuman, tapi terserah Anda, bentuk hukuman apa yang akan
diambil."
"Bagus.
Itulah justru yang saya pikirkan."
"Kalau
begitu, aku simpulkan Anda sudah punya usul. Nah, apa yang akan kita
lakukan kepadanya?"
"Saya
pikir, yang terbaik adalah menempatkan tawanan ini dalam-akan kita namakan
apa itu?--'keadaan serba kurang' untuk
sementara waktu."
"Dan
bagaimana usul Anda untuk melakukan itu?"
"Saya
yakin di puri ini ada sebuah kamar tertutup yang sudah lama didesas-desuskan
ada hantunya?"
"Betul.
Semua pesuruhku menolak untuk masuk dan para pembantu selalu
menghindarinya, karena kamar itu
selamanya tidak terpakai. Sekarang kamar itu kubiarkan sebagaimana adanya, karena tak ada alasan untuk
membukanya."
"Tapi
apakah menurut pendapat Anda tidak rendah bagi kemuliaan salah seorang
prajurit terkuat dalam lingkungan
Tokugawa, kalau Anda, Ikeda Terumasa, memiliki kamar yang tak pernah berlampu dalam puri?"
"Tak
pernah aku berpikir demikian."
"Nah,
orang suka berpikir demikian. Ini adalah cermin kekuasaan dan martabat
Anda. Menurut saya, kita harus menaruh
lampu di sana."
"Hmm.
"
"Kalau
Anda mengizinkan saya menggunakan kamar itu, akan saya simpan Takezo di
sana sampai saya siap memaafkannya.
Sudah cukup lama dia hidup dalam kegelapan semata. Kaudengar itu, Takezo?"
Tidak
kedengaran Takezo berkuik, tetapi Terumasa mulai tertawa, dan katanya,
"Bagus!"
Jelas
hubungan mereka baik sekali. Jadi, apa yang dikatakan Takuan pada Aoki
Tanzaemon di kuil malam hari dulu itu
benar. Takuan dan Terumasa, dua-duanya pengikut Zen, nampak sangat bersahabat, bahkan hampir-hampir
bersaudara.
"Sesudah
mengantarnya ke petak baru itu nanti, sebaiknya Anda ikut aku ke warung
teh," kata Terumasa pada si
biarawan, ketika ia hendak pergi.
"O,
apa Anda bermaksud sekali lagi memperlihatkan ketidakmahiran Anda dalam
upacara minum teh?"
"Ah,
tidak betul, Takuan. Hari-hari ini aku sudah betul-betul mulai tahu
seluk-beluknya. Datanglah nanti, dan
akan kubuktikan bahwa aku bukan lagi sekadar serdadu yang tak tahu adat. Aku menunggu." Terumasa lalu
mengundurkan diri ke bagian dalam kediamannya.
Sekalipun tubuhnya pendek-hampir tidak sampai satu setengah
meter-kehadirannya seakanakan memenuhi
puri yang bertingkat banyak itu.
Menara
utama benteng di atas itu selalu gelap gulita. Di situlah terletak kamar yang
ada hantunya itu. Di situ tak ada
kalender, tak ada musim semi, tak ada musim gugur, tak ada bunyi kehidupan keseharian. Hanya ada sebuah
lampu kecil yang menerangi pipi pucat
cekung Takezo.
Bagian ilmu
medan dalam buku Seni Perang karangan Sun-tzu terbuka di meja rendah di hadapannya.
Sun-tzu
berkata: "Inilah yang penting diketahui tentang medan, Ada yang dapat
menerobos. Ada yang membatasi. Ada
bagian yang terpencil. Ada yang memungkinkan gerak laju. Ada jarak yang harus diperhitungkan."
Apabila
terbaca olehnya bagian yang sangat menarik seperti di bawah ini, ia
membacanya keras berulang-ulang, seperti
nyanyian.
Barang
siapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya. la
kaya karsa dan membatasi kemungkinan.
Karenanya
Sun-tzu berkata, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal
musuhnya, ia senantiasa menang dengan
mudah. Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya."
Apabila
matanya sudah kabur karena lelah, ia mencucinya dengan air sejuk dari
mangkuk kecil yang selalu ada di
sampingnya. Kalau minyak hampir habis dan sumbu lampu memercik, dimatikannya saja lampu itu. Sekeliling meja
bertumpuk-tumpuk buku, sebagian dalam
bahasa Jepang, sebagian lagi dalam bahasa Cina. Buku-buku tentang Zen,
dan berjilid-jilid tentang sejarah
Jepang. Takezo benar-benar tenggelam dalam buku pelajaran ini. Semua itu dipinjam dari koleksi Yang
Dipertuan Ikeda.
Ketika
Takuan menjatuhkan hukuman kurungan, ia berkata, "Kau boleh membaca
sebanyak kau suka. Seorang pendeta
terkenal zaman kuno pernah berkata, Saya terbenam dalam kitab-kitab suci dan membaca beribu-ribu
jilid buku. Ketika saya keluar, hati saya
serasa melihat lebih banyak daripada sebelumnya.
"Anggaplah
kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali. Kalau
kau melihatnya hanya dengan matamu, tak
akan kau melihat apa-apa kecuali sel yang tak
berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama. Lihatlah dengan
akalmu dan berpikirlah. Kamar ini dapat
menjadi sumber pencerahan, pancuran pengetahuan yang ditemukan dan diperkaya oleh orang-orang
bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah
kamar ini menjadi kamar kegelapan, ataukah kamar penuh cahaya."
Sejak itu
Takezo berhenti menghitung hari. Kalau udara dingin, artinya musim dingin. Kalau udara panas, musim panas. Lain dari itu
tidak banyak yang diketahuinya. Udara
tetap sama, lembap dan pengap, dan musim tak ada sangkut-pautnya dengan
hidupnya. Namun ia hampir merasa pasti
bahwa kalau nanti burung layang-layang datang bersarang lagi dalam lubang-lubang penyimpanan senapan yang
tertutup papan dalam menara itu, maka
itulah musim semi tahun ketiga la berada di dalam rahim itu.
"Aku
akan berumur dua puluh satu tahun," katanya pada dirinya sendiri. Disergap
rasa sesal, ia pun merintih, seakan-akan
berkabung, "Dan apa yang sudah kulakukan selama dua puluh satu tahun ini?" Kadang-kadang
kenangan tentang tahun-tahun lalu itu menekan
dirinya tak hentihentinya dan merundungnya dengan kesedihan. la meratap
dan mengerang, memukul dan menendang,
dan kadang-kadang ia tersedu-sedan bagai bayi. Hari-hari ditelan derita. Apabila derita itu mereda, ia
kehabisan tenaga dan gairah hidup. Rambutnya
berantakan dan hatinya hancur.
Akhirnya
suatu hari ia mendengar burung layang-layang kembali ke bawah atap menara
itu. Sekali lagi musim semi terbang dari
seberang lautan.
Tak lama
sesudah datangnya burung itu, terdengar suara bertanya, kali ini
kedengaran aneh, hampir-hampir
menyakitkan telinga, "Takezo, kau baik-baik saja?"
Kepala
Takuan yang sudah dikenalnya itu muncul di puncak tangga. Terkejut dan
terlampau terharu hingga tak dapat
mengeluarkan kata-kata, Takezo menarik lengan kimono biarawan itu dan menariknya masuk kamar.
Pesuruh-pesuruh yang membawakannya makanan tidak sekali pun pernah mengucapkan kata-kata.
Kegembiraannya meluap mendengar suara manusia lain, terutama suara manusia ini.
"Aku
baru pulang dari perjalanan," kata Takuan. "Ini sudah tahun ketigamu
di sini. Sesudah menempuh masa persiapan
selama ini, tentunya kau sudah jadi sekarang."
"Saya
berterima kasih atas kebaikan Bapak. Saya paham sekarang, apa yang Bapak maksudkan. Bagaimana saya harus mengucapkan
terima kasih pada Takuan?"
"Terima
kasih?" kata Takuan tak percaya. Lalu ia tertawa. "Walau tak ada yang
dapat kauajak bercakap-cakap kecuali
dirimu sendiri, ternyata kau sudah betul-betul bisa bicara seperti manusia! Bagus! Hari ini kau
boleh meninggalkan tempat ini. Dan kalau kau
pergi, peluklah dengan erat pencerahan yang telah kaubayar mahal. Kau
akan membutuhkannya apabila nanti
memasuki dunia dan menggabungkan diri dengan sesamamu."
Takuan
membawa Takezo sebagaimana adanya menghadap Yang Dipertuan Ikeda. Dalam
pertemuan sebelumnya ia didudukkan di
kebun, tapi sekarang untuknya disediakan tempat di beranda. Sesudah saling mengucapkan salam dan
basa-basi, Terumasa tidak membuang-buang waktu dan meminta Takezo menjadi bawahannya.
Takezo
menolak. la merasa mendapat kehormatan besar, demikian dijelaskannya, tapi
ia merasa belum waktunya mengabdi pada
seorang daimyo. "Dan kalau saya mengabdi di puri ini," katanya, "hantu-hantu
barangkali akan mulai muncul dalam kamar tertutup itu tiap malam, seperti kata semua orang."
"Kenapa?
Apa hantu-hantu itu menemanimu?"
"Kalau
Tuan membawa lampu dan memeriksa kamar itu dengan saksama, Tuan akan
melihat bercak-bercak hitam memerciki
pintu-pintu dan tiang-tiangnya. Kelihatannya seperti lak, tapi bukan. Itu darah manusia, kemungkinan
besar darah yang dicurahkan oleh orang-orang
Akamatsu, nenek moyang saya, ketika mereka mempertahankan puri
ini."
"Hmm.
Kemungkinan besar kau benar."
"Melihat
noda-noda itu, saya jadi naik pitam. Darah saya mendidih memikirkan
bagaimana nenek moyang saya yang pernah
menguasai seluruh wilayah ini berakhir dengan kebinasaan. Jiwa mereka begitu saja tersapu angin musim
gugur. Mereka tewas binasa, tapi mereka
wangsa yang perkasa, dan mereka dapat dibangkitkan.
"Darah
yang sama mengalir juga dalam nadi saya," ia melanjutkan dengan
pandangan saksama. "Walau saya
orang tak berharga, saya anggota wangsa yang sama, dan kalau saya tinggal di puri ini, hantu-hantu bisa bangkit
dan mencoba meraih saya. Dalam batas
tertentu, mereka sudah merasuki saya. Penjelasan datang pada saya di
kamar itu: siapa saya ini. Tapi mereka
dapat menimbulkan kemelut, barangkali juga pemberontakan, bahkan pertumpahan darah lagi. Kita tidak dalam
suasana damai. Saya berutang budi pada semua
penduduk di daerah ini, karena tidak menggoda saya untuk membalas dendam
nenek moyang saya."
Terumasa
mengangguk. "Aku mengerti maksudmu. Memang lebih baik kalau kau
meninggalkan puri ini, tapi ke mana? Apa
kau bermaksud kembali ke Miyamoto? Dan hidup di sana?"
Takezo
tersenyum tanpa suara. "Saya ingin mengembara sekehendak hati saya untuk sementara."
"O,
begitu," jawab Yang Dipertuan sambil menoleh kepada Takuan. "Sediakan
untuknya uang dan pakaian yang
sesuai," perintahnya.
Takuan
membungkuk. "Izinkan saya mengucapkan teirma kasih atas kebaikan hati Anda
pada anak ini."
"Takuan!"
Ikeda tertawa. "Inilah pertama kali Anda mengucapkan dua kali terima
kasih padaku untuk satu hal saja!"
"Benar."
Takuan menyeringai. "Baiklah, itu tidak akan terulang lagi."
"Biarlah
dia mengembara dulu sementara masih muda," kata Terumasa. "Tapi
karena dia hendak pergi sendiri-dan
menurut Anda sudah dilahirkan kembali-dia harus mempunyai nama baru. Sebaiknya namanya Miyamoto, hingga dia
tak akan lupa tempat kelahirannya. Jadi,
sejak saat ini, Takezo, sebut dirimu Miyamoto."
Tangan
Takezo langsung jatuh ke lantai. Dengan telapak tangan tertelungkup ia
membungkuk dalam dan lama. "Baik,
Tuan. Saya terima."
"Dan
kau mesti mengubah nama kecilmu juga," seru Takuan. "Bagaimana kalau
namamu dibaca seperti huruf Cina
'Musashi' dan bukan 'Takezo'? Kau bisa tetap menulis namamu seperti sebelumnya. Tepat sekali, segalanya mesti
baru pada hari kelahiranmu ini."
Terumasa
yang sedang sangat senang perasaannya, mengangguk bergairah. "Miyamoto
Musashi! Nama yang bagus, nama yang
bagus sekali. Kita mesti minum untuk merayakannya."
Mereka
berpindah ke kamar lain, sake dihidangkan, clan Takezo serta Takuan
mengawani Yang Dipertuan sampai larut
malam. Mereka disertai beberapa pembantu Terumasa, dan akhirnya Takuan bangkit berdiri, menarikan
satu tarian kuno. la memang ahli.
Gerak-geriknya yang indah menciptakan dunia kegembiraan khayali. Takezo
yang kini bernama Musashi memandang
penuh kagum, hormat dan gembira, sementara acara minum berjalan terus.
Hari
berikutnya mereka berdua meninggalkan puri. Musashi mengawali hidup baru,
hidup dalam disiplin clan latihan seni
bela diri. Selama tiga tahun di dalam kurungan itu la telah bertekad menguasai Seni Perang.
Takuan
punya rencana-rencana sendiri. la berketetapan menjelajahi pedesaan. Dan
waktu berpisah sudah tiba, katanya.
Ketika
mereka sampai di wilayah kota di luar dinding puri, Musashi memperlihatkan gelagat hendak minta diri, tapi si biarawan
menarik lengan kimononya. Katanya, "Apa tak ada yang ingin kaujumpai?"
"Siapa?"
"Ogin?"
"Apa
dia masih hidup?" tanyanya heran. Dalam tidurnya pun tak pernah ia
melupakan kakak perempuannya yang
lembut, yang sudah demikian lama ia anggap seperti ibunya sendiri.
Takuan
bercerita bahwa ketika Musashi menyerang benteng Hinagura tiga tahun lalu,
Ogin memang sudah dilepaskan. Sekalipun
tak ada tuduhan terhadapnya, ternyata Ogin enggan pulang. Ia memilih tinggal dengan seorang
sanak di sebuah kampung di daerah Sayo.
Sekarang ia sudah senang tinggal di sana.
"Apa
kau tak ingin bertemu dengannya?" tanya Takuan. "Dia ingin sekali
ketemu kau. Aku bilang padanya tiga
tahun lalu bahwa dia mesti menganggapmu sudah mati, karena dalam arti tertentu kau memang sudah mati. Tapi aku
bilang juga padanya, bahwa tiga tahun
kemudian aku akan mengantarkan adik lelaki yang baru, yang tak lain dari
Takezo yang lama."
Musashi
menangkupkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya di depan kepala,
seperti yang ia lakukan kalau berdoa di
depan patung sang Budha. "Bapak tidak hanya menyelamatkan saya," katanya penuh haru,
"tapi Bapak pun sudah memperhatikan
kesejahteraan Ogin. Bapak sungguh orang yang penuh kasih kepada orang
lain. Saya kira tak akan dapat saya
mengucapkan terima kasih atas apa-apa yang telah Bapak perbuat itu."
"Salah
satu cara untuk mengucapkan terima kasih padaku adalah dengan membiarkan
aku mengantarmu ke kakakmu."
"Tidak...
tidak, saya tak akan menemuinya. Mendengar kabarnya saja dari Bapak sudah
sama baiknya dengan menemuinya."
"Kau
pasti ingin bertemu dengannya sendiri, walau cuma beberapa menit."
"Tidak,
rasanya tidak. Saya sudah mati, Pak, dan saya sungguh-sungguh lahir
kembali. Rasanya bukan sekarang saatnya
kembali ke masa lalu. Yang harus saya lakukan sekarang adalah mengambil langkah pasti ke muka, ke
masa depan. Saya belum lagi menemukan jalan
yang hendak saya tempuh. Kalau saya sudah mendapat kemajuan dalam
pengetahuan dan penyempurnaan diri yang
sedang saya can ini, barangkali akan saya perlukan waktu untuk bersantai dan menoleh ke belakang. Tapi bukan
sekarang."
"Aku
mengerti."
"Sukar
saya meneruskannya dalam kata-kata, tapi saya harap Bapak dapat
memahaminya."
"Aku
tahu. Aku gembira melihat kau bersungguh-sungguh dalam tujuanmu. Teruslah
ikuti jalan pikiranmu."
"Saya
mengucapkan selamat berpisah sekarang. Suatu kali nanti, kalau saya tidak
terbunuh di perjalanan, kita akan
bertemu lagi."
"Ya,
ya. Kalau ada kesempatan, mari kita usahakan sungguh-sungguh untuk bersua
lagi." Takuan berbalik, melangkah,
tapi kemudian berhenti.
"O,
ya. Aku mesti mengingatkanmu bahwa Osugi dan Paman Gon meninggalkan
Miyamoto mencarimu dan Otsu tiga tahun
lalu. Mereka bertekad takkan pulang sebelum dapat membalas dendam. Biar mereka sudah tua, mereka masih
berusaha menelusuri jejakmu. Bisa saja
mereka berbuat sesuatu yang tak akan mengenakkan, tapi rasanya mereka
tak akan betul-betul menyulitkanmu.
Jangan terlalu dipikirkan.
"0,
ya, ada lagi. Aoki Tanzaemon. Mungkin kau tak pernah kenal namanya, tapi dialah
yang bertanggung jawab ketika kau
diburu-buru. Barangkali tak ada hubungannya dengan apa yang kita katakan atau kita perbuat, tapi samurai
yang baik itu sudah membikin cemar dirinya
sendiri. Akibatnya dia dipecat untuk selamanya dari pekerjaannya oleh
Yang Dipertuan Ikeda. Pasti dia juga
sedang mengembara." Takuan jadi murung. "Musashi, jalanmu bukan jalan yang mudah. Berhati-hatilah menempuh
jalan itu."
"Saya
akan berusaha sebaik-baiknya." Musashi tersenyum.
"Nah,
rasanya sudah semuanya. Aku pergi." Takuan berbalik dan berjalan ke barat.
la tidak menoleh lagi.
"Baik-baik
di jalan," seru Musashi kepadanya. la sendiri terus di persimpangan
jalan sambil memperhatikan bagaimana
sosok biarawan itu semakin mengecil, sampai akhirnya tidak kelihatan lagi. Kemudian, sekali lagi
sendirian, ia berjalan ke timur.
"Sekarang
cuma ada pedang ini," pikirnya. "Satu-satunya barang di dunia ini
yang harus jadi andalanku." Ia
letakkan tangannya ke gagang senjata, dan berjanji pada diri sendiri, "Aku akan hidup dengan
aturannya. Aku akan menganggapnya jiwaku, dan dengan belajar menguasainya aku akan berjuang memperbaiki
diriku, untuk menjadi manusia yang lebih
baik dan lebih bijaksana. Takuan mengikuti Jalan Zen, dan aku akan mengikuti
Jalan Pedang. Aku harus menjadikan
diriku manusia yang lebih baik dari dirinya."
Bagaimanapun,
demikian pikirnya, ia masih muda. Belum lagi terlambat.
Langkah
kakinya tetap tegap, matanya penuh dengan gairah muda dan harapan. Dari waktu
ke waktu ia mengangkat tepi topi
anyamannya dan menatap jalan ke masa depan, jalan asing yang harus ditempuh semua orang.
Belum lagi
jauh-sesungguhnya ia baru berada di pinggiran Himejiseorang perempuan
datang berlari-lari ke arahnya dari sisi
lain Jembatan Hanada. Mata Musashi menyipit karena terang matahari.
"Ah,
akhirnya kau muncul juga!" teriak Otsu sambil mencekau lengan kimononya.
Musashi terengah-engah
kaget.
Kata-kata
Otsu bernada teguran. "Takezo, kau tidak lupa, kan? Kau tidak lupa
nama jembatan ini? Apa kau lupa janjiku
akan menanti di sini berapa pun lamanya?"
"Kau
menanti di sini tiga tahun lamanya?" Musashi terpana.
"Ya.
Osugi dan Paman Gon menyusulku tepat saat kau pergi. Waktu itu aku sakit dan
harus beristirahat. Hampir saja aku
terbunuh. Tapi aku berhasil lolos. Aku menunggu di sini sejak dua puluh hari sejak kita berpisah di
Celah Nakayama itu."
la menunjuk
toko anyaman di ujung jembatan, sebuah kedai kecil khas di pinggir jalan raya yang menjual cenderamata. Lanjutnya,
"Kuceritakan riwayatku kepada orang-orang di sana, dan mereka berbaik hati menerimaku
sebagai semacam pembantu. Jadi, aku bisa
tinggal di sana dan menantimu. Hari ini hari kesembilan ratus tujuh
puluh, dan aku sudah memenuhi janjiku
dengan setia." Ia menatap wajah Musashi, mencoba menduga pikirannya. "Aku boleh ikut kamu, bukan?"
Sesungguhnya,
tentu saja Musashi tak punya maksud untuk mengajaknya atau siapa pun. Saat itu ia sedang bergegas menghindarkan pikiran
tentang kakak perempuannya yang demikian
ingin ia temui dan demikian kuat ia rindukan.
Masalah-masalah
itu berkecamuk dalam pikirannya yang gelisah. "Apa dayaku? Bagaimana mungkin aku berhasil mencari kebenaran dan
pengetahuan, kalau selamanya dicampuri oleh
perempuan, oleh siapa pun? Lagi pula, gadis ini masih tunangan
Matahachi." Tak bisa Musashi
menyembunyikan pikiran-pikiran itu dari wajahnya.
"Ikut?
Ikut ke mana?" tanyanya blak-blakan.
"Ke
mana saja kau pergi."
"Aku
harus menempuh perjalanan panjang dan berat, bukan untuk pelesir!"
"Aku
tak akan menghalangi jalanmu. Dan aku siap menahan beberapa kesulitan."
"Beberapa?
Hanya beberapa?"
"Berapa
pun banyaknya."
"Bukan
itu soalnya. Otsu, bagaimana mungkin seorang lelaki menguasai Jalan
Samurai, kalau perempuan membuntutinya
terus? Apa tidak lucu? Orang akan mengatakan, 'Lihat Musashi itu: dia butuh seorang inang buat
menjaganya.'" Otsu lebih keras menarik kimono Musashi dan bergayut seperti anak-anak.
"Lepaskan bajuku," perintah Musashi.
"Tidak,
aku tak mau! Kau bohong."
"Kapan
aku membohongimu?"
"Di
celah gunung itu. Kau berjanji akan mengajakku."
"Itu
berabad-abad lalu. Waktu itu aku tidak serius, dan tak ada waktu buat
menjelaskan. Dan lagi, itu bukan
pikiranku, itu pikiranmu. Aku sedang tergesa-gesa dan kau tak mau melepaskan aku sebelum aku berjanji. Aku
iyakan saja, karena tak ada pilihan lain."
"Tidak,
tidak, tidak! Tidak betul yang kaukatakan itu, tidak betul," teriak Otsu.
Ia mendesak Musashi ke pagar jembatan.
"Lepaskan!
Orang-orang memandangi kita!"
"Biar
saja! Waktu kau terikat di pohon itu, aku tanya apa kau butuh pertolonganku.
Kau begitu gembira, hingga dua kali
kauminta aku memotong tali itu. Kau tidak menyangkal hal ini, kan?"
Otsu
berusaha mengemukakan alasan yang logis, tapi ternyata air mata
menggagalkannya. Pertama ia ditinggalkan
selagi bayi, kemudian diputus cintanya oleh tunangannya, dan sekarang ini! Musashi tahu Otsu sendirian di
dunia ini, dan Musashi sangat
memikirkannya, tapi lidahnya kelu, sekalipun dari luar ia tampak lebih
tenang.
"Lepaskan!"
katanya memutuskan. "Ini tengah hari benderang, dan orang-orang
memandangi kita. Apa kau ingin kita jadi
tontonan buat orang-orang yang suka ikut campur?"
Otsu
melepaskan lengan baju Musashi dan jatuh tersedu-sedu ke pagar jembatan.
Rambutnya yang berkilauan menutupi
wajahnya.
"Maaf,"
gumam Otsu. "Mestinya aku tak boleh bicara seperti itu. Lupakanlah. Engkau
tidak berutang apa pun padaku."
Musashi
membungkuk dan menyibakkan rambut Otsu dari wajahnya dengan kedua belah
tangan, kemudian ia menatap mata Otsu.
"Otsu," katanya lembut. "Selama kau menanti sampai hari ini, aku terkurung dalam menara puri. Tiga
tahun lamanya aku bahkan tak pernah melihat
matahari."
"Ya,
aku sudah dengar." "Engkau tahu?"
"Pak
Takuan bilang padaku."
"Takuan?
Dia menceritakan segalanya?"
"Kukira
begitu. Dulu aku jatuh pingsan di dasar jurang dekat Warung Teh Mikazuki.
Waktu itu aku melarikan diri dari Osugi
dan Paman Gon. Pak Takuan menyelamatkan aku. Dia juga yang menolongku mendapatkan pekerjaan di
sini, di toko cenderamata. Itu tiga tahun lalu.
Sesudah itu aku tidak melihatnya lagi sampai kemarin, ketika dia datang
dan minum teh. Aku tidak begitu mengerti
apa yang dimaksudkannya, tapi dia berkata, 'Soalnya adalah soal antara lelaki dan perempuan, jadi siapa
yang tahu bagaimana akhirnya?"'
Musashi
menurunkan tangannya dan memandang ke jalan yang menuju barat. la bertanya
dalam hati, akan pernahkah la bertemu
lagi dengan orang yang telah menyelamatkan hidupnya. Sekali lagi ia terpukau oleh perhatian Takuan
terhadap sesama manusia yang mencakup
segalanya dan sepenuhnya bebas dari sikap mementingkan diri sendiri.
Musashi pun sadar betapa sempit
pandangannya selama ini, dan betapa kerdil ia menyangka bahwa biarawan itu hanya punya rasa cinta khusus kepadanya
seorang. Padahal kebesaran jiwanya mencakup
Ogin, Otsu, dan siapa saja yang membutuhkan, yang menurut pendapatnya
dapat dibantunya.
"Soalnya
adalah soal antara lelaki dan perempuan..." Kata-kata Takuan kepada Otsu
itu kini memberati pikirannya. Ini beban
yang tak siap dipikulnya, karena dalam
bergunung-gunung buku yang telah dibacanya bertahun-tahun itu, tidak ada
satu kata pun yang membahas situasi yang
dihadapinya sekarang. Bahkan Takuan pun mengundurkan diri, agar tidak tersangkut dalam persoalan antara
dia dan Otsu. Apakah maksud Takuan hubungan
antara lelaki dan wanita itu harus dipecahkan oleh orang-orang yang
bersangkutan saja? Apakah menurutnya
tidak ada aturan yang dapat diterapkan seperti halnya dalam Seni Perang? Tidak ada strategi yang aman, tidak
ada jalan untuk menang? Atau apakah ini yang
dimaksud cobaan bagi Musashi, suatu masalah yang hanya dapat dipecahkan
Musashi sendiri?
Tenggelam
dalam renungan, la menatap ke bawah, ke air yang mengalir di bawah jembatan.
Otsu
memandang wajah Musashi yang kini tampak jauh dan tenang. "Jadi, aku boleh
ikut?" mohonnya. "Pemilik toko
sudah berjanji membolehkan aku pergi kapan saja kuinginkan. Aku cuma perlu datang dan menjelaskan soalnya,
dan kemudian mengemasi barang-barangku.
Sebentar aku kembali."
Musashi
menggenggam tangan Otsu yang putih mungil dan tertumpang di atas pagar
jembatan itu. "Dengar, Otsu,"
katanya sedih. "Aku minta, pikirkanlah lagi."
"Apanya
yang mesti dipikirkan?"
"Sudah
kukatakan. Aku baru menjadi orang baru. Tiga tahun lamanya aku tinggal
dalam lubang lembap. Aku membaca buku.
Aku berpikir. Aku menjerit dan berteriak. Dan tiba-tiba fajar merekah. Aku baru paham apa artinya menjadi
manusia. Aku punya nama baru sekarang,
Miyamoto Musashi. Aku mau membaktikan diriku pada latihan dan disiplin.
Aku ingin memanfaatkan setiap saat dalam
tiap hariku untuk bekerja memperbaiki diri. Aku sadar sekarang, betapa jauh jalan yang harus kutempuh.
Kalau engkau memilih mengikatkan hidupmu
padaku, engkau tak akan pernah bahagia. Hanya ada kesukaran, dan kesukaran
itu tidak akan berkurang. Bahkan keadaan
semakin lama akan semakin sukar saja."
"Bicaramu
membuat aku merasa lebih dekat padamu daripada kapan pun. Sekarang aku
yakin diriku benar. Aku sudah menemukan
pria terbaik, yang takkan kuperoleh lagi sampai akhir hidupku."
Musashi
sadar ia hanya memperburuk keadaan. "Maafkan aku. Aku tak dapat
membawamu," katanya.
"Kalau
begitu, aku ikut saja. Selama aku tidak mencampuri latihanmu, apa
jeleknya? Engkau pun tak akan merasa aku
ada di situ." Musashi tak dapat menjawab lagi. "Aku tak akan mengganggumu. Aku berjanji."
Musashi tetap diam.
"Beres,
kan? Tunggu saja di sini; sebentar aku kembali. Aku akan marah sekali kalau
kau pergi diam-diam." Otsu berlari
ke arah toko anyaman.
Terpikir
oleh Musahi akan mengabaikan saja semuanya itu dan lari ke arah yang bertentangan. Keinginan demikian ada padanya,
tapi kakinya tak mau bergerak.
Otsu
menoleh ke belakang, dan serunya, "Ingat, jangan coba-coba pergi
diam-diam!" la tersenyum
memperlihatkan lesung pipitnya, dan Musashi asal mengangguk saja. Puas mendapatkan isyarat ini, Otsu menghilang ke
dalam toko.
Kalau ia
memang mau melarikan diri, inilah saatnya. Hatinya mengatakan demikian,
tapi tubuhnya masih terbelenggu oleh
lesung pipit yang manis dan mata Otsu yang memohon. Alangkah manisnya anak itu! Jelas baginya,
tak seorang pun di dunia ini yang begitu
mencintainya, kecuali kakak perempuannya. Dan ia pun bukan tidak
menyukai Otsu.
la
memandang ke langit, melihat ke dalam air, mencengkeram pagar jembatan
dengan kerasnya, kacau dan bingung.
Segera saja potongan-potongan kecil kayu jembatan mengapung di air yang mengalir.
Otsu muncul
kembali di jembatan, mengenakan sandal jerami baru, pembalut kaki kuning muda, dan topi besar perjalanan yang terikat
di bawah dagu dengan pita merah tua. Tak
pernah ia tampak begitu cantik.
Tapi
Musashi tak nampak lagi.
Otsu
berteriak terkejut dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian terpandang olehnya
bagian pagar jembatan, tempat asal
jatuhnya potongan-potongan kayu tadi. Di situ tertulis jelas pesan yang digoreskan dengan ujung belati.
"Maafkan aku. Maafkan aku
tamat buku
1
0 komentar:
Posting Komentar