Pengumuman
SEIJURO tiba kembali
di sekolah dalam keadaan murung. Ia sorongkan elangnya ke tangan seorang murid,
dan dengan singkat ia perintahkan murid itu memasukkannya kembali ke
sangkarnya.
"Kojiro tidak
bersama Tuan?" tanya murid itu.
"Tidak, tapi aku
yakin sebentar lagi dia datang."
Sesudah mengganti
pakaian, Seijuro duduk di kamar tamu. Di seberang, halaman ada dojo besar yang
sudah ditutup sejak latihan terakhir tanggal dua puluh lima. Selama setahun itu
sekitar seribu orang murid pergi-datang. Dojo takkan dibuka lagi sampai
datangnya masa latihan pertama Tahun Baru. Karena pedang-pedang kayu tak
berbunyi, rumah jadi terasa sunyi dan dingin.
Seijuro ingin sekali
berpasangan latihan dengan Kojiro, karena itu berulang-ulang ia bertanya kepada
muridnya, apakah Kojiro sudah kembali. Tapi Kojiro tidak kembali, tidak juga
malam itu, dan hari berikutnya.
Tamu-tamu lain,
sebaliknya, datang dengan paksa, karena itu hari terakhir rahun ini, yaitu hari
untuk membereskan semua rekening. Bagi orang-orang rang bergerak dalam bidang
usaha, persoalannya adalah menagih sekarang atau menanti sampai pesta Bon musim
panas berikut. Karena itu, tengah hari kamar depan penuh penagih rekening.
Biasanya orang-orang itu memperlihatkan wajah patuh sepenuhnya di hadapan
samurai, tapi kini kesabaran mereka sudah habis. Mereka mengambil sikap
blak-blakan dan menggunakan istilah-istilah jelas.
"Apa tak bisa
Bapak paling tidak membayar sebagian utang?"
"Bapak selalu
bilang, orang yang bertugas sedang keluar, atau guru sedang pergi selama
beberapa bulan ini. Apa Bapak kira Bapak bisa menangguhkan selamanya?"
"Berapa kali
kami mesti datang kemari?"
"Pak Guru yang
tua dulu langganan yang baik. Saya takkan mengatakan apa-apa kalau cuma untuk
setengah tahun terakhir, tapi tengah tahun pun Bapak belum bayar. Oh, bahkan
dari tahun lalu ada rekening-rekening yang tak terbayar!"
Beberapa orang dengan
tak sabar mengetuk-ngetuk buku rekeningnya dan menyodorkannya ke bawah hidung
murid itu. Mereka itu tukang kayu, tukang plester, tukang beras, pedagang sake,
penjahit pakaian, dan macammacam warung teh di mana Seijuro makan dan minum
dengan berutang. Tapi semua itu cuma kecil saja, dan tagihan mereka tidak
seberapa dibandingkan dengan tagihan dari para lintah darat. Tanpa
sepengetahuan kakaknya. Denshichiro meminjam uang tunai pada mereka.
Setengah lusin di
antara orang-orang itu tetap duduk, menolak meninggalkan tempat.
"Kami mau bicara
dengan Seijuro sendiri. Menghabiskan waktu saja bicara dengan
murid-murid."
Seijuro menyendiri di
belakang rumah. Pesannya hanyalah, "Katakan pada mereka, aku pergi."
Denshichiro tentu saja takkan berada dekat-dekat rumah pada hari seperti itu.
Wajah paling mencolok yang tidak kelihatan adalah wajah orang yang bertanggung
jawab atas buku perguruan dan rekening rumah tangga, Gion Toji. Beberapa hari
sebelumnya ia melarikan diri dengan Oko beserta semua uang yang telah
dihimpunnya dalam perjalanan ke barat.
Tak lama kemudian,
enam atau tujuh orang berjalan petentengan masuk, dipimpin Ueda Ryohei. Dalam
keadaan demikian memalukan pun Ueda Ryohei tetap merasa bangga menjadi seorang
di antara Sepuluh Pemain Pedang Keluarga Yoshioka. Dengan pandangan mengancam
ia bertanya, "Apa yang terjadi di sini?"
Murid itu memberikan
ikhtisar singkat, walaupun berusaha menyatakan bahwa menurut anggapannya
penjelasan tidaklah perlu.
"Cuma itu?"
tanya Ryohei mencela. "Jadi, ini cuma rombongan buaya duit? Apa bedanya?
Toh akhirnya akan dibayar. Suruh orang-orang yang tak mau tunggu pembayaran itu
masuk ruang latihan. Akan kubicarakan dengan mereka menurut bahasaku
sendiri."
Mendengar ancaman ini
tukang tagih rekening jadi sebal. Karena kejujuran Yoshioka Kempo dahulu dalam
persoalan uang, belum lagi karena kedudukannya sebagai instruktur militer untuk
para shogun Ashikaga, para penagih rekening sangat hormat pada Keluarga
Yoshioka, mau menyembah-nyembah, mau meminjamkan barang dan segalanya, mau
datang apabila dipanggil dan pergi apabila disuruh pergi, dan mau mengatakan ya
mengenai segala soal. Tapi ada batasnya sampai berapa lama mereka mesti
menjilat prajurit-prajurit kosong ini. Begitu mereka membiarkan dirinya
digertak dengan ancaman seperti yang dilontarkan Ryohei, begitu kelas saudagar
akan terusir dari dunia usaha. Padahal tanpa mereka, apa yang dapat dilakukan
kaum samurai? Apa mereka menyangka dapat menjalankan segalanya itu sendiri?
Sementara mereka
berdiri bergerombol sambil menggerutu, Ryohei menyatakan terang-terangan bahwa
menurut anggapannya mereka itu cuma sampah. "Ya sudah, pulang kalian
sekarang! Menggerombol di sini tak ada gunanya buat kalian."
Para saudagar
terdiam, tapi tak bergerak meninggalkan tempat. "Usir mereka keluar!"
teriak Ryohei.
"Pak, ini
keterlaluan!"
"Apanya yang
keterlaluan?" tanya Ryohei.
"Sama sekali tak
bertanggung jawab!"
"Siapa bilang
tak bertanggung jawab?"
"Tapi mengusir
kami keluar itu tak bertanggung jawab!"
"Kalau begitu,
kenapa kalian tidak pergi baik-baik? Kami sibuk di sini."
"Kami takkan
mengemis di sini kalau ini bukan hari terakhir tahun ini. Kami butuh uang buat
menutup utang-utang kami sendiri sebelum hari ini habis."
"Berat. Berat
sekali. Sekarang pergi kalian!"
"Bukan begini
cara memperlakukan kami!"
"Kupikir sudah
cukup aku mendengar keluhan kalian!" Suara Ryohei menjadi marah lagi.
"Tak seorang pun
akan mengeluh kalau Bapak mau bayar!"
"Sini!"
perintah Ryohei.
"Si-siapa?"
"Siapa saja yang
tak puas."
"Gila!"
"Siapa yang
bilang begitu?"
"Saya tidak
bicara tentang Bapak. Saya bicara tentang ke... adaan ini."
"Diam!"
Ryohei mencekal rambut orang itu dan melemparkannya ke luar pintu samping.
"Ada lagi yang
mau mengeluh?" geram Ryohei. "Takkan kubiarkan orang jembel macam
kalian berada di rumah ini menuntut uang sesen dua sen. Takkan kubiarkan!
Biarpun Tuan Muda ingin membayar kalian, akan kucegah dia melakukannya."
Melihat tinju Ryohei,
para penagih rekening berlari serabutan ke luar gerbang. Tapi begitu mereka
sampai di luar, penghinaan yang mereka lontarkan pada Keluarga Yoshioka
bertambah hebat.
"Aku akan
tertawa dan tepuk tangan nanti, kalau tanda 'Dijual' dipasang di tempat ini!
Tunggulah, sebentar lagi akan terjadi."
"Ya, memang,
kata orang tak lama lagi."
"Mana
mungkin?"
Ryohei merasa senang
sekali. Sambil tertawa memegang perutnya, ia pergi ke belakang rumah.
Murid-murid lain pergi bersamanya ke ruang tempat Seijuro membungkuk ke anglo,
sendirian dalam diam.
"Tuan
Muda," kata Ryohei, "Tuan begitu diam. Apa ada yang terjadi?"
"Oh,
tidak," jawab Seijuro, sedikit riang melihat para pengikutnya yang paling
setia. "Sebentar lagi tiba harinya, ya?" katanya.
"Ya,"
Ryohei membenarkan. "Itu sebabnya kami datang menjumpai Tuan. Apa tidak
kita tentukan waktu dan tempatnya dan memberitahukan pada Musashi?"
"Ya, kukira
begitu," kata Seijuro termenung. "Tempatnya... di mana tempat yang
baik? Bagaimana kalau lapangan Rendaiji di utara kota?"
"Bagus juga...
dan waktunya?"
"Sebelum hiasan
Tahun Baru diturunkan, atau sesudahnya?"
"Makin cepat
makin baik. Jangan kasih kesempatan pengecut itu menyelinap lari."
"Bagaimana kalau
hari kedelapan?"
"Hari kedelapan
itu kan ulang tahun meninggalnya Empu Kempo?"
"Betul kalau
begitu, bagaimana kalau hari kesembilan? Jam tujuh pagi: Cocok, kan?"
"Bagus, kita
pasang pengumuman di jembatan malam ini."
"Bagus!"
"Apa Anda sudah
siap?" tanya Ryohei.
"Sudah lama aku
siap," jawab Seijuro yang memang tak mungkin menjawab lain. Ia sama sekali
tak memikirkan kemungkinan kalah dari Musashi. Sesudah belajar di bawah
pimpinan ayahnya sejak kecil, dan sesudah selalu menang melawan siapa pun di
perguruan, bahkan dengan yang paling tua dan paling terlatih sekalipun, ia tak
dapat membayangkan terkalahkan oleh orang udik yang masih muda dan tak
berpengalaman itu.
Namun keyakinannya
itu tidaklah mutlak. Ia merasakan adanya rona ketidakpastian. Ia tidak mencari
sebab kekurangyakinannya itu pada kegagalannya melaksanakan Jalan Samurai, tapi
menganggapnya disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pribadi belum lama ini. Salah
satu kesulitan itu. barangkali yang terbesar, adalah Akemi. Ia merasa kurang
senang semenjak di Sumiyoshi. Ketika Gion Toji lari diam-diam, mengertilah ia
bahwa kanker keuangan dalam rumah tangga Yoshioka telah mencapai tahap kritis.
Ryohei dan
lain-lainnya kembali membawa pesan untuk Musashi yang ditulis di papan yang
baru dipotong.
"Beginikah yang
Anda maksud?" tanya Ryohei. Bunyi huruf-huruf yang masih basah mengilat
itu sebagai berikut:
Jawaban-Menjawab
permintaan Anda untuk mengadakan pertandingan, dengan ini saya sebutkan waktu
dan tempatnya. Tempat: Lapangan Rendaiji. Waktu: Jam tujuh pagi, hari
kesembilan bulan pertama. Saya ucapkan sumpah suci bahwa saya akan datang.
Kalau karena sesuatu
alasan Anda tidak memenuhi janji Anda, saya anggap menjadi hak saya untuk
menertawakan Anda di depan umum.
Kalau saya melanggar
perjanjian ini, semoga hukuman dewa-dewa jatuh pada saya! Seijuro, Yoshioka
Kempo II dari Kyoto. Dibuat pada hari terakhir/tahun 1605.
Kepada ronin dari
Mimasaka, Miyamoto Musahi.
Sesudah membacanya,
Seijuro berkata, "Baik." Pengumuman itu membuat-nya merasa lebih
santai, barangkali karena itulah untuk pertama kali ia sadar bahwa dadu sudah
dilemparkan.
Pada waktu matahari
terbenam, Ryohei mengepit tanda pengumuman itu dan berjalan bangga bersama
sejumlah murid lain untuk memasangnya di Jembatan Besar Jalan Gojo.
Di kaki Bukit
Yoshida, orang yang dimaksud dalam pengumuman itu berjalan melewati daerah
samurai keturunan bangsawan tapi tidak kaya. Mereka cenderung konservatif,
hidup biasa-biasa saja, dan tidak melakukan sesuatu yang istimewa.
Musashi berjalan dari
gerbang yang satu ke gerbang lain, memeriksa papan-papan nama yang ada.
Akhirnya ia berhenti di tengah jalan, kelihatannya tak mau atau tak bisa
melihat lebih jauh lagi. Ia sedang mencari bibinya, satu-satunya sanak yang
masih hidup di luar Ogin.
Suami bibinya adalah
samurai yang bekerja dengan gaji kecil pada Keluarga Konoe. Semula Musashi
menyangka mudah menemukan rumah dekat Bukit Yoshida itu, tapi segera ia paham
bahwa sukar sekali membedakan rumah yang satu dengan yang lain. Kebanyakan
ruimah itu kecil dan dikelilingi pohon-pohonan. Gerbang-gerbangnya tertutup
rapat seperti i:ijing. Cukup banyak juga gerbang yang tak berpapan nama.
Karena kurang pasti
tentang tempat yang dicarinya, ia enggan bertanya. Mereka tentunya sudah
pindah," pikirnya. "Lebih baik aku tidak mencari lagi, ia kembali ke
pusat kota. Kota waktu itu berselimut kabut yang memantulkan lampu-lampu pasar
akhir tahun. Sekalipun waktu itu malam Tahun Baru, jalan-jalan di pusat kota
masih berdengung oleh bunyi kesibukan orang banyak.
Musashi menoleh,
melihat seorang perempuan yang baru saja lewat ke arah berlawanan. Paling
sedikit tujuh atau delapan tahun ia tidak melihat bibinya, tapi ia yakin
perempuan itu bibinya, karena ia mirip dengan gambaran yang diciptakannya
tentang ibunya. Ia mengikutinya dari jarak dekat dan memanggilnya.
Perempuan itu
menatapnya penuh kecurigaan sesaat dua saat. Keterkejutannya sangat tercermin
dalam matanya yang mengeriput oleh hidup yang membosankan, dengan anggaran
belanja kecil bertahun-tahun lamanya. "Engkau Musashi, anak Munisai,
kan?" tanyanya akhirnya.
Musashi heran, kenapa
perempuan itu memanggilnya Musashi, bukan Takezo. Tapi yang betul-betul
menggundahkan adalah kesan bahwa perempuan itu tidak menerimanya dengan baik.
"Ya," demikian jawabnya. "saya Takezo dari keluarga
Shimmen."
Perempuan itu
memandangnya dari kaki sampai rambut, tanpa mengucapkan "oh" atau
"ah" yang biasa diucapkan orang, dan tidak menyatakan betapa Musashi
sudah besar dan betapa berlainan wajahnya dari sebelumnya. "Kenapa kau
datang kemari?" tanyanya dingin, dengan agak menguji.
"Saya datang
tanpa maksud khusus. Kebetulan saja saya ada di Kyoto. Saya pikir alangkah
senang ketemu Bibi." Melihat mata dan garis rambut bibinya, ia ingat
ibunya. Sekiranya masih hidup, pasti ibu setinggi perempuan ini, dan suara
bicaranya pun serupa.
"Engkau
bermaksud menengok aku?" tanya bibinya tak percaya.
"Ya. Maaf,
begini tiba-tiba."
Bibinya mengibaskan
tangan di depan muka, sebagai tanda tak perlu minta maaf. "Nah, engkau
sudah bertemu denganku, jadi tak ada urusan lagi. Pergilah!"
Merasa dipermalukan
oleh penerimaan yang dingin ini, Musashi marah, "Kenapa Bibi mengatakan
itu, padahal Bibi baru melihat saya? Kalau Bibi menyuruh saya pergi, saya akan
pergi, tapi saya tak mengerti sebabnya. Apakah saya melakukan sesuatu yang
tidak Bibi sukai? Kalau memang, demikian, setidak-tidaknya katakanlah."
Bibinya kelihatan
enggan berterus terang. "Ya, berhubung kau sudah di sini, bagaimana kalau
kau datang ke rumah kami dan menjumpai pamanmu. Tapi kau tahu sendiri, orang
macam apa dia, jadi jangan kecewa dengan apa yang mungkin dikatakannya. Aku
bibimu dan karena engkau datang menegok kami, aku tak ingin kau pergi dengan
perasaan berat."
Sambil menyenangkan
diri sedikit dengan ucapan bibinya itu, Musashi berjalan bersamanya ke rumah
bibinya, kemudian menanti di kamar depan sementara bibinya mengabari suaminya.
Lewat shoji ia dapat mendengar suara pamannya yang asmatis menggerutu. Nama
paman itu Matsuo Kaname.
"Apa?"
tanya Kaname dengan jengkel. "Anak Munisai di sini? Memang itu yang
kutakutkan. Akhirnya dia muncul. Maksudmu dia di sini, di rumah ini? Kau
membiarkannya masuk tanpa tanya aku dulu?"
Cukup sudah. Tapi
ketika Musashi berseru mengucapkan selamat berpisah kepada bibinya, Kaname
berkata, "Kau di sini, ya?" dan membuka pintu. Ia bukannya
mengerutkan kening lagi, tapi menunjukkan sikap benci sebenci-bencinya, seperti
sikap yang ditunjukkan orang kota kepada sanak dari desa yang tidak mandi,
seakan-akan seekor sapi masuk rumah dan menginjakkan kakinya ke atas tatami.
"Kenapa engkau
datang kemari?" tanya Kaname.
"Kebetulan saja
saya ada di kota ini. Saya cuma ingin melihat keadaan Paman."
"Bohong!"
"Paman?"
"Kau boleh
bohong semaumu, tapi aku tahu apa yang kaulakukan. Kau mendatangkan banyak
kesulitan di Mimasaka, membuat banyak orang membencimu, mengaibkan nama
keluargamu, dan kemudian lari. Apa tidak benar begitu?"
Musashi tercengang.
"Bagaimana
mungkin kau bisa begitu tak tahu malu mengunjungi sanak keluarga?"
"Saya minta maaf
atas segala yang telah saya perbuat," kata Musashi. "Tapi saya
betul-betul bermaksud menebusnya, demi leluhur saya dan desa saya."
"Rasanya kau tak
bisa pulang. Yah, tangan mencencang bahu memikul. Munisai tentu menangis dalam
kuburnya."
"Rasanya saya
sudah cukup lama di sini," kata Musashi. "Saya pergi sekarang."
"Jangan!"
kata Kaname marah. "Kau tinggal saja di sini! Kalau kau mondar-mandir
sekitar tempat ini, sebentar saja kau akan mendapat kesulitan. Perempuan tua
tukang bantah dari Keluarga Hon'iden itu muncul di sini kira-kira setengah
tahun lalu. Baru-baru ini beberapa kali dia datang. Dia terus bertanya pada
kami apa kamu datang kemari, dan mencoba mengetahui dari kami di mana kamu
berada. Dia menguntitmu terus dengan nafsu balas dendam yang mengerikan."
"Oh, Osugi. Dia
pernah kemari?"
"Betul. Aku
mendengar semua tentangmu dari dia. Kalau kau bukan sanakku, pasti kuikat kau dan
kuserahkan padanya, tapi karena keadaan... Paling tidak, tinggallah kau di sini
sekarang. Sebaiknya kau meninggalkan tempat ini tengah malam. Jadi, takkan ada
kesulitan dengan bibimu dan aku."
Sungguh memalukan
bahwa bibi dan pamannya menelan setiap patah kata dalam fitnah Osugi. Dengan
perasaan betul-betul seorang diri, ia duduk diam menatap lantai. Akhirnya
bibinya kasihan kepadanya dan menyuruhnya pergi ke kamar lain untuk tidur.
Musashi menjatuhkan
diri ke lantai dan mengendurkan sarung pedangnya. Sekali lagi ia merasa bahwa
di dunia ini tak ada tempat ia bergantung, kecuali diri sendiri.
Ia merenung.
Barangkali benar, justru karena pertalian darahlah paman dan bibinya
menerimanya dengan terus terang dan keras. Kalau tadi ia begitu marah, hingga ingin
meludah di pintu dan pergi, maka sekarang ia mengambil sikap lebih toleran. Ia
ingatkan dirinya bahwa penting ia melepaskan mereka dari segala dakwaan.
Musashi memang
terlalu naif, hingga tak dapat menilai secara tepat orang-orang yang ada di
sekitarnya. Sekiranya ia sudah kaya dan terkenal, perasaannya mengenai sanak
keluarganya pasti mengena. Sekarang ini begitu saja ia masuk dari tengah udara
dingin, dengan kimono kotor dan gombal, padahal malam itu malam Tahun Baru.
Mengingat itu, tidak mengherankan bahwa bibi dan pamannya tidak menunjukkan
keakraban kekeluargaan.
Hal itu segera
menyadarkan Musashi. Ia membaringkan badan dalam keadaan lapar, dan merasa akan
mendapat tawaran makan. Ia memang mencium bau makanan yang sedang dimasak dan
mendengar dentingdenting pinggan-mangkuk di dapur, tapi tak seorang pun
mendekati kamarnya. Kelap-kelip api dalam anglo tidak lebih besar dari seekor
kunangkunang.. Tak lama kemudian ia menyimpulkan bahwa lapar dan dingin itu
nomor dua. Yang paling penting sekarang tidur, karena itu ia segera menidurkan
diri.
Ia terbangun sekitar
empat jam kemudian oleh dentang lonceng kuil yang menandakan habisnya tahun
lama. Tidur membuat badannya sehat. Ketika ia bangkit, terasa lelahnya lenyap.
Pikirannya segar dan jernih.
Di dalam dan di
sekitar kota, lonceng besar berdentam-dentam dengan irama lambat dan anggun,
menandai berakhirnya kegelapan dan dimulainya terang. Seratus delapan dentangan
untuk seratus delapan angan-angan hidup, dan setiap dentangan merupakan seruan
kepada lelaki maupun perempuan untuk mengenangkan kesia-siaan cara hidup
mereka.
Musashi
bertanya-tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang yang pada malam itu dapat
mengatakan, "Aku benar. Aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan. Aku
tidak menyesal." Baginya sendiri, setiap dentang lonceng yang menggema itu
membangkitkan getar sesal yang dalam. Ia tak dapat menampilkan apa pun kecuali
hal-hal salah yang dilakukannya tahun lalu-tahun sebelumnya dan tahun sebelum
itu pun, atau seluruh tahun yang telah lewat itu, semuanya membawa penyesalan
baginya. Tak satu tahun pun tanpa penyesalan. Ya, boleh dikata tak satu hari
pun tanpa penyesalan.
Menurut pandangannya
yang terbatas atas dunia ini, tampaknya apa pun yang diperbuat orang, segera
kemudian akan mereka sesali. Orang misalnya mengambil istri dengan maksud
menjalani hidup bersama, tapi sering kemudian ia berubah pikiran. Kita dapat
dengan mudah memaafkan perubahan pikiran pada perempuan, tapi perempuan jarang
memperdengarkan keluhan, sedangkan lelaki sering. Berapa kali ia pernah
mendengar lelaki memperolok-olok istrinya, seolah istri itu sandal buangan yang
usang.
Musashi memang tidak
punya masalah perkawinan, tapi ia menjadi korban angan-angan, dan sesal
bukanlah perasaan yang asing baginya. Pada saat ini pun ia menyesal sekali
telah datang ke rumah bibinya. "Sekarang pun," demikian ratapnya,
"aku tak bebas dari rasa ketergantungan. Aku selalu mengatakan pada diriku
bahwa aku harus berdiri di atas kaki sendiri dan menjaga diri sendiri. Tapi
kemudian tiba-tiba aku mundur dan bertopang kepada orang lain. Ini sungguh
dangkal! Sungguh bodoh!
"Tahulah aku apa
yang mesti kulakukan!" pikirnya. "Aku mesti mengambil sikap dan
menuilskannya."
Ia membuka bungkusan
shugyosha-nya dan mengeluarkan buku tulis yang terbuat dari lembar-lembar
kertas lipat empat dan diikat dengan kertas gulung. Ia biasa menggunakannya
untuk mencatat pikiran-pikiran yang datang kepadanya selama pengembaraannya,
termasuk ungkapan-ungkapan Zen, catatan tentang ilmu bumi, nasihat-nasihat
untuk diri sendiri, dan kadang juga sketsa kasar tentang hal-hal menarik yang
dilihatnya. Dibukanya buku tulis itu di hadapannya, dikeluarkannya kuas, dan
dipandangnya kertas putih itu.
Ia menulis: Aku
takkan menyesali apa pun.
Sering memang ia
menuliskan sikap yang diambilnya. Menurutnya, dengan menuliskannya pun ia dapat
merasakan lega sedikit. Ia mesti mengulang-ulangnya untuk diri sendiri tiap
pagi dan malam, seperti orang membaca kitab suci. Akibatnya ia selalu mencoba
memilih kata-kata yang mudah diingat dan dibaca, seperti sajak.
Lalu sejenak ia
menatap apa yang telah ditulisnya itu dan mengubahnya dengan: Aku takkan
menyesali perbuatan-perbuatanku.
Ia menggumamkan
kata-kata itu pada diri sendiri, tapi masih terasa kurang memuaskan, dan
mengubahnya lagi: Aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.
Puas dengan usahanya
yang ketiga, ia memainkan kuasnya. Sekalipun ketiga kalimat itu ditulis dengan
maksud sama, dua kalimat pertama bisa saja berarti ia takkan menyesal, entah ia
berbuat benar atau salah, sedangkan kalimat ketiga menekankan tekadnya untuk
bertindak demikian rupa, hingga tak perlu lagi kritik diri.
Musashi mengulangi
ketetapan hati itu pada diri sendiri, karena sadar bahwa itu suatu cita-cita
yang takkan dapat tercapai kalau ia tidak mendisiplin hati dan pikirannya
semampu-mampunya. Namun demikian, berjuang untuk mencapai tingkat di mana tak
ada tindakannya yang akan menimbulkan penyesalan merupakan jalan yang harus ia
tempuh. "Pada suatu hari nanti aku akan mencapai cita-cita itu!"
demikian sumpahnya. Ia benamkan sumpah itu ke dasar hatinya, seperti
membenamkan pancang.
Shoji di belakangnya
menggeser terbuka dan bibinya menjenguk Dengan suara menggeletar di sekitar
akar giginya, bibinya berkata, "Sudah kuduga sebelumnya! Ada yang
mengatakan padaku, tak perlu aku menerimamu di sini, dan sekarang apa yang
kutakutkan itu betul-betul terjadi. Osugi datang mengetuk dan melihat sandalmu
di gang masuk. Dia yakin kamu ada di sini dan mendesak aku menyerahkanmu
kepadanya! Dengar itu! Kamu bisa mendengar-nya dari sini. Oh, Musashi, apa yang
akan kaulakukan?"
"Osugi? Di
sini!" tanya Musashi, enggan mempercayai telinganya. Tapi benar tak ada
yang salah. Ia mendengar suara Osugi yang parau itu menerobos celah-celah
seperti angin dingin, suara itu tertuju pada Kaname, dengan nada paling kaku
dan paling congkak.
Osugi datang ketika
dentang-dentang lonceng tengah malam baru saja berhenti dan bibi Musashi baru
saja akan pergi menimba air bersih untuk Tahun Baru. Bibi itu gelisah oleh
bayangannya sendiri bahwa Tahun Barunya akan kacau oleh pertumpahan darah yang
tak suci, karena itu la tidak berusaha menyembunyikan kesal hatinya.
"Larilah kamu
secepat-cepatnya," mohonnya. "Pamanmu masih menahannya dengan
mengatakan kamu tidak datang kemari. Menyelinaplah, selagi ada waktu." Ia
pungut topi dan bungkusan Musashi, dan ia antar Musashi ke pintu belakang. Di
situ ia telah meletakkan kaus kaki kulit suaminya beserta beberapa pasang
sandal jerami.
Sambil mengikatkan
sandal, Musashi berkata tersipu-sipu, "Saya sebetulnya benci mengganggu
orang, tapi apa tak bisa Bibi berikan pada saya semangkuk bubur? Saya belum
makan apa pun malam ini."
"Ini bukan waktu
makan! Tapi inilah, ambil ini! Dan pergi sana!" Ia ulurkan lima kue betas
dengan secarik kertas putih.
Musashi menerimanya
dengan girang dan mengangkatnya ke depan dahi sebagai tanda terima kasih.
"Selamat tinggal," katanya.
Ia susuri jalanan
yang licin oleh es pada hari pertama Tahun Baru yang gembira itu dengan sedih,
seperti seekor burung musim dingin yang bulunya berterbangan ke langit hitam.
Rambut dan
kuku-kukunya terasa membeku. Yang tampak olehnya hanyalah napasnya sendiri yang
putih, yang cepat membeku pada bulu halus sekitar mulutnya. "Dingin,"
katanya keras. Tujuh Neraka Beku pasti tak sedingin ini! Kalau biasanya ia
mengibaskan rasa dingin begitu saja, kenapa pagi ini ia rasakan dingin sehebat
ini?
Dan ia menjawab
pertanyaannya sendiri, "Tidak hanya tubuhku. Jiwaku pun dingin. Berarti
belum dapat diatur dengan baik. Demikianlah adanya. Aku masih ingin bergayut
pada daging hangat, seperti bayi, dan aku terlalu cepat menyerah pada
sentimentalitas. Karena aku sendirian, aku merasa kasihan pada diri sendiri dan
iri kepada orang-orang yang punya rumah bagus dan hangat. Dalam hal aku merasa
hina dan tak berarti! Kenapakah aku tak bisa berterima kasih atas kebebasan dan
kemerdekaan untuk pergi ke mana kusuka? Kenapakah aku tak dapat berpegang pada
cita-cita dan harga diri?"
Sementara menikmati
keunggulan nilai kemerdekaan, kakinya yang sakit bertambah hangar, bahkan
sampai ujung-ujung jarinya, dan napasnya berubah menjadi uap. "Seorang
pengembara tanpa cita-cita dan tanpa rasa syukur kepada kebebasan yang
dimilikinya tidak lebih dari seorang pengemis! Perbedaan besar antara seorang
pengemis dan pendeta pengembara menurut Saigyo terletak di dalam hati!"
Tiba-tiba ia melihat
kilau putih di bawah kakinya. Ia menginjak lapisan es rapuh. Tanpa
diketahuinya, sejak tadi la berjalan menuju tepi Sungai Kamo yang membeku.
Sungai maupun langit masih hitam, dan di timur belum lagi tampak bayangan
fajar. Kakinya berhenti berjalan. Bagaimanapun, kaki itu telah membawanya
dengan selamat melintasi kegelapan Bukit Yoshida. Sekarang keduanya enggan
berjalan terus.
Di balik tanggul ia
kumpulkan ranting-ranting, pecah-pecahan kayu dan apa saja yang dapat terbakar,
kemudian ia menggoreskan batu api. Membuat nyala kecil yang pertama itu
menuntut kerja keras dan kesabaran, tapi akhirnya sejumlah daun kering mulai
menyala. Dengan ketekunan seorang tukang kayu, ia dapat mengonggokkan
bilah-bilah kayu dan cabang-cabang kecil. Pada taraf tertentu, api dengan cepat
menyala, dan ketika angin bertiup ia menjilat pembuatnya, hampir-hampir
membakar wajahnya.
Musashi mengeluarkan
kue betas pemberian bibinya dan membakarnya satu per satu dalam nyala api. Kue
itu menjadi cokelat dan membengkak seperti gelembung, mengingatkannya pada
perayaan Tahun Baru di masa kecilnya. Kue itu tidak memiliki rasa lain kecuali
rasanya sendiri, karena memang tidak digarami atau digulai.
Ketika ia
mengunyahnya, terasa olehnya nasi putih itu sebagai rasa dunia nyata di
sekitarnya. "Aku merayakan Tahun Baru sendiri," pikirnya bahagia.
Sesudah menghangatkan muka dengan nyala api dan mengisi mulutnya, maka dunia
pun terasa agak menarik.
"Ini perayaan
Tahun Baru yang bagus! Kalau seorang pengembara seperti aku memiliki lima biji
kue nasi yang baik, mestinya surga memberikan kemungkinan pada tiap orang untuk
merayakan Tahun Baru dengan caranya masing-masing. Di sini ada Sungai Kamo yang
akan kuajak minum merayakan Tahun Baru. Tiga puluh puncak Gunung Higashiyama
itulah hiasan pinusku! Aku mesti membasuh tubuhku dan menantikan sinar matahari
pertama."
Di tepi sungai yang
membeku itu ia buka obi-nya, ia lepas kimono dan pakaian dalamnya, kemudian ia
mencemplungkan diri ke air, membasuh diri seluruhnya sambil berkecipak seperti
burung air.
Ia sedang berdiri di
tepi sungai sambil menggosok kulitnya kuat-kuat, ketika cahaya fajar pertama
memecah dari balik awan dan jatuh hangat ke punggungnya. Ia memandang ke arah
api dan tampaklah seseorang berdiri di tanggul di atas api itu. Seorang musafir
yang berbeda dalam umur dan penampilan, dan terbawa kemari oleh nasib. Osugi.
Perempuan tua itu
melihatnya juga, dan dalam hatinya berseru, "Dia di sini! Perusuh itu di
sini!" Dilanda perasaan gembira sekaligus takut, hampir saja ia jatuh
pingsan. Ia ingin memanggil Musashi, tapi suaranya tertahan. Tubuhnya gemetar
dan tak mau tunduk pada perintahnya.
Secara mendadak ia
duduk dalam bayangan sebatang pinus kecil.
"Akhirnya!"
ucapnya gembira. "Akhirnya kutemukan dia! Jisim Paman Gon yang memimpinku
menemukan dia." Dalam tas yang bergantung di pinggangnya ia simpan
sebagian tulang Paman Gon dan sejumlah rambutnya.
Tiap hari, semenjak
kematian Paman Gon, ia bicara dengan orang mati itu. "Paman Gon,"
katanya, "biarpun kau sudah mati, aku tak merasa sendirian. Kau bersamaku.
Aku bersumpah takkan kembali ke desa sebelum menghukum Musashi dan Otsu. Dan
kau masih bersamaku sekarang. Boleh saja kau mati, tapi jisimmu selalu di
sampingku. Kita akan bersama selamanya. Pandanglah ke atas lewat rerumputan
kepadaku, dan perhatikan! Tak bakal aku membiarkan Musashi pergi tanpa
hukuman!"
Paman Gon baru
seminggu meninggal, tapi Osugi sudah berketetapan akan setia kepadanya, sampai
ia sendiri nanti berubah menjadi abu. Beberapa hari terakhir itu Ia
melipatgandakan usaha pencarian dengan kehebohan Kishimojin yang dahsyat.
Sebelum tunduk pada sang Budha, Kishimojin telah membunuhi anak-anak lain untuk
memberi makan anaknya sendiri kabarnya jumlahnya sampai lima ratus, atau
seribu, atau sepuluh ribu.
Kabar nyata pertama
yang didengar Osugi adalah omongan orang di jalan bahwa segera akan terjadi
pertarungan antara Musashi dan Yoshioka Seijuro. Kemudian, malam sebelumnya ia
berada di tengah orang-orang yang merubung papan pengumuman yang terpasang di
Jembatan Besar Jalan Gojo. Sungguh peristiwa itu membesarkan hatinya! Ia
membaca papan itu berulang kali sambil berpikir. "Jadi, ambisi Musashi itu
akhirnya menguasainya. Oh, mereka akan membuatnya seperti badut. Yoshioka akan
membunuhnya. Oh! Kalau hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku menghadapi orang
di desa? Aku bersumpah aku sendirilah yang akan membunuhnya. Aku harus
mendahului Yoshioka dan membawa wajah menangis itu pulang ke rumah,
menjinjingnya pada rambutnya supaya orang-orang desa dapat melihatnya!"
Kemudian ia berdoa kepada dewa-dewa, bodhisatwa, dan para leluhur, agar mereka
membantunya.
Karena marah dan
sengit, ia meninggalkan rumah Matsuo dengan kecewa. Pulang menyusuri Sungai
Kamo, semula la menyangka cahaya itu api unggun seorang pengemis. Tanpa suatu
sebab khusus ia berhenti di tanggul dan menanti. Ketika dilihatnya seorang
lelaki telanjang berotot muncul dari sungai tanpa memedulikan dingin, tahulah
ia bahwa orang itu Musashi.
Karena Musashi tidak
berpakaian, itulah saat yang paling baik untuk menangkapnya dengan kejutan dan
memotongnya, tetapi hatinya yang tua dan mengering itu tak tega berbuat
demikian.
Ia mengatupkan tangan
dan mengucapkan doa syukur, seolah-olah telah membawa kepala Musashi.
"Sungguh aku bahagia! Terima kasihku atas pertolongan dewa-dewa dan
bodhisatwa, bahwa sekarang aku melihat Musashi di depan mataku. Ini tak mungkin
sekadar kebetulan! Keyakinanku yang tak pernah kendur kini mendapat berkah.
Musuh diserahkan ke tanganku!" Ia menyembah surga, karena ia percaya
sepenuhnya bahwa sekarang tibalah baginya saat terbaik untuk menyempurnakan
tugasnya.
Batu-batuan sepanjang
tepi air kelihatan mengapung di atas tanah satu demi satu ketika cahaya
menimpanya. Musashi mengenakan kimono, mengikatkan obi erat-erat, dan
memasangkan kedua pedangnya. Ia bersujud diam kepada dewa-dewa langit dan bumi.
Jantung Osugi
melompat ketika ia berbisik, "Sekarang!"
Tepat pada waktu itu
Musashi melompat berdiri. Dengan gesitnya ia melompati air dan berjalan cepat
menyusuri tepi sungai. Osugi buru-buru berjalan menyusur tanggul, berusaha
tidak memancing perhatian Musashi.
Atap-atap dan
jembatan-jembatan kota mulai membentuk garis-garis putih dalam kabut pagi, tapi
di atas sana bintang-bintang masih melayanglayang di angkasa, dan daerah
sepanjang kaki Gunung Higashiyama masih sehitam tinta. Ketika Musashi sampai
jembatan kayu di Jalan Sanjo, ia lewat di bawahnya dan muncul kembali di puncak
tanggul di seberangnya. Ia berjalan dengan langkah lelaki, panjang-panjang.
Beberapa kali Osugi sudah begitu dekat, hingga dapat memanggil Musashi, tapi ia
menahan diri.
Musashi iahu la ada
di belakang. Tapi ia pun tahu bahwa jika ia menoleh ke belakang, Osugi akan
menyerangnya, dan terpaksalah ia menghadiahi perempuan itu dengan pameran cara
bertahan, tanpa melukainya. "Lawan yang mengerikan!" pikirnya.
Sekiranya ia masih Takezo dulu di desa, tak akan ia memikirkan yang lain
kecuali merobohkannya dan menghantamnya sampai muntah darah. Sekarang tentu
saja tak dapat lagi ia berbuat demikian.
Sebetulnya ia lebih
punya hak membenci perempuan itu daripada sebaliknya, tapi ia ingin perempuan
itu sadar bahwa perasaan terhadap dirinya hanya berlandaskan salah pengertian
besar. Ia yakin bahwa kalau ia dapat menjelaskan duduk perkaranya, tidak akan lagi
perempuan itu bertahun-tahun lamanya menyimpan dendam kesumat, tapi kecil
kemungkinannya Musashi dapat meyakinkannya sekarang, kecuali kalau ia
menjelaskannya seribu kali. Hanya ada satu kemungkinan. Walaupun keras kepala,
Osugi pasti percaya kepada Matahachi. Kalau anaknya sendiri menceritakan dengan
tepat apa yang telah terjadi sebelum dan sesudah Sekigahara, mungkin ia tak
lagi menganggap Musashi musuh Keluarga Hon'iden, apalagi orang yang melarikan
calon istri anaknya.
Kini ia mendekati
jembatan di daerah yang pada akhir abad dua belas berkembang pesat, yaitu
ketika Keluarga Taira berada di puncak kejayaannya. Sesudah peperangan di abad
lima belas pun daerah itu tetap merupakan salah satu bagian Kyoto yang paling
padat penduduknya. Matahari baru saja mulai menyinari bagian depan rumah-rumah
dan kebun. Tanda-tanda bekas sapuan malam sebelumnya masih kelihatan, tapi pada
waktu sepagi itu tak satu pintu pun terbuka.
Osugi dapat menandai
jejak kaki Musashi di lumpur. Jejak kaki itu pun dibencinya.
Seratus meter lagi,
kemudian lima puluh.
"Musashi!"
jerit perempuan tua itu. Sambil mengepalkan tinju ia menjulurkan kepalanya dan
berlari mengejar. "Setan jahat kamu!" serunya. "Apa kamu tak
punya telinga?"
Musashi tidak
menoleh.
Osugi terus berlari.
Sekalipun sudah tua, tekadnya yang tak kenal maut memberikan keberanian dan
kelelakian kepada langkah-langkahnya. Musashi terus membelakanginya, gelisah
menimbang-nimbang cara bertindak.
Tiba-tiba perempuan
itu melompat ke hadapannya dan menjerit, "Berhenti!" Bahunya yang
lancip dan tulang rusuknya yang tipis kerempeng bergeser. Sesaat la berdiri
dengan napas terengah-engah sambil mengumpulkan ludah di mulut.
Musashi tak
menyembunyikan sikap pasrahnya. Katanya dengan sikap tak acuh sebisanya,
"Oh, kalau tak salah ini Nyonya Hon'iden! Apa kerja Ibu di sini?"
"Anjing biadab
kamu! Kenapa pula aku tak di sini? Aku yang mestinya bertanya. Aku sudah
membiarkanmu lepas di Bukit Sannen, tapi hari ini akan kumiliki kepalamu
itu!" Lehernya yang kurus kering mengingatkan Musashi kepada jago aduan,
dan suaranya yang menggeletar, yang seakan hendak melontarkan giginya yang
merongos keluar dari mulut itu, lebih mengerikan daripada teriakan perang.
Rasa takut Musashi
kepada perempuan tua itu berakar dalam kenangan masa kanak-kanaknya, ketika
Osugi menangkap basah ia dan Matahachi melakukan suatu kenakalan di rumpun buah
mulberi atau di dapur Hon'iden. Waktu itu ia berumur delapan atau sembilan
tahun, masa ketika mereka berdua selalu saja melakukan kenakalan. Dan ia masih
ingat dengan jelas, bagaimana waktu itu Osugi memaki-makinya. Waktu itu ia lari
ketakutan dan perutnya terasa mual. Kenangan ini membuatnya menggigil. Ia sudah
menganggap perempuan itu tukang sihir tua yang bikin benci dan gampang marah.
Sekarang pun ia benci pada Osugi karena pernah mengkhianatinya, sewaktu ia
pulang ke desa dari Sekigahara. Tapi aneh, ia juga sudah terbiasa menganggap
wanita itu sebagai orang yang takkan pernah dapat dihadapinya dengan baik.
Hanya bersama berlalunya waktu, perasaan terhadap perempuan itu menjadi lunak.
Pada Osugi,
sebaliknya yang terjadi. Ia tak dapat melepaskan gambaran tentang Takezo
sebagai anak nakal yang menjengkelkan dan tak bisa diatur. Ia mengenalnya sejak
bayi. Seorang anak yang selalu meler hidungnya dan kepalanya luka-luka. Tangan
dan kakinya begitu panjang, hingga kelihatan tidak normal. Bukannya ia tak
sadar akan jalannya waktu, bahwa ia sudah tua sekarang. Ia sadar. Dan Musashi
sudah dewasa. Tapi ia tak dapat mengatasi dorongan hatinya untuk memperlakukan
Musashi sebagai anak melarat yang jahat. Apabila terpikir olehnya betapa anak
kecil ini telah mempermalukannya, kontan ia berniat membalas dendam! Soalnya
bukanlah sekadar membersihkan diri di hadapan orang desa. Ia mesti melihat
Musashi masuk kubur sebelum ia sendiri mengakhiri hidupnya.
"Tak ada gunanya
bicara!" pekiknya. "Serahkan kepalamu, atau siapsiaplah merasakan
pedangku! Siap kamu, Musashi!" Ia menghapus bibirnya dengan jari, meludah
ke tangan kiri, dan mencekal sarung pedangnya.
Ada peribahasa
tentang seekor belalang betina yang menyerang kereta kaisar. Tentunya
peribahasa itu diciptakan orang untuk melukiskan Osugi yang pucat pasi itu,
yang menyerang Musashi dengan kakinya yang kurus panjang. Ia tampak benar-benar
seperti seekor belalang betina. Matanya, kulitnya, cara berdirinya yang aneh,
semuanya sama. Musashi berdiri waspada memperhatikan gerak Osugi, seperti
terhadap anak yang sedang bermain. Bahu dan dadanya tampak tak terkalahkan,
seperti kereta besi yang kekar.
Walaupun situasinya
tampak ganjil, ia tidak dapat tertawa, karena tiba-tiba ia merasa sangat
kasihan. "Tunggu dulu, Nek!" mohonnya sambil menangkap siku perempuan
itu sedikit, namun erat.
"A... pa pula
ini!" teriak Osugi. Tangannya yang tak berdaya dan giginya gemetar karena
terkejut. "P-p-pe-ngecut!" gagapnya. "Kaupikir kau bisa
men-cegahku? Empat puluh Tahun Baru lebih banyak telah kulihat daripada yang
sudah kaulihat, karena itu tak bisa kau memperdayakan aku. Terima
hukumanmu!" Warna kulit Osugi seperti warna tanah liat merah, sedangkan
suaranya penuh kenekatan.
Sambil mengangguk
bersemangat, Musashi berkata, "Saya mengerti; saya tahu perasaan Nenek.
Memang Nenek menyimpan semangat juang Keluarga Hon'iden. Saya lihat Nenek
memiliki darah yang sama dengan leluhur Keluarga Hon'iden, yang dengan berani
pernah mengabdi pada Shimmen Munetsura."
"Lepaskan
aku...! Takkan kudengarkan jilatan orang yang semuda cucuku."
"Tenanglah. Kurang tepat kalau orang setua Nenek bersikap kasar. Ada yang
mau saya katakan."
"Pernyataan
terakhir sebelum menemui ajalmu?"
"Tidak; saya mau
menjelaskan."
"Aku tak ingin
penjelasan apa pun darimu!" Perempuan tua itu menegakkan diri
setinggi-tingginya.
"Nah, kalau
begitu saya cuma akan mengambil pedang Nenek itu. Nanti, kalau Matahachi
muncul, biar dia yang menjelaskan segalanya pada Nenek."
"Matahachi?"
"Ya. Saya sudah
kirim pesan padanya musim gugur lalu."
"Oh,
begitu."
"Saya minta dia
menjumpai saya di sini pagi Tahun Baru ini."
"Bohong!"
jerit Osugi sambil menggelengkan kepala dengan hebatnya. "Kamu mesti malu,
Musashi. Apa kamu bukan anak Munisai? Apa dia tidak mengajarkan padamu, bahwa
kalau tiba waktunya untuk mati, kau mesti mati seperti lelaki? Ini bukan
waktunya bermain kata-kata. Seluruh hidupku ada di belakang pedang ini, dan aku
mendapat dukungan dewa-dewa dan bodhisatwa. Kalau kau berani menghadapinya,
hadapilah!" Ia berusaha meloloskan tangannya dari Musashi, sambil
teriaknya, "Hidup sang Budha." Ia mencabut pedang dan mencengkeramnya
dengan kedua tangan, lalu menerjang dada Musashi.
Musashi mengelak.
"Tenang, Nek, tenanglah!"
Musashi menepuk
punggungnya sedikit, Osugi menjerit dan berpusing menghadapi Musashi. Sambil
bersiap menyerang ia menyerukan nama Kannon. "Puji bagi Kannon
Bosatsu!" Ia menyerang lagi.
Ketika melewati
Musashi, Musashi menangkap pergelangan tangannya. "Kalau Nenek terus
begini, Nenek cuma akan bikin capek diri sendiri. Lihat, jembatan ada di sana.
Ayolah kita sama-sama ke sana."
Osugi memutar
kepalanya, menyeringai, dan mengerutkan bibir. "Fui!" Ia meludah
dengan segala kekuatannya yang masih tinggal.
Musashi melepaskannya
dan menyingkir sambil menggosok mata kirinya. Mata itu terasa terbakar, seolah
telah terkena bunga api. Ia pandang tangan yang dipakainya menggosok mata itu.
Tak ada darah di situ, tapi ia tak dapat membuka mata. Melihat ia sedang
lengah, Osugi menyerang lagi dengan kekuatan baru, sambil menyerukan lagi nama
Kannon. Dua kali, tiga kali ia mengayunkan pedang ke arah Musashi.
Ketika pedang terayun
ketiga kalinya, Musashi hanya membungkukkan badan sedikit dari pinggang, karena
sibuk dengan matanya. Pedang memotong lengan kimononya dan menggores lengannya.
Potongan lengan
kimono itu jatuh, hingga Osugi mendapat kesempatan melihat darah pada lapisan
putih. "Aku sudah melukainya!" jeritnya gembira meluap-luap, dan
terus mengayun-ayunkan pedang membabi buta. Ia merasa bangga, seolah-olah telah
menumbangkan sebatang pohon besar sekali tebas. Sama sekali tak mengurangi
kegembiraannya bahwa Musashi tidak balik membalas. Terus juga ia meneriakkan
nama Kannon dari Kiyomizudera dan menyerukan dewa untuk turun ke bumi.
Dengan suara
hiruk-pikuk luar biasa ia berlari-lari sekitar Musashi, menyerangnya dari depan
dan belakang. Musashi sendiri tidak berbuat lain kecuali mengubah-ubah letak
tubuhnya untuk menghindari tebasan.
Matanya mengganggunya
dan lengannya terkena goresan. Walaupun melihat datangnya tebasan, ia tak dapat
bergerak cepat untuk menghindar. Belum pernah sebelumnya orang sampai
melompatinya atau melukainya biarpun sedikit. Karena ia tidak melayani serangan
Osugi secara sungguh-sungguh, tidak pernah terlintas dalam pikirannya siapa
akan menang dan siapa kalah.
Tapi bukankah sudah
ia biarkan dirinya terluka, karena tidak melayani secara sungguh-sungguh?
Menurut Seni Perang, betapapun kecilnya luka itu jelas ia kalah. Keyakinan
perempuan tua itu dan ujung pedangnya menunjukkan pada semua orang bahwa
Musashi belum matang.
"Aku
salah," demikian pikirnya. Sadar bahwa bersikap pasif itu bodoh. Ia pun
melompat menghindari pedang yang menyerangnya, kemudian menampar punggung Osugi
dengan keras, hingga perempuan itu terguling dan pedang terlepas dan tangannya.
Dengan lengan kiri,
Musashi memungut pedang itu, dan dengan tangan kanan diangkatnya Osugi ke dalam
lekuk lengannya.
"Turunkan
aku!" jerit Osugi menggapai-gapai. "Apa tak ada dewa-dewa? Tak ada
bodhisatwa? Aku sudah melukainya sekali! Apa dayaku, Musashi! Jangan permalukan
aku macam ini! Potong kepalaku! Bunuh aku sekarang!"
Musashi bungkam
seribu bahasa. Ia menyusuri jalan setapak sambil mengepit perempuan yang
meronta-ronta itu. Sementara itu Osugi terus memprotes dengan suara seraknya,
"Inilah peruntungan perang! Ini nasib! Kalau memang ini kehendak
dewa-dewa, aku takkan bersikap pengecut!... Kalau Matahachi mendengar Paman Gon
dan aku terbunuh dalam usaha balas dendam, pasti bangkit marahnya dan akan dia
balaskan dendam kami berdua. Itu obat mujarab untuknya. Musashi, bunuh aku.
Bunuh aku sekarang! ... Ke mana kamu pergi? Mau kautambahkan lagi aib pada
ajalku? Berhenti! Potong kepalaku sekarang!"
Musashi tidak juga
menghiraukannya, tapi ketika sampai di jembatan ia mulai bertanya-tanya dalam
hati, apa yang mesti ia lakukan terhadap perempuan itu.
Kemudian datanglah
ilham. Ketika turun ke sungai, ditemuinya di situ sebuah perahu tertambat di
salah satu tiang jembatan. Pelan-pelan diturunkannya perempuan itu ke dalamnya.
"Nah, sekarang Nenek mesti sabar dan tinggal di sini sebentar. Matahachi sebentar
lagi datang."
"Apa
maumu?" teriak Osugi, mencoba menepiskan tangan Musashi dan sekaligus
tikar-tikar gelagah di dasar perahu itu. "Apa bedanya, Matahachi datang ke
sini atau tidak? Dan kenapa kaubilang dia akan datang? Aku tahu apa yang akan
kaulakukan. Kau tak puas kalau hanya membunuhku; kau mau menghinaku juga!"
"Terserah Nenek.
Tak lama lagi Nenek akan lihat kebenaranmya."
"Bunuh
aku!"
"Ha, ha,
ha!"
"Apa yang lucu?
Kau takkan sulit memotong leher tua ini dengan sekali tebas!"
Karena tak ada cara
yang lebih baik, Musashi pun mengikatkannya ke bagian lunas perahu yang
menyembul ke atas air. Kemudian dimasukkannya pedang perempuan itu ke dalam
sarungnya dan diletakkan baik-baik di sampingnya.
Begitu Musashi pergi,
Osugi mengejeknya, katanya, "Musashi! Menurutku kau ini tak mengerti Jalan
Samurai! Baik, kemari, akan kuajari kamu."
"Nanti."
Musashi mulai mendaki
tanggul, tapi Osugi demikian hebohnya, hingga terpaksa ia kembali dan
menimbunkan beberapa tikar gelagah di atasnya.
Matahari merah besar
menyala-nyala di atas Gunung Higashiyama. Musashi memandang terpesona ketika
matahari itu naik dan merasakan cahayanya menembus ke dalam dirinya. la pun
jadi termenung. Pikirnya, hanya sekali setahun matahari barn ini naik, membikin
cacing ego yang mengikat manusia pada pikiran-pikiran kerdilnya mencair dan
menghilang oleh cahaya yang luar biasa. Dan Musashi dipenuhi kegembiraan karena
masih hidup. Ia berseru gembira di tengah fajar merekali itu, "Aku masih
muda!"
Jembatan Besar di
Jalan Gojo
"LAPANGAN
RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...."
Membaca kata-kata itu
membuat darah Musashi menggelegak.
Namun perhatiannya
terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya. Ketika ia
mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap
pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada
empat atau lima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi.
"Oh, ini
dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamatamatinya.
Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan
bulat, tapi segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil
menatap ke arah perahu. "Aku sudah dengar tentang jarum semburan macam
ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang menembakkannya? Sungguh
nyaris."
Rasa ingin tahu
seperti biasa muncul. Ia kumpulkan jarum-jarum itu satu demi satu, kemudian ia
sisipkan baik-baik dalam kerahnya, dengan maksud mempelajarinya kemudian. Ia
mendengar bahwa di antara para prajurit terdapat dua aliran yang berlawanan
mengenai senjata kecil ini. Yang satu berpendapat bahwa jarum itu dapat dengan
efektif dipergunakan sebagai alat penangkis dengan menyemburkannya ke wajah
lawan, sedangkan yang lain menyatakan bahwa itu omong kosong.
Golongan pendukung
senjata itu menyatakan bahwa cara yang sudah sangat tua dalam menggunakan jarum
itu dikembangkan dari permainan para penjahit dan pemintal yang pindah dari
Tiongkok ke Jepang pada abad enam atau tujuh. Sekalipun tidak dianggap sebagai alat
penyerang, menurut mereka senjata itu dipergunakan sampai zaman ke-shogun-an
Ashikaga sebagai alat persiapan untuk melindungi diri terhadap lawan.
Pihak lain bahkan
sampai menyatakan tak pernah ada teknik kuno dalam hal itu, sekalipun mereka
membenarkan semburan jarum itu pernah dipergunakan untuk permainan. Mereka
membenarkan, orang-orang perempuan mungkin saja bermain-main dengan itu, tapi
mereka tetap menolak bahwa semburan jarum dapat dikembangkan sampai taraf dapat
menimbulkan luka. Mereka juga menyatakan bahwa air ludah memang dapat menahan
panas, dingin, atau keasaman tertentu, tapi sedikit saja dapat menahan rasa
nyeri akibat jarum yang menusuk bagian dalam mulut. Jawaban atas pertanyaan ini
tentu saja bahwa dengan latihan yang cukup, orang dapat menyimpan jarum-jarum
dalam mulutnya tanpa merasa sakit dan meluncurkannya dengan lidah, dengan
ketepatan dan kekuatan tinggi. Itu cukup untuk membutakan orang.
Orang-orang yang tak
percaya membantah. Mereka berpendapat bahwa sekalipun jarum itu dapat disemburkan
dengan keras dan cepat, kemungkinan untuk dapat melukai seseorang sangat minim.
Bagaimanapun, menurut
mereka bagian wajah yang lemah terhadap serangan itu hanyalah mata, sedangkan
kemungkinan jarum itu mengenai mata tidak begitu besar, biarpun dalam kondisi
paling menguntungkan. Dan kerusakan yang ditimbulkannya tidaklah berarti.
Mendengar banyak
argumentasi pada waktu yang berlain-lainan, Musashi cenderung memihak
orang-orang yang menyangsikannya. Tapi sesudah mendapat pengalaman sendiri, ia pun
sadar bahwa penilaiannya terlampau tergesa-gesa dan bahwa penggal-penggal
pengetahuan yang diperoleh secara sembarangan saja dapat terbukti sangat
penting dan bermanfaat.
Jarum-jarum itu tidak
mengenai biji matanya, tapi matanya kini berair. Ketika ia sedang meraba-raba
pakaiannya untuk mencari sesuatu yang dapat dipergunakannya mengeringkannya,
didengarnya bunyi kain disobek. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya seorang gadis
sedang merobek secarik kain merah dari lengan baju dalamnya.
Akemi datang berlari
kepadanya. Rambutnya tidak ditata untuk perayaan Tahun Baru dan kimononya
acak-acakan. Ia mengenakan sandal, tapi tanpa kaus. Musashi menyipitkan mata
memandang kepadanya dan bergurnam. Walau gadis itu tidak asing baginya, tapi
tak dapat ia mengenali wajahnya.
"Ini aku,
Takezo... eh, Musashi," kata Akemi ragu-ragu sambil menawarkan kain merah
itu. "Matamu kelilipan, ya? Jangan gosok. Bisa lebih sakit. Pakai
ini."
Musashi menerima
kebaikannya tanpa mengatakan sesuatu, lalu menutup matanya dengan kain itu.
Kemudian ia menatap wajah Akemi dengan saksama.
"Kau tak ingat
aku?" tanya Akemi tak percaya. "Kau harus ingat!" Wajah Musashi
betul-betul kosong.
"Harus!"
Sikap diam Musashi
itu membobol tanggul penahan emosi Akemi yang sudah lama terpendam. Jiwanya
yang sudah demikian terbiasa dengan kesedihan dan kekejaman itu telanjur
bergayut pada harapan terakhir ini, dan kini fajar sudah menyingsing, karena
itu semuanya jadi tak lebih dari khayal yang telah diciptakannya sendiri. Di
dalam dadanya terbentuk gumpalan keras, dan terdengarlah ia tercekik. Sekalipun
ia menutup mulut dan hidung untuk menindas sedu-sedannya, namun bahunya
menggeletar tak terkendalikan lagi.
Caranya memandang
sewaktu menangis itu mengingatkan Musashi kepada sikap gadis polos di zaman
Ibuki. Ketika itu anak itu menggantungkan giring-giring pada obi-nya. Musashi
melingkarkan tangannya ke bahu yang tipis dan lemah itu.
"Kamu Akemi,
tentu saja. Ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa yang terjadi
dengan ibumu?" Pertanyaan-pertanyaan Musashi itu seperti mata kail, dan
yang paling berat adalah penyebutan nama Oko, yang dengan sendirinya
mengingatkannya pada teman lamanya. "Apa kau masih tinggal dengan
Matahachi? Dia mestinya datang kemari pagi ini. Apa kebetulan kau tidak bertemu
dengannya?"
Setiap patah kata itu
menambah penderitaan Akemi. Di dalam pelukan Musashi, tak ada lagi yang
diperbuatnya selain menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.
"Apa Matahachi
takkan datang?" tanya Musashi lagi. "Apa yang terjadi dengannya?
Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu cuma menangis?"
"Dia... dia...
dia takkan datang. Dia tak pernah... tak pernah terima pesan-mu." Dan
Akemi pun menekankan wajahnya ke dada Musashi dan kembali menangis
mengejang-ngejang.
Ia ingin
mengatakan... bercerita... tapi setiap gagasan mati dalam otaknya yang demam.
Bagaimana ia dapat menceritakan kepada Musashi nasib ngeri yang dideritanya
karena ibunya? Bagaimana mungkin ia mengutarakannya dalam kata-kata, apa yang
telah terjadi di Sumiyoshi atau pada hari-hari sesudah itu?
Jembatan itu
bermandikan matahari Tahun Baru, dan semakin banyak orang berlalu lalang.
Gadis-gadis berkimono baru cemerlang pergi melakukan sembahyang Tahun Baru di
Kuil Kiyomizudera. Laki-laki berpakaian jubah resmi mulai melakukan kunjungan
Tahun Baru. Hampir tersembunyi di tengah mereka itu ada Jotaro dengan rambut
awut-awutan seperti biasa. Hampir sampai tengah jembatan, baru ia melihat Musashi
dan Akemi.
"Apa pula
ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kupikir dia bersama Otsu. Tapi itu
bukan Otsu!" Ia berhenti dan wajahnya berubah.
Ia betul-betul
terpukau. Sebetulnya tidak apa-apa, kalau tak ada orang memperhatikan. Tapi di
sana mereka beradu dada dan saling peluk di jalan ramai. Seorang lelaki dan
seorang perempuan saling dekap di depan umum? Itu tak kenal malu. Ia tak dapat
percaya bahwa orang dewasa dapat berlaku demikian memalukan, lebih-lebih
sensei-nya sendiri yang dipujanya. Jantung Jotaro berdentam hebat. Ia merasa
sedih dan sekaligus sedikit cemburu. Dan marah, begitu marah, hingga ia ingin
memungut batu dan melempar mereka.
"Aku pernah
melihat perempuan itu," pikirnya. "Ah... ya, dialah yang menyampaikan
pesan Musashi untuk Matahachi. Ya... dia itu gadis warung teh, jadi tak heran.
Tapi bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Rasanya ini mesti kusampaikan
pada Otsu!"
Ia menengok ke sana
kemari di jalan itu, mengintai dari susuran jembatan, tapi tak ada tanda-tanda
Otsu.
Malam kemarin, karena
yakin akan bertemu Musashi hari berikutnya, Otsu mengeramasi rambutnya dan
tetap jaga sampai jam-jam pertama Tahun Baru karena menata rambutnya secara
layak. Kemudian ia mengenakan kimono hadiah Keluarga Karasumaru, dan sebelum
fajar ia pergi memberikan penghormatan ke Kuil Gion dan Kiyomizudera, dan
akhirnya pergi ke Jalan Gojo. Jotaro ingin mengawaninya, tapi ia menolak.
Menurut Otsu, pada
hari biasa tidak apalah, tapi hari ini Jotaro akan merupakan gangguan.
"Kamu diam di sini," katanya. "Pertama, aku mau bicara dengan
Musashi sendiri. Kamu boleh pergi ke jembatan sesudah hari terang, tapi tak
perlu buru-buru. Dan jangan kuatir; aku berjanji akan menantimu di sana dengan
Musashi, waktu kamu datang."
Jotaro lebih dari
sekadar jengkel. Tidak hanya ia merasa sudah cukup dewasa untuk memahami
perasaan Otsu, ia pun menghargai perasaan saling tertarik antara lelaki dan
perempuan. Pengalaman berguling-guling di jerami dengan Kocha di Koyagyu itu
belum luntur dari kenangannya; sekalipun begitu, aneh baginya bahwa seorang
perempuan dewasa seperti Otsu pergi ke sana kemari bermuram durja dan menangisi
seorang lelaki.
Walau sudah berusaha
setengah mati, ia tak dapat menemukan Otsu. Sementara ia sedang resah itu,
Musashi dan Akemi pergi ke ujung jembatan, agaknya supaya tidak tampak terlalu
mencolok. Musashi melipatkan lengan dan bersandar pada susuran jembatan. Akemi
berdiri di sampingnya, memandang ke sungai. Mereka tidak melihat Jotaro ketika
ia menjelinap lewat di sisi lain jembatan itu.
"Kenapa begini
lama? Berapa lama orang bisa berdoa buat Kannon?" Sambil menggerutu,
Jotaro berjingkat dan menatapkan pandangan ke ujung Jalan Gojo.
Sekitar sepuluh
langkah dari tempat berdirinya terdapat empat atau lima pohon liu yang tak
berdaun. Sering kali kawanan bangau putih berkumpul sepanjang sungai itu,
mencari ikan, tapi hari ini tak seekor pun kelihatan. Seorang pemuda berkuncung
panjang bersandar pada cabang pohon liu yang menjulur ke tanah seperti naga
yang sedang tidur.
Di jembatan, Musashi
mengangguk ketika Akemi berbisik bergairah kepadanya. Akemi membuang jauh-jauh
harga dirinya dan sedang bercerita kepada Musashi tentang segalanya, dengan
harapan dapat meyakinkan Musashi agar menjadi miliknya seorang. Sukarlah
meneliti, apakah kata-kata yang diucapkannya menembus telinga Musashi. Musashi
memang terkadang mengangguk, tapi pandangan matanya bukan pandangan seorang
kekasih yang sedang mengucapkan kata-kata manis kosong kepada kekasihnya.
Sebaliknya biji
matanya bersinar tanpa warna dan tanpa panas, dan terpusat terus pada sesuatu.
Akemi tak menyadari ini. Karena tenggelam sepenuhnya, ia sampai tercekik
sedikit ketika mencoba menguraikan perasaan yang dikandungnya.
"Nah,"
demikian keluhnya, "sudah kuceritakan padamu semua yang bisa kuceritakan. Tak
ada sama sekali yang kusembunyikan." Sambil beringsut mendekati Musashi,
katanya prihatin, "Empat tahun sudah lewat sejak Sekigahara itu. Tubuh dan
jiwaku sudah berubah." Kemudian sambil mencucurkan air mata, "Tapi
tidak! Aku tidak betul-betul berubah. Perasaanku padamu tak berubah sedikit
pun. Aku yakin betul. Kau mengerti, Musashi? Mengerti bagaimana
perasaanku?"
"Mm. Mm."
"Cobalah kau
mengerti! Aku sudah menceritakan segalanya. Aku bukan bunga liar yang tanpa
dosa seperti ketika kita pertama bertemu di kaki Gunung Ibuki. Aku cuma
perempuan biasa yang sudah diperkosa.... Tapi kesucian itu persoalan tubuh atau
pikiran? Apa seorang perawan yang berpikiran cabul itu suci?... Aku sudah
kehilangan keperawanan gara-gara... tak dapat aku menyebut namanya, tapi
gara-gara lelaki tertentu, tapi hatiku masih murni."
"Mm. Mm."
"Apa kau tidak
menyimpan rasa tertentu padaku? Tak bisa aku menyimpan rahasia kepada orang
yang kucintai. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang akan kukatakan,
ketika aku melihatmu. Haruskah aku mengatakan semuanya atau tidak? Tapi
kemudian jelas soalnya buatku. Tak dapat aku menipumu, biarpun aku
menghendakinya. Kuharap kau mengerti! Katakanlah! Katakan kau memaafkan aku.
Atau, apa menurut pendapatmu aku tercela?"
"Mm. Ah....
"Kalau
kupikirkan hal itu lagi, aku jadi begitu marah!" Akemi pun menurunkan
wajahnya ke susuran jembatan. "Oh, malu aku memintamu mencintaiku. Aku tak
punya hak berbuat begitu. Tapi... tapi... dalam hatiku aku masih perawan. Aku
masih menilai cinta pertamaku ini seperti sebutir mutiara. Aku belum kehilangan
kekayaan itu, dan aku tak mau, tak peduli aku menjalani hidup macam apa, atau
ke tengah laki-laki macam apa aku tercebur!"
Tiap helai rambut di
kepalanya bergetar bersama sedu-sedannya. Di bawah jembatan tempat jatuhnya air
matanya, sungai yang berkilauan dalam matahari Tahun Baru itu mengalir terus
seperti impian Akemi tentang keabadian harapan.
"Mm. Mm."
Kepedihan cerita Akemi sering kali mendapat anggukan dan sambutaan suara
rendah, tapi mata Musashi tetap terpusat pada titik di kejauhan. Ayahnya pernah
mengatakan, "Kau ini tidak seperti aku. Mataku hitam, sedang matamu
cokelat tua. Orang bilang, kakekmu, Hirata Shogen, matanya cokelat mengerikan,
jadi barangkali kau meniru dia." Pada waktu itu, dalam sinar matahari yang
mencondong, mata Musashi seperti batu koral murni tak bercacat.
"Tentunya
dia," pikir Sasaki Kojiro, orang yang bersandar pada pohon liu itu.
Berkali-kali ia mendengar tentang Musashi, tapi inilah untuk pertama kali ia
melihatnya.
Musashi
bertanya-tanya, "Siapa gerangan orang itu?"
Semenjak mata mereka
beradu, diam-diam mereka menyelidik. Masingmasing menaksir dalamnya semangat
pihak lain. Dalam melaksanakan Seni Perang, kata orang, kita harus mengukur
kemampuan musuh dari ujung pedangnya. Justru inilah yang dilakukan kedua orang
itu. Mereka seperti pegulat yang saling mengukur lawan sebelum akhirnya saling
cekam. Dan masing-masing punya alasan untuk memandang lawan dengan penuh
kecurigaan.
"Aku tak
suka," pikir Kojiro, mendidih darahnya oleh perasaan tak suka. Ia merawat
Akemi sejak menyelamatkannya dari Gunung Amida yang rusak itu. Percakapan intim
antara Akemi dan Musashi mengesalkannya. "Barangkali dia jenis orang yang
biasa memangsa perempuan-perempuan tak berdosa. Dan Akemi! Akemi tak mengatakan
tadi ke mana perginya, tapi sekarang dia ada di sana, menangis di bahu seorang
lelaki!" Sedang ia sendiri ada di sini karena mengikutinya.
Nada permusuhan dalam
mata Kojiro itu tidak hilang begitu saja. Musashi menyadari terjadinya konflik
sesaat yang khas itu, yaitu konflik kemauan yang timbul apabila seorang
shugyosha bertemu dengan shugyosha lain. Dan tak ada keraguan pula bahwa Kojiro
merasakan semangat menantang yang terlontar dari ekspresi Musashi.
"Siapa dia
gerangan?" pikir Musashi lagi. "Kelihatannya dia memang jagoan. Tapi
kenapa ada pandangan dengki pada matanya? Lebih baik aku mengamatinya."
Kehebatan kedua
lelaki itu bukan bersumber pada mata mereka, tapi pada inti diri mereka.
Kembang api seperti akan meloncat dari biji mata mereka. Dilihat dari
penampilannya, Musashi tampak setahun atau dua tahun lebih muda dari Kojiro,
tapi mungkin juga sebaliknya. Apa pun kenyataannya, mereka berdua memiliki
kesamaan: keduanya dalam umur yang ditandai rasa sok, yaitu bahwa mereka merasa
yakin tahu segala yang mesti diketahui mengenai politik, masyarakat, Seni
Perang, dan semua persoalan lain. Seperti anjing galak yang menggeram apabila
melihat anjing galak lainnya, demikianlah Musashi maupun Kojiro. Secara
naluriah masing-masing tahu bahwa pihak lain berbahaya.
Kojiro-lah yang
pertama melepaskan pandangannya, dan itu dilakukannya disertai gerutu kecil.
Musashi yakin sekali bahwa ia menang, sekalipun ia merasakan ada nada ejekan
dalam profil Kojiro. Lawan menyerah kepada pandangan matanya, kepada daya
kemampuannya, dan ini membuat Musashi merasa bahagia.
"Akemi,"
katanya sambil meletakkan tangan ke bahu Akemi.
Akemi masih
tersedu-sedu. Wajahnya menempel di susuran jembatan. la tak menjawab.
"Siapa lelaki di
sana itu? Dia kenal kamu, kan? Maksudku pemuda yang tampak seperti calon
prajurit itu. Siapa dia?"
Akemi diam saja.
Sampai waktu itu, ia belum melihat Kojiro. Ketika melihatnya, wajahnya yang
bengkak oleh air mata itu menjadi bingung. "Oh... maksudmu orang jangkung
di sana itu?"
"Ya. Siapa
dia?"
"Oh, dia...
anu... dia... aku tidak begitu kenal dia."
"Tapi kamu kenal
dia, kan?"
"Ya, ya."
"Bawa pedang
sebesar dan sepanjang itu, dan pakaiannya memikat perhatian orang-tentunya dia
merasa sudah pemain pedang besar! Bagaimana kamu bisa kenal?"
"Beberapa hari
lalu," kata Akemi cepat, "aku digigit anjing, dan darah tak mau
berhenti, karena itu aku pergi ke dokter, dan di situ kebetulan dia tinggal.
Dia merawatku beberapa hari ini."
"Dengan kata
lain, kamu tinggal serumah dengan dia?"
"Ya, ya, aku
memang tinggal di sana, tapi itu tak ada artinya. Tak ada apa-apa antara
kami." Bicaranya lebih tegas sekarang.
"Kalau begitu,
kukira kamu tak banyak tahu tentang dia. Apa kamu tahu namanya?"
"Namanya Sasaki
Kojiro. Dipanggil juga Ganryu."
"Ganryu?"
Musashi pernah mendengar nama itu.. Walaupun nama itu tidak terlalu terkenal,
tapi dikenal oleh para prajurit di sejumlah provinsi.
Ternyata ia lebih
muda dari yang pernah dibayangkan Musashi, dan ia memandang orang itu lagi
sekarang.
Kemudian terjadilah
sesuatu yang ganjil. Sepasang lesung pipit muncul di pipi Kojiro.
Musashi membalas
senyumnya. Namun komunikasi diam ini tidaklah penuh sinar perdamaian dan
persahabatan, seperti senyum yang dipertukarkan oleh sang Budha dan muridnya
Ananda selagi mereka meremas bunga dengan jemari mereka. Dalam senyuman Kojiro
terasa cemooh menantang dan unsur ironi.
Sementara itu,
senyuman Musashi tidak hanya bersifat menerima tantangan Kojiro, melainkan juga
menyampaikan kehendak yang dashyat untuk bertempur.
Akemi terperangkap di
antara dua orang yang berkemauan keras itu. Ia
hendak mulai
mencurahkan perasaannya kembali, tapi sebelum terlaksana,
Musashi sudah
menyatakan, "Nah, Akemi, kupikir lebih baik kamu kembali ke tempat
penginapanmu dengan orang itu. Sebentar lagi aku akan datang menemuimu. Jangan
kuatir."
"Betul-betul
kamu akan datang?"
"Ya,
tentu."
"Nama penginapan
itu Zuzuya, di depan biara Jalan Rokujo!"
"Baik."
Sikap sambil lalu
dalam jawaban Musashi itu kurang memuaskan Akemi. Ia tarik tangan Musashi dari
susuran jembatan dan ia pilin penuh perasaan di belakang lengan kimononya.
"Kamu betul-betul akan datang, kan? Janji?"
Jawaban Musashi
tenggelam dalam ledakan tawa yang memekakkan telinga. "Ha, ha, ha, ha, ha!
Oh! Ha, ha, ha, ha! Oh..." Kojiro membalikkan punggungnya dan pergi
baik-baik, membawa kegembiraannya yang tak terkendalikan itu.
Jotaro memandang
masam dari ujung sana, pikirnya, "Tak ada yang seaneh itu!" Ia
sendiri muak dengan dunia ini, terutama dengan gurunya yang seenaknya, dan juga
dengan Otsu.
"Ke mana pula
perginya Otsu?" tanyanya lagi sambil melangkah marah ke arah kota. Baru
saja beberapa langkah, terlihat wajah Otsu yang putih di antara roda-roda
kereta sapi di pangkalan jalan itu. "Itu dia!" teriaknya. Karena
tergesa-gesa hendak menangkap Otsu, ia tertumbuk ke hidung sapi.
Lain dari biasanya,
hari itu Otsu mengenakan sedikit gincu. Riasannya masih sedikit amatir, tapi
baunya enak, sedangkan kimononya merupakan setelan musim semi yang manis,
dengan sulaman pola putih dan hijau pada latar belakang merah muda. Jotaro
mendekap dari belakang. Ia tak peduli tindakannya mengacaukan rambut Otsu atau
mengotorkan pupur putih di lehernya.
"Kenapa Kakak
sembunyi di sini? Berjam-jam aku menunggu. Ayo ikut aku, cepat!"
Otsu tak menjawab.
"Ayo, sekarang
juga!" mohonnya sambil mengguncang-guncangkan bahu Otsu. "Musashi ada
di sini juga. Lihat, Kakak dapat melihat dari sini. Aku marah juga sama dia,
tapi biar bagaimana ayolah. Kalau kita tidak buru-buru, dia akan pergi!"
Ia pegang pergelangan Otsu dan mencoba menarik Otsu berdiri, tapi ia lihat
tangan Otsu basah. "Wah! Kakak menangis?"
"Jo, sembunyilah
di belakang kereta ini seperti aku. Ayolah!"
"Kenapa?"
"Tak usah tanya
kenapa."
"Nah,
inilah..." Jotaro melontarkan kemarahannya. "Inilah yang kubenci pada
perempuan. Mereka suka bikin hal-hal yang aneh! Kakak selalu bilang ingin
ketemu Musashi, dan di mana-mana nangis mencari dia. Tapi sekarang, ketika dia
ada di depan mata, Kakak putuskan sembunyi. Malahan Kakak suruh aku sembunyi!
Apa tidak aneh? Ha-oh, ketawa pun aku tak bisa."
Kata-kata itu
menyengat seperti cambuk. Sambil mengangkat matanya yang merah bengkak, Otsu
berkata, "Jangan kamu bicara begitu, Jotaro. Aku mohon. Dan jangan kejam
padaku juga!"
"Kenapa menuduh
aku kejam? Apa yang kulakukan?"
"Diamlah. Dan
rundukkan badan di sini denganku."
"Aku tak mau.
Ada tahi sapi di tanah itu. Kakak tahu sendiri, kata orang, kalau kita nangis
pada Tahun Baru, burung gagak pun akan menertawakan kita."
"Oh, aku tak
peduli. Aku cuma..."
"Nah, kalau
begitu aku akan menertawakan Kakak! Tertawa macam samurai beberapa menit lalu
itu. Ini ketawaku yang pertama pada Tahun Baru. Cocok buat Kakak?"
"Ya. Tertawalah!
Tertawalah keras-keras!"
"Tidak
bisa," kata Jotaro sambil menghapus hidungnya. "Berani bertaruh, aku
tahu apa soalnya. Kakak cemburu, karena Musashi bicara dengan perempuan
itu."
"Bukan... bukan
itu! Sama sekali bukan!"
"Memang! Aku
tahu, memang itu. Perbuatan itu bikin aku marah juga. Tapi kan masih banyak
alasan lain untuk datang dan bicara dengannya? Kakak kan belum mengerti
apa-apa."
Otsu tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan berdiri, tapi Jotaro menyentakkan
pergelangannya demikian keras, hingga akhirnya ia terpaksa berdiri.
"Berhenti!"
teriak Otsu. "Sakit! Jangan dendam begitu. Kaubilang aku tak mengerti
apa-apa, padahal kau sama sekali tak mengerti perasaanku."
"Aku tahu betul
apa yang Kakak rasakan. Kakak cemburu!"
"Bukan hanya
itu."
"Diamlah. Ayo
pergi!"
Otsu keluar dari
belakang kereta, walau enggan. Anak itu menariknya, dan kaki Otsu
mencakar-cakar tanah. Jotaro terus menarik-narik dan menjulurkan leher, melihat
ke arah jembatan. "Lihat!" kata Jotaro. "Akemi tak ada
lagi."
"Akemi? Siapa
itu Akemi?"
"Gadis yang
diajak bicara Musashi tadi.... Nah, nah! Musashi pergi sekarang. Kalau tak
dikejar, dia bisa hilang." Jotaro melepaskan Otsu dan berjalan ke arah
jembatan.
"Tunggu!"
teriak Otsu sambil melontarkan pandangan ke jembatan, untuk mendapatkan
kepastian bahwa Akemi tidak terlihat lagi. Setelah yakin bahwa saingannya
benar-benar sudah pergi, ia tampak puas sekali dan dahinya tidak mengerut lagi.
Tapi ia kembali ke belakang kereta untuk mengeringkan matanya yang bengkak
dengan lengan kimono, merapikan runbut, dan meluruskan kimono.
"Cepat,
Otsu!" seru Jotaro tak sabar. "Musashi turun ke sungai. Ini bukan
waktunya berdandan!"
"Ke mana?"
"Turun ke
sungai. Saya tak tahu kenapa, tapi dia ke sana." Keduanya berlari bersama
ke ujung jembatan. Sambil meminta-minta maaf, Jotaro merintis jalan di tengah
orang banyak, menuju susuran jembatan.
Musashi masih berdiri
dekat perahu tempat Osugi menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari
ikatan.
"Maaf,
Nek," katanya, "tapi rupanya Matahachi takkan datang sama sekali.
Saya berharap dapat ketemu dengannya tak lama lagi dan mencoba mengobarkan
keberanianya. Sementara itu, Nenek sendiri mesti mencoba menemukannya dan
membawanya pulang sebagai anak yang baik. Itu cara yang jauh lebih baik untuk
menyatakan rasa terima kasih Nenek kepada leluhur, daripada mencoba memotong
kepala saya."
Ia selipkan tangannya
ke bawah tikar, dan dengan pisau kecil diputuskannya talinya.
"Kau bicara
terlalu banyak, Musashi! Aku tak butuh nasihatmu! Susun pikiranmu yang bodoh
itu, apa yang mau kaulakukan. Kau mau bunuh aku atau dibunuh?"
Nadi-nadi biru
cemerlang muncul di seluruh wajah Osugi ketika ia meronta melepaskan diri dari
bawah tikar, tapi ketika ia berdiri, Musashi sudah menyeberang sungai,
melompat-lompat seperti kodok menyeberangi karang dan beting. Dalam waktu
singkat ia sudah mencapai seberang dan mendaki puncak tanggul.
Jotaro melihatnya dan
berteriak, "Lihat, Otsu! Itu dia!" Anak itu langsung turun tanggul
dan Otsu mengikuti.
Bagi Jotaro yang
cekatan, sungai dan pegunungan tak berarti apa-apa, tetapi Otsu yang mengenakan
kimono bagus itu tiba-tiba berhenti di tepi sungai. Musashi tak kelihatan
sekarang, tapi Otsu berdiri di situ, menjeritkan namanya berulang-ulang dengan
sekuat paru-parunya.
"Otsu!"
terdengar jawaban dari tempat yang tak diduga-duga. Osugi tak sampai seratus
kaki dari situ.
Ketika Otsu melihat
siapa orang itu, ia berteriak, sesaat menutup wajahnya dan lari.
Perempuan tua itu tak
membuang-buang waktu, dan mengejar. Rambutnya yang putih melambai-lambai oleh
angin. "Otsu!" jeritnya dengan suara yang dapat membelah air Sungai
Kamo. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!"
Perempuan tua yang
curiga sifatnya itu mulai mereka-reka sendiri dalam pikirannya tentang hadirnya
Otsu. Ia yakin Musashi mengikatnya karena Musashi hendak bertemu dengan gadis
itu dan tak ingin kelihatan olehnya. Kemudian, demikian pikirnya, kata-kata
Otsu menyinggung perasaannya dan Musashi meninggalkannya. Tidak sangsi lagi,
itulah sebabnya Otsu memanggil Musashi kembali.
"Gadis itu tak
dapat diperbaiki lagi!" katanya. Kebenciannya pada Otsu jadi lebih besar
lagi daripada kebenciannya pada Musashi. Di dalam pikirannya, Otsu sudah sah
menjadi menantunya, tak peduli apakah perkawinan sudah berlangsung atau belum.
Janji sudah diberikan, dan kalau calon istri ini membenci anaknya, mestinya la
membenci juga mertuanya sendiri.
"Tunggu!"
jeritnya lagi, hingga mulutnya terbuka lebar dari telinga kiri ke telinga
kanan.
Kerasnya jeritan itu
mengagetkan Jotaro yang waktu itu berada di sampingnya, maka dicengkeramnya
perempuan itu, dan pekiknya, "Kamu mau apa, tukang sihir tua?"
"Menyingkir
kamu!" teriak Osugi menepiskan Jotaro.
Jotaro tidak tahu
siapa perempuan itu dan kenapa Otsu lari melihatnya, tapi ia merasa bahaya
mengancam darinya. Sebagai anak Aoki Tanzaemon dan murid satu-satunya Miyamoto
Musashi, ia tak mau disingkirkan dengan siku kurus seorang perempuan tua jelek.
"Oh, kau tak
boleh memperlakukan aku begitu!" Dikejarnya perempuan tua itu dan
hinggaplah ia di punggungnya.
Osugi cepat
mengibaskannya, dan sambil memitingnya dijatuhkannya tamparan keras beberapa
kali. "Setan kecil kamu! Ini pelajaran buat orang yang suka
mengganggu!"
Sementara Jotaro
berjuang melepaskan diri, Otsu berlari terus dengan pikiran kacau. Ia masih
muda, dan seperti kebanyakan oang muda, ia masih penuh harapan dan tidak
terbiasa menangisi nasibnya yang sial. Ia melahap setiap hari baru, seakan-akan
cahaya itu bunga-bunga di kebun Yang disinari matahari. Kesedihan dan
kekecewaan memang menjadi kenyataan hidup, rapt semuanya itu tidak membebaninya
terlalu lama. Begitu pula ia tak dapat membayangkan kesenangan yang sepenuhnya
terpisah dari rasa pedih.
Tapi hari ini ia
dipaksa melepaskan optimismenya, bukan satu kali, melainkan dua kali. Kenapa ia
sampai datang kemari pagi ini? Demikianlah ia bertanya pada diri sendiri.
Tak ada air mata atau
kemarahan yang dapat menghilangkan guncangan itu. Sepintas-lintas terpikir
olehnya untuk bunuh diri, kemudian dikutuknya semua lelaki sebagai pembohong
kejam. Berganti-ganti ia berang dan sengsara, benci kepada dunia, benci kepada
diri sendiri, terlalu tak berdaya untuk mencari kelegaan dalam air mata ataupun
berpikir dengan jelas tentang segala sesuatu. Darahnya mendidih karena cemburu,
dan kegoyahan yang ditimbulkannya membuat ia mencaci diri sendiri atas begitu
banyak kekurangan yang ia miliki, termasuk tak adanya sikap tenang pada waktu
ini. Berulang-ulang ia menyuruh dirinya tetap tenang dan sedikit demi sedikit
ia menekan berbagai dorongan dari bawah tabir harga dirt yang sewajarnya
dimiliki kaum perempuan.
Selama gadis asing
itu berada di samping Musashi, Otsu tidak dapat bergerak. Tapi ketika Akemi
pergi, kesabarannya habis. Otsu merasa harus bertemu Musashi dan mencurahkan
segala yang dirasakannya. Sekalipun tidak tahu di mana harus memulai, ia sudah
memutuskan untuk membukakan hatinya dan menceritakan segalanya kepada Musashi.
Tetapi hidup ini
penuh dengan kecelakaan kecil. Satu langkah keliru saja—salah hitung kecil yang
dibuat di tengah gejolak peristiwa—dapat mengubah bentuk persoalan selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun mendatang. Justru karena membiarkan Musashi
lepas dari pandangan sedetik itu maka Otsu dapat ditemukan Osugi. Pada pagi
Tahun Baru yang mulia ini, kebun kegembiraan Otsu dilanda kawanan ular.
Ini sama dengan mimpi
buruk yang menjadi kenyataan. Dalam banyak mimpinya yang kacau ia sudah bertemu
dengan wajah Osugi yang menatap jahat, dan inilah kini kenyataan telanjang itu.
Sesudah berlari
beberapa ratus meter, Otsu kehabisan napas sama sekali. Ia berhenti dan menoleh
ke belakang. Untuk sesaat napasnya berhenti sama sekali. Osugi yang berada
sekitar seratus meter dari situ sedang memukuli dan mengayun-ayunkan Jotaro ke
kiri dan ke kanan.
Jotaro melawan,
menendang tanah, menendang udara, sekali-sekali memukul kepala penangkapnya.
Otsu melihat bahwa
sebentar lagi Jotaro berhasil menarik pedang kayunya. Dan bila demikian, pasti
perempuan itu akan menghunus pedang pendeknya dan takkan menyesal
menggunakannya. Pada saat itu, Osugi bukan orang yang akan menunjukkan belas
kasihan. Jotaro bahkan bisa terbunuh.
Otsu dalam keadaan
sulit luar biasa. Jotaro mesti diselamatkan, tapi ia tak berani mendekati
Osugi.
Jotaro memang
berhasil meloloskan pedang kayu dari obi-nya, tapi tidak berhasil meloloskan
kepalanya dari cengkeraman Osugi yang seperti catok itu. Segala tendangan dan
ayunan tangannya hanya merugikan dirinya, karena semua menambah keyakinan diri
perempuan tua itu.
"Anak
bandel!" teriaknya menghina. "Apa yang mau kaulakukan? Niru
kodok?" Giginya yang merongos membuat bibirnya tampak seperti bibir
kelinci, tetapi air mukanya memperlihatkan kemenangan tersembunyi. Selangkah
demi selangkah ia mengingsut mendekati Otsu.
Melihat gadis yang
ketakutan itu, sifat liciknya tampil. Dalam sekejap terpikir olehnya bahwa ia
menempuh jalan yang salah. Sekiranya lawannya itu Musashi, kecohan takkan
mempan. Musuh di depannya sekarang Otsu—yang halus, yang polos—yang barangkali
dapat dibuat percaya akan segalanya, asalkan disampaikan dengan lemah lembut
dan dengan nada tulus. Pertama ia mesti diikat dengan kata-kata, demikian pikir
Osugi, dan kemudian dipanggang untuk makan malam.
"Otsu!"
panggilnya dengan nada betul-betul pedih. "Kenapa kau lari? Apa yang
membuatmu lari begitu melihatku? Kau lari juga waktu di dimaafkan, tapi masih
ada Matahachi yang mesti dipertimbangkan. Apa kau tak mau bertemu lagi
dengannya dan bicara dengannya? Sejak dia lari dengan perempuan lain atas
kemauan sendiri, menurutku dia takkan minta kamu kembali padanya. Sebetulnya
aku tak suka dia melakukan sesuatu yang hanya mementingkan diri sendiri,
tapi..."
"Apa?"
"Apa setidaknya
kamu tak mau bertemu dengannya? Nanti, kalau kalian sudah berdua, akan
kuceritakan padanya bagaimana duduk perkaranya. Dengan begitu, aku dapat
menunaikan tugasku sebagai ibu. Aku akan merasa sudah melaksanakan segalanya
semampuku."
"Saya
mengerti," jawab Otsu. Dari pasir di sampingnya, seekor kepiting kecil
merangkak ke luar, lalu bergegas lari ke belakang batu. Jotaro menangkapnya,
kemudian pergi ke belakang Osugi dan menjatuhkannya ke atas kepalanya.
Kata Otsu, "Tapi
biar bagaimana, saya merasa sesudah terjadi semua peristiwa itu, lebih baik
saya tidak bertemu Matahachi."
"Aku bersamamu.
Apa tidak lebih baik untukmu kalau kamu bertemu dengannya dan mengutarakan
segalanya?"
"Ya,
tapi..."
"Nah, kalau
begitu lakukanlah itu. Kukatakan ini demi masa depanmu sendiri."
"Kalau saya
setuju... bagaimana kita bisa bertemu dengan Matahachi. Apa Nenek tahu di mana
dia?"
"Aku dapat cepat
menemukan dia. Cepat sekali... kau tahu, baru-baru ini aku bertemu dengannya di
Osaka. Lagi ngumbar napsu, dan ditinggalkannya aku di Sumiyoshi. Tapi biasanya
kalau dia berbuat seperti itu, dia akan menyesal. Tak lama lagi dia pasti
muncul di Kyoto mencariku."
Otsu merasa kurang
enak, karena menurutnya Osugi berbohong. Tapi hanyut juga ia oleh rasa sayang
orang tua itu kepada anaknya yang brengsek. Namun yang menyebabkan ia menyerah
sepenuhnya adalah keyakinan bahwa yang diusulkan Osuugi itu benar dan wajar.
"Bagaimana kalau
saya pergi membantu Nenek mencari Matahachi." demikian tanyanya.
"Oh, kau
mau?" teriak Osugi, menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, saya pikir
saya mesti pergi."
"Baiklah,
ikutlah denganku sekarang ke penginapan. Uh! Apa ini?" Sambil berdiri ia
meraba belakang kerahnya dan menangkap kepiting itu.
Ia gemetar, serunya,
"Oh, bagaimana dia bisa sampai di sini?" Ia mengulurkan tangannya,
kemudian mengibaskan kepiting itu dari jari-jarinya.
Jotaro yang berada di
belakangnya menahan gelaknya, tapi Osugi tak dapat dikibuli. Dengan mata
menyala ia menoleh dan menatap Jotaro. "Perbuatanmu itu, aku yakin!"
"Bukan aku. Aku
tidak melakukannya." Jotaro lari mendekati tanggul menyelamatkan diri, dan
serunya, "Otsu, Kakak akan pergi dengan dia ke penginapan, ya?"
Sebelum Otsu dapat
menjawab sendiri, Osugi sudah mengatakan, "Ya, dia ikut aku. Aku tinggal
di penginapan dekat kaki Bukit Sannen. Selamanya aku tinggal di sana jika
datang di Kyoto. Kami tak butuh kamu. Kembalilah kau ke tempatmu sendiri."
"Baik, aku
tinggal di rumah Karasumaru. Kakak datang ke sana juga, kalau sudah selesai
urusannya."
Waktu itu Otsu
merasakan denyutan kekuatiran. "Jo, tunggu!" Ia berlari cepat naik
tanggul, karena enggan melepaskan Jotaro pergi. Karena takut gadis itu akan
mengubah pikiran dan melarikan diri, Osugi cepat mengikutinya, tapi beberapa
saat lamanya Otsu dan Jotaro sempat sendirian.
"Kupikir aku
mesti pergi dengan dia," kata Otsu. "Tapi aku akan datang ke tempat
Yang Dipertuan Karasumaru, begitu ada kesempatan. Jelaskan semuanya pada mereka
dan mohonlah tinggal di sana sampai aku selesai dengan urusanku."
"Jangan kuatir.
Aku akan menunggu Kakak."
"Cari Musashi
selama kau menunggu, ya?"
"Nah, ke situ
lagi Kakak ini maunya! Waktu Kakak menemukan dia, Kakak sembunyi. Dan sekarang
Kakak menyesal. Jangan Kakak bilang aku tidak memperingatkan."
Osugi datang dan
berdiri di antara keduanya. Ketiganya berjalan kembali ke jembatan. Pandangan
Osugi yang seperti jarum itu berulang-ulang menghujam ke arah Otsu. Ia tak
berani mempercayai gadis itu. Walau tak sedikit pun menduga bencana yang
menghadangnya, namun Otsu merasa sudah terperangkap.
Sampai di jembatan,
matahari sudah tinggi di atas pohon liu dan pinus, jalan-jalan sudah penuh
orang-orang yang berbondong-bondong merayakan Tahun Baru, Satu gerombolan besar
di antaranya berkerumun di depan papan yang terpasang di Jembatan.
"Aku tak pernah
dengar tentang dia."
"Tentunya jagoan
boleh juga, kalau berani menghadapi orang-orang Yoshioka. Menarik juga untuk
ditonton."
Otsu berhenti dan
memandang, Osugi dan Jotaro juga berhenti dan memandang sambil mendengarkan
bisik-bisik orang yang memantul-mantul pelan di sana-sini. Seperti riak-riak
air yang digerakkan ikan-ikan mino di bering, nama Musashi menyebar ke tengah
orang banyak itu.
0 komentar:
Posting Komentar