Sabtu, 15 Juli 2017



Biji Rami


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






HYOGO semakin cemas. Sesudah masuk ke kamarOtsu, dengan membawa surat dari Takuan, ia mencari gadis itu di seluruh pekarangan benteng, dan makin lama kekuatirannya semakin memuncak.

Surat dari bulan sepuluh tahun lalu, yang tak jelas sebab keterlambatannya itu, bercerita tentang akan diangkatnya Musashi sebagai instruktur shogun. Takuan minta Otsu secepat mungkin datang ke ibu kota, karena Musashi akan segera membutuhkan rumah dan "orang untuk mengurusnya". Hyogo tak sabar lagi ingin melihat wajah Otsu menjadi cerah.

Karena tidak menemukan gadis itu, akhirnya ia bertanya pada penjaga pintu gerbang, dan mendapat jawaban bahwa orang-orang sedang pergi mencari Otsu. Hyogo menarik napas panjang. Pikirnya, sungguh bukan kebiasaan Otsu membuat orang lain kuatir, dan bukan kebiasaannya pula tidak meninggalkan pesan. Jarang ia bertindak menurutkan kata hati, sekalipun dalam hal sekecil-kecilnya.

Namun, sebelum ia sempat membayangkan hal yang terburuk, datang berita bahwa mereka sudah kembali, Otsu dengan Sukekuro; dan Ushinosuke dengan orang-orang yang dikirim ke Tsukigase. Anak itu minta maaf pada semua orang-entah untuk apa—tak seorang pun tahu, lalu ia tergesa-gesa pulang.

"Mau ke mana kau ini?" tanya salah seorang abdi.

"Saya mesti kembali ke Araki. Ibu saya pasti kuatir, kalau saya tidak pulang."

"Kalau kau mencoba pulang sekarang," kata Sukekuro, "ronin-ronin akan menangkapmu, dan kecil kemungkinannya mereka akan membiarkanmu hidup. Kau bisa tinggal di sini malam ini, dan pulang besok pagi."

Ushinosuke menggumam tak jelas, menyatakan setuju, lalu ia disuruh ke gudang kayu di daerah lingkaran luar, tempat para magang samurai tidur.

Hyogo memanggil Otsu dengan isyarat, kemudian membawanya ke sisi, dan menyampaikan apa yang telah ditulis Takuan. Dan ia tidak kaget ketika Otsu mengatakan, "Saya akan pergi besok pagi." Wajahnya yang merah padam mengungkapkan perasaannya.

Kemudian Hyogo mengingatkan Otsu tentang akan datangnya Munenori, dan menyarankan pada Otsu untuk kembali ke Edo bersamanya, sekalipun ia tahu benar jawaban apa yang akan didengarnya dari Otsu. Otsu tak punya selera untuk menunggu dua hari lagi, apalagi dua bulan. Hyogo berusaha sekali lagi, dengan mengatakan bahwa kalau Otsu mau menanti sampai sesudah upacara penguburan, Otsu akan dapat mengadakan perjalanan dengannya ke Nagoya, karena ia telah mendapat panggilan untuk menjadi pengikut Yang Dipertuan Tokugawa dari Owari. Dan ketika Otsu sekali lagi menyatakan keberatan, ia mengatakan pada Otsu bahwa ia kurang senang melihat Otsu akan mengadakan perjalanan jauh sendirian. Di setiap kota dan penginapan sepanjang jalan itu, Otsu akan menjumpai gangguan, bahkan bahaya.

Otsu tersenyum. "Anda rupanya lupa. Saya sudah terbiasa dengan perjalanan. Tak ada yang perlu Anda kuatirkan."

Malam itu, dalam pesta perpisahan sederhana, tiap orang memperlihatkan rasa sayangnya pada Otsu, dan pada pagi berikutnya yang terang dan jernih, seluruh keluarga dan para pembantu berkumpul di gerbang depan, melepas kepergian Otsu.

Sukekuro mengirim orang untuk memanggil Ushinosuke, karena menurut perkiraannya Otsu dapat menunggang sapinya sampai Uji. Dan ketika orang itu kembali dengan laporan bahwa anak itu sudah pulang malam sebelumnya, Sukekuro memerintahkan supaya diambilkan kuda.

Otsu merasa statusnya terlampau rendah untuk mendapatkan perlakuan seperti itu, dan ia menolak tawaran tersebut, namun Hyogo bersikeras. Kuda kelabu berbintik-bintik itu dituntun oleh seorang samurai magang, menuruni lereng landai yang menuju gerbang luar.

Hyogo berjalan sebentar, kemudian berhenti. Ia tak dapat menyangkal, kadang-kadang ia merasa iri pada Musashi, sebagaimana ia iri pada siapa pun yang dicintai Otsu. Walaupun hati Otsu menjadi milik orang lain, rasa sayangnya pada Otsu tidak berkurang. Otsu telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dalam perjalanan dari Edo, dan berminggu-minggu dan berbulan-bulan sesudahnya ia mengagumi pengabdian yang diberikan gadis itu dalam merawat kakeknya. Walaupun cintanya lebih dalam daripada sebelumnya, cinta itu tidaklah mementingkan diri sendiri. Sekishusai memerintahkan ia membawa gadis itu dengan selamat kepada Musashi, dan Hyogo bermaksud melakukannya. Bukanlah sifatnya untuk mendambakan peruntungan orang lain, ataupun merampas peruntungan itu dari orang yang bersangkutan. Tak dapat ia membayangkan tindakan yang terpisah dari Jalan Samurai. Melaksanakan keinginan kakeknya itu sendiri merupakan pernyataan cintanya.

Ia sedang tenggelam dalam angan-angan itu, ketika Otsu menoleh dan membungkuk menyatakan terima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan jasa baik kepadanya. Ia berangkat, dan menyentuh beberapa kembang prem. Melihat secara tak sengaja daun bunga yang berguguran itu, hampir-hampir Hyogo dapat mencium semerbak baunya. Ia merasa itulah terakhir kali ia melihat Otsu, dan ia senang dapat berdoa diam-diam demi kebaikan masa depan Otsu. Ia tetap berdiri dan memandang, sementara Otsu menghilang dari pandangan.

"Pak."

Hyogo menoleh dan senyuman tersungging pada wajahnya. "Ushinosuke. Ya, ya. Kudengar kau pulang juga semalam, biarpun kularang."

"Ya, Pak, ibu saya..." Ushinosuke memang masih terlalu muda, hingga menyebut berpisah dengan ibunya saja bisa membuat ia menangis.

"Baiklah. Bagus kalau seorang anak lelaki memperhatikan ibunya. Tapi bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dan ronin-ronin di Tsukigase itu?"

"Oh, mudah, Pak."

"Betul mudah?"

Anak itu tersenyum. "Mereka tak ada di sana. Mereka mendengar Otsu datang dari benteng, karena itu mereka takut akan diserang. Saya kira mereka tentunya pindah ke seberang gunung itu."

"Ha, ha. Kalau begitu, kita tak perlu lagi kuatir dengan mereka, kan? Kau sudah sarapan belum?"

"Belum," jawab Ushinosuke sedikit malu. "Saya tadi bangun pagi, supaya dapat menggali kentang liar buat Pak Kimura. Kalau Bapak suka, nanti saya bawakan."

"Terima kasih."

"Apa Bapak tahu di mana Otsu sekarang?"

"Dia baru saja berangkat ke Edo."

"Ke Edo?..." Dan dengan ragu-ragu, katanya, "Saya ingin tahu, apakah dia sudah menyampaikan pada Bapak atau Pak Kimura tentang keinginan saya."

"Dan apa keinginanmu?"

"Selama mi, saya ingin Bapak menjadikan saya pembantu samurai."

"Kau masih terlalu muda buat pekerjaan itu. Barangkali nanti, kalau kau sudah lebih besar."       '

"Tapi saya ingin belajar main pedang. Pak, bantulah saya. Saya mesti belajar selagi ibu saya masih hidup."

"Apa kau belajar pada orang lain?"

"Tidak, tapi saya sudah latihan menggunakan pedang kayu, dengan pohon dan binatang."

"Oh, itu bagus juga buat permulaan. Kalau nanti kau sudah sedikit lebih besar, kau bisa ikut aku ke Nagoya. Sebentar lagi aku akan tinggal di sana."

"Tempat itu di Owari, kan? Tak bisa saya pergi sejauh itu, selagi ibu saya masih hidup."

Hyogo jadi tergerak hatinya, katanya, "Sini ikut aku!" Ushinosuke ikut tanpa berkata-kata. "Kita pergi ke dojo. Akan kulihat, apa kau punya bakat jadi pemain pedang."

"Ke dojo?" Ushinosuke pun bertanya pada diri sendiri, apakah ia sedang bermimpi. Sejak kecil ia sudah menganggap dojo Yagyu yang kuno itu sebagai lambang segala yang paling diinginkannya di dunia ini. Sukekuro memang pernah mengatakan ia boleh masuk, hanya saja itu belum pernah dilakukannya. Tapi sekarang ia diundang masuk oleh salah seorang anggota keluarga!

"Cuci kakimu."

"Baik, Pak." Ushinosuke pergi ke kolam kecil di dekat pintu masuk, dan dengan hati-hati sekali mencuci kakinya. Dengan cermat dibersihkannya kotoran yang ada di sela-sela kukunya.

Begitu berada di dalam, ia merasa kecil dan tidak berarti. Kayu-kayu blandar dan kaso itu tua dan pejal, dan lantai dipoles sampai mengilap, hingga ia dapat berkaca di sana. Suara Hyogo terdengar lain ketika mengatakan, "Ambil pedang."

Ushinosuke memilih sebilah pedang kayu ek hitam dari antara senjatasenjata yang tergantung di dinding. Hyogo mengambil juga sebilah, dan dengan ujung pedang diarahkan ke lantai, ia berjalan ke tengah ruangan.

"Siap?" tanyanya dingin.

"Ya," jawab Ushinosuke sambil mengangkat senjatanya setinggi dada.

Hyogo membuka jurus, sedikit menyudut. Ushinosuke menggembungkan badan seperti landak. Alisnya terangkat, wajahnya mengerut ganas, dan darahnya menderas. Ketika Hyogo memberikan isyarat dengan mata bahwa ia akan menyerang, Ushinosuke menggeram keras. Sambil mengentakkan kaki ke lantai, Hyogo maju cepat ke depan, dan melancarkan serangan menyamping ke pinggang Ushinosuke.

"Belum!" teriak anak itu. Dengan sikap seakan menendang lantai dan dirinya, ia melompat tinggi-tinggi, sampai melewati bahu Hyogo. Hyogo menjulurkan tangan kirinya dan mendorong sedikit kaki anak itu ke atas. Ushinosuke berjungkir-balik dan mendarat di belakang Hyogo. Dalam sekejap ia tegak kembali dan berlari untuk memegang kembali pedangnya.

"Cukup," kata Hyogo.

"Ah, sekali lagi!"

Ushinosuke mencekal pedangnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan kedua belah tangan, dan menyerbu ke arah Hyogo seperti burung elang. Tapi senjata Hyogo yang diarahkan langsung kepadanya menghentikan gerakan itu. Ia melihat pandangan mata Hyogo, dan air matanya berlinang.

"Anak ini punya semangat," pikir Hyogo, namun ia berpura-pura marah. "Kau curang!" teriaknya. "Kau lompat di atas bahuku." Ushinosuke tak dapat menjawab.


"Kau tidak tahu kedudukanmu; dan lancang terhadap atasan! Duduk di sana!" Anak itu berlutut dengan tangan ke depan, dan membungkuk meminta maaf. Hyogo mendekatinya, menjatuhkan pedang kayu itu, dan menarik pedangnya sendiri. "Kubunuh kau sekarang! Jangan menjerit."

"B-b-bunuh saya?"

"Julurkan lehermu! Buat seorang samurai, tak ada yang lebih penting daripada patuh kepada aturan sopan santun. Biarpun kau cuma anak tani, perbuatanmu itu tak dapat diampuni."

"Bapak mau bunuh saya cuma karena perbuatan kasar?"

"Betul."

Ushinosuke menengadah sebentar kepada samurai itu dengan mata pasrah, kemudian mengangkat kedua tangan ke arah kampungnya, katanya, "Ibu, aku akan jadi bagian dari tanah di benteng ini. Aku tahu, Ibu akan sedih. Maafkan aku karena tidak menjadi anak yang baik." Kemudian dengan patuh ia menjulurkan lehernya.

Hyogo tertawa dan memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Sambil menepuk-nepuk punggung Ushinosuke, katanya, "Kau tidak betul-betul berpikir aku akan membunuh anak macam kau, kan?"

"Jadi, Bapak tidak sungguh-sungguh?"

"Tidak."

"Bapak bilang, sopan santun itu penting. Jadi, apa bisa dibenarkan kalau seorang samurai bercanda macam itu?"

"Ini bukan lelucon. Kalau kau mau berlatih jadi samurai, aku mesti tahu orang macam apa kau itu."

"Tadi saya pikir Bapak sungguh-sungguh," kata Ushinosuke. Napasnya kembali normal.

"Kaubilang belum pernah dapat pelajaran," kata Hyogo. "Tapi waktu kudesak kau ke tepi ruangan, kau lompat ke atas bahuku. Tidak banyak murid dapat berbuat begitu, biarpun sudah dapat latihan tiga-empat tahun."

"Tapi saya memang belum pernah belajar pada orang lain."

"Tak perlu dirahasiakan. Kau pasti punya guru yang baik. Siapa dia?"

Anak itu berpikir sebentar, kemudian katanya, "Oh, ya, sekarang saya ingat, bagaimana saya belajar lompat."

"Siapa yang mengajar?"

"Bukan manusia yang mengajar."

"Peri air barangkali?"

"Bukan, biji rami."

"Apa?"

"Biji rami."

"Mana mungkin kau belajar dari biji rami?"

"Begini, di pegunungan itu ada beberapa petarung-orang-orang yang dapat menghilang dari depan mata kita. Saya melihat latihan mereka beberapa kali."

"Maksudmu ninja, ya? Tentunya kelompok Iga yang kaulihat itu. Tapi apa hubungannya dengan biji rami?"

"Begini. Sesudah rami itu ditanam pada musim semi, tak lama kemudian tumbuh kecambahnya."

"Lalu?"

"Saya lompati pokok itu. Tiap hari saya latihan melompat ke sana kemari. Kalau udara lebih panas, kecambah itu tumbuh cepat—bukan main cepatnya—jadi, dari hari ke hari saya lompat lebih tinggi lagi."

"Oh, begitu."

"Saya lakukan itu tahun lalu dan tahun sebelumnya. Dari musim semi sampai musim gugur."

Pada waktu itu Sukekuro masuk dojo, katanya, "Hyogo, ini ada surat lagi dari Edo."

Hyogo membacanya, lalu katanya, "Otsu belum jauh, kan?"

"Tak lebih dari delapan kilometer, barangkali. Apa yang terjadi?"

"Ya. Takuan bilang, pengangkatan Musashi dibatalkan. Mereka rupanya sangsi akan wataknya. Kupikir, kita tak boleh membiarkan Otsu terus pergi ke Edo tanpa memberitahu dia."

"Saya akan pergi!"

"Tidak, biar aku yang pergi."

Sambil mengangguk pada Ushinosuke, Hyogo meninggalkan dojo dan langsung pergi ke kandang.

Setengah perjalanan menuju Uji, ia mulai berpikir. Biarpun Musashi tak jadi diangkat, buat Otsu akan sama saja; yang diminati Otsu orangnya, bukan statusnya. Sekalipun Hyogo misalnya berhasil meyakinkannya untuk tinggal sedikit lebih lama di Koyagyu, Otsu pasti akan pergi terus ke Edo. Jadi, buat apa menghalangi perjalanannya dengan menyampaikan berita buruk itu?

Hyogo kembali ke Koyagyu dan melambatkan jalan kudanya. Dilihat dari luar, ia tampak tenang, namun di hatinya berkecamuk perjuangan hebat. Oh, kalau sekiranya ia dapat melihat Otsu sekali lagi! Ia mesti mengakui pada diri sendiri, bahwa itulah alasan sebenarnya ia menyusul Otsu, namun ia tak akan mengakuinya pada orang lain.

Hyogo mencoba mengendalikan perasaannya. Seperti semua orang lain, prajurit terkadang mengalami saat-saat lemah, saat-saat gila. Namun kewajibannya sebagai seorang samurai sudah jelas: berkeras hati, sampai ia mencapai keseimbangan yang tenang. Sekali ia berhasil menyeberangi rintangan khayal, jiwanya akan ringan dan bebas, dan matanya akan terbuka melihat pohon-pohon dedalu hijau di sekitarnya, dan setiap lembar rumput yang ada. Cinta bukanlah satu-satunya emosi yang dapat mengusik hati seorang samurai. Hatinya adalah dunia yang sama sekali berbeda. Pada masa ini, dunia sedang sangat membutuhkan orang-orang muda berbakat, jadi bukan waktunya tergiur oleh sekuntum bunga yang ada di tepi jalan.

Menurut Hyogo, yang penting adalah bagaimana berdiri di tempat yang benar, agar ia dapat menunggangi ombak zaman. "Ramai juga, ya?" ujar Hyogo dengan hati riang.

"Ya, Nara jarang begini baik keadaannya," jawab Sukekuro. "Macam pesiar saja."

Beberapa langkah di belakang mereka, ikut juga Ushinosuke. Hyogo mulai menyukai anak itu. Anak itu sekarang lebih sering datang ke benteng, dan dalam masa peralihan untuk menjadi abdi biasa. Waktu itu ia memanggul makan siang kedua orang itu. Ia membawa sepasang sandal cadangan untuk Hyogo, yang ia ikatkan ke obi-nya.

Mereka berada di sebuah lapangan terbuka di tengah kota. Di satu sisi menjulang pagoda Kofukuji yang bertingkat lima, di atas hutan yang mengitarinya. Di seberang lapangan tampak rumah-rumah para pendeta Budha dan Shinto. Walaupun hari itu tenang dan udara seperti pada musim semi, namun di daerah-daerah rendah tempat berdiamnya penduduk kota, mengambang kabut tipis. Kerumunan orang yang berjumlah antara empat sampai lima ratus itu tidak tampak terlalu besar, karena luasnya lapangan. Sebagian dari rusa yang memasyhurkan nama Nara itu berjalanjalan di antara para penonton, di sana-sini mengendus-endus potonganpotongan makanan yang lezat.

"Mereka belum selesai juga, ya?" tanya Hyogo.

"Belum," kata Sukekuro. "Rupanya sedang istirahat makan siang."

"Jadi, pendeta pun mesti makan!"

Sukekuro tertawa.

Waktu itu berlangsung semacam pertunjukan. Kota-kota besar biasanya memiliki teater, tapi di Nara dan kota-kota yang lebih kecil, pertunjukan itu diadakan di udara terbuka. Para tukang sulap, penari, tukang boneka, demikian juga para pemanah dan pemain pedang, semuanya melakukan pertunjukan di luar. Tapi atraksi hari ini lebih dari sekadar hiburan. Tiap tahun para pendeta pemain lembing Hozoin mengadakan pertandingan. Dengan itu mereka menetapkan susunan kedudukan mereka di kuil. Karena pertunjukan dilaksanakan di depan umum, para pemain harus berjuang keras dan pertarungan sering berlangsung hebat dan menakjubkan. Di depan Kuil Kofukuji dipasang papan pengumuman yang dengan jelas menyatakan bahwa pertandingan itu terbuka untuk semua orang yang mengabdikan diri kepada seni bela diri, namun orang luar yang berani menghadapi pendeta pemain lembing itu sedikit sekali.

"Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk makan siang?" tanya Hyogo. "Rasanya kita masih punya banyak waktu."

"Di mana tempat yang baik?" tanya Sukekuro, memandang ke sekitar.

"Di sini," seru Ushinosuke. "Bapak-bapak bisa duduk di atas sini." Ia menunjuk selembar tikar buluh yang telah diambilnya entah dari mana, dan ditebarkannya di atas bukit kecil yang menyenangkan. Hyogo kagum akan kecekatan anak itu, dan secara keseluruhan ia pun senang kebutuhan-kebutuhannya diperhatikan, walaupun menurut anggapannya sifat penuh perhatian itu bukan watak yang ideal untuk seorang calon samurai.

Sesudah mereka mengambil tempat duduk sebaik-baiknya, Ushinosuke menyuguhkan hidangan: gumpalan nasi kasar, acar prem asam, dan pasta buncis manis, semuanya terbungkus daun bambu kering untuk memudahkan membawanya.

"Ushinosuke," kata Sukekuro, "lari sana kepada para pendeta itu, dan ambil sedikit teh. Tapi jangan katakan untuk siapa."

"Akan mengganggu sekali, kalau sampai mereka ke sini menyatakan hormat," tambah Hyogo, yang waktu itu menenggelamkan muka ke bawah topi anyamannya. Wajah Sukekuro pun lebih dari setengahnya tertutup bandana, seperti yang biasa dipakai para pendeta.

Ketika Ushinosuke berdiri, seorang anak lelaki lain yang jaraknya sekitar lima belas meter dari sana mengatakan, "Sungguh saya tak mengerti. Tadi tikar itu di sini."

"Lupakan, Iori," kata Gonnosuke. "Tikar itu tidak penting."

"Tentunya ada yang mencuri. Siapa kira-kira yang melakukannya?"

"Tak usah repot-repot." Gonnosuke duduk di rumput, mengeluarkan kuas dan tinta, dan mulai mencatat pengeluarannya dalam buku catatan kecil, suatu kebiasaan yang baru-baru ini didapatnya dari Ion.

Dalam beberapa hal, sikap Iori memang terlampau serius untuk anak semuda dirinya. Ia memperhatikan benar keuangan pribadinya, tidak pernah memboroskan sesuatu. Ia rapi bukan main, dan ia merasa berterima kasih atas setiap mangkuk nasi yang diterimanya dan setiap hari cerah yang dihadapinya. Singkat kata, ia orang yang ingin serbalurus, dan memandang rendah orang yang tidak bersifat seperti dirinya.

Terhadap orang yang mencuri milik orang lain, walaupun hanya selembar tikar murah, ia merasa muak.

"Oh, itu dia," teriaknya. "Orang-orang di sana yang mengambilnya. Hei!" la berlari ke arah mereka, tapi sekitar sepuluh langkah sebelum sampai, tiba-tiba ia berhenti untuk menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya, dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan Ushinosuke.

"Apa maumu?" geram Ushinosuke.

"Apa maksudmu, apa mauku?" bentak Ion.

Sambil memandangnya dengan sikap dingin, seperti sikap orang kampung terhadap orang luar, kata Ushinosuke, "Kau yang tadi meneriaki kami."

"Siapa membawa pergi barang orang lain, dia itu pencuri!"

"Pencuri? Kau ini kurang ajar!"

"Tikar itu punya kami!"

"Tikar? Aku tadi menemukan tikar itu di tanah. Apa itu yang bikin kau gusar?"

"Tapi tikar itu penting buat orang yang sedang melakukan perjalanan," kata Iori agak muluk. "Karena dapat melindungi dari hujan, menjadi alas tidur. Banyak lagi hal lain. Kembalikan tikar itu!"

"Boleh kau mengambilnya, tapi tarik dulu kata-katamu bahwa aku pencuri!"

"Aku tak perlu minta maaf buat mengambil kembali milik kami sendiri. Kalau tidak kaukembalikan, akan kuambil kembali!"

"Boleh coba. Aku Ushinosuke dari Araki. Tak mau aku kalah dengan orang kerdil macam kau. Aku ini murid seorang samurai."

"Aku berani bertaruh, memang kau murid samurai," kata Iori sambil berdiri sedikit lebih lurus. "Kau berani omong besar karena ada orang banyak di sekitar sini, tapi kau takkan berani berkelahi, kalau kita cuma berdua."

"Aku takkan lupa kata-kata itu."

"Datang ke sana nanti."

"Ke mana?"

"Dekat pagoda. Kau datang sendiri."

Mereka berpisah. Ushinosuke pergi mengambil teh, dan ketika ia kembali membawa poci teh dari tembikar, pertandingan sudah mulai lagi. Ketika berdiri dalam lingkaran besar bersama para penonton lain, Ushinosuke menancapkan matanya pada Iori, menantangnya dengan mata itu. Iori membalas. Keduanya yakin menang.


Orang banyak yang ribut itu terdorong ke sana-sini, hingga debu kuning naik ke udara. Di tengah lingkaran, berdiri seorang pendeta, memegang lembing sepanjang tongkat unggas. Satu demi satu lawan-lawan maju ke depan, menantangnya. Satu demi satu pula mereka diruntuhkan ke bumi, atau diterbangkan ke udara.

"Ayo maju!" teriaknya, tapi akhirnya tak ada lagi orang yang datang. "Kalau tak ada lagi, saya pergi. Ada yang keberatan untuk menyatakan diri saya, Nankobo, sebagai pemenang?" Setelah belajar di bawah pimpinan In'ei, ia menciptakan gayanya sendiri, dan kini menjadi saingan utama Inshun. Inshun sendiri hari ini tidak hadir, dengan alasan sakit. Tak seorang pun tahu, apakah ia takut pada Nankobo, atau lebih suka menghindari konflik.

Ketika tak seorang pun maju ke depan, pendeta bertubuh besar dan tegap itu menurunkan lembingnya, memegangnya mendatar, dan menyatakan, "Tak ada lagi penantang."

"Tunggu!" seru seorang pendeta, sambil berlari ke depan Nankobo. "Saya Daun, murid Inshun. Saya menantang Anda."

"Siapkan dirimu."

Sesudah saling membungkuk, kedua orang itu melompat menjauh. Kedua lembing mereka begitu lama saling tatap, seperti makhluk hidup, hingga orang banyak menjadi bosan dan mulai berteriak-teriak menghendaki aksi.

Kemudian sekonyong-konyong teriakan mereda. Lembing Nankobo menghunjam ke kepala Daun, dan seperti pengejut burung yang digulingkan angin, tubuhnya pelan-pelan menyandar ke samping, kemudian tiba-tiba jatuh ke tanah. Tiga-empat pemain lembing berlari maju, bukan untuk membalas dendam, tapi hanya untuk menyeret tubuh itu ke luar.

Nankobo dengan sombong membidangkan dadanya dan mengamati orang banyak. "Rupanya tak banyak lagi orang yang berani. Kalau memang masih ada, silakan maju."

Seorang pendeta gunung maju ke depan, dari belakang sebuah tenda. Ia menurunkan pen perjalanan dari punggungnya, dan tanyanya, "Apa pertandingan ini hanya terbuka buat pemain lembing Hozoin?'

"Tidak," jawab pendeta-pendeta Hozoin serentak.

Pendeta itu membungkuk. "Kalau begitu, saya ingin mencoba. Ada yang bisa meminjamkan pedang kayu pada saya?"

Hyogo memandang Sukekuro, katanya, "Oh, ini mulai menarik."

"Barangkali juga."

"Tak sangsi lagi bagaimana jadinya."

"Bukan itu maksudku. Kupikir Nankobo takkan mau berkelahi. Kalau dia mau, dia akan kalah."

Sukekuro tampak bertanya-tanya, tapi ia tidak minta penjelasan.

Satu orang menyerahkan pedang kayu kepada pendeta pengembara itu. Ia berjalan mendekati Nankobo, membungkuk, dan menyampaikan tantangannya. Umurnya sekitar empat puluh tahun, tapi tubuhnya yang seperti baja pegas itu mengisyaratkan bahwa ia terlatih bukan dalam cara pendeta gunung, melainkan di medan laga. Ia tentunya orang yang sudah banyak kali berhadapan dengan maut, dan siap menghadapi maut dengan tenang. Gaya bicaranya lembut, dan matanya tenang.

Nankobo memang angkuh, tapi la bukan orang bodoh. "Anda orang luar?" tanyanya asal saja.

"Ya," jawab si penantang, membungkuk sekali lagi.

"Tunggu sebentar." Nankobo melihat dua hal dengan jelas: tekniknya kemungkinan memang lebih baik daripada teknik pendeta itu, tapi pada akhirnya ia takkan dapat menang. Sejumlah prajurit terkemuka yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara diketahui masih menyamar sebagai pendeta pengembara. Hanya Tuhan yang tahu, siapa orang itu.

"Saya tak bisa menghadapi orang luar," kata Nankobo sambil menggeleng.

"Saya sudah tanya peraturannya tadi, dan jawabannya bisa."

"Dengan yang lain bisa-bisa saja, tapi saya memilih untuk tidak bertarung dengan orang luar. Saya berkelahi bukan dengan tujuan mengalahkan lawan. Ini kegiatan keagamaan. Di sini saya mendisiplinkan jiwa saya lewat lembing."

"Oh, begitu," kata si pendeta disertai tawa kecil. Ia agaknya masih hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia menimbang-nimbang sebentar, kemudian mengundurkan diri dari medan, mengembalikan pedang kayu itu, dan menghilang.

Nankobo memakai kesempatan itu untuk keluar, tanpa memedulikan bisik-bisik orang bahwa mengundurkan diri itu baginya berarti pengecut. Diikuti dua-tiga muridnya, ia berjalan dengan megahnya, seperti jenderal penakluk.

"Nah, apa kataku?" kata Hyogo.

"Anda betul sekali."

"Orang itu pasti salah satu dari orang-orang yang bersembunyi di Gunung Kudo. Gantikan jubah putih dan dandanannya itu dengan ketopong dan baju zirah, dan dia akan menjadi salah seorang pemain pedang besar beberapa tahun lalu."

Orang-orang sudah menjarang, dan Sukekuro mulai mencari Ushinosuke, tapi anak itu tidak kelihatan olehnya. Mendapat isyarat dari Iori tadi, ia pergi ke pagoda, dan kini mereka berdua berdiri saling tatap dengan ganasnya.

"Jangan salahkan aku, kalau kau terbunuh," kata Iori.

"Omong besar kau!" kata Ushinosuke, mengambil tongkat untuk senjata.

Iori menyerbu dengan pedang diangkat tinggi-tinggi. Ushinosuke melompat mundur. Karena menurut pendapatnya Ushinosuke takut, Iori berlari langsung ke arahnya, tapi Ushinosuke melompat sambil menendang sisi kepalanya. Tangan Iori memegang kepalanya, dan ia rebah ke tanah. Tapi ia cepat pulih kembali, dan dalam sekejap sudah berdiri lagi. Kedua anak itu ber-hadapan-hadapan dengan senjata terangkat.

Lupa akan ajaran Musashi dan Gonnosuke, Iori menyerang dengan mata tertutup. Ushinosuke menyamping sedikit dan memukul dengan tongkat.

"Ha! Aku menang!" teriak Ushinosuke. Tapi ketika dilihatnya Iori tak bergerak sama sekali, ia jadi ketakutan dan lari.

"Siapa bilang!" bentak Gonnosuke. Tongkatnya yang empat kaki panjangnya itu menghantam pinggul Ushinosuke.

Ushinosuke jatuh sambil menjerit kesakitan, tapi sesudah melihat Gonnosuke sekilas, ia bangkit dan lari lagi seperti kelinci, hingga kepalanya membentur Sukekuro.

"Ushinosuke! Apa yang terjadi di sini?"

Ushinosuke cepat menyembunyikan diri di belakang Sukekuro, sehingga samurai itu berhadap-hadapan dengan Gonnosuke. Untuk sesaat seakanakan benturan tak dapat dihindari lagi. Tangan Sukekuro menyambar pedang, sedangkan Gonnosuke mengetatkan pegangan tongkatnya.

"Boleh saya bertanya?" tanya Sukekuro. "Kenapa Anda mengejar anak ini, seperti mau membunuhnya?"

"Sebelum menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apa Anda lihat tadi dia merobohkan anak itu?"

"Apa anak itu teman Anda?"

"Ya. Apa ini salah seorang pembantu Anda?"

"Secara resmi tidak." Sambil menatap Ushinosuke, tanyanya garang, "Kenapa kaupukul anak itu, lalu lari? Katakan yang sebenarnya sekarang."

Belum lagi Ushinosuke membuka mulut, Iori sudah mengangkat kepala dan berteriak, "Itu tadi pertarungan!" Sambil duduk kesakitan, katanya, "Kami berdua bertarung, dan saya kalah."

"Apa kalian berdua sudah saling tantang sesuai aturan, dan sepakat bertempur?" tanya Gonnosuke. Ia memandang kedua anak itu bergantian, dan tampak nada kagum dalam matanya.

Dengan sikap sangat malu, Ushinosuke berkata, "Saya tidak tahu itu tadi tikarnya."

Kedua pria itu saling menyeringai. Sadarlah mereka bahwa kalau tadi mereka tidak mengendalikan diri, kejadian sepele yang kekanak-kanakan itu dapat berakhir dengan pertumpahan darah.

"Saya menyesalkan kejadian ini," kata Sukekuro. "Begitupun saya. Saya harap Anda memaafkan saya."

"Tidak apa-apa. Guru saya menanti kami, karena itu lebih baik kami pergi sekarang."

Mereka keluar pintu gerbang sambil tertawa, Gonnosuke dan Iori ke kiri, Sukekuro dan Ushinosuke ke kanan.

Kemudian Gonnosuke menoleh, katanya, "Boleh saya bertanya? Kalau kami terus mengikuti jalan ini, apa kami akan sampai Benteng Koyagyu?"

Sukekuro mendekati Gonnosuke, dan beberapa menit kemudian, ketika Hyogo bergabung dengan mereka, ia menyampaikan pada Hyogo siapa orang-orang itu, dan kenapa mereka ada di sana.

Hyogo menarik napas panjang dengan sikap simpatik. "Sayang sekali. Coba kalau Anda datang tiga minggu lalu, sebelum Otsu pergi menggabungkan diri dengan Musashi di Edo."

"Tapi dia tak ada di Edo," kata Gonnosuke. "Tak ada yang tahu di mana dia berada, termasuk teman-temannya."

Iori berusaha menahan air matanya, namun sesungguhnya ia ingin sekali pergi sendiri ke suatu tempat, untuk melampiaskan perasaannya. Dalam perjalanan turun, tidak henti-hentinya ia bicara tentang pertemuan dengan Otsu, atau setidaknya demikianlah kesan Gonnosuke. Dan ketika percakapan orang-orang dewasa itu beralih pada peristiwa-peristiwa di Edo, ia pun lama-lama merasa asing. Kepada Gonnosuke, Hyogo minta lebih banyak informasi tentang Musashi, minta kabar tentang pamannya, dan minta perincian tentang hilangnya Ono Tadaaki. Kelihatannya pertanyaannya takkan ada habisnya, demikian juga jawaban yang diberikan Gonnosuke.

"Ke mana kau pergi?" tanya Ushinosuke pada Iori, sambil menyusulnya dari belakang dan meletakkan tangan dengan simpati ke bahu Iori. "Kau menangis, ya?"

"Tentu saja tidak!" Tapi ketika menggeleng, air matanya terlontar jatuh.

"Hmm... Kau bisa menggali kentang liar, tidak?"

"Tentu."

"Ada kentang di sana. Mau tahu siapa yang bisa menggali paling cepat?"

Iori menerima tantangan itu, dan mereka mulai menggali.

Hari sudah menjelang senja, dan karena masih banyak yang dibicarakan, Hyogo mendesak Gonnosuke untuk tinggal beberapa hari di benteng. Namun Gonnosuke mengatakan lebih suka melanjutkan perjalanan.

Selagi mengucapkan kata-kata perpisahan, mereka menyadari bahwa kedua anak itu hilang lagi. Tapi sejenak kemudian Sukekuro menunjuk, dan katanya, "Itu mereka di sana. Rupanya mereka sedang menggali."

Iori dan Ushinosuke sedang tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Karena rapuhnya akar kentang, mereka mesti menggali dengan hati-hati sampai dalam. Ketiga lelaki itu senang melihat ketekunan mereka, dan diam-diam mendekati mereka dari belakang, serta memperhatikan mereka beberapa menit lamanya. Akhirnya Ushinosuke menengadah melihat mereka. la tergagap sedikit, sedangkan Iori menoleh sambil menyeringai. Lalu mereka kembali bekerja keras.

"Aku menang!" teriak Ushinosuke sambil mencabut kentang panjang dan meletakkannya di tanah.

Melihat lengan Iori masih terbenam sampai bahu dalam lubang, Gonnosuke berkata tak sabar, "Kalau kau tidak lekas menyelesaikannya, aku pergi sendiri!"

Sambil meletakkan satu tangan ke paha, seperti seorang petani tua, Iori memaksa dirinya berdiri, dan katanya, "Oh, tak sanggup aku. Sampai malam takkan selesai." Dengan wajah menyerah, dikibaskannya tanah dari kimononya.

"Tak bisa kau mengeluarkan kentang itu, padahal sudah menggali begitu dalam?" tanya Ushinosuke. "Mari aku tarikkan."

"Tidak," kata Iori sambil mencegah tangan Ushinosuke. "Nanti patah." Dengan hati-hati dikembalikannya tanah itu ke dalam lubang, dan dipadatkannya.

"Selamat tinggal," kata Ushinosuke. Dengan bangga ia memanggul kentangnya, dan secara kebetulan kelihatan ujungnya yang patah.

Melihat itu, Hyogo berkata, "Kau kalah. Boleh saja kau menang dalam perkelahian, tapi kau tidak lulus dalam pertandingan menggali kentang."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP