Penjaga Setan
ANJING-ANJING
Mitsumine adalah jenis binatang liar. Kata orang, mereka hasil persilangan
antara anjing yang didatangkan oleh kaum imigran Korea lebih dari seribu tahun
lalu, dengan anjing liar dari Pegunungan Chichibu. Tingkat hidup anjing-anjing
itu hanya selangkah terpisah dari tingkat binatang liar lain, dan mereka
mengembara di lereng gunung, dan memangsa binatang liar lain di daerah itu.
Tapi karena anjing-anjing itu dianggap utusan dewata dan dikatakan orang
sebagai "penjaga" dewata, sering kali para pemuja membawa pulang
gambaran mereka itu dalam bentuk cetakan atau pahatan, sebagai jimat
keberuntungan.
Anjing hitam yang
membuntuti Musashi bersama lelaki itu ukurannya sebesar anak sapi.
Ketika Musashi masuk
Kannon'in, orang itu menoleh, katanya, "Jalan sini," dan memberi
isyarat dengan tangannya yang tidak memegang tali.
Anjing itu menggeram,
menyentakkan tali pengikatnya yang berupa seutas tali tebal, dan mulai
mendengus.
Sambil memukulkan
tali itu ke punggung anjing, orang itu berkata, "Sst! Tenang, Kuro!"
Orang itu sekitar
lima puluh tahun umurnya, tubuhnya pejal, tapi gemulai. Seperti anjingnya, ia
tidak begitu jinak, tapi ia berpakaian rapi. Disamping memakai kimono yang
tampak seperti jubah pendeta atau pakaian resmi samurai, ia mengenakan juga obi
datar dan hakama dari rami. Sandal jeraminya, yang biasa dipakai orang pada
pesta-pesta, masih baru talinya.
"Baiken?"
Perempuan itu mundur menghindari anjing.
"Balik!"
perintah Baiken sambil mengetuk kepala anjing itu dengan keras. "Aku
senang kau dapat mengenali dia, Oko."
"Jadi, memang
dia?"
"Tidak sangsi
lagi."
Untuk sesaat mereka
berdiri diam, sambil memandang lewat celah awan, ke arah bintang-bintang.
Mereka mendengar bunyi musik tarian suci itu, tapi tidak menyimaknya.
"Apa yang akan
kita lakukan?"
"Akan
kupikirkan."
"Kita tak boleh
melewatkan kesempatan kali ini lolos sia-sia." Oko memandang Baiken penuh
harapan. "Apa Toji ada di rumah?" tanyanya. "Ya, mabuk oleh sake
di pesta itu, dan jatuh tertidur."
"Bangunkan
dia."
"Kau sendiri
bagaimana?"
"Aku ada
pekerjaan. Sesudah keliling, aku datang lagi ke tempatmu."
Di luar gerbang utama
tempat suci itu, Oko mulai menderap. Sebagian besar dari kedua puluh atau tiga
puluh rumah itu adalah toko cendera mata atau warung teh. Ada juga beberapa
rumah makan kecil. Dari dalam rumah-rumah makan terdengar suara gembira
orang-orang yang bersuka ria. Di ujung atap gubuk yang dimasuki Oko, tergantung
papan bertuliskan Rumah Istirahat. Di salah satu bangku, di kamar depan yang
berlantai tanah, duduk seorang gadis pelayan yang sedang tidur-tidur ayam.
"Masih
tidur?" tanya Oko.
Gadis yang merasa
akan mendapatkan makian itu menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Maksudku bukan
kau, tapi suamiku."
"Oh, ya, masih
tidur."
Sambil mendecap tak
senang, Oko menggerutu, "Pesta masih berjalan, dia tidur. Ini satu-satunya
warung yang tidak penuh pembeli."
Di dekat pintu,
seorang lelaki dan seorang perempuan tua sedang mengukus nasi dan buncis dengan
tungku tanah. Nyala api menjadi satusatunya nada gembira di dalam ruangan yang
murung itu.
Oko mendekati lelaki
yang sedang tidur di bangku dekat dinding, menepuk bahunya, dan katanya,
"Bangun! Buka matamu buat selingan."
"Hah?"
gumam orang itu sambil menegakkan badan sedikit.
"Oh, oh!"
seru Oko sambil mundur. Kemudian ia tertawa dan katanya, "Maaf, saya kira
suami saya."
Sepotong tikar
meluncur jatuh ke lantai. Orang muda bermuka bundar dan bermata besar
mengandung tanda tanya itu memungutnya kembali, menutupkannya ke wajahnya, dan
membaringkan badan kembali. Kepalanya di atas bantal kayu, dan sandalnya
berlepotan lumpur. Di atas meja di dekatnya terletak baki dan mangkuk nasi yang
kosong. Di dekat dinding terdapat bungkusan perjalanan, topi anyaman, dan
tongkat.
Sambil kembali
mendekati gadis itu, Oko berkata, "Apa dia pembeli?"
"Ya. Katanya,
dia mau masuk kuil bagian dalam pagi-pagi sekali, dan minta tidur di
sini."
"Di mana
Toji?"
"Aku di sini,
goblok!" Terdengar suara Toji dari belakang shoji yang koyak. Dengan badan
disandarkan di kamar sebelah, dan satu kaki menjulur ke dalam warung, katanya
muram, "Kenapa pula mencari-cari orang yang mau tidur sebentar? Ke mana
saja kau? Mestinya kau mengurusi warung."
Tahun-tahun itu lebih
banyak mendatangkan kedukaan pada Oko, daripada kepada Toji. Tidak hanya pesona
umur mudanya sudah tidak lagi kelihatan, tapi menyelenggarakan Warung Teh Oinu
itu menuntut kerja keras lelaki, agar ia dapat menanggung hidup suaminya yang
pemalas. Penghasilan Toji dari berburu di musim dingin kecil sekali, dan di
luar itu ia hanya sedikit bekerja. Sesudah Musashi membakar persembunyiannya
yang berkamar rahasia di Celah Wada itu, semua anak buahnya sudah
meninggalkannya.
Mata Toji yang merah
buram sedikit demi sedikit melihat tong air. Ia memaksakan diri berdiri,
mendekati tong, dan meneguk penuh seciduk air.
Oko bersandar pada
sebuah bangku dan menolehkan kepala kepadanya. "Masa bodoh pesta itu!
Sudah waktunya kau belajar berhenti minum. Beruntung kau tidak ditembus pedang,
selagi tak sadar tadi."
"Hah?"
"Kukasih tahu
sekarang, ada baiknya kau lebih hati-hati."
"Aku tak
mengerti, apa yang kaubicarakan ini."
"Kau tidak tahu
Musashi ada di pesta itu?"
"Musashi?
Miyamoto... Musashi?" Toji jadi sepenuhnya terjaga. Katanya, "Kau
sungguh-sungguh? Kalau begitu, lebih baik kau sembunyi di belakang."
"Jadi, cuma itu
yang bisa kaupikirkan... sembunyi?" "Aku tak ingin kejadian di Celah
Wada itu terulang lagi."
"Pengecut. Apa
kau tak ingin membalas? Bukan hanya untuk itu, tapi juga untuk membalas
perbuatannya terhadap Perguruan Yoshioka? Aku sendiri, aku cuma seorang
perempuan."
"Ya, tapi jangan
lupa, waktu itu kita punya banyak orang untuk membantu. Sekarang cuma kita
berdua." Toji tidak ikut berada di Ichijoji, tapi ia mendengar bagaimana
Musashi berkelahi di sana. Ia tidak berani membayangkan, siapa yang akhirnya mati,
kalau mereka berdua berjumpa lagi.
Sambil mendekat ke
samping suaminya, Oko berkata, "Nah, di situlah kau keliru. Ada orang lain
lagi di sini, kan? Dia juga membenci Musashi, seperti kau!"
Toji tahu, yang
dimaksud Oko adalah Baiken yang mulai mereka kenal, ketika akhirnya
pengembaraan mereka membawa mereka sampai ke Mitsumine.
Karena tidak ada
pertempuran lagi, menjadi bromocorah tidak lagi menguntungkan, karena itu
Baiken membuka bengkel besi di Iga, tapi dari sana ia terusir, ketika Yang
Dipertuan Todo mengetatkan kekuasaannya atas provinsi itu. Karena bermaksud
mencari peruntungan di Edo, ia membubarkan gerombolannya. Dengan diantar
seorang teman, ia kemudian menjadi penjaga di gedung harta kuil.
Sampai sekarang pun,
pegunungan yang terletak di antara Provinsi Musashi dan Kai itu masih penuh
bandit. Dengan mempekerjakan Baiken sebagai pengawal gedung harta, yang berisi
harta keagamaan dan uang tunai hasil sumbangan, berarti para pimpinan kuil
memerangi api dengan api. Baiken memiliki kelebihan, karena ia mengenal dengan
baik cara-cara kerja para bandit, dan ia sendiri ahli dalam menggunakan senjata
rantaibola-sabit. Sebagai penemu Gaya Yaegaki, dapat kiranya ia menarik
perhatian seorang daimyo, sekiranya ia bukan saudara Tsujikaze Temma.
Bertahun-tahun silam, kedua bersaudara itu telah menteror daerah yang terletak
di antara Gunung Ibuki dan daerah Yasugawa. Perubahan zaman tak ada artinya
sama sekali bagi Baiken. Menurut jalan pikirannya, kematian Temma di tangan
Takezo adalah asal-usul segala kesulitan yang kemudian menimpanya.
Oko sudah lama
menyampaikan pada Baiken tentang dendam mereka terhadap Musashi. Ia
membesar-besarkan kebenciannya agar dapat memantapkan persahabatannya dengan
orang itu. Baiken menyambutnya dengan memaki, katanya, "Suatu hari
nanti..."
Oko baru saja selesai
menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Toji. Katanya, ia melihat Musashi di
warung teh, kemudian Musashi menghilang di tengah orang banyak. Mengikuti
nalurinya, ia pergi ke Kannon'in, dan tiba di sana tepat ketika Musashi dan
Iori baru berangkat ke tempat suci bagian luar. Informasi ini segera ia
sampaikan pada Baiken.
"Oh, jadi
begitu," kata Toji. Ia kini mulai mendapat keberanian, karena tahu bahwa
sekutu yang dapat diandalkan sudah tampil. la tahu, dengan senjata
kesayangannya itu, Baiken telah mengalahkan semua pemain pedang dalam
pertandingan di tempat suci baru-baru ini. Kalau Baiken menyerang Musashi,
kemungkinan besar ia menang. "Dan apa katanya, waktu kausampaikan
kepadanya?"
"Dia akan
datang, begitu selesai keliling."
"Musashi bukan
orang bodoh. Kalau kita tidak hati-hati..." Toji bergidik, dan dari
mulutnya terdengar suara kasar, tak tertangkap maknanya. Oko mengikuti
pandangan matanya ke arah orang yang tidur di bangku. "Siapa itu?"
tanya Toji.
"Cuma
pembeli," jawab Oko.
"Bangunkan dia,
dan suruh pergi dari sini!"
Oko meneruskan
perintah itu kepada gadis pelayan. Gadis pelayan pergi ke sudut sana dan
mengguncangkan tubuh orang itu, sampai orang itu duduk.
"Keluar!"
kata gadis itu langsung. "Kami mau tutup sekarang."
Orang itu berdiri,
meregangkan badan, dan katanya, "Uh, enak sekali tidur di sini."
Sambil tersenyum dan mengedip-ngedipkan mata, ia bergerak capat, namun halus,
membungkuskan anyaman tikar ke bahunya, mengenakan caping, dan membenahi letak
bungkusannya. Ia kempit tongkatnya, katanya, "Terima kasih banyak."
Ia membungkuk dan berjalan cepat ke luar pintu.
Dari pakaian dan
tekanan bicaranya, Oko menilai orang itu bukan petani setempat, tapi
kelihatannya tidak berbahaya. "Lucu kelihatannya," katanya. "Aku
ingin tahu, apa dia membayar belanjaannya."
Oko dan Toji sedang
menggulung kerai dan memberesi warung, ketika Baiken datang bersama Kuro.
"Senang saya
melihat Anda," kata Toji. "Mari kita masuk kamar belakang."
Tanpa berkata-kata,
Baiken melepaskan sandal dan mengikuti mereka. Sementara itu, anjingnya
mengendus-endus mencari remah makanan. Kamar belakang itu hanya berupa ruang
tambahan yang sudah rusak. Dindingnya hanya dilapisi adukan kasar, tapi berada
di luar jarak pendengaran orang dalam warung.
Ketika lampu sudah
dinyalakan, Baiken berkata, "Tadi malam, di depan panggung tarian, saya
dengar Musashi mengatakan pada anak itu, mereka akan pergi ke tempat suci
bagian dalam besok pagi. Kemudian saya pergi ke Kannon'in dan
mengeceknya."
Oko dan Toji menelan
ludah dan memandang ke luar jendela. Puncak gunung tempat bertenggernya kuil
bagian dalam itu membayang kabur, dengan latar belakang langit berbintang.
Karena tahu siapa
yang akan dihadapinya, Baiken punya rencana menyerang dan mengerahkan bala
bantuan. Dua pendeta dan para pengawal gedung harta sudah setuju menolong, dan
sudah langsung menyiapkan lembingnya. Ada juga satu orang dari Perguruan
Yoshioka yang memimpin dojo kecil di tempat suci itu. Baiken memperhitungkan ia
dapat mengerahkan barangkali sepuluh bromocorah, orang-orang yang telah
dikenalnya di Iga, dan sekarang bekerja di sekitar tempat itu. Toji akan
membawa senapannya, sedangkan Baiken akan menggunakan senjata
rantai-bola-sabit.
"Jadi, Anda
sudah mempersiapkan semua itu?" tanya Toji tak percaya.
Baiken menyeringai,
tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Bulan yang cuma
sepotong kecil, tinggi di atas lembah, tersembunyi di balik kabut tebal. Puncak
agung itu masih tertidur. Hanya gemercik dan deru air sungai yang menegaskan
ketenangan suasana waktu itu. Segerombolan sosok hitam berdesak-desak di atas
jembatan Kosaruzawa.
"Toji?"
bisik Baiken serak.
"Di sini."
"Jaga supaya
sumbu tetap kering."
Yang paling mencolok
di antara awak yang beraneka ragam itu adalah kedua pendeta berlembing. Mereka
menyingsingkan jubah, siap beraksi. Yang lain-lain mengenakan berbagai macam
pakaian, tapi semuanya bersepatu, agar dapat bergerak cekatan.
"Ini sudah
semua?"
"Ya."
"Berapa
semuanya?"
Mereka menghitung
kepala: tiga belas.
"Bagus,"
kata Baiken. Dan ia mengulangi perintahnya pada mereka. Mereka mendengarkan
tanpa kata-kata, sambil mengangguk sekali-sekali. Setelah mendapat isyarat,
mereka bergegas masuk kabut untuk mengambil kedudukan di sepanjang jalan. Di
ujung jembatan, mereka melewati tonggak jarak yang berbunyi: Enam Ribu Meter ke
Kuil Bagian Dalam.
Ketika jembatan
kosong kembali, serombongan monyet muncul dari persembunyian, melompat dari
dahan-dahan, memanjat tumbuhan jalar, dan berkumpul di jalanan. Mereka berlari
masuk jembatan, merangkak di bawahnya, dan melemparkan bebatuan ke dalam
jurang. Kabut bermain dengan mereka, seolah-olah ikut memeriahkan acara
bersenang-senang itu. Sekiranya seorang makhluk Taois yang Baka muncul dan memberikan
isyarat, barangkali mereka akan berubah menjadi awan-awan yang terbang
dengannya ke surga.
Salak seekor anjing
bergema menembus pegunungan. Monyet-monyet menghilang seperti daun pohon damar
diembus angin musim gugur.
Kuro muncul di jalan,
menyeret-nyeret Oko. Akhirnya anjing itu berhasil membebaskan dirinya. Meskipun
Oko dapat menangkap kembali tall itu, ia tetap tak dapat memaksa anjing itu
kembali. Oko tahu, Toji tak ingin anjing itu membuat bunyi di sekitar tempat
itu, karena itu Oko berpikir mungkin ia dapat menyingkirkan Kuro dengan
membiarkannya naik ke kuil.
Ketika kabut yang
terns bergerak itu mulai menetap di dalam lembah, seperti salju, ketiga puncak
Mitsumine dan gunung-gunung yang lebih kecil di antara Musashino dan Kai
bangkit dengan latar belakang langit beserta segala kebesarannya. Jalan yang
berkelok-kelok tampak putih, dan burungburung mulai menggelepar-geleparkan
sayap mereka, mencicit-cicit menyambut fajar.
Iori berkata,
setengah kepada diri sendiri, "Kenapa begitu?"
"Apanya yang
kenapa?" tanya Musashi.
"Hari mulai
terang, tapi saya tak dapat melihat matahari."
"Ya, karena kau
memandang ke barat."
"Oh," Iori
melontarkan pandangan sekilas ke bulan yang sedang terbenam di belakang
puncak-puncak gunung yang jauh itu. "Iori, rupanya banyak temanmu di
pegunungan ini."
"Di mana?"
"Di sana
itu." Musashi tertawa sambil menunjuk kera-kera yang bergerombol di
sekitar induknya.
"Saya mau jadi
salah satu dari mereka."
"Kenapa
begitu?"
"Paling tidak,
mereka punya induk."
Dengan diam mereka
mendaki bagian jalan yang terjal, dan masuk ke petak tanah yang agak datar.
Musashi melihat rumput di situ habis diinjakinjak sejumlah besar kaki.
Selesai mengitari
gunung sebentar lagi, sampailah mereka di sebuah dataran; di situ mereka
menghadap ke timur.
"Coba
lihat," seru Iori sambil menoleh pada Musashi. "Matahari naik."
"Ya,
betul."
Gunung Kai dan Kozuke
menjulang seperti pulau-pulau di tengah lautan awan di bawahnya. Iori berhenti,
dan berdiri tak bergerak-gerak, kakinya berimpitan, tangannya di samping badan,
dan bibirnya terkatup erat. Dengan sangat terpesona ia menatap benda keemasan
yang besar itu, dan membayangkan dirinya sebagai putra matahari.
Sekonyong-konyong ia berseru dengan suara sangat keras, "Itu Amaterasu
Omikami! Bukan begitu?" Ia memandang Musashi, meminta persetujuan.
"Betul."
Anak itu mengangkat
kedua tangannya tinggi-tinggi di atas kepalanya, dan menyaring cahaya yang
berkilauan itu dengan jemarinya. "Darah saya!" serunya.
"Warnanya sama dengan darah matahari." Sambil menepukkan tangan,
seperti nanti dilakukannya di kuil untuk menyeru dewata, ia menundukkan kepala
sebagai tanda sembah tanpa kata, dan pikirnyal "Monyet-monyet itu punya
induk. Aku tak punya. Tapi aku punya dewi, sedangkan mereka tak punya
apa-apa."
Ilham itu membuatnya
penuh dengan kegembiraan. Seraya berurai air mata, ia serasa mendengar dari
sebelah awan-awan itu musik tari-tarian di kuil. Bunyi genderang
berdentam-dentam di telinganya, sedangkan lagu tambahan yang dimainkan seruling
mengapung mengiringi melodi Tarian Iwato. Kaki Iori menangkap iramanya, dan
kedua tangannya berayun anggun. Dari bibirnya keluar kata-kata yang baru ia
ingat malam sebelumnya.
"Busur
katalpa...
Setiap kali musim
semi datang,
Ingin aku melihat
tarian Beribu dewa,
Oh, betapa ingin aku
melihatnya menari... "
Tiba-tiba disadarinya
bahwa Musashi sudah jauh berjalan di depan, maka ia tinggalkan tarian itu dan
berlari mengejarnya.
Cahaya pagi belum
lagi menembus hutan yang kini mereka masuki. Di sekitar kuil bagian dalam ini,
pohon-pohon kriptomeria berbaris membentuk lingkaran besar, dan semuanya hampir
sama tingginya. Bunga-bunga putih kecil tumbuh di tengah bercak-bercak lumut
yang bergayut pada pepohonan itu. Karena mengira pepohonan itu sudah kuno-lima
ratus tahun umurnya, atau barangkali bahkan seribu tahun—Iori ingin membungkuk
kepadanya. Di sana-sini tampak olehnya pohon mapel berwarna merah cemerlang.
Rumpun bambu yang rendah bergaris-garis tumbuh ke tengah jalan, hingga
menyempitkan jalan itu menjadi jalan setapak.
Sekonyong-konyong
bumi yang mereka injak seolah berguncang. Sekejap sesudah letusan itu,
terdengar jeritan yang melemahkan semangat, diiringi hujan gema yang tajam.
Iori menutup telinga dengan tangannya dan menyuruk ke dalam rumpun bambu.
"Iori! Tetap
tiarap!" perintah Musashi dari balik sebatang pohon besar. "Jangan
bergerak, biarpun mereka menginjakmu!"
Cahaya yang hanya
remang-remang itu seolah penuh dengan lembing dan pedang. Mendengar teriakan
itu, para penyerang semula mengira peluru telah menemukan sasaran, tapi tak
seorang pun kelihatan. Karena tidak tahu pasti apa yang terjadi, mereka
terpaku.
Iori berada di pusat
lingkaran mata dan pedang terhunus. Di tengah kesunyian mencekam yang
berlangsung sesudah itu, ia mulai tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya.
Pelan-pelan ia mengangkat kepala ke atas rumpun bambu. Beberapa meter dari
tempatnya, tampak sebilah pedang terjulur dari belakang pohon, berkilau oleh
sinar matahari.
Lepas dari segala
kendali, Iori berteriak sekuat paru-parunya. "Sensei! Ada orang sembunyi
di situ!" Sambil berteriak, ia bangkit berdiri dan berlarl mencari
selamat.
Pedang pun melompat
dari balik bayangan, dan bergantung seperti iblis di atas kepalanya. Tapi cuma
sesaat. Belati Musashi langsung terbang ke arah kepala pemain pedang itu, dan
bersarang di pelipisnya.
"Ya-a-h!"
Salah seorang pendeta
menyerang Musashi dengan lembingnya. Musashi menangkap lembing itu dan
mencengkeramnya erat-erat dengan satu tangan.
Sekali lagi terdengar
jeritan maut, seolah-olah mulut orang itu tersumbat batu karang. Terpikir oleh
Musashi, apakah mungkin para penyerangnya saling serang, dan ia menajamkan
penglihatannya. Pendeta lain membidikkan lembingnya, lalu menyerbu ke arahnya.
Musashi menangkap juga lembingnya dan menguncinya dengan tangan kanan.
"Serang dia
sekarang!" jerit salah seorang pendeta, karena tahu bahwa kedua tangan
Musashi terpakai.
Dengan suara nyaring,
teriak Musashi, "Siapa kalian' Sebutkan diri kalian, kalau tidak, aku
anggap kalian semua musuh. Sungguh memalukan, menumpahkan darah di tanah suci
ini, tapi bagaimana lagi kalau tak ada pilihan lain?"
Musashi memutar kedua
lembing di tangannya, lalu melepaskannya hingga kedua pendeta terlontar ke arah
yang berbeda, kemudian ia melecutkan pedangnya, menetak seorang dari mereka
sebelum orang itu sempat berhenti terhuyung. Dan ketika Musashi memutar tubuh,
ia dapati dirinya berhadapan dengan tiga bilah pedang lain, berbaris di
seberang jalan sempit itu. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, ia hampiri
mereka dengan sikap mengancam, selangkah demi selangkah. Dua orang lagi muncul
dan mengambil tempat di samping ketiga orang pertama.
Musashi maju ke
depan, tapi semua lawannya mundur. Waktu itu terlihat sekilas olehnya pendeta
pemain lembing lain memperoleh kembali senjatanya, dan sedang mengejar Iori.
"Berhenti kau, pembunuh!" pekiknya. Tapi begitu ia membalik untuk
menyelamatkan Ion, kelima orang itu melolong menyerang. Musashi menerjang,
menyambut mereka. Akibatnya seperti tabrakan antara dua gelombang yang sedang
mengamuk, tapi semprotan yang keluar di sini semprotan darah, bukan semprotan
air asin. Musashi berpusing dari satu lawan ke lawan lain, dengan kecepatan
angin topan. Terdengar dua jeritan yang membekukan darah, kemudian yang ketiga.
Mereka jatuh seperti pohon tumbang, masing-masing terpotong di tengah badan. DI
tangan kanan Musashi tergenggam pedang panjang, di tangan kirinya pedang
pendek.
Sambil memekik ngeri,
kedua orang yang terakhir membalikkan badan dan lari, dikejar oleh Musashi.
"Ke mana kalian
lari?" pekik Musashi sambil membelah kepala salah seorang dari mereka
dengan pedang pendek. Percikan darah hitam mengenai mata Musashi. Dengan gerak
refleks ia angkat tangan kirinya ke depan, dan pada saat itu juga ia mendengar
bunyi logam di belakangnya.
Ia ayunkan pedang
panjang untuk menangkis benda itu, tetapi efeknya ternyata berlainan sekali
dengan yang diinginkannya. Ia tercengkeram rasa panik, melihat bola dan rantai
membelit pedangnya di dekat pelindung tangan. Ia telah lengah.
"Musashi!"
teriak Baiken. Ia tarik kuat-kuat rantai itu. "Kau sudah lupa
padaku?"
Sesaat Musashi
menatapnya, lalu serunya, "Shishido Baiken dari Gunung Suzuka?"
"Betul.
Saudaraku Temma yang memanggilmu dari lembah neraka. Kujamin, kau akan lekas
sampai ke sana!"
Musashi tak dapat
membebaskan pedangnya. Sedikit demi sedikit, Baiken meraih rantai dan bergerak
mendekat, untuk menggunakan sabit yang setajam pisau cukur itu. Musashi mencari
peluang untuk memegang pedang pendeknya, dan sadarlah ia seketika, bahwa kalau tadi
ia berkelahi hanya dengan pedang pendek, pasti ia sudah sama sekali tanpa
pertahanan sekarang.
Leher Baiken
membengkak sampai hampir sebesar kepalanya. Sambil berteriak genting, ia
renggutkan rantai itu sekuat-kuatnya.
Musashi telah berbuat
kesalahan. Ia tahu itu. Rantai-bola-sabit itu adalah senjata yang luar biasa,
namun Musashi bukan tak kenal dengannya. Beberapa tahun sebelumnya, ia pernah
dibuat kagum, ketika pertama kali melihat senjata neraka itu di tangan istri
Baiken. Tapi melihat senjata itu lain sekali dengan menghadapinya.
Baiken bermegah-megah
kini. Ia menyeringai lebar dan jahat. Musashi tahu, tinggal satu kesempatan
terbuka baginya: ia harus membebaskan pedang panjangnya. Dan ia mencari saat
yang tepat.
Sambil melolong
garang, Baiken melompat dan menyapukan sabitnya ke arah kepala Musashi.
Serambut lagi, pasti sabit itu mengenai sasaran. Musashi berhasil melepaskan
pedangnya, diiringi geraman keras. Baru saja sabit selesai ditarik, bola sudah
datang mendesing di udara. Kemudian ganti sabit, bola, sabit....
Menghindari sabit
berarti menempatkan diri langsung di arah gerak bola. Musashi tak dapat
mendekat untuk melakukan pukulan. Dengan kalut ia bertanya pada diri sendiri,
berapa lama ia dapat bertahan dengan cara demikian. "Jadi, begini ini
rupanya?" tanyanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan sadar, tapi karena
ketegangan yang makin meningkat, tubuhnya jadi sukar dikendalikan, dan
reaksinya jadi bersifat psikologis semata. Tidak hanya otot-ototnya, melainkan
juga kulitnya kini hanya berkelahi secara naluriah. la begitu ketat memusatkan
perhatian, hingga aliran keringat berminyak itu terhenti. Seluruh bulu tubuhnya
tegak.
Terlambat sudah untuk
lari ke balik pohon. Kalau sekarang ia lari ke sana, barangkali ia akan bertemu
dengan musuh lain.
Terdengar olehnya
suara teriakan yang jelas dan sayu, dan ia pun berpikir, "Hah? Iori?"
la ingin melihat, walaupun dalam hatinya ia sudah merelakan anak itu.
"Mati kau!
Bajingan!" Teriakan itu datang dari belakang Musashi. Kemudian,
"Musashi, kenapa begitu lama? Saya sedang membereskan kutu di belakang
ini."
Musashi tidak
mengenali suara itu, tapi kini ia merasa dapat memusatkan perhatian pada
Baiken.
Bagi Baiken, faktor
terpenting adalah jarak dengan lawan. Keunggulannya terletak dalam memanfaatkan
panjangnya rantai. Kalau Musashi dapat bergerak satu kaki saja ke luar
jangkauan rantai, atau menghampiri satu kaki saja lebih dekat, Baiken akan
mengalami kesulitan. Ia harus berusaha sebaik-baiknya agar Musashi tidak
melakukan kedua hat itu.
Musashi kagum akan
teknik rahasia orang itu, tapi sambil kagum, tibatiba terpikir olehnya bahwa
itulah prinsip dua pedang. Rantai menjadi panjang, bola berfungsi sebagai
pedang kanan, sabit pedang kiri.
"Ya!
Tentu!" serunya penuh kemenangan. "Itulah dia Gaya Yaegaki!" Dan
dengan keyakinan akan menang, ia melompat mundur, membuat jarak dua meter
dengan musuhnya. Ia pindahkan pedangnya ke tangan kanan, lalu ia lontarkan
lurus ke depan, seperti anak panah.
Baiken berkelit dan
pedang pun melesat, menghunjam ke akar sebatang pohon, tak jauh dari situ. Tapi
ketika la berkelit, rantai membelit tubuhnya.
Belum lagi ia sempat
berteriak, Musashi sudah mengempaskan seluruh berat tubuhnya ke atasnya. Baiken
mengulurkan tangan sampai sejauh gagang pedangnya, tapi Musashi mematahkan
usahanya dengan tetakan tajam ke atas pergelangannya. Sebagai kelanjutan gerakan
tersebut, ia tarik senjata itu hingga membelah tubuh Baiken, seperti kilat
membelah pohon. Sambil menurunkan pedang, ia berkelit sedikit.
"Sayang,"
pikir Musashi. Menurut cerita orang kemudian, ia bahkan mengeluh iba, ketika
penemu Gaya Yaegaki itu mengembuskan napas terakhir.
"Irisan
karatake," terdengar suara kagum. "Langsung menyusur tubuh. Tak beda
dengan bambu dibelah. Ini pertama kali saya lihat."
Musashi menoleh,
katanya, "Oh, kalau tak salah... Gonnosuke dari Kiso. Apa kerja Anda di
sini?"
"Lama tak jumpa,
ya? Tentunya Dewa Mitsumine yang sudah mengatur, dan barangkali dengan bantuan
ibu saya, yang sudah banyak mengajar saya sebelum meninggal."
Mereka mulai
mengobrol, tapi tiba-tiba Musashi berhenti bicara dan berseru,
"Iori!"
"Dia baik-baik saja.
Saya selamatkan dia dari si pendeta babi itu, kemudian saya suruh naik
pohon."
Iori, yang
memperhatikan mereka dari cabang tinggi itu, hendak mulai berbicara, tapi
tiba-tiba ia memayungi matanya dan memandang ke arah dataran kecil di ujung
hutan. Kuro, yang terikat pada sebatang pohon, telah berhasil menggigit lengan
kimono Oko. Oko mati-matian menyentakkannya. Dalam sekejap mata lengan kimono
itu sobek, dan Oko lari.
Satu-satunya orang
yang selamat, yaitu pendeta kedua itu, berjalan terpincang-pincang
bertongkatkan lembing. Darah mengalir dari luka di kepalanya. Anjing yang
barangkali sudah menggila oleh bau darah itu mulai ribut luar biasa. Sejenak
suaranya terpantul ke sana kemari, tapi kemudian tali itu putus, dan anjing itu
pun mengejar Oko. Sampai di dekat pendeta, si pendeta mengangkat lembing dan
membidik kepala anjing itu. Kena lehernya, dan binatang itu lari masuk hutan.
"Perempuan itu
lari," teriak Iori.
"Tak apa-apa.
Kau boleh turun sekarang."
"Ada pendeta
yang luka di sana. Apa tidak ditangkap?"
"Lupakan. Tak
ada lagi artinya."
"Perempuan itu
barangkali orang dari Warung Teh Oinu itu," kata Gonnosuke. Ia menjelaskan
alasan kedatangannya, juga peristiwa kebetulan yang memungkinkan ia datang
membantu Musashi.
Dengan rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya, Musashi berkata, "Anda membunuh orang yang
menembakkan senapan itu?"
"Tidak,"
kata Gonnosuke, tersenyum. "Bukan saya, tapi tongkat saya. Saya tahu
biasanya Anda dapat melayani orang-orang macam itu, tapi karena mereka mulai
menggunakan senapan, terpaksa saya bertindak. Jadi, saya datang kemari
mendahului mereka dan menyelinap ke belakang orang itu, ketika hari masih
gelap."
Mereka memeriksa
mayat-mayat itu. Tujuh orang terbunuh dengan tongkat, hanya lima yang dengan
pedang. Musashi berkata, "Yang saya lakukan tadi tak lain dari
mempertahankan diri. Daerah ini termasuk tempat suci. Saya rasa, saya mesti
menjelaskan segala sesuatunya kepada pejabat pemerintah yang bertugas. Kemudian
dia dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membereskan peristiwa ini."
Dalam perjalanan
turun gunung, mereka berpapasan dengan kesatuan pejabat bersenjata di jembatan
Kosaruzawa. Musashi menyampaikan laporannya. Kapten yang bertugas itu
mendengarkan, agaknya dengan perasaan heran, namun ia perintahkan juga mengikat
Musashi.
Musashi jadi
terkejut, dan ia bertanya kenapa ia ditindak, padahal ia bermaksud melaporkan
hal itu pada mereka.
"Jalan!"
perintah kapten itu.
Musashi marah, karena
diperlakukan sebagai penjahat biasa, tapi masih ada hal lain yang mengejutkan.
Di bawah sana ternyata ada lebih banyak lagi pejabat. Ketika mereka sampai di
kota, orang yang mengawalnya tak kurang jumlahnya dari seratus orang.
0 komentar:
Posting Komentar