Rabu, 12 Juli 2017



Bagian 24


Minum untuk sang Pagi


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg




MATAHACHI berhenti di jalan berkerikil itu dengan menghapus keringat dari keningnya. Ia baru berlari dari Jalan Gojo sampai Bukit Sannem Wajahnya merah sekali, tapi itu lebih disebabkan oleh sake yang telah ia minum daripada oleh pengerahan tenaga fisik yang jarang dilakukannya itu. Sesudah menyuruk lewat bawah pintu gerbang yang bobrok, ia menderap ke rumah kecil di seberang kebun sayuran.

"Ibu!" panggilnya panik. Kemudian ia melihat ke dalam rumah dan mengomel pelan, "Apa dia tidur lagi?"

Ia berhenti di sumur, membasuh tangan dan kaki, lalu masuk rumah.

Osugi berhenti mendengkur, membuka sebelah matanya, dan bangkit "Kenapa kamu begitu ribut?" tanyanya uring-uringan.

"Oh, jadi Ibu akhirnya bangun?"

"Apa maksudmu berkata begitu?"

"Kalau saya duduk semenit saja, Ibu mengomel mengatakan saya malas, lalu mendorong-dorong saya mencari Musashi."

"Nah, maafkan Ibu," kata Osugi berang, "karena Ibu sudah tua memang mesti tidur supaya sehat, tapi tak ada yang kurang dengar semangat Ibu. Ibu belum merasa sehat sejak Otsu lari. Dan pergelangan yang dicengkeram Takuan itu masih sakit."

"Kenapa setiap kali saya merasa enak, Ibu mulai mengeluh?"

Osugi menatapnya. "Sebetulnya tidak sering kamu mendengar Ibu mengeluh, biarpun umur Ibu sudah lanjut. Ada kamu dengar sesuatu tentang Otsu atau Musashi?"

"Yang tidak mendengar berita itu di kota ini cuma perempuan-perempuan tua yang sepanjang hari kerjanya tidur saja."

"Berita! Berita apa?" Osugi segera berlutut dan merangkak mendekati anaknya.

"Musashi akan bertarung ketiga kalinya dengan Perguruan Yoshioka."

"Kapan? Di mana?"

"Ada papan pengumuman di Yanagimachi dengan semua perinciannya Di Kampung Ichijoji, pagi-pagi besok."

"Yanagimachi! Itu daerah lokalisasi." Mata Osugi menyipit. "Apa kerjamu bermalas-malas tengah hari di tempat seperti itu?"

"Saya bukan bermalas-malas," kata Matahachi membela diri. "Ibu ini selalu salah terima. Saya di sana karena tempat itu baik buat mencari berita."

"Ya sudah, Ibu cuma menggoda. Ibu puas kamu sudah mau menetap dan tidak mengulang kehidupan jahat yang pernah kamu jalani itu. Tapi apa benar pendengaran Ibu tadi? Kamu bilang besok pagi, ya?"

"Ya, jam lima."

Osugi berpikir. "Bukankah kamu pernah bilang punya kenalan di Perguruan Yoshioka?"

"Ya, tapi waktu ketemu mereka, keadaannya kurang menguntungkan. Kenapa Ibu bertanya?"

"Ibu ingin kamu bawa ke perguruan itu sekarang juga. Siap-siaplah." Sekali lagi Matahachi terpukau oleh sifat tak sabar yang ada pada orang tua.

Tanpa bergerak sedikit pun, katanya dingin, "Kenapa mesti ribut-ribut begini? Seperti kebakaran rumah saja. Apa yang mau Ibu lakukan di Perguruan Yoshioka itu?"

"Menawarkan jasa, tentu saja!"

"Hah?"

"Mereka akan pergi membunuh Musashi besok. Ibu akan minta mereka mengizinkan kita bergabung dengan mereka. Barangkali kita takkan dapat banyak membantu, tapi mungkin kita bisa mendapat jatah paling tidak satu pukulan."

"Ibu berkelakar, ya?" kata Matahachi tertawa. "Apanya yang lucu?"

"Pikiran Ibu ini sempit sekali."

"Berani-beraninya kamu bilang begitu! Kamu sendiri yang sempit pikiran!"

"Daripada berdebat, lebih baik Ibu pergi melihat-lihat. Orang-orang Yoshioka sedang berusaha menuntut darah, dan ini kesempatan terakhir mereka. Peraturan perkelahian takkan banyak artinya buat mereka. Satu-satunya yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan Keluarga Yoshioka adalah membunuh Musashi. Pasti mereka dapat melakukan itu. Bukan rahasia lagi, mereka akan menyerang dengan kekuatan besar."

"Begitu, ya?" dengkur Osugi. "Jadi, Musashi pasti terbunuh... Begitu, kan?"

"Saya tidak begitu yakin. Bisa saja dia membawa orang-orang lain buat membantunya. Dan kalau benar begitu, bisa terjadi pertempuran. Dan itulah yang menurut orang-orang akan terjadi."

"Mereka mungkin benar, tapi bagaimanapun menjengkelkan. Kita tak bisa sekadar diam dan membiarkan orang lain membunuh Musashi, sesudah kita mencarinya selama ini."

"Saya setuju dengan pendapat Ibu, dan saya sudah punya rencana," kata Matahachi bersemangat. "Kalau kita sampai di sana sebelum pertempuran dimulai, kita dapat memperkenalkan diri kepada orang-orang Yoshioka dan menerangkan pada mereka kenapa kita memburu Musashi. Saya yakin mereka mengizinkan kita menjatuhkan pukulan pada mayatnya. Kemudian kita mengambil sedikit rambutnya, atau lengan kimononya, atau yang lain-lain lagi dan menggunakannya sebagai bukti kepada orang-orang di kampung bahwa kita sudah membunuhnya. Itu akan memulihkan nama kita, kan?"

"Rencana yang bagus, Nak. Ibu sangsi, apa ada cara yang lebih baik dan itu." Rupanya ia sudah lupa bahwa dulu ia pernah juga menyarankan hal ini demikian kepada anaknya, dan kini ia duduk menegakkan bahunya. "Tidak hanya akan menjernihkan nama kita, tapi dengan matinya Musashi, Otsu juga akan seperti ikan tanpa air."

Sesudah ketenangan ibunya pulih kembali, Matahachi merasa lega, tapi juga merasa haus kembali. "Nah, soal itu sudah selesai. Sekarang kita punya waktu beberapa jam buat menunggu. Bagaimana kalau kita minum anggur sebelum makan malam?"

"Hmm, baiklah. Bawa ke sini. Ibu mau minum juga sedikit buat merayakan kemenangan kita yang sudah dekat."

Waktu meletakkan tangan ke lutut untuk berdiri dan memandang ke samping, Matahachi mengedip-ngedipkan mata dan terpana.

"Akemi!" teriaknya, lalu berlari ke jendela kecil.

Akemi sedang gemetar ketakutan di bawah sebatang pohon di luar seperti seekor kucing yang telah berbuat salah, namun tak sempat melarikm diri pada waktunya. Ia menatap dengan mata tak percaya, lalu gagapnya, "Matahachi, engkau, ya?"

"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"

"Ah, sudah beberapa waktu aku di sini."

"Tak mengerti aku. Kau dengan Oko?"

"Tidak."

"Kau tidak tinggal dengan dia lagi?"

"Tidak. Engkau tahu Gion Toji, kan?"

"Pernah dengar namanya."

"Dia dan ibuku lari sama-sama." Giring-giring kecil Akemi bergemerencing ketika ia mengangkat kimono untuk menyembunyikan air matanya.

Cahaya dalam bayangan pohon itu bernada kebiruan. Tengkuk Akemi yang halus, tangannya yang lembut, dan segala yang ada padanya tampak lain dengan Akemi menurut ingatannya. Cahaya kegadisan yang pernah demikian memesonanya di Ibuki dan pernah dapat meredakan kemurungannya di Yomogi, kini tak lagi tampak.

"Matahachi," kata Osugi curiga, "dengan siapa kamu bicara itu?"

"Dengan gadis yang pernah saya ceritakan dulu. Anak Oko."

"Dia? Apa kerjanya di situ? Mencuri dengar?"

Matahachi menoleh, dan katanya bernafsu, "Ibu ini gampang sekali bikin kesimpulan! Dia tinggal di sini juga! Kebetulan dia sedang lewat. Betul, Akemi?"

"Betul. Tak kusangka engkau ada di sini, padahal aku pernah lihat gadis yang namanya Otsu itu di sini."

"Kau sempat bicara dengan dia?"

"Tidak, tapi kemudian terpikir olehku, apa bukan dia gadis tunanganmu itu?"

"Memang."

"Sudah kuduga. Ibuku sudah banyak bikin sulit, ya?"

Matahachi mengabaikan saja pertanyaan itu. "Apa kau belum menikah? Kau kelihatan lain."

"Ibuku membuat hidupku sengsara, sesudah kau pergi. Semua itu kutahankan sekuatku, karena dia ibuku. Tapi tahun lalu, ketika kami ada di Sumiyoshi, aku lari."

"Dia sudah bikin kacau hidup kita, ya? Tapi tunggu saja, dan lihat. Akhirnya dia akan mendapat balasan setimpal."

"Aku tak peduli. Aku cuma ingin tahu, apa yang akan kulakukan dari sekarang."

"Aku juga. Masa depanku tidak begitu cerah kelihatannya. Aku ingin membalas Oko, tapi kukira yang dapat kulakukan cuma memikirkannya." Sementara mereka berdua mengeluh tentang kesulitan-kesulitannya, Osugi menyibukkan diri dengan persiapan perjalanan. Kemudian sambil mendecapkan lidah, katanya tajam, "Matahachi, kenapa kamu ngomel dengan orang yang tak ada hubungannya dengan kita? Sini bantu Ibu beres-beres!"

"Ya, Bu."

"Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Kelihatan murung dan kikuk, Akemi bergegas pergi.

Tak lama kemudian lampu dinyalakan, dan pelayan muncul membawa baki-baki makan malam dan sake. Ibu dan anak bertukar mangkuk tanpa melihat rekening yang terletak di baki di antara keduanya. Satu demi satu para pembantu datang menyatakan hormat kepada mereka, disusul oleh pemilik penginapan sendiri.

"Jadi, Ibu akan berangkat malam ini?" tanya pemilik penginapan. "Kami senang Ibu lama tinggal di sini. Hanya kami minta maaf tak dapat memberikan perlakuan khusus yang memang pantas buat Ibu. Kami berharap dapat bertemu lagi dengan Ibu kalau nanti Ibu datang di Kyoto lagi."

"Terima kasih," jawab Osugi. "Memang ada kemungkinan saya datang lagi. Mari kita hitung, sekarang ini sudah tiga bulan sejak akhir tahun, kan?"

"Betul, kira-kira begitulah. Kami akan merasa kehilangan Ibu."

"Mari, silakan minum dengan kami!"

"Oh, terima kasih banyak. Rasanya kurang biasa orang berangkat malam hari. Apa ada sebab tertentu barangkali?"

"Terus terang, tiba-tiba sekali ada urusan penting. Omong-omong, apa Bapak kebetulan punya peta Kampung Ichijoji?"

"Sebentar. Itu sebuah tempat kecil di seberang Shirakawa, dekat puncak Gunung Hiei. Saya kira lebih baik Ibu tidak pergi ke sana tengah malam. Sepi sekali dan..."

"Tak apa," sela Matahachi. "Apa bisa Bapak menggambar petanya buat kami?"

"Dengan senang hati. Salah seorang pembantu saya berasal dari sana. Dia dapat memberikan keterangan yang saya perlukan. Ichijoji tak banyal: penduduknya, tapi tersebar di daerah yang luas."

Karena sedikit mabuk, Matahachi berkata kasar, "Tak usah kuatir kami pergi ke sana. Kami cuma ingin tahu jalannya."

"Maafkan kami. Nah, silakan bersiap-siap." Dan sambil menggosok-gosokkan kedua tangan dengan nada menjilat, ia membungkuk minta diri ke beranda.

Ketika ia akan melangkah turun ke halaman, tiga atau empat orang pegawainya datang berlari-lari mendapatkannya. Juru tulis kepala berkaca sewot, "Apa dia tidak datang kemari, Tuan?"

"Siapa?"

"Gadis yang tinggal di kamar belakang itu."

"Lalu apa urusannya?"

"Saya yakin masih melihat dia sore tadi, tapi kemudian saya melihat kamarnya, dan..."

"Bicara langsung ke persoalannya!"

"Kami tidak menemukannya."

"Orang goblok kamu!" teriak pemilik penginapan. Wajahnya berubah tidak lagi kelihatan sikap membudak yang beberapa saat sebelumnya ia tunjukkan. "Apa gunanya lari-lari macam ini sesudah dia pergi? Kalian mestinya sudah tahu dari penampilannya bahwa ada yang tidak beres. Jadi, sampai seminggu lewat itu kalian tidak tahu dia tak punya uang? Bagaimana bisa aku terus dengan usaha ini kalau kalian melakukan hal-hal semacam itu?"

"Maaf, Tuan. Tapi dia kelihatan sopan."

"Sudah terlambat sekarang. Lebih baik kalian lihat, apa ada yang hilang dari kamar-kamar tamu lain. Betul-betul gerombolan dungu!" Ia membalik ke bagian depan penginapan.

Osugi dan Matahachi minum sedikit sake lagi, kemudian perempuan tua itu beralih minum teh dan menasihati anaknya berbuat demikian juga.

"Saya cuma akan menghabiskan sisanya," kata Matahachi sambil menuang semangkuk lagi. "Saya tak butuh makan apa-apa."

"Tak baik kalau kamu tidak makan. Paling tidak, makanlah nasi sedikit dan acar."

Para pegawai dan pembantu berlarian di halaman dan gang sambil membawa lentera.

"Rupanya mereka tak dapat menangkapnya," kata Osugi. "Ibu tak mau terlibat, karena itu Ibu diam saja di depan pemilik penginapan. Tapi menurutmu, apa bukan gadis yang kamu ajak bicara itu yang mereka cari?"

"Tak mengherankan kalau memang dia."

"Memang tak banyak yang dapat kita harapkan dari orang yang ibunya seperti itu. Lalu kenapa kamu begitu akrab dengan dia?"

"Saya kasihan padanya. Hidupnya sangat sukar."

"Nah, hati-hatilah, jangan bilang-bilang kamu kenal dia. Kalau pemilik penginapan tahu gadis itu ada hubungannya dengan kita, dia bisa minta kita membayar rekeningnya."

Tapi lain lagi yang dipikirkan Matahachi. Sambil mencengkeram belakang kepalanya, ia berbaring menelentang dan omelnya, "Bisa rasanya aku membunuh sundal itu! Sekarang aku bisa membayangkan wajahnya. Bukan Musashi yang bikin aku sesat, tapi Oko!"

Osugi memarahinya bukan main. "Jangan bodoh begitu! Kalau kamu bunuh Oko, apa faedahnya buat nama baik kita? Di kampung tak ada yang kenal dan peduli dia."

Jam dua pemilik penginapan datang ke beranda, membawa lentera dan mengumumkan waktu.

Matahachi meregangkan badan, tanyanya, "Sudah Bapak tangkap gadis itu?"

"Tidak, tidak kelihatan tanda-tandanya." Ia mengeluh. "Gadis begitu cantik. Para pegawai berpendapat, biarpun dia tak dapat membayar rekeningnya, kita dapat memperoleh kembali uang itu dengan menyuruhnya tinggal beberapa waktu di sini. Mungkin Anda tahu maksud saya. Sayang sekali dia sedikit lebih gesit daripada kami."

Matahachi mengikat sandalnya sambil duduk di ujung beranda. Sesudah sekitar semenit menanti, serunya kesal, "Bu, apa kerja Ibu di situ? Ibu selalu menyuruh saya cepat, tapi pada saat terakhir tak pernah Ibu siap!"

"Tunggu sebentar, Matahachi, apa kantong uang yang Ibu simpan di tas perjalanan itu Ibu kasihkan kamu? Ibu membayar rekening dengan uang tunai dari bungkusan di perut, tapi uang perjalanan kita ada dalam kantong."

"Saya tidak melihatnya."

"Sini sebentar. Ini ada kertas bertuliskan namamu. Ha?... Astaga! Katanya... katanya, karena dia kenal lama dengan kamu, dia harap kamu memaafkan dia telah meminjam uang itu. Pinjam... pinjam!"

"Ini tulisan Akemi."

Osugi menoleh kepada pemilik penginapan. "Pak! Kalau milik seorang tamu dicuri orang, itu tanggung jawab Bapak. Bapak mesti berbuat sesuatu."

"Begitu, ya?" Dan pemilik penginapan tersenyum lebar. "Memang biasa begitu, tapi karena rupanya Ibu kenal gadis itu, saya kuatir saya mesti lebih dulu minta Ibu mengurus rekeningnya."

Mata Osugi jadi jelalatan, gagapnya. "A-apa yang Bapak bicarakan itu: Selama hidup belum pernah saya melihat cewek pencuri itu. Matahachi: Jangan lagi kamu bermain-main! Kalau kita tidak berangkat sekarang, ayam jantan akan segera berkokok."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP