Bagian 24
Minum untuk sang Pagi
MATAHACHI berhenti di
jalan berkerikil itu dengan menghapus keringat dari keningnya. Ia baru berlari
dari Jalan Gojo sampai Bukit Sannem Wajahnya merah sekali, tapi itu lebih
disebabkan oleh sake yang telah ia minum daripada oleh pengerahan tenaga fisik yang
jarang dilakukannya itu. Sesudah menyuruk lewat bawah pintu gerbang yang
bobrok, ia menderap ke rumah kecil di seberang kebun sayuran.
"Ibu!"
panggilnya panik. Kemudian ia melihat ke dalam rumah dan mengomel pelan,
"Apa dia tidur lagi?"
Ia berhenti di sumur,
membasuh tangan dan kaki, lalu masuk rumah.
Osugi berhenti
mendengkur, membuka sebelah matanya, dan bangkit "Kenapa kamu begitu
ribut?" tanyanya uring-uringan.
"Oh, jadi Ibu
akhirnya bangun?"
"Apa maksudmu
berkata begitu?"
"Kalau saya
duduk semenit saja, Ibu mengomel mengatakan saya malas, lalu mendorong-dorong
saya mencari Musashi."
"Nah, maafkan
Ibu," kata Osugi berang, "karena Ibu sudah tua memang mesti tidur
supaya sehat, tapi tak ada yang kurang dengar semangat Ibu. Ibu belum merasa
sehat sejak Otsu lari. Dan pergelangan yang dicengkeram Takuan itu masih
sakit."
"Kenapa setiap
kali saya merasa enak, Ibu mulai mengeluh?"
Osugi menatapnya.
"Sebetulnya tidak sering kamu mendengar Ibu mengeluh, biarpun umur Ibu
sudah lanjut. Ada kamu dengar sesuatu tentang Otsu atau Musashi?"
"Yang tidak
mendengar berita itu di kota ini cuma perempuan-perempuan tua yang sepanjang
hari kerjanya tidur saja."
"Berita! Berita
apa?" Osugi segera berlutut dan merangkak mendekati anaknya.
"Musashi akan
bertarung ketiga kalinya dengan Perguruan Yoshioka."
"Kapan? Di
mana?"
"Ada papan
pengumuman di Yanagimachi dengan semua perinciannya Di Kampung Ichijoji,
pagi-pagi besok."
"Yanagimachi!
Itu daerah lokalisasi." Mata Osugi menyipit. "Apa kerjamu
bermalas-malas tengah hari di tempat seperti itu?"
"Saya bukan
bermalas-malas," kata Matahachi membela diri. "Ibu ini selalu salah
terima. Saya di sana karena tempat itu baik buat mencari berita."
"Ya sudah, Ibu
cuma menggoda. Ibu puas kamu sudah mau menetap dan tidak mengulang kehidupan
jahat yang pernah kamu jalani itu. Tapi apa benar pendengaran Ibu tadi? Kamu
bilang besok pagi, ya?"
"Ya, jam
lima."
Osugi berpikir.
"Bukankah kamu pernah bilang punya kenalan di Perguruan Yoshioka?"
"Ya, tapi waktu
ketemu mereka, keadaannya kurang menguntungkan. Kenapa Ibu bertanya?"
"Ibu ingin kamu
bawa ke perguruan itu sekarang juga. Siap-siaplah." Sekali lagi Matahachi
terpukau oleh sifat tak sabar yang ada pada orang tua.
Tanpa bergerak
sedikit pun, katanya dingin, "Kenapa mesti ribut-ribut begini? Seperti
kebakaran rumah saja. Apa yang mau Ibu lakukan di Perguruan Yoshioka itu?"
"Menawarkan
jasa, tentu saja!"
"Hah?"
"Mereka akan
pergi membunuh Musashi besok. Ibu akan minta mereka mengizinkan kita bergabung
dengan mereka. Barangkali kita takkan dapat banyak membantu, tapi mungkin kita
bisa mendapat jatah paling tidak satu pukulan."
"Ibu berkelakar,
ya?" kata Matahachi tertawa. "Apanya yang lucu?"
"Pikiran Ibu ini
sempit sekali."
"Berani-beraninya
kamu bilang begitu! Kamu sendiri yang sempit pikiran!"
"Daripada
berdebat, lebih baik Ibu pergi melihat-lihat. Orang-orang Yoshioka sedang
berusaha menuntut darah, dan ini kesempatan terakhir mereka. Peraturan
perkelahian takkan banyak artinya buat mereka. Satu-satunya yang dapat mereka
lakukan untuk menyelamatkan Keluarga Yoshioka adalah membunuh Musashi. Pasti
mereka dapat melakukan itu. Bukan rahasia lagi, mereka akan menyerang dengan
kekuatan besar."
"Begitu,
ya?" dengkur Osugi. "Jadi, Musashi pasti terbunuh... Begitu,
kan?"
"Saya tidak
begitu yakin. Bisa saja dia membawa orang-orang lain buat membantunya. Dan
kalau benar begitu, bisa terjadi pertempuran. Dan itulah yang menurut
orang-orang akan terjadi."
"Mereka mungkin
benar, tapi bagaimanapun menjengkelkan. Kita tak bisa sekadar diam dan
membiarkan orang lain membunuh Musashi, sesudah kita mencarinya selama
ini."
"Saya setuju
dengan pendapat Ibu, dan saya sudah punya rencana," kata Matahachi
bersemangat. "Kalau kita sampai di sana sebelum pertempuran dimulai, kita
dapat memperkenalkan diri kepada orang-orang Yoshioka dan menerangkan pada
mereka kenapa kita memburu Musashi. Saya yakin mereka mengizinkan kita
menjatuhkan pukulan pada mayatnya. Kemudian kita mengambil sedikit rambutnya,
atau lengan kimononya, atau yang lain-lain lagi dan menggunakannya sebagai
bukti kepada orang-orang di kampung bahwa kita sudah membunuhnya. Itu akan
memulihkan nama kita, kan?"
"Rencana yang
bagus, Nak. Ibu sangsi, apa ada cara yang lebih baik dan itu." Rupanya ia
sudah lupa bahwa dulu ia pernah juga menyarankan hal ini demikian kepada
anaknya, dan kini ia duduk menegakkan bahunya. "Tidak hanya akan
menjernihkan nama kita, tapi dengan matinya Musashi, Otsu juga akan seperti
ikan tanpa air."
Sesudah ketenangan
ibunya pulih kembali, Matahachi merasa lega, tapi juga merasa haus kembali.
"Nah, soal itu sudah selesai. Sekarang kita punya waktu beberapa jam buat
menunggu. Bagaimana kalau kita minum anggur sebelum makan malam?"
"Hmm, baiklah.
Bawa ke sini. Ibu mau minum juga sedikit buat merayakan kemenangan kita yang
sudah dekat."
Waktu meletakkan
tangan ke lutut untuk berdiri dan memandang ke samping, Matahachi
mengedip-ngedipkan mata dan terpana.
"Akemi!"
teriaknya, lalu berlari ke jendela kecil.
Akemi sedang gemetar
ketakutan di bawah sebatang pohon di luar seperti seekor kucing yang telah
berbuat salah, namun tak sempat melarikm diri pada waktunya. Ia menatap dengan
mata tak percaya, lalu gagapnya, "Matahachi, engkau, ya?"
"Bagaimana kau
bisa sampai di sini?"
"Ah, sudah
beberapa waktu aku di sini."
"Tak mengerti
aku. Kau dengan Oko?"
"Tidak."
"Kau tidak
tinggal dengan dia lagi?"
"Tidak. Engkau
tahu Gion Toji, kan?"
"Pernah dengar
namanya."
"Dia dan ibuku
lari sama-sama." Giring-giring kecil Akemi bergemerencing ketika ia
mengangkat kimono untuk menyembunyikan air matanya.
Cahaya dalam bayangan
pohon itu bernada kebiruan. Tengkuk Akemi yang halus, tangannya yang lembut,
dan segala yang ada padanya tampak lain dengan Akemi menurut ingatannya. Cahaya
kegadisan yang pernah demikian memesonanya di Ibuki dan pernah dapat meredakan
kemurungannya di Yomogi, kini tak lagi tampak.
"Matahachi,"
kata Osugi curiga, "dengan siapa kamu bicara itu?"
"Dengan gadis
yang pernah saya ceritakan dulu. Anak Oko."
"Dia? Apa
kerjanya di situ? Mencuri dengar?"
Matahachi menoleh,
dan katanya bernafsu, "Ibu ini gampang sekali bikin kesimpulan! Dia
tinggal di sini juga! Kebetulan dia sedang lewat. Betul, Akemi?"
"Betul. Tak
kusangka engkau ada di sini, padahal aku pernah lihat gadis yang namanya Otsu
itu di sini."
"Kau sempat
bicara dengan dia?"
"Tidak, tapi
kemudian terpikir olehku, apa bukan dia gadis tunanganmu itu?"
"Memang."
"Sudah kuduga.
Ibuku sudah banyak bikin sulit, ya?"
Matahachi mengabaikan
saja pertanyaan itu. "Apa kau belum menikah? Kau kelihatan lain."
"Ibuku membuat
hidupku sengsara, sesudah kau pergi. Semua itu kutahankan sekuatku, karena dia
ibuku. Tapi tahun lalu, ketika kami ada di Sumiyoshi, aku lari."
"Dia sudah bikin
kacau hidup kita, ya? Tapi tunggu saja, dan lihat. Akhirnya dia akan mendapat
balasan setimpal."
"Aku tak peduli.
Aku cuma ingin tahu, apa yang akan kulakukan dari sekarang."
"Aku juga. Masa
depanku tidak begitu cerah kelihatannya. Aku ingin membalas Oko, tapi kukira
yang dapat kulakukan cuma memikirkannya." Sementara mereka berdua mengeluh
tentang kesulitan-kesulitannya, Osugi menyibukkan diri dengan persiapan
perjalanan. Kemudian sambil mendecapkan lidah, katanya tajam, "Matahachi,
kenapa kamu ngomel dengan orang yang tak ada hubungannya dengan kita? Sini
bantu Ibu beres-beres!"
"Ya, Bu."
"Selamat
tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Kelihatan murung dan kikuk, Akemi
bergegas pergi.
Tak lama kemudian
lampu dinyalakan, dan pelayan muncul membawa baki-baki makan malam dan sake.
Ibu dan anak bertukar mangkuk tanpa melihat rekening yang terletak di baki di
antara keduanya. Satu demi satu para pembantu datang menyatakan hormat kepada
mereka, disusul oleh pemilik penginapan sendiri.
"Jadi, Ibu akan
berangkat malam ini?" tanya pemilik penginapan. "Kami senang Ibu lama
tinggal di sini. Hanya kami minta maaf tak dapat memberikan perlakuan khusus
yang memang pantas buat Ibu. Kami berharap dapat bertemu lagi dengan Ibu kalau
nanti Ibu datang di Kyoto lagi."
"Terima
kasih," jawab Osugi. "Memang ada kemungkinan saya datang lagi. Mari
kita hitung, sekarang ini sudah tiga bulan sejak akhir tahun, kan?"
"Betul,
kira-kira begitulah. Kami akan merasa kehilangan Ibu."
"Mari, silakan
minum dengan kami!"
"Oh, terima
kasih banyak. Rasanya kurang biasa orang berangkat malam hari. Apa ada sebab
tertentu barangkali?"
"Terus terang,
tiba-tiba sekali ada urusan penting. Omong-omong, apa Bapak kebetulan punya
peta Kampung Ichijoji?"
"Sebentar. Itu
sebuah tempat kecil di seberang Shirakawa, dekat puncak Gunung Hiei. Saya kira
lebih baik Ibu tidak pergi ke sana tengah malam. Sepi sekali dan..."
"Tak apa,"
sela Matahachi. "Apa bisa Bapak menggambar petanya buat kami?"
"Dengan senang
hati. Salah seorang pembantu saya berasal dari sana. Dia dapat memberikan
keterangan yang saya perlukan. Ichijoji tak banyal: penduduknya, tapi tersebar
di daerah yang luas."
Karena sedikit mabuk,
Matahachi berkata kasar, "Tak usah kuatir kami pergi ke sana. Kami cuma
ingin tahu jalannya."
"Maafkan kami.
Nah, silakan bersiap-siap." Dan sambil menggosok-gosokkan kedua tangan
dengan nada menjilat, ia membungkuk minta diri ke beranda.
Ketika ia akan
melangkah turun ke halaman, tiga atau empat orang pegawainya datang
berlari-lari mendapatkannya. Juru tulis kepala berkaca sewot, "Apa dia
tidak datang kemari, Tuan?"
"Siapa?"
"Gadis yang
tinggal di kamar belakang itu."
"Lalu apa
urusannya?"
"Saya yakin
masih melihat dia sore tadi, tapi kemudian saya melihat kamarnya, dan..."
"Bicara langsung
ke persoalannya!"
"Kami tidak
menemukannya."
"Orang goblok
kamu!" teriak pemilik penginapan. Wajahnya berubah tidak lagi kelihatan
sikap membudak yang beberapa saat sebelumnya ia tunjukkan. "Apa gunanya
lari-lari macam ini sesudah dia pergi? Kalian mestinya sudah tahu dari
penampilannya bahwa ada yang tidak beres. Jadi, sampai seminggu lewat itu
kalian tidak tahu dia tak punya uang? Bagaimana bisa aku terus dengan usaha ini
kalau kalian melakukan hal-hal semacam itu?"
"Maaf, Tuan.
Tapi dia kelihatan sopan."
"Sudah terlambat
sekarang. Lebih baik kalian lihat, apa ada yang hilang dari kamar-kamar tamu
lain. Betul-betul gerombolan dungu!" Ia membalik ke bagian depan
penginapan.
Osugi dan Matahachi
minum sedikit sake lagi, kemudian perempuan tua itu beralih minum teh dan
menasihati anaknya berbuat demikian juga.
"Saya cuma akan
menghabiskan sisanya," kata Matahachi sambil menuang semangkuk lagi.
"Saya tak butuh makan apa-apa."
"Tak baik kalau
kamu tidak makan. Paling tidak, makanlah nasi sedikit dan acar."
Para pegawai dan
pembantu berlarian di halaman dan gang sambil membawa lentera.
"Rupanya mereka
tak dapat menangkapnya," kata Osugi. "Ibu tak mau terlibat, karena
itu Ibu diam saja di depan pemilik penginapan. Tapi menurutmu, apa bukan gadis
yang kamu ajak bicara itu yang mereka cari?"
"Tak
mengherankan kalau memang dia."
"Memang tak
banyak yang dapat kita harapkan dari orang yang ibunya seperti itu. Lalu kenapa
kamu begitu akrab dengan dia?"
"Saya kasihan
padanya. Hidupnya sangat sukar."
"Nah,
hati-hatilah, jangan bilang-bilang kamu kenal dia. Kalau pemilik penginapan
tahu gadis itu ada hubungannya dengan kita, dia bisa minta kita membayar
rekeningnya."
Tapi lain lagi yang
dipikirkan Matahachi. Sambil mencengkeram belakang kepalanya, ia berbaring
menelentang dan omelnya, "Bisa rasanya aku membunuh sundal itu! Sekarang
aku bisa membayangkan wajahnya. Bukan Musashi yang bikin aku sesat, tapi Oko!"
Osugi memarahinya
bukan main. "Jangan bodoh begitu! Kalau kamu bunuh Oko, apa faedahnya buat
nama baik kita? Di kampung tak ada yang kenal dan peduli dia."
Jam dua pemilik
penginapan datang ke beranda, membawa lentera dan mengumumkan waktu.
Matahachi meregangkan
badan, tanyanya, "Sudah Bapak tangkap gadis itu?"
"Tidak, tidak
kelihatan tanda-tandanya." Ia mengeluh. "Gadis begitu cantik. Para
pegawai berpendapat, biarpun dia tak dapat membayar rekeningnya, kita dapat
memperoleh kembali uang itu dengan menyuruhnya tinggal beberapa waktu di sini.
Mungkin Anda tahu maksud saya. Sayang sekali dia sedikit lebih gesit daripada
kami."
Matahachi mengikat
sandalnya sambil duduk di ujung beranda. Sesudah sekitar semenit menanti,
serunya kesal, "Bu, apa kerja Ibu di situ? Ibu selalu menyuruh saya cepat,
tapi pada saat terakhir tak pernah Ibu siap!"
"Tunggu
sebentar, Matahachi, apa kantong uang yang Ibu simpan di tas perjalanan itu Ibu
kasihkan kamu? Ibu membayar rekening dengan uang tunai dari bungkusan di perut,
tapi uang perjalanan kita ada dalam kantong."
"Saya tidak
melihatnya."
"Sini sebentar.
Ini ada kertas bertuliskan namamu. Ha?... Astaga! Katanya... katanya, karena
dia kenal lama dengan kamu, dia harap kamu memaafkan dia telah meminjam uang
itu. Pinjam... pinjam!"
"Ini tulisan
Akemi."
Osugi menoleh kepada
pemilik penginapan. "Pak! Kalau milik seorang tamu dicuri orang, itu
tanggung jawab Bapak. Bapak mesti berbuat sesuatu."
"Begitu,
ya?" Dan pemilik penginapan tersenyum lebar. "Memang biasa begitu,
tapi karena rupanya Ibu kenal gadis itu, saya kuatir saya mesti lebih dulu
minta Ibu mengurus rekeningnya."
Mata Osugi jadi
jelalatan, gagapnya. "A-apa yang Bapak bicarakan itu: Selama hidup belum
pernah saya melihat cewek pencuri itu. Matahachi: Jangan lagi kamu bermain-main!
Kalau kita tidak berangkat sekarang, ayam jantan akan segera berkokok."
0 komentar:
Posting Komentar