Biru Shikamaru
"APA Otsu ada di
sini?"
"Ya, saya di
sini."
Sebuah wajah muncul
di atas pagar.
"Bapak ini
Mambei,kan? Pedagang rami?" tanya Otsu.
"Betul. Maaf
saya mengganggu Anda selagi sibuk, tapi saya mendengar kabar yang kemungkinan
menarik minat Anda."
"Silakan
masuk," Otsu mengisyaratkan untuk menuju pintu kayu di pagar itu.
Seperti kelihatan
dari kain yang bergantungan pada cabang-cabang pohon dan tiang-tiang, rumah itu
milik salah seorang tukang celup pembuat kain kuat, yang dikenal di seluruh
negeri dengan nama "Biru Shikama". Pekerjaan itu terdiri atas
mencelup kain dalam celupan biru tua keunguan beberapa kali, dan menumbuknya
dalam lumpang besar, setiap kali habis dicelup. Dengan demikian, benangnya jadi
sangat usang oleh celupan, hingga lama sesudah benang usang, baru celupan itu
luntur.
Otsu belum terbiasa
menggunakan pemukul, tapi ia bekerja keras juga, dan jari-jarinya biru-biru. Di
Edo, sesudah diketahuinya Musashi telah pergi, ia singgah di kediaman Hojo dan
Yagyu, kemudian segera berangkat untuk mencari lagi. Musim panas lalu, dari
Sakai ia naik salah satu kapal Kobayashi Tarozaemon dan pergi ke Shikama,
sebuah kampung nelayan yang terletak di muara segi tiga, tempat terjunnya
Sungai Shikama ke Laut Pedalaman.
Ingat bahwa
pengasuhnya ketika bayi telah kawin dengan seorang pencelup dari Shikama, Otsu
mencarinya, dan kemudian tinggal bersamanya. Karena keluarga itu miskin, Otsu
merasa wajib membantu mencelup, dan memang itu pekerjaan gadis-gadis muda.
Sering mereka bekerja sambil menyanyi. Orang-orang kampung berkata, dari suara
seorang gadis mereka dapat menetapkan apakah ia sedang jatuh cinta pada salah
seorang nelayan muda.
Otsu membasuh
tangannya dan menghapus keringat dari dahinya, kemudian mempersilakan Mambei
duduk dan beristirahat di beranda.
Orang itu menolak
dengan kibasan tangan, katanya, "Anda datang dari Kampung Miyamoto,
kan?"
"Ya."
"Saya kadang
datang ke kampung itu, membeli rami. Belum lama ini saya mendengar
desas-desus..."
"Ya?"
"Tentang
Anda."
"Tentang
saya?"
"Saya juga
mendengar tentang orang yang namanya Musashi."
"Musashi?"
Hati Otsu serasa melompat kegirangan, dan pipinya memerah.
Mambei tertawa kecil.
Waktu itu musim gugur, tapi matahari masih cukup panas. la melipat saputangan,
mengusapkannya ke dahi, kemudian berjongkok. "Apa Anda kenal dengan wanita
bernama Ogin?" tanyanya.
"Maksud Bapak,
kakak perempuan Musashi?"
Mambei mengangguk
kuat-kuat. "Saya jumpa dengan dia di Kampung Mikazuki di Sayo. Kebetulan
saya menyebutkan nama Anda, dan dia kelihatan terkejut sekali."
"Apa Bapak
sebutkan padanya alamat saya?"
"Ya. Saya merasa
tak ada jeleknya menyebutkan itu."
"Di mana dia
tinggal sekarang?"
"Dia tinggal
dengan samurai bernama Hirata—saya pikir salah seorang keluarganya. Dia bilang
ingin sekali ketemu Anda. Beberapa kali dia menyatakan merasa kehilangan Anda,
dan banyak sekali yang hendak diceritakannya pada Anda. Sebagiannya rahasia,
menurutnya. Saya rasa waktu itu dia sudah hampir menangis."
Mata Otsu memerah.
"Di tengah jalan
waktu itu tak ada tempat buat menulis surat, karena itu dia minta saya
menyampaikan pada Anda supaya datang ke Mikazuki. Dia bilang ingin datang
Iceman, tapi belum bisa sekarang." Mambei berhenti. "Tak banyak yang
dia katakan, tapi menurutnya dia sudah dengar kabar dari Musashi." Ia
menambahkan bahwa ia akan pergi ke Mikazuki hari berikutnya, dan menyarankan
pada Otsu untuk pergi bersamanya.
Pikiran Otsu seketika
itu juga sudah bulat, tapi ia merasa harus berbicara dahulu dengan istri pencelup.
"Petang ini saya akan memberi kabar," katanya.
"Bagus. Kalau
nanti Anda putuskan pergi, kita mesti berangkat pagi-pagi." Walaupun di
latar belakang terdengar debur ombak laut, suara orang itu keras sekali,
sedangkan jawaban Otsu yang pelan terdengar agak gemetar.
Ketika Mambei keluar
dari pintu gerbang, seorang samurai muda yang selama itu duduk di pantai sambil
menggosok-gosok segenggam pasir, berdiri dan memperhatikannya dengan tajam,
seakan-akan hendak membenarkan apa yang terkandung dalam pikirannya tentang
laki-laki itu. Samurai itu berpakaian bagus, dan mengenakan topi anyaman jerami
yang bentuknya seperti daun gingko, dan tampaknya berumur delapan belas atau
sembilan belas tahun. Ketika pedagang rami itu sudah lenyap dari pandangan, ia
berbalik dan memperhatikan rumah tukang celup.
Walaupun merasa
sangat gembira mendengar kabar dari Mambei, Otsu mengambil juga palunya dan
melanjutkan pekerjaannya. Bunyi palu-palu lain yang diiringi nyanyian,
mengambang di udara. Tak ada suara keluar dari bibir Otsu ketika ia bekerja,
tapi dalam hatinya ia menyanyikan lagu cinta kepada Musashi. Kini diam-diam ia
membisikkan sajak koleksi kuno:
Sejak pertemuan
pertama kita,
Cintaku lebih dalam
Dari cinta
orang-orang lain,
Walau tak sebanding
dengan warna-warna
Kain dari Shikama.
Ia yakin bahwa kalau
ia mengunjungi Ogin, ia akan tahu di mana Musashi tinggal. Dan Ogin seorang
wanita juga. Akan lebih mudah menyampaikan perasaannya.
Pukulan palunya makin
lama makin lemah, sampai hampir menjarang jaraknya. Ia merasa lebih bahagia
sesudah sekian lama. Kini ia paham perasaan penyair itu. Sering laut tampak
sendu dan asing, tapi hari itu laut tampak memesona, dan ombak tampak
menyemburkan harapan, walaupun lemah.
Ia gantungkan kain
itu pada tiang pengering yang tinggi, dengan hati masih menyanyi, kemudian ia
berjalan ke luar, lewat pintu gerbang yang tinggal terbuka. Dengan sudut
matanya ia dapat melihat samurai muda yang berjalan tenang di sepanjang tepi
air. Ia tidak tahu siapa samurai itu, namun samurai itu memikat perhatiannya.
Di luar itu, ia tidak melihat apa pun yang lain, tidak juga seekor burung yang
melaju bersama angin laut.
Tujuan mereka tidak
terlalu jauh; seorang perempuan dapat menempuhnya tanpa susah payah, dengan
satu kali singgah. Sekarang hampir tengah hari.
"Saya minta maaf
telah menyusahkan Bapak," kata Otsu.
"Tidak susah.
Kaki Anda rupanya kuat berjalan," kata Mambei.
"Saya biasa
jalan."
"Saya dengar
Anda telah pergi ke Edo. Untuk seorang wanita, itu tempat yang cukup jauh juga,
kalau ditempuh sendirian."
"Apa istri
tukang celup mengatakannya pada Bapak?"
"Ya. Saya sudah
dengar semuanya. Orang Miyamoto membicarakannya juga."
"Oh, mereka
juga!" kata Otsu, sedikit mengerutkan kening. "Sungguh bikin
malu."
"Anda tak perlu
merasa malu. Kalau Anda begitu cinta pada seseorang, siapa yang bisa bilang
Anda mesti dikasihani atau diberi ucapan selamat? Tapi rupanya Musashi ini
sedikit dingin hatinya."
"Ah, tidak...
sama sekali tidak."
"Anda tidak
benci pada kelakuannya?"
"Sayalah yang
mestinya disalahkan. Latihan dan disiplin, itu minatnya yang tunggal dalam
hidup ini, tapi saya ini tak juga mau mengerti."
"Oh, menurut
saya tak ada salahnya sikap itu."
"Tapi rasanya
sudah banyak saya menimbulkan kesulitan padanya."
"Hm. Istri saya
mestinya mendengar ini. Begitu mestinya sikap wanita."
"Apa Ogin sudah
kawin?" tanya Otsu.
"Ogin? Ah, saya
kurang tahu," kata Mambei, kemudian mengubah pokok pembicaraan. "Oh,
itu ada warung teh. Mari kita istirahat sebentar."
Mereka masuk dan
memesan teh untuk teman makan slang. Ketika mereka sedang menyelesaikan makan
siang, beberapa tukang kuda dan kuh menegur Mambei dengan nada sudah kenal
lama.
"Hei, kenapa kau
tidak singgah main di Handa hari ini? Semua orang mengeluh—seluruh uang kami
sudah kaubawa kemarin itu."
Di tengah suasana
ribut itu, ia membalas dengan teriakan, seakan-akan tak mengerti maksud mereka.
"Aku tak perlu kudamu hari ini." Kemudian katanya cepat pada Otsu,
"Kita terus?"
Ketika mereka
meninggalkan warung itu dengan tergesa-gesa, salah seorang tukang kuda berkata,
"Tak heran dia menolak kita. Coba lihat gadis itu!"
"Kulaporkan
istrimu, Mambei!"
Mereka mendengar
lebih banyak lagi komentar senada, tapi mereka berjalan terus cepat-cepat. Toko
Asaya Mambei di Shikama tentulah tidak tergolong rumah usaha yang penting di
sana. Mambei membeli rami di kampung-kampung yang berdekatan, lalu
mengirimkannya kepada para istri dan anak gadis nelayan untuk membuat layar,
jaring, dan barang-barang lain. Tapi ia pemilik usahanya sendiri, karena itu
hubungannya yang demikian akrab dengan para kuli biasa sangat aneh bagi Otsu.
Seakan-akan untuk
menghilangkan keraguan Otsu yang tak terucapkan itu, Mambei berkata, "Apa
yang dapat kita lakukan dengan orang-orang urakan macam itu? Hanya karena saya
menolong mereka dengan menyuruh mengangkut bahan dari gunung, lalu mereka
bersikap akrab macam itu!"
Mereka menginap di
Tatsuno, dan ketika berangkat lagi pagi berikutnya, Mambei tetap bersikap baik
dan siap menolong, seperti biasa. Sampai di Mikazuki, hari mulai gelap di
perbukitan kaki glinting.
"Mambei,"
tanya Otsu kuatir, "apa ini bukan Mikazuki? Kalau kita melintasi gunung
ini, kita akan sampai di Miyamoto." Otsu sudah mendengar bahwa Osugi sudah
kembali ke Miyamoto lagi.
Mambei berhenti.
"Ya, itu di seberang sana. Apa kau rindu pulang?"
Otsu mengangkat mata,
memandang punggung pegunungan yang hitam berombak-ombak itu, juga langit
petang. Daerah itu terasa sangat sepi, seolah-olah orang-orang yang mestinya
ada di sana menghilang semua.
"Sedikit
lagi," kata Mambei sambil berjalan terus. "Apa kau lelah?"
"Oh, tidak.
Bapak?"
"Tidak. Saya
terbiasa dengan jalan ini. Saya selalu lewat jalan sini."
"Lalu di mana
rumah Ogin?"
"Di sana,"
jawab Mambei sambil menunjuk. "Dia pasti sedang menanti kita."
Mereka berjalan
sedikit lebih cepat. Ketika mereka sampai di tempat yang semakin terjal
lerengnya, tampak di situ bertebaran rumah-rumah. Itu daerah persinggahan di
jalan raya Tatsuno. Tempat itu boleh dikatakan cukup besar untuk dapat disebut
kota, tapi di situ ada sebuah tempat makan murah "satu baki" yang
dibanggakan, tempat para tukang kuda berkeluyuran, dan ada sejumlah penginapan
murah berderet di kedua tepi jalan.
Begitu mereka
meninggalkan kampung, Mambei berkata, "Kita mesti sedikit mendaki
sekarang." Ia membelok meninggalkan jalan, dan mulai mendaki tangga batu
terjal, menuju kuil setempat.
Seperti seekor burung
kecil yang mencicit karena tiba-tiba suhu udara turun tajam, Otsu merasakan
sesuatu yang tidak biasa. "Apa Bapak yakin kita tidak salah jalan? Tak ada
rumah-rumah di sekitar sini," katanya.
"Jangan kuatir.
Ini tempat sepi, tapi duduklah dan istirahatlah di serambi tempat suci. Aku
akan pergi memanggil Ogin."
"Kenapa
begitu?"
"Apa kau lupa?
Aku yakin sudah menyebutkannya. Ogin mengatakan kemungkinan ada tamu-tamu,
hingga kurang enak kalau kau masuk. Rumahnya di sebelah rumpun ini. Aku akan
segera kembali." Mambei bergegas menyusuri jalan setapak yang sempit,
melintasi rumpun kriptomeria yang gelap.
Ketika langit petang
semakin gelap, Otsu mulai gelisah. Daun-daun kering yang diruntuhkan angin
berjatuhan ke pangkuannya. Ia iseng mengambil satu, dan menggulungnya
membungkus jari-jarinya. Entah ketololan, entah kemurnian yang menjadikannya
gambaran sempurna seorang gadis yang masih suci.
Tiba-tiba terdengar
suara tertawa keras dari belakang kuil. Otsu melompat ke tanah.
"Jangan
bergerak, Otsu!" perintah sebuah suara serak, menakutkan.
Otsu terengah-engah
dan menutupkan tangan ke telinga.
Beberapa sosok
bayangan muncul dari belakang kuil, mengepung tubuhnya yang menggeletar.
Walaupun matanya tertutup, dengan jelas ia dapat melihat satu di antaranya,
yang lebih mengerikan dan lebih besar dari yang lain, kuntilanak berambut putih
yang sudah sering dilihatnya dalam mimpi-mimpi buruknya.
"Terima kasih,
Mambei," kata Osugi. "Sekarang sumbat mulutnya, sebelum dia mulai
menjerit, dan bawa dia ke Shimonosho. Cepat!" Bicaranya disertai wibawa
menakutkan seorang Raja Neraka yang sedang mengutuk seorang pendosa untuk masuk
api neraka.
Empat-lima lelaki itu
agaknya perusuh-perusuh kampung yang masih ada hubungan dengan klan Osugi.
Sambil berteriak setuju, mereka menghampiri Otsu seperti serigala memperebutkan
korban, dan mengikatnya hingga tinggal kakinya yang bebas.
"Potong
kompas!"
"Jalan!"
Osugi tinggal di
belakang untuk mengatur segala sesuatunya bersama Mambei. Ia mengambil uang
dari dalam obi-nya, dan katanya, "Baguslah kau sudah membawa dia. Aku
takut kau tak bisa melakukannya." Kemudian tambahnya, "Jangan bilang
apa-apa pada siapa pun."
Dengan pandangan
puas, Mambei menyelipkan uang itu ke dalam lengan bajunya. "Ah, itu tidak
begitu sulit," katanya. "Rencana Ibu bagus sekali jalannya."
"Ah, bagus juga
tadi itu kelihatannya. Dia ketakutan, ya?"
"Lari pun dia
tak bisa. Cuma berdiri! Ha, ha. Tapi barangkali... sedikit kejam juga
kita."
"Apanya yang
kejam? Oh, kalau kau tahu apa yang sudah kualami..."
"Ya, ya, Ibu
sudah menceritakannya."
"Nah, aku tak
dapat membuang-buang waktu di sini. Aku mesti ketemu lagi denganmu hari-hari
ini. Kunjungi kami di Shimonosho."
"Hati-hati, Bu,
jalan itu tak mudah ditempuh," seru Mambei sambil menoleh, ketika la mulai
menuruni tangga yang panjang gelap itu. Mendengar bunyi terengah, Osugi memutar
tubuh, dan serunya, "Mambei! Kaukah itu? Ada apa?"
Tak ada jawaban.
Osugi berlari sampai
puncak tangga. Di situ ia memekik kecil, kemudian menahan napas ketika melihat
bayangan orang berdiri di samping tubuh yang sudah roboh, dengan pedang
terjulur ke bawah, bercucuran darah.
"Si... siapa di
situ?"
Tak ada jawaban.
"Siapa
kau?" Suara Osugi kering dan tegang. Umur tua tidak menghapuskan
kepongahan penuh gertakan itu.
Bahu orang itu
bergetar sedikit karena tertawa. "Ini aku, kuntilanak tua!"
"Siapa
kau?"
"Kau tak kenal
aku?"
"Belum pernah
aku mendengar suaramu. Perampok, mestinya."
"Tak ada
perampok yang mau mengurusi perempuan semiskin kau."
"Jadi, kau sudah
mengawasi aku, ya?"
"Betul."
"Aku?"
"Kenapa tanya
dua kali? Tidak bakal aku jauh-jauh datang ke Mikazuki, kalau cuma buat
membunuh Mambei. Aku datang buat memberimu pelajaran."
"Eh?"
Tenggorokan Osugi seperti mau meletus. "Kau salah sasaran. Tapi siapa kau?
Namaku Osugi. Aku janda Keluarga Hon'iden."
"Oh, senang
sekali aku mendengarnya! Ini menghidupkan kembali semua dendamku. Tukang sihir!
Apa kau lupa pada Jotaro?"
"Jo-jo-taro?"
"Dalam tiga
tahun, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak umur tiga tahun. Kau sekarang
sudah menjadi sebatang potion tua, sedangkan aku pohon muda. Maaf kalau
kukatakan, kau tak bisa lagi memperlakukan aku macam anak ingusan."
"Betul-betul tak
bisa dipercaya. Apa betul kau ini Jotaro?"
"Kau terpaksa
membayar atas segala kesusahan yang sudah kautimpakan pada guruku bertahun-tahun
lamanya. Dia menghindarimu, cuma karena kau sudah tua, dan dia tak ingin
menyakitimu. Kau memanfaatkan hal itu dengan ngeluyur ke mana-mana, bahkan
sampai ke Edo, menyebarkan desas-desus jahat tentang dia, dan berbuat seolah
kau punya alasan sah membalas dendam kepadanya. Kau malahan bertindak begitu
jauh, sampai menghalangi pengangkatannya untuk kedudukan yang baik."
Osugi terdiam.
"Tapi
kejahatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau membikin sengsara Otsu dan mencoba
melukai dia. Kupikir kau sudah meninggalkan semua itu, dan menetap di Miyamoto.
Tapi ternyata kau masih juga sibuk, menggunakan Mambei buat melaksanakan
rencana terhadap Otsu."
Osugi masih juga
diam.
"Apa kau tak
pernah capek membenci? Oh, aku bisa dengan mudah sekali memotongmu jadi dua,
tapi untung aku bukan lagi anak samurai yang suka nyeleweng. Ayahku, Aoki
Tanzaemon, sudah kembali ke Himeji, dan sejak musim semi lalu mengabdi pada
Keluarga Ikeda. Supaya tidak bikin dia malu, aku menahan diri untuk
membunuhmu."
Jotaro mendekat beberapa
langkah. Karena tak tahu harus mempercayainya atau tidak, Osugi mundur dan
mencari-cari cara meloloskan diri.
Karena dikiranya ia
dapat lolos, ia lari kencang ke jalan yang ditempuh orang-orang tadi. Jotaro
mengejarnya dengan satu lompatan saja, lalu mencekal lehernya.
Osugi membuka mulut
lebar-lebar, berteriak, "Apa ini?" Ia memutar badan dan menarik
pedang dengan gerak memutar juga, lalu memukul Jotaro, tapi meleset.
Jotaro mengelak dan
mendorongnya keras ke depan. Kepala Osugi membentur keras ke tanah.
"Ya, ya, jadi
kau sudah mendapat sedikit ilmu ya?" rintihnya dengan wajah setengah
terbenam di rumput. Agaknya ia belum dapat mengubah pikirannya bahwa Jotaro
masih anak-anak.
Sambil menggeram,
Jotaro menginjakkan satu kakinya ke punggung Osugi yang sangat rapuh itu, dan
tanpa kenal kasihan ia pilin satu tangan Osugi ke punggung.
Ia seret perempuan
itu ke depan kuil, kemudian ia injak dengan satu kakinya, tapi ia tak dapat
memutuskan apa yang akan diperbuatnya.
Ia masih harus
memikirkan Otsu. Di mana Otsu sekarang? Ia mengetahui Otsu ada di Shikama
secara kebetulan. Sekalipun mungkin itu karena karma mereka saling terkait.
Sejalan dengan penerimaan kembali ayahnya, Jotaro memperoleh juga kedudukan. Ketika
ia sedang melaksanakan suruhan, terlihat olehnya seorang perempuan mirip Otsu
lewat celah pagar. Dua hari lalu ia kembali ke pantai itu, untuk membuktikan
kesannya.
Ia berterima kasih
kepada dewa-dewa yang telah mempertemukannya dengan Otsu, tapi sementara itu
dendamnya terhadap Osugi yang sudah lama terpendam, tersulut kembali, gara-gara
cara Osugi mengejar-ngejar Otsu. Kalau perempuan tua itu tidak disingkirkan,
takkan mungkin Otsu bisa hidup tenang. Jotaro merasa tergoda untuk bertindak.
Tapi membunuh perempuan itu berarti melibatkan ayahnya dalam perselisihan
dengan keluarga samurai desa. Mereka itu orang-orang yang paling banyak membuat
kesulitan. Kalau tersinggung oleh pengikut langsung seorang daimyo, pasti
mereka menimbulkan kesulitan.
Akhirnya ia putuskan
bahwa yang terbaik adalah menghukum Osugi dengan cepat, kemudian memfokuskan
diri untuk menyelamatkan Otsu.
"Aku tahu tempat
yang cocok buatmu," katanya. "Ayo ikut!"
Osugi bergayut
sekuat-kuatnya ke tanah, biarpun Jotaro berusaha menyentakkannya. Jotaro lalu
menangkap pinggangnya, mengempitnya, dan membawanya ke belakang kuil. Sisi
bukit sudah digunduli orang waktu kuil itu dibangun, dan di sana terdapat gua
kecil dengan jalan masuk hanya cukup dirangkaki satu orang.
Otsu dapat melihat
cahaya satu-satunya di kejauhan. Kalau tidak, segalanya pasti gelap
gulita-gunung-gunung, ladang-ladang, sungai-sungai, dan Celah Mikazuki yang
baru saja mereka seberangi lewat jalan karang setapak. Kedua orang yang ada di
depan menuntunnya dengan tali, seperti biasa dilakukan terhadap seorang
penjahat.
Mendekati Sungai
Sayo, orang yang di belakang berkata, "Berhenti sebentar. Apa yang terjadi
dengan perempuan tua itu? Dia bilang tadi segera menyusul."
"Ya, mestinya
dia sudah sampai sini sekarang."
"Kita bisa saja
berhenti di sini beberapa menit. Atau terus sampai Sayo dan menunggu di warung
teh. Orang-orang barangkali sudah tidur semua, tapi kita dapat membangunkan
mereka."
"Mari kita
menanti di sana. Kita bisa minum secangkir-dua cangkir sake."
Mereka mencari tempat
dangkal di sepanjang sungai, dan mulai menyeberang, tapi tiba-tiba mereka
mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Semenit-dua menit kemudian,
suara itu terdengar lagi dari tempat yang jauh lebih dekat.
"Apa perempuan
tua itu, ya?"
"Tidak,
kedengarannya suara lelaki."
"Tak mungkin dia
ada hubungannya dengan kita."
Air sungai itu sama
dinginnya dengan pedang, terutama bagi Otsu. Pada saat mereka mendengar suara
kaki berlari, si pengejar sudah sampai.
Disertai percikan air
yang riuh, ia berhasil mendahului mereka sampai di seberang sungai, dan
langsung menghadang. "Otsu?" panggil Jotaro.
Menggigil karena
percikan air yang mengenainya, ketiga orang itu merapat di sekeliling Otsu dan
berdiri di tempat.
"Jangan
bergerak!" teriak Jotaro dengan tangan direntangkan.
"Siapa
kau?"
"Tak perlu
tanya. Lepaskan Otsu!"
"Gila, ya? Apa
kau tidak pakai otak? Kau bisa mati ikut-ikutan urusan orang lain."
"Osugi bilang,
kalian mesti menyerahkan Otsu padaku."
"Enak saja
bohong." Ketiga orang itu tertawa.
"Aku tidak
bohong. Lihat ini!" Jotaro mengulurkan secarik kertas tisu berisi tulisan
Osugi. Isinya singkat, "Keadaan jadi rusak. Kalian tak bias berbuat
apa-apa. Serahkan pada Jotaro, lalu kembali jemput aku."
Dengan kening
berkerut, orang-orang itu menatap Jotaro, lalu naik ke darat.
"Apa kalian tak
bisa baca?" cela Jotaro.
"Tutup mulut!
Kukira kau ini Jotaro."
"Betul. Namaku
Aoki Jotaro."
Otsu menatap
tajam-tajam ke arah Jotaro. Ia gemetar sedikit, karena takut dan sangsi. Tapi
karena bingung apa yang hendak diperbuatnya, ia menjerit, terengah-engah, dan
terhuyung-huyung.
Orang yang terdekat
dengan Jotaro berteriak, "Sumbatannya kendur! Betulkan!" Kemudian
katanya mengancam pada Jotaro, "Tak ragu lagi, ini tulisan perempuan tua
itu. Tapi kenapa dia? Apa maksudnya 'kembali jemput aku'?"
"Dia
kusandera," kata Jotaro angkuh. "Berikan Otsu padaku, nanti
kusebutkan di mana dia."
Ketiga orang itu
saling pandang. "Oh, kau mencoba melucu, ya?" tanya seseorang.
"Apa kau tahu siapa kami ini? Setiap samurai di Himeji mesti kenal
Keluarga Hon'iden di Shimonosho, itu kalau kau memang datang dari Himeji."
"Ya atau
tidak—jawab! Kalau Otsu tidak kalian serahkan, kutinggalkan perempuan tua itu
di tempatnya, sampai dia mati kelaparan!"
"Bajingan
kecil!"
Satu orang
mencengkeram Jotaro, yang lain menghunus pedangnya dan memasang jurus. Orang
yang pertama menggeram, "Kalau kau terus omong kosong macam itu, kupatahkan
lehermu. Di mana Osugi?"
"Kalian berikan
Otsu, tidak?"
"Tidak!"
"Kalau begitu,
kalian takkan temukan dia. Serahkan Otsu, supaya dapat kita akhiri semua ini
tanpa mesti ada yang terluka."
Orang yang
mencengkeram lengan Jotaro menariknya ke depan dan mencoba menjegalnya.
Dengan menggunakan
kekuatan lawan, Jotaro melontarkannya lewat bahunya. Tapi sesaat kemudian ia
terduduk sambil menggenggam paha kanannya. Orang itu berhasil melecutkan
pedangnya, dan memukul dengan gerak menyilang. Untunglah lukanya tidak dalam.
Jotaro melompat bangkit bersama penyerangnya. Dua orang lainnya ikut menyerang.
"Jangan bunuh
dia. Mesti kita tangkap dia hidup-hidup, kalau kita mau mendapatkan Osugi
kembali."
Segera kemudian,
Jotaro tidak lagi ragu terlibat dalam pertumpahan darah. Dalam perkelahian yang
kemudian menyusul, ketiga orang itu berhasil menjatuhkannya. Jotaro meraung,
menggunakan taktik yang beberapa saat sebelumnya digunakan orang-orang itu
terhadapnya. Ia tarik pedang pendeknya, lalu menusuk langsung ke arah perut
orang yang akan menerkamnya. Separuh lengan Jotaro jadi merah, seakan habis
dicelup dalam tong cuka prem. Waktu itu yang terpikir olehnya hanyalah naluri
untuk menjaga diri.
Ia berdiri lagi,
memekik, dan menebas orang di hadapannya. Pedangnya mengenai tulang bahu, dan
belokannya menghasilkan seiris daging sebesar ikan. Orang itu menjerit dan
mencekal pedangnya, tapi terlambat.
"Bajingan!
Bajingan!" Sambil memekik setiap memukulkan pedangnya, Jotaro mengusir
kedua orang yang lain, dan berhasil membuat luka besar pada seorang di
antaranya.
Mereka menganggap
sudah semestinya mereka lebih unggul daripada Jotaro, tapi sekarang mereka
kehilangan kendali diri, dan hanya bisa mengayun-ayunkan senjata secara
serampangan.
Otsu hilang akal dan
berlari berputar-putar, sambil dengan kalut mencoba melepaskan ikatan
tangannya. "Hei, tolong! Selamatkan dia!" Tapi kata-katanya segera
lenyap, tenggelam dalam bunyi sungai dan suara angin.
Tiba-tiba ia sadar
bahwa seharusnya ia tidak berteriak minta tolong, melainkan mengandalkan
kekuatannya sendiri. Sambil memekik-mekik kecil berputus asa, ia merebahkan
diri ke tanah dan mulai menggosok-gosokkan tali itu ke sisi batu yang tajam.
Berhubung tali itu hanya tali jerami yang longgar pintalannya dan dipungut dari
pinggir jalan, segera kemudian ia dapat membebaskan diri.
Ia pungut sejumlah
barn, lalu lari langsung ke tempat perkelahian. "Jotaro!" panggilnya,
ketika ia melemparkan sebuah batu ke wajah satu orang. "Aku di sini juga.
Pasti beres!" Satu batu lagi. "Tahan dulu!" Dan satu batu lagi.
Tapi, seperti dua barn sebelumnya, batu itu tidak mengenai sasaran. Ia lari
kembali, mengambil batu yang lain.
"Anjing!"
Dengan dua lompatan saja, satu orang berhasil melepaskan diri dari Jotaro dan
memburu Otsu. Baru saja ia akan memukulkan punggung pedangnya ke punggung Otsu,
Jotaro sudah tiba di dekatnya. Jotaro menghunjamkan pedang demikian dalam ke
belakang pinggang orang itu, hingga hulu pedang menyembul dan pusarnya.
Orang yang lain,
dalam keadaan luka dan linglung, mulai menyelinap dan lari sempoyongan.
Jotaro berdiri
mengangkangi mayat itu, menarik pedangnya, dan berteriak, "Berhenti!"
Ia mulai mengejar,
tapi Otsu menubruknya keras-keras, dan menjerit, "Jangan kejar! Tak boleh
menyerang orang luka parah yang sedang lari."
Hebatnya permohonan
Otsu itu mengagetkan Jotaro. Ia tak dapat membayangkan, alasan psikologis apa
yang menggerakkan gadis itu untuk bersimpati kepada orang yang baru saja
menyiksanya.
Kata Otsu, "Aku
ingin tahu, apa yang kaulakukan bertahun-tahun ini. Aku pun punya banyak cerita
buatmu. Dan kita mesti keluar dari sini selekas mungkin."
Jotaro segera
menyetujui, karena ia tahu bahwa kalau berita tentang peristiwa itu sampai di
Shimonosho, orang-orang Hon'iden akan mengerahkan seluruh kampung untuk
mengepung mereka.
"Kakak bisa
lari?"
"Ya. Jangan
kuatir tentang aku."
Dan mereka pun
berlari, terus lari melintasi kegelapan, sampai kehabisan napas. Bagi keduanya,
keadaan itu terasa seperti masa lalu, ketika mereka masih seorang gadis remaja
dan seorang anak, bepergian bersama.
DI Mikazuki, lampu
yang tampak hanyalah yang ada di penginapan. Satu menyala dalam bangunan utama,
di mana sekelompok musafir tadi duduk melingkar, bercakap-cakap dan
tertawa-tawa. Mereka terdiri atas seorang pedagang logam yang, untuk
kepentingan usahanya, datang ke tambang-tambang setempat, seorang pedagang
benang dari Tajima, dan seorang pendeta pengembara. Kini mereka bertiga sudah
berlayar di alam mimpi.
Jotaro dan Otsu duduk
bercakap-cakap dekat lampu lain, di sebuah ruangan kecil yang terpisah, di mana
ibu pemilik penginapan tinggal bersama mesin pintal dan kuali-kuali perebus
ulat sutra. Pemilik penginapan sudah menduga pasangan yang diterimanya itu
sedang lari, tapi ia menyuruh juga orang menyiapkan ruangan untuk mereka.
Kata Otsu,
"Jadi, kau juga tidak melihat Musashi di Edo." Dan ia menyampaikan
cerita selama beberapa tahun terakhir itu pada Jotaro.
Jotaro jadi susah
bicara, karena sedih mendengar Otsu belum bertemu dengan Musashi sejak
peristiwa di jalan raya Kiso itu. Namun menurutnya ia dapat memberikan cahaya
harapan pada Otsu.
"Memang tak bisa
dijadikan pegangan," katanya, "tapi kudengar desas-desus di Himeji,
Musashi akan segera datang."
"Ke Himeji? Apa
mungkin?" tanya Otsu, yang ingin sekali menangkap harapan sekecil apa pun.
"Itu cuma kata
orang, tapi orang-orang di perdikan kami bilang sepertinya sudah diputuskan.
Kata mereka, dia akan lewat dalam perjalanan ke Kokura. Di situ dia berjanji
akan melayani tantangan Sasaki Kojiro, salah seorang abdi Yang Dipertuan
Hosokawa."
"Pernah aku
mendengar berita macam itu juga, tapi tak dapat aku menemukan orang yang
mendengar berita itu dari Musashi sendiri, atau tahu di mana dia berada."
"Nah, kabar yang
beredar sekitar Benteng Himeji itu barangkali dapat dipercaya. Rupanya Hanazono
Myoshinji di Kyoto, yang mempunyai hubungan akrab dengan Keluarga Hosokawa itu,
menyampaikan pada Yang Dipertuan Hosokawa tentang tempat Musashi, dan Nagaoka Sado
yang menjadi abdi senior menyampaikan surat tantangan pada Musashi."
"Apa kira-kira
pertarungan akan segera berlangsung?"
"Aku tidak tahu.
Rupanya tak ada orang yang tahu pasti, tapi kalau tempatnya di Kokura, dan
kalau Musashi ada di Kyoto, dia pasti lewat Himeji."
"Tapi dia bisa
naik perahu."
Jotaro menggeleng.
"Kukira tidak. Daimyo di Himeji dan Okayama, dan lain-lain perdikan
sepanjang Laut Pedalaman, akan minta dia singgah semalam-dua malam. Mereka
ingin melihat, orang macam apa dia itu, dan mencoba mengetahui pendapatnya, apa
dia tertarik pada suatu kedudukan. Yang Dipertuan Ikeda menulis surat pada
Takuan. Kemudian dia mencari keterangan di Myoshinji, dan memerintahkan pada
para pedagang besar di daerahnya untuk lapor, kalau mereka melihat orang yang
cocok dengan gambaran Musashi."
"Semakin kuat
alasan untuk menduga Musashi takkan pergi lewat jalan darat. Dia paling benci
keributan. Kalau dia tahu itu, dia akan berusaha keras menghindarinya."
Otsu tampak tertekan, seolah-olah tiba-tiba ia kehilangan harapan.
"Bagaimana menurutmu, Jotaro?" tanyanya memohon. "Kalau aku
pergi ke Myoshinji, apa menurutmu aku akan mendapat keterangan?"
"Yah,
barangkali, tapi Kakak mesti ingat, itu cuma kata orang."
"Tapi tentunya
ada alasannya orang berkata begitu. Ya, tidak?"
"Apa Kakak mau
ke Kyoto?"
"Oh, ya. Aku mau
pergi sekarang juga.... Nah, besoklah."
"Jangan
buru-buru begitu. Itu sebabnya Kakak selalu gagal bertemu Musashi. Begitu
mendengar desas-desus, Kakak terima itu sebagai kenyataan, dan langsung terbang.
Kalau Kakak mau tahu letak burung bulbul, Kakak mesti lihat tempat di depan
sumber suaranya. Kelihatannya Kakak ini selalu membuntuti Musashi, bukan
mencegat tempat yang akan didatanginya."
"Yah, mungkin
saja, tapi cinta memang tidak logis." Karena sebelumnya Otsu tidak
memikirkan kata-katanya, ia terkejut melihat wajah Jotaro yang memerah
mendengar kata "cinta" itu. Tapi dengan segera ia dapat memulihkan
perasaannya, dan katanya, "Terima kasih atas nasihat itu. Akan kupikirkan."
"Ya, pikirkanlah,
tapi sementara itu ayo kembali ke Himeji denganku."
"Baiklah."
"Kuminta Kakak
datang ke rumah kami." Otsu terdiam.
"Kalau ditilik
kata-kata ayahku, kukira dia kenal Kakak cukup baik sebelum Kakak meninggalkan
Shippoji.... Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi dia bilang ingin
ketemu Kakak sekali lagi, dan bicara dengan Kakak."
Lilin hampir habis.
Otsu menoleh dan memandang langit dari bawah tepian atap yang sudah
compang-camping. "Hujan," katanya.
"Hujan? Padahal
kita mesti jalan ke Himeji besok."
"Ah, cuma hujan
musim gugur. Kita pakai topi hujan." "Tapi aku lebih suka kalau
langit cerah."
Mereka menutup tirai
hujan dari kayu, dan segera kemudian kamar pun menjadi sangat hangat dan
lembap. Jotaro sadar benar akan semerbak wangi wanita dari tubuh Otsu.
"Tidurlah,"
katanya. "Aku akan tidur di sini." Ia letakkan bantal kayu di bawah
jendela, kemudian ia berbaring miring menghadap dinding.
"Kakak belum
tidur?" gumam Jotaro. "Kakak mesti tidur." Ia tarik seprai tipis
itu ke atas kepalanya, tapi masih juga ia berguling dan bergolek beberapa
waktu, sebelum akhirnya tidur lelap.
0 komentar:
Posting Komentar