Sabtu, 15 Juli 2017



Biru Shikamaru

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg











"APA Otsu ada di sini?"

"Ya, saya di sini."

Sebuah wajah muncul di atas pagar.

"Bapak ini Mambei,kan? Pedagang rami?" tanya Otsu.

"Betul. Maaf saya mengganggu Anda selagi sibuk, tapi saya mendengar kabar yang kemungkinan menarik minat Anda."

"Silakan masuk," Otsu mengisyaratkan untuk menuju pintu kayu di pagar itu.

Seperti kelihatan dari kain yang bergantungan pada cabang-cabang pohon dan tiang-tiang, rumah itu milik salah seorang tukang celup pembuat kain kuat, yang dikenal di seluruh negeri dengan nama "Biru Shikama". Pekerjaan itu terdiri atas mencelup kain dalam celupan biru tua keunguan beberapa kali, dan menumbuknya dalam lumpang besar, setiap kali habis dicelup. Dengan demikian, benangnya jadi sangat usang oleh celupan, hingga lama sesudah benang usang, baru celupan itu luntur.

Otsu belum terbiasa menggunakan pemukul, tapi ia bekerja keras juga, dan jari-jarinya biru-biru. Di Edo, sesudah diketahuinya Musashi telah pergi, ia singgah di kediaman Hojo dan Yagyu, kemudian segera berangkat untuk mencari lagi. Musim panas lalu, dari Sakai ia naik salah satu kapal Kobayashi Tarozaemon dan pergi ke Shikama, sebuah kampung nelayan yang terletak di muara segi tiga, tempat terjunnya Sungai Shikama ke Laut Pedalaman.

Ingat bahwa pengasuhnya ketika bayi telah kawin dengan seorang pencelup dari Shikama, Otsu mencarinya, dan kemudian tinggal bersamanya. Karena keluarga itu miskin, Otsu merasa wajib membantu mencelup, dan memang itu pekerjaan gadis-gadis muda. Sering mereka bekerja sambil menyanyi. Orang-orang kampung berkata, dari suara seorang gadis mereka dapat menetapkan apakah ia sedang jatuh cinta pada salah seorang nelayan muda.

Otsu membasuh tangannya dan menghapus keringat dari dahinya, kemudian mempersilakan Mambei duduk dan beristirahat di beranda.

Orang itu menolak dengan kibasan tangan, katanya, "Anda datang dari Kampung Miyamoto, kan?"

"Ya."

"Saya kadang datang ke kampung itu, membeli rami. Belum lama ini saya mendengar desas-desus..."

"Ya?"

"Tentang Anda."

"Tentang saya?"

"Saya juga mendengar tentang orang yang namanya Musashi."

"Musashi?" Hati Otsu serasa melompat kegirangan, dan pipinya memerah.

Mambei tertawa kecil. Waktu itu musim gugur, tapi matahari masih cukup panas. la melipat saputangan, mengusapkannya ke dahi, kemudian berjongkok. "Apa Anda kenal dengan wanita bernama Ogin?" tanyanya.

"Maksud Bapak, kakak perempuan Musashi?"

Mambei mengangguk kuat-kuat. "Saya jumpa dengan dia di Kampung Mikazuki di Sayo. Kebetulan saya menyebutkan nama Anda, dan dia kelihatan terkejut sekali."

"Apa Bapak sebutkan padanya alamat saya?"

"Ya. Saya merasa tak ada jeleknya menyebutkan itu."

"Di mana dia tinggal sekarang?"

"Dia tinggal dengan samurai bernama Hirata—saya pikir salah seorang keluarganya. Dia bilang ingin sekali ketemu Anda. Beberapa kali dia menyatakan merasa kehilangan Anda, dan banyak sekali yang hendak diceritakannya pada Anda. Sebagiannya rahasia, menurutnya. Saya rasa waktu itu dia sudah hampir menangis."

Mata Otsu memerah.

"Di tengah jalan waktu itu tak ada tempat buat menulis surat, karena itu dia minta saya menyampaikan pada Anda supaya datang ke Mikazuki. Dia bilang ingin datang Iceman, tapi belum bisa sekarang." Mambei berhenti. "Tak banyak yang dia katakan, tapi menurutnya dia sudah dengar kabar dari Musashi." Ia menambahkan bahwa ia akan pergi ke Mikazuki hari berikutnya, dan menyarankan pada Otsu untuk pergi bersamanya.

Pikiran Otsu seketika itu juga sudah bulat, tapi ia merasa harus berbicara dahulu dengan istri pencelup. "Petang ini saya akan memberi kabar," katanya.

"Bagus. Kalau nanti Anda putuskan pergi, kita mesti berangkat pagi-pagi." Walaupun di latar belakang terdengar debur ombak laut, suara orang itu keras sekali, sedangkan jawaban Otsu yang pelan terdengar agak gemetar.

Ketika Mambei keluar dari pintu gerbang, seorang samurai muda yang selama itu duduk di pantai sambil menggosok-gosok segenggam pasir, berdiri dan memperhatikannya dengan tajam, seakan-akan hendak membenarkan apa yang terkandung dalam pikirannya tentang laki-laki itu. Samurai itu berpakaian bagus, dan mengenakan topi anyaman jerami yang bentuknya seperti daun gingko, dan tampaknya berumur delapan belas atau sembilan belas tahun. Ketika pedagang rami itu sudah lenyap dari pandangan, ia berbalik dan memperhatikan rumah tukang celup.

Walaupun merasa sangat gembira mendengar kabar dari Mambei, Otsu mengambil juga palunya dan melanjutkan pekerjaannya. Bunyi palu-palu lain yang diiringi nyanyian, mengambang di udara. Tak ada suara keluar dari bibir Otsu ketika ia bekerja, tapi dalam hatinya ia menyanyikan lagu cinta kepada Musashi. Kini diam-diam ia membisikkan sajak koleksi kuno:


Sejak pertemuan pertama kita,

Cintaku lebih dalam

Dari cinta orang-orang lain,

Walau tak sebanding dengan warna-warna

Kain dari Shikama.


Ia yakin bahwa kalau ia mengunjungi Ogin, ia akan tahu di mana Musashi tinggal. Dan Ogin seorang wanita juga. Akan lebih mudah menyampaikan perasaannya.

Pukulan palunya makin lama makin lemah, sampai hampir menjarang jaraknya. Ia merasa lebih bahagia sesudah sekian lama. Kini ia paham perasaan penyair itu. Sering laut tampak sendu dan asing, tapi hari itu laut tampak memesona, dan ombak tampak menyemburkan harapan, walaupun lemah.

Ia gantungkan kain itu pada tiang pengering yang tinggi, dengan hati masih menyanyi, kemudian ia berjalan ke luar, lewat pintu gerbang yang tinggal terbuka. Dengan sudut matanya ia dapat melihat samurai muda yang berjalan tenang di sepanjang tepi air. Ia tidak tahu siapa samurai itu, namun samurai itu memikat perhatiannya. Di luar itu, ia tidak melihat apa pun yang lain, tidak juga seekor burung yang melaju bersama angin laut.

Tujuan mereka tidak terlalu jauh; seorang perempuan dapat menempuhnya tanpa susah payah, dengan satu kali singgah. Sekarang hampir tengah hari.

"Saya minta maaf telah menyusahkan Bapak," kata Otsu.

"Tidak susah. Kaki Anda rupanya kuat berjalan," kata Mambei.

"Saya biasa jalan."

"Saya dengar Anda telah pergi ke Edo. Untuk seorang wanita, itu tempat yang cukup jauh juga, kalau ditempuh sendirian."

"Apa istri tukang celup mengatakannya pada Bapak?"

"Ya. Saya sudah dengar semuanya. Orang Miyamoto membicarakannya juga."

"Oh, mereka juga!" kata Otsu, sedikit mengerutkan kening. "Sungguh bikin malu."

"Anda tak perlu merasa malu. Kalau Anda begitu cinta pada seseorang, siapa yang bisa bilang Anda mesti dikasihani atau diberi ucapan selamat? Tapi rupanya Musashi ini sedikit dingin hatinya."

"Ah, tidak... sama sekali tidak."

"Anda tidak benci pada kelakuannya?"

"Sayalah yang mestinya disalahkan. Latihan dan disiplin, itu minatnya yang tunggal dalam hidup ini, tapi saya ini tak juga mau mengerti."

"Oh, menurut saya tak ada salahnya sikap itu."

"Tapi rasanya sudah banyak saya menimbulkan kesulitan padanya."

"Hm. Istri saya mestinya mendengar ini. Begitu mestinya sikap wanita."

"Apa Ogin sudah kawin?" tanya Otsu.

"Ogin? Ah, saya kurang tahu," kata Mambei, kemudian mengubah pokok pembicaraan. "Oh, itu ada warung teh. Mari kita istirahat sebentar."

Mereka masuk dan memesan teh untuk teman makan slang. Ketika mereka sedang menyelesaikan makan siang, beberapa tukang kuda dan kuh menegur Mambei dengan nada sudah kenal lama.

"Hei, kenapa kau tidak singgah main di Handa hari ini? Semua orang mengeluh—seluruh uang kami sudah kaubawa kemarin itu."

Di tengah suasana ribut itu, ia membalas dengan teriakan, seakan-akan tak mengerti maksud mereka. "Aku tak perlu kudamu hari ini." Kemudian katanya cepat pada Otsu, "Kita terus?"

Ketika mereka meninggalkan warung itu dengan tergesa-gesa, salah seorang tukang kuda berkata, "Tak heran dia menolak kita. Coba lihat gadis itu!"

"Kulaporkan istrimu, Mambei!"

Mereka mendengar lebih banyak lagi komentar senada, tapi mereka berjalan terus cepat-cepat. Toko Asaya Mambei di Shikama tentulah tidak tergolong rumah usaha yang penting di sana. Mambei membeli rami di kampung-kampung yang berdekatan, lalu mengirimkannya kepada para istri dan anak gadis nelayan untuk membuat layar, jaring, dan barang-barang lain. Tapi ia pemilik usahanya sendiri, karena itu hubungannya yang demikian akrab dengan para kuli biasa sangat aneh bagi Otsu.

Seakan-akan untuk menghilangkan keraguan Otsu yang tak terucapkan itu, Mambei berkata, "Apa yang dapat kita lakukan dengan orang-orang urakan macam itu? Hanya karena saya menolong mereka dengan menyuruh mengangkut bahan dari gunung, lalu mereka bersikap akrab macam itu!"

Mereka menginap di Tatsuno, dan ketika berangkat lagi pagi berikutnya, Mambei tetap bersikap baik dan siap menolong, seperti biasa. Sampai di Mikazuki, hari mulai gelap di perbukitan kaki glinting.

"Mambei," tanya Otsu kuatir, "apa ini bukan Mikazuki? Kalau kita melintasi gunung ini, kita akan sampai di Miyamoto." Otsu sudah mendengar bahwa Osugi sudah kembali ke Miyamoto lagi.

Mambei berhenti. "Ya, itu di seberang sana. Apa kau rindu pulang?"

Otsu mengangkat mata, memandang punggung pegunungan yang hitam berombak-ombak itu, juga langit petang. Daerah itu terasa sangat sepi, seolah-olah orang-orang yang mestinya ada di sana menghilang semua.

"Sedikit lagi," kata Mambei sambil berjalan terus. "Apa kau lelah?"

"Oh, tidak. Bapak?"

"Tidak. Saya terbiasa dengan jalan ini. Saya selalu lewat jalan sini."

"Lalu di mana rumah Ogin?"

"Di sana," jawab Mambei sambil menunjuk. "Dia pasti sedang menanti kita."

Mereka berjalan sedikit lebih cepat. Ketika mereka sampai di tempat yang semakin terjal lerengnya, tampak di situ bertebaran rumah-rumah. Itu daerah persinggahan di jalan raya Tatsuno. Tempat itu boleh dikatakan cukup besar untuk dapat disebut kota, tapi di situ ada sebuah tempat makan murah "satu baki" yang dibanggakan, tempat para tukang kuda berkeluyuran, dan ada sejumlah penginapan murah berderet di kedua tepi jalan.

Begitu mereka meninggalkan kampung, Mambei berkata, "Kita mesti sedikit mendaki sekarang." Ia membelok meninggalkan jalan, dan mulai mendaki tangga batu terjal, menuju kuil setempat.

Seperti seekor burung kecil yang mencicit karena tiba-tiba suhu udara turun tajam, Otsu merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Apa Bapak yakin kita tidak salah jalan? Tak ada rumah-rumah di sekitar sini," katanya.

"Jangan kuatir. Ini tempat sepi, tapi duduklah dan istirahatlah di serambi tempat suci. Aku akan pergi memanggil Ogin."

"Kenapa begitu?"

"Apa kau lupa? Aku yakin sudah menyebutkannya. Ogin mengatakan kemungkinan ada tamu-tamu, hingga kurang enak kalau kau masuk. Rumahnya di sebelah rumpun ini. Aku akan segera kembali." Mambei bergegas menyusuri jalan setapak yang sempit, melintasi rumpun kriptomeria yang gelap.

Ketika langit petang semakin gelap, Otsu mulai gelisah. Daun-daun kering yang diruntuhkan angin berjatuhan ke pangkuannya. Ia iseng mengambil satu, dan menggulungnya membungkus jari-jarinya. Entah ketololan, entah kemurnian yang menjadikannya gambaran sempurna seorang gadis yang masih suci.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dari belakang kuil. Otsu melompat ke tanah.

"Jangan bergerak, Otsu!" perintah sebuah suara serak, menakutkan.

Otsu terengah-engah dan menutupkan tangan ke telinga.

Beberapa sosok bayangan muncul dari belakang kuil, mengepung tubuhnya yang menggeletar. Walaupun matanya tertutup, dengan jelas ia dapat melihat satu di antaranya, yang lebih mengerikan dan lebih besar dari yang lain, kuntilanak berambut putih yang sudah sering dilihatnya dalam mimpi-mimpi buruknya.

"Terima kasih, Mambei," kata Osugi. "Sekarang sumbat mulutnya, sebelum dia mulai menjerit, dan bawa dia ke Shimonosho. Cepat!" Bicaranya disertai wibawa menakutkan seorang Raja Neraka yang sedang mengutuk seorang pendosa untuk masuk api neraka.

Empat-lima lelaki itu agaknya perusuh-perusuh kampung yang masih ada hubungan dengan klan Osugi. Sambil berteriak setuju, mereka menghampiri Otsu seperti serigala memperebutkan korban, dan mengikatnya hingga tinggal kakinya yang bebas.

"Potong kompas!"

"Jalan!"

Osugi tinggal di belakang untuk mengatur segala sesuatunya bersama Mambei. Ia mengambil uang dari dalam obi-nya, dan katanya, "Baguslah kau sudah membawa dia. Aku takut kau tak bisa melakukannya." Kemudian tambahnya, "Jangan bilang apa-apa pada siapa pun."

Dengan pandangan puas, Mambei menyelipkan uang itu ke dalam lengan bajunya. "Ah, itu tidak begitu sulit," katanya. "Rencana Ibu bagus sekali jalannya."

"Ah, bagus juga tadi itu kelihatannya. Dia ketakutan, ya?"

"Lari pun dia tak bisa. Cuma berdiri! Ha, ha. Tapi barangkali... sedikit kejam juga kita."

"Apanya yang kejam? Oh, kalau kau tahu apa yang sudah kualami..."

"Ya, ya, Ibu sudah menceritakannya."

"Nah, aku tak dapat membuang-buang waktu di sini. Aku mesti ketemu lagi denganmu hari-hari ini. Kunjungi kami di Shimonosho."

"Hati-hati, Bu, jalan itu tak mudah ditempuh," seru Mambei sambil menoleh, ketika la mulai menuruni tangga yang panjang gelap itu. Mendengar bunyi terengah, Osugi memutar tubuh, dan serunya, "Mambei! Kaukah itu? Ada apa?"

Tak ada jawaban.

Osugi berlari sampai puncak tangga. Di situ ia memekik kecil, kemudian menahan napas ketika melihat bayangan orang berdiri di samping tubuh yang sudah roboh, dengan pedang terjulur ke bawah, bercucuran darah.

"Si... siapa di situ?"

Tak ada jawaban.

"Siapa kau?" Suara Osugi kering dan tegang. Umur tua tidak menghapuskan kepongahan penuh gertakan itu.

Bahu orang itu bergetar sedikit karena tertawa. "Ini aku, kuntilanak tua!"

"Siapa kau?"

"Kau tak kenal aku?"

"Belum pernah aku mendengar suaramu. Perampok, mestinya."

"Tak ada perampok yang mau mengurusi perempuan semiskin kau."

"Jadi, kau sudah mengawasi aku, ya?"

"Betul."

"Aku?"

"Kenapa tanya dua kali? Tidak bakal aku jauh-jauh datang ke Mikazuki, kalau cuma buat membunuh Mambei. Aku datang buat memberimu pelajaran."

"Eh?" Tenggorokan Osugi seperti mau meletus. "Kau salah sasaran. Tapi siapa kau? Namaku Osugi. Aku janda Keluarga Hon'iden."

"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Ini menghidupkan kembali semua dendamku. Tukang sihir! Apa kau lupa pada Jotaro?"

"Jo-jo-taro?"

"Dalam tiga tahun, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak umur tiga tahun. Kau sekarang sudah menjadi sebatang potion tua, sedangkan aku pohon muda. Maaf kalau kukatakan, kau tak bisa lagi memperlakukan aku macam anak ingusan."

"Betul-betul tak bisa dipercaya. Apa betul kau ini Jotaro?"

"Kau terpaksa membayar atas segala kesusahan yang sudah kautimpakan pada guruku bertahun-tahun lamanya. Dia menghindarimu, cuma karena kau sudah tua, dan dia tak ingin menyakitimu. Kau memanfaatkan hal itu dengan ngeluyur ke mana-mana, bahkan sampai ke Edo, menyebarkan desas-desus jahat tentang dia, dan berbuat seolah kau punya alasan sah membalas dendam kepadanya. Kau malahan bertindak begitu jauh, sampai menghalangi pengangkatannya untuk kedudukan yang baik."

Osugi terdiam.

"Tapi kejahatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau membikin sengsara Otsu dan mencoba melukai dia. Kupikir kau sudah meninggalkan semua itu, dan menetap di Miyamoto. Tapi ternyata kau masih juga sibuk, menggunakan Mambei buat melaksanakan rencana terhadap Otsu."

Osugi masih juga diam.

"Apa kau tak pernah capek membenci? Oh, aku bisa dengan mudah sekali memotongmu jadi dua, tapi untung aku bukan lagi anak samurai yang suka nyeleweng. Ayahku, Aoki Tanzaemon, sudah kembali ke Himeji, dan sejak musim semi lalu mengabdi pada Keluarga Ikeda. Supaya tidak bikin dia malu, aku menahan diri untuk membunuhmu."

Jotaro mendekat beberapa langkah. Karena tak tahu harus mempercayainya atau tidak, Osugi mundur dan mencari-cari cara meloloskan diri.

Karena dikiranya ia dapat lolos, ia lari kencang ke jalan yang ditempuh orang-orang tadi. Jotaro mengejarnya dengan satu lompatan saja, lalu mencekal lehernya.

Osugi membuka mulut lebar-lebar, berteriak, "Apa ini?" Ia memutar badan dan menarik pedang dengan gerak memutar juga, lalu memukul Jotaro, tapi meleset.

Jotaro mengelak dan mendorongnya keras ke depan. Kepala Osugi membentur keras ke tanah.

"Ya, ya, jadi kau sudah mendapat sedikit ilmu ya?" rintihnya dengan wajah setengah terbenam di rumput. Agaknya ia belum dapat mengubah pikirannya bahwa Jotaro masih anak-anak.

Sambil menggeram, Jotaro menginjakkan satu kakinya ke punggung Osugi yang sangat rapuh itu, dan tanpa kenal kasihan ia pilin satu tangan Osugi ke punggung.

Ia seret perempuan itu ke depan kuil, kemudian ia injak dengan satu kakinya, tapi ia tak dapat memutuskan apa yang akan diperbuatnya.

Ia masih harus memikirkan Otsu. Di mana Otsu sekarang? Ia mengetahui Otsu ada di Shikama secara kebetulan. Sekalipun mungkin itu karena karma mereka saling terkait. Sejalan dengan penerimaan kembali ayahnya, Jotaro memperoleh juga kedudukan. Ketika ia sedang melaksanakan suruhan, terlihat olehnya seorang perempuan mirip Otsu lewat celah pagar. Dua hari lalu ia kembali ke pantai itu, untuk membuktikan kesannya.

Ia berterima kasih kepada dewa-dewa yang telah mempertemukannya dengan Otsu, tapi sementara itu dendamnya terhadap Osugi yang sudah lama terpendam, tersulut kembali, gara-gara cara Osugi mengejar-ngejar Otsu. Kalau perempuan tua itu tidak disingkirkan, takkan mungkin Otsu bisa hidup tenang. Jotaro merasa tergoda untuk bertindak. Tapi membunuh perempuan itu berarti melibatkan ayahnya dalam perselisihan dengan keluarga samurai desa. Mereka itu orang-orang yang paling banyak membuat kesulitan. Kalau tersinggung oleh pengikut langsung seorang daimyo, pasti mereka menimbulkan kesulitan.

Akhirnya ia putuskan bahwa yang terbaik adalah menghukum Osugi dengan cepat, kemudian memfokuskan diri untuk menyelamatkan Otsu.

"Aku tahu tempat yang cocok buatmu," katanya. "Ayo ikut!"

Osugi bergayut sekuat-kuatnya ke tanah, biarpun Jotaro berusaha menyentakkannya. Jotaro lalu menangkap pinggangnya, mengempitnya, dan membawanya ke belakang kuil. Sisi bukit sudah digunduli orang waktu kuil itu dibangun, dan di sana terdapat gua kecil dengan jalan masuk hanya cukup dirangkaki satu orang.


Otsu dapat melihat cahaya satu-satunya di kejauhan. Kalau tidak, segalanya pasti gelap gulita-gunung-gunung, ladang-ladang, sungai-sungai, dan Celah Mikazuki yang baru saja mereka seberangi lewat jalan karang setapak. Kedua orang yang ada di depan menuntunnya dengan tali, seperti biasa dilakukan terhadap seorang penjahat.

Mendekati Sungai Sayo, orang yang di belakang berkata, "Berhenti sebentar. Apa yang terjadi dengan perempuan tua itu? Dia bilang tadi segera menyusul."

"Ya, mestinya dia sudah sampai sini sekarang."

"Kita bisa saja berhenti di sini beberapa menit. Atau terus sampai Sayo dan menunggu di warung teh. Orang-orang barangkali sudah tidur semua, tapi kita dapat membangunkan mereka."

"Mari kita menanti di sana. Kita bisa minum secangkir-dua cangkir sake."

Mereka mencari tempat dangkal di sepanjang sungai, dan mulai menyeberang, tapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Semenit-dua menit kemudian, suara itu terdengar lagi dari tempat yang jauh lebih dekat.

"Apa perempuan tua itu, ya?"

"Tidak, kedengarannya suara lelaki."

"Tak mungkin dia ada hubungannya dengan kita."

Air sungai itu sama dinginnya dengan pedang, terutama bagi Otsu. Pada saat mereka mendengar suara kaki berlari, si pengejar sudah sampai.

Disertai percikan air yang riuh, ia berhasil mendahului mereka sampai di seberang sungai, dan langsung menghadang. "Otsu?" panggil Jotaro.

Menggigil karena percikan air yang mengenainya, ketiga orang itu merapat di sekeliling Otsu dan berdiri di tempat.

"Jangan bergerak!" teriak Jotaro dengan tangan direntangkan.

"Siapa kau?"

"Tak perlu tanya. Lepaskan Otsu!"

"Gila, ya? Apa kau tidak pakai otak? Kau bisa mati ikut-ikutan urusan orang lain."

"Osugi bilang, kalian mesti menyerahkan Otsu padaku."

"Enak saja bohong." Ketiga orang itu tertawa.

"Aku tidak bohong. Lihat ini!" Jotaro mengulurkan secarik kertas tisu berisi tulisan Osugi. Isinya singkat, "Keadaan jadi rusak. Kalian tak bias berbuat apa-apa. Serahkan pada Jotaro, lalu kembali jemput aku."

Dengan kening berkerut, orang-orang itu menatap Jotaro, lalu naik ke darat.

"Apa kalian tak bisa baca?" cela Jotaro.

"Tutup mulut! Kukira kau ini Jotaro."

"Betul. Namaku Aoki Jotaro."

Otsu menatap tajam-tajam ke arah Jotaro. Ia gemetar sedikit, karena takut dan sangsi. Tapi karena bingung apa yang hendak diperbuatnya, ia menjerit, terengah-engah, dan terhuyung-huyung.

Orang yang terdekat dengan Jotaro berteriak, "Sumbatannya kendur! Betulkan!" Kemudian katanya mengancam pada Jotaro, "Tak ragu lagi, ini tulisan perempuan tua itu. Tapi kenapa dia? Apa maksudnya 'kembali jemput aku'?"

"Dia kusandera," kata Jotaro angkuh. "Berikan Otsu padaku, nanti kusebutkan di mana dia."

Ketiga orang itu saling pandang. "Oh, kau mencoba melucu, ya?" tanya seseorang. "Apa kau tahu siapa kami ini? Setiap samurai di Himeji mesti kenal Keluarga Hon'iden di Shimonosho, itu kalau kau memang datang dari Himeji."

"Ya atau tidak—jawab! Kalau Otsu tidak kalian serahkan, kutinggalkan perempuan tua itu di tempatnya, sampai dia mati kelaparan!"

"Bajingan kecil!"

Satu orang mencengkeram Jotaro, yang lain menghunus pedangnya dan memasang jurus. Orang yang pertama menggeram, "Kalau kau terus omong kosong macam itu, kupatahkan lehermu. Di mana Osugi?"

"Kalian berikan Otsu, tidak?"

"Tidak!"

"Kalau begitu, kalian takkan temukan dia. Serahkan Otsu, supaya dapat kita akhiri semua ini tanpa mesti ada yang terluka."

Orang yang mencengkeram lengan Jotaro menariknya ke depan dan mencoba menjegalnya.

Dengan menggunakan kekuatan lawan, Jotaro melontarkannya lewat bahunya. Tapi sesaat kemudian ia terduduk sambil menggenggam paha kanannya. Orang itu berhasil melecutkan pedangnya, dan memukul dengan gerak menyilang. Untunglah lukanya tidak dalam. Jotaro melompat bangkit bersama penyerangnya. Dua orang lainnya ikut menyerang.

"Jangan bunuh dia. Mesti kita tangkap dia hidup-hidup, kalau kita mau mendapatkan Osugi kembali."

Segera kemudian, Jotaro tidak lagi ragu terlibat dalam pertumpahan darah. Dalam perkelahian yang kemudian menyusul, ketiga orang itu berhasil menjatuhkannya. Jotaro meraung, menggunakan taktik yang beberapa saat sebelumnya digunakan orang-orang itu terhadapnya. Ia tarik pedang pendeknya, lalu menusuk langsung ke arah perut orang yang akan menerkamnya. Separuh lengan Jotaro jadi merah, seakan habis dicelup dalam tong cuka prem. Waktu itu yang terpikir olehnya hanyalah naluri untuk menjaga diri.

Ia berdiri lagi, memekik, dan menebas orang di hadapannya. Pedangnya mengenai tulang bahu, dan belokannya menghasilkan seiris daging sebesar ikan. Orang itu menjerit dan mencekal pedangnya, tapi terlambat.

"Bajingan! Bajingan!" Sambil memekik setiap memukulkan pedangnya, Jotaro mengusir kedua orang yang lain, dan berhasil membuat luka besar pada seorang di antaranya.

Mereka menganggap sudah semestinya mereka lebih unggul daripada Jotaro, tapi sekarang mereka kehilangan kendali diri, dan hanya bisa mengayun-ayunkan senjata secara serampangan.

Otsu hilang akal dan berlari berputar-putar, sambil dengan kalut mencoba melepaskan ikatan tangannya. "Hei, tolong! Selamatkan dia!" Tapi kata-katanya segera lenyap, tenggelam dalam bunyi sungai dan suara angin.

Tiba-tiba ia sadar bahwa seharusnya ia tidak berteriak minta tolong, melainkan mengandalkan kekuatannya sendiri. Sambil memekik-mekik kecil berputus asa, ia merebahkan diri ke tanah dan mulai menggosok-gosokkan tali itu ke sisi batu yang tajam. Berhubung tali itu hanya tali jerami yang longgar pintalannya dan dipungut dari pinggir jalan, segera kemudian ia dapat membebaskan diri.

Ia pungut sejumlah barn, lalu lari langsung ke tempat perkelahian. "Jotaro!" panggilnya, ketika ia melemparkan sebuah batu ke wajah satu orang. "Aku di sini juga. Pasti beres!" Satu batu lagi. "Tahan dulu!" Dan satu batu lagi. Tapi, seperti dua barn sebelumnya, batu itu tidak mengenai sasaran. Ia lari kembali, mengambil batu yang lain.

"Anjing!" Dengan dua lompatan saja, satu orang berhasil melepaskan diri dari Jotaro dan memburu Otsu. Baru saja ia akan memukulkan punggung pedangnya ke punggung Otsu, Jotaro sudah tiba di dekatnya. Jotaro menghunjamkan pedang demikian dalam ke belakang pinggang orang itu, hingga hulu pedang menyembul dan pusarnya.

Orang yang lain, dalam keadaan luka dan linglung, mulai menyelinap dan lari sempoyongan.

Jotaro berdiri mengangkangi mayat itu, menarik pedangnya, dan berteriak, "Berhenti!"

Ia mulai mengejar, tapi Otsu menubruknya keras-keras, dan menjerit, "Jangan kejar! Tak boleh menyerang orang luka parah yang sedang lari."

Hebatnya permohonan Otsu itu mengagetkan Jotaro. Ia tak dapat membayangkan, alasan psikologis apa yang menggerakkan gadis itu untuk bersimpati kepada orang yang baru saja menyiksanya.

Kata Otsu, "Aku ingin tahu, apa yang kaulakukan bertahun-tahun ini. Aku pun punya banyak cerita buatmu. Dan kita mesti keluar dari sini selekas mungkin."

Jotaro segera menyetujui, karena ia tahu bahwa kalau berita tentang peristiwa itu sampai di Shimonosho, orang-orang Hon'iden akan mengerahkan seluruh kampung untuk mengepung mereka.

"Kakak bisa lari?"

"Ya. Jangan kuatir tentang aku."

Dan mereka pun berlari, terus lari melintasi kegelapan, sampai kehabisan napas. Bagi keduanya, keadaan itu terasa seperti masa lalu, ketika mereka masih seorang gadis remaja dan seorang anak, bepergian bersama.


DI Mikazuki, lampu yang tampak hanyalah yang ada di penginapan. Satu menyala dalam bangunan utama, di mana sekelompok musafir tadi duduk melingkar, bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Mereka terdiri atas seorang pedagang logam yang, untuk kepentingan usahanya, datang ke tambang-tambang setempat, seorang pedagang benang dari Tajima, dan seorang pendeta pengembara. Kini mereka bertiga sudah berlayar di alam mimpi.

Jotaro dan Otsu duduk bercakap-cakap dekat lampu lain, di sebuah ruangan kecil yang terpisah, di mana ibu pemilik penginapan tinggal bersama mesin pintal dan kuali-kuali perebus ulat sutra. Pemilik penginapan sudah menduga pasangan yang diterimanya itu sedang lari, tapi ia menyuruh juga orang menyiapkan ruangan untuk mereka.


Kata Otsu, "Jadi, kau juga tidak melihat Musashi di Edo." Dan ia menyampaikan cerita selama beberapa tahun terakhir itu pada Jotaro.

Jotaro jadi susah bicara, karena sedih mendengar Otsu belum bertemu dengan Musashi sejak peristiwa di jalan raya Kiso itu. Namun menurutnya ia dapat memberikan cahaya harapan pada Otsu.

"Memang tak bisa dijadikan pegangan," katanya, "tapi kudengar desas-desus di Himeji, Musashi akan segera datang."

"Ke Himeji? Apa mungkin?" tanya Otsu, yang ingin sekali menangkap harapan sekecil apa pun.

"Itu cuma kata orang, tapi orang-orang di perdikan kami bilang sepertinya sudah diputuskan. Kata mereka, dia akan lewat dalam perjalanan ke Kokura. Di situ dia berjanji akan melayani tantangan Sasaki Kojiro, salah seorang abdi Yang Dipertuan Hosokawa."

"Pernah aku mendengar berita macam itu juga, tapi tak dapat aku menemukan orang yang mendengar berita itu dari Musashi sendiri, atau tahu di mana dia berada."

"Nah, kabar yang beredar sekitar Benteng Himeji itu barangkali dapat dipercaya. Rupanya Hanazono Myoshinji di Kyoto, yang mempunyai hubungan akrab dengan Keluarga Hosokawa itu, menyampaikan pada Yang Dipertuan Hosokawa tentang tempat Musashi, dan Nagaoka Sado yang menjadi abdi senior menyampaikan surat tantangan pada Musashi."

"Apa kira-kira pertarungan akan segera berlangsung?"

"Aku tidak tahu. Rupanya tak ada orang yang tahu pasti, tapi kalau tempatnya di Kokura, dan kalau Musashi ada di Kyoto, dia pasti lewat Himeji."

"Tapi dia bisa naik perahu."

Jotaro menggeleng. "Kukira tidak. Daimyo di Himeji dan Okayama, dan lain-lain perdikan sepanjang Laut Pedalaman, akan minta dia singgah semalam-dua malam. Mereka ingin melihat, orang macam apa dia itu, dan mencoba mengetahui pendapatnya, apa dia tertarik pada suatu kedudukan. Yang Dipertuan Ikeda menulis surat pada Takuan. Kemudian dia mencari keterangan di Myoshinji, dan memerintahkan pada para pedagang besar di daerahnya untuk lapor, kalau mereka melihat orang yang cocok dengan gambaran Musashi."

"Semakin kuat alasan untuk menduga Musashi takkan pergi lewat jalan darat. Dia paling benci keributan. Kalau dia tahu itu, dia akan berusaha keras menghindarinya." Otsu tampak tertekan, seolah-olah tiba-tiba ia kehilangan harapan. "Bagaimana menurutmu, Jotaro?" tanyanya memohon. "Kalau aku pergi ke Myoshinji, apa menurutmu aku akan mendapat keterangan?"

"Yah, barangkali, tapi Kakak mesti ingat, itu cuma kata orang."

"Tapi tentunya ada alasannya orang berkata begitu. Ya, tidak?"

"Apa Kakak mau ke Kyoto?"

"Oh, ya. Aku mau pergi sekarang juga.... Nah, besoklah."

"Jangan buru-buru begitu. Itu sebabnya Kakak selalu gagal bertemu Musashi. Begitu mendengar desas-desus, Kakak terima itu sebagai kenyataan, dan langsung terbang. Kalau Kakak mau tahu letak burung bulbul, Kakak mesti lihat tempat di depan sumber suaranya. Kelihatannya Kakak ini selalu membuntuti Musashi, bukan mencegat tempat yang akan didatanginya."

"Yah, mungkin saja, tapi cinta memang tidak logis." Karena sebelumnya Otsu tidak memikirkan kata-katanya, ia terkejut melihat wajah Jotaro yang memerah mendengar kata "cinta" itu. Tapi dengan segera ia dapat memulihkan perasaannya, dan katanya, "Terima kasih atas nasihat itu. Akan kupikirkan."

"Ya, pikirkanlah, tapi sementara itu ayo kembali ke Himeji denganku."

"Baiklah."

"Kuminta Kakak datang ke rumah kami." Otsu terdiam.

"Kalau ditilik kata-kata ayahku, kukira dia kenal Kakak cukup baik sebelum Kakak meninggalkan Shippoji.... Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi dia bilang ingin ketemu Kakak sekali lagi, dan bicara dengan Kakak."

Lilin hampir habis. Otsu menoleh dan memandang langit dari bawah tepian atap yang sudah compang-camping. "Hujan," katanya.

"Hujan? Padahal kita mesti jalan ke Himeji besok."

"Ah, cuma hujan musim gugur. Kita pakai topi hujan." "Tapi aku lebih suka kalau langit cerah."

Mereka menutup tirai hujan dari kayu, dan segera kemudian kamar pun menjadi sangat hangat dan lembap. Jotaro sadar benar akan semerbak wangi wanita dari tubuh Otsu.

"Tidurlah," katanya. "Aku akan tidur di sini." Ia letakkan bantal kayu di bawah jendela, kemudian ia berbaring miring menghadap dinding.

"Kakak belum tidur?" gumam Jotaro. "Kakak mesti tidur." Ia tarik seprai tipis itu ke atas kepalanya, tapi masih juga ia berguling dan bergolek beberapa waktu, sebelum akhirnya tidur lelap.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP