Buah Delima
TAKUAN dan Iori tiba
di tempat semayam Yang Dipertuan Hoko Ujikatsu di Ushigome, hari itu juga.
Seorang abdi muda yang bertugas di pintu gerbang menyampaikan kedatangan
Takuan, dan beberapa menit kemudian Shinzo keluar.
"Ayah saya
sedang di Benteng Edo," kata Shinzo. "Apa tak ingin Anda masuk dan
menunggu?"
"Di
benteng?" tanya Takuan. "Kalau begitu saya terus saja, karena itulah
tujuan saya. Bagaimana kalau saya tinggalkan Iori ini pada Anda?"
"Boleh
saja," jawab Shinzo, disertai senyuman dan pandangan cepat ke arah Iori.
"Boleh saya pesankan joli untuk Anda?"
"Kalau tidak
keberatan."
Baru saja joli
berpernis itu hilang dari pandangan, Iori sudah berada di kandang kuda, memperhatikan
satu demi satu kuda-kuda cokelat dan kelabu berbintik-bintik yang terpelihara
baik, milik Yang Dipertuan Ujikatsu. la terutama mengagumi wajah kuda-kuda itu.
Menurut pendapatnya, wajah kuda-kuda itu jauh lebih bangsawan daripada wajah
kuda-kuda kerja para kenalannya. Namun di sini tersembunyi tanda tanya besar;
bagaimana mungkin golongan prajurit menyimpan kuda dalam jumlah besar, dan
semua kuda itu hanya menganggur, dan tidak digunakan untuk kerja di ladang?
Baru saja ia mulai
membayangkan tentara berkuda berbaris menuju pertempuran, suara Shinzo yang
keras mengalihkan perhatiannya. Ia memandang ke arah rumah, dengan dugaan akan
dicaci maki, tapi ternyata terlihat olehnya bahwa sasaran kemarahan Shinzo
adalah seorang perempuan tua kurus yang bertongkat, dan wajahnya tampak keras
kepala.
"Pura-pura
keluar?" teriak Shinzo. "Buat apa ayah saya berpura-pura pada seorang
perempuan tua yang jelek dan tak dikenalnya?"
"Oh, jadi Anda
marah?" kata Osugi, menyindir tajam. "Kalau tak salah. Anda anak Yang
Dipertuan. Apa Anda tahu, berapa kali sudah saya datang kemari untuk bertemu
ayah Anda? Percayalah, bukan hanya beberapa kali, tapi tiap kali saya
diberitahu dia pergi!"
Shinzo sedikit
bingung, tapi katanya, "Tak peduli sudah berapa kali Nyonya datang. Ayah
saya tak suka menerima tamu. Kalau dia tak suka menemui Nyonya, kenapa pula
Nyonya terus datang?"
Tanpa rasa takut,
Osugi mengoceh, "Tak suka menerima tamu! Kalau begitu, kenapa dia hidup di
tengah orang banyak?" Dan ia menyeringai.
Terpikir oleh Shinzo
untuk memaki-maki perempuan itu, dan memberikan kesempatan padanya mendengar
detak pedang dilepas dari sarungnya, tapi ia tak ingin memperlihatkan kemarahan
yang tidak pada tempatnya, lagi pula ia tak yakin sikap itu akan mencapai
sasaran.
"Ayah saya tak
ada di sini," katanya dengan nada biasa. "Bagaimana kalau Nyonya
duduk di sini, dan menceritakan apa persoalannya?"
"Yah, saya pikir
akan saya terima tawaran Anda yang baik itu. Sudah jauh saya berjalan, dan kaki
saya sudah lelah." Ia duduk di ujung tangga dan mulai menggosok-gosok
lututnya. "Karena Anda bicara lembut pada saya, saya jadi malu telah
bicara keras. Nah, tolong sampaikan apa yang akan saya katakan pada ayah Anda,
kalau dia pulang nanti."
"Dengan senang
hati akan saya sampaikan."
"Saya datang
untuk menceritakan kepadanya soal Miyamoto Musashi."
Dengan wajah
bertanya-tanya, Shinzo berkata, "Ada apa dengannya?"
"Tidak, saya
hanya ingin ayah Anda tahu, orang macam apa dia itu. Ketika berumur tujuh belas
tahun, Musashi pergi ke Sekigahara dan ikut bertempur melawan orang Tokugawa.
Melawan orang Tokugawa! Tuan dengar itu? Dan lebih dari itu, dia sudah
melakukan banyak kejahatan di Mimasaka, sampai tak seorang pun di sana bicara
baik tentangnya. Dia sudah membunuh beberapa orang, dan dia melarikan diri dari
saya bertahun-tahun lamanya, karena itu saya berusaha membalas dendam
kepadanya, yang memang menjadi hak sava. Musashi itu gelandangan yang tak ada
gunanya, dan dia berbahava!"
"Tunggu..."
"Tidak, Anda
dengarlah dulu! Musashi itu main-main dengan perempuan yang menjadi tunangan
anak sava. Dia mencuri tunangan anak saya itu dan lari dengannya."
"Berhenti
dulu," kata Shinzo, mengangkat satu tangan sebagai protes. "Buat apa
Nyonya berkata begitu tentang Musashi?"'
"Saya lakukan
ini untuk kepentingan negeri ini," kata Osugi puas diri.
"Apa gunanya
memfitnah Musashi buat negeri ini?"
Osugi membenahi
dirinya kembali, katanya, 'Saya dengar bajingan berlidah licin itu akan segera
ditunjuk menjadi instruktur keluarga shogun."
"Di mana Nyonya
dengar itu?"
"Dari seorang
lelaki di dojo Ono. Saya dengar dengan telinga saya sendiri."
"Begitu?"
"Babi macam
Musashi itu tidak boleh dibiarkan ada dekat shogun, apalagi ditunjuk jadi guru.
Guru Keluarga Tokugawa berarti guru seluruh bangsa. Memikirkan hal itu saja
saya sudah muak. Saya ada di sini buat memperingatkan Yang Dipertuan Hojo,
karena saya dengar dia yang mengusulkan Musashi. Anda mengerti sekarang?"
Ia mengisap air liur dari sudut-sudut mulutnya, dan lanjutnya,
"Memperingatkan ayah Anda itu saya yakin balk buat negeri ini. Dan ada
baiknya saya peringatkan Anda juga. Hati-hatilah, supaya Anda tidak terkecoh
mulut manis Musashi."
Karena takut Osugi
akan terus bicara seperti itu berjam-jam lamanva. Shinzo mengerahkan
kesabarannya yang terakhir, kemudian menarik napas berat, dan katanya,
"Terima kasih. Saya mengerti maksud Nyonya. Akan saya sampaikan semua itu
pada ayah saya."
"Ya, tolonglah
sampaikan!"
Dengan wajah puas,
karena akhirnya mencapai tujuan yang diidamidamkan, Osugi pun bangkit dan
menuju pintu gerbang dengan sandalnya yang mendetap-detap di jalan.
"Perempuan tua
jelek kotor!" terdengar teriakan kekanak-kanakan.
Osugi terperanjat,
dan langsung menyalak, "Apa?... Apa?" sambil menoleiu ke sekitar,
hingga akhirnya ia melihat Iori di antara pepohonan, sedang menyeringai seperti
kuda.
"Makan
ini!" seru Iori, dan melemparkan buah delima ke Osugi. Buah itu begitu
keras menghantamnva, hingga pecah.
"Ow-w-w!"
jerit Osugi, mencengkeram dadanya.
Ia membungkuk
memungut benda itu, untuk dilemparkan pada Iori. tapi Iori sudah lari dan tidak
kelihatan lagi. Kini Osugi lari ke kandang. Baru saja ia memandang ke dalam,
seonggok tahi kuda yang masih lunak tepat menimpa wajahnya.
Sambil menggerutu dan
meludah, ia hapus kotoran itu dari mukanva dengan jari-jarinya. Air matanya
mulai mengalir. Sungguh menyedihkan bahwa sesudah menjelajahi negeri untuk
kepentingan anaknya, akhirnva beginilah kesudahannya!
Iori memperhatikan
dari jarak yang cukup aman, di belakang sebatang pohon. Melihat Osugi menangis
seperti anak kecil, tiba-tiba ia merasa malu sekali pada dirinya. Ia setengah
ingin pergi meminta maaf kepada Osugi. sebelum Osugi keluar pintu gerbang, tapi
rasa marah mendengar perempuan itu memfitnah Musashi belum lagi reda. Ia
berdiri saja beberapa waktu lamanya, sambil menggigit kuku, terombang-ambing
antara rasa kasihan dan dendam.
"Coba sini,
Iori. Sekarang kau bisa lihat Gunung Fuji yang merah itu." Suara Shinzo
datang dari sebuah ruangan di atas bukit.
Iori berlari ke sana
dengan perasaan lega luar biasa. "Gunung Fuji." Bayangan tentang
puncak gunung yang tercelup warna merah akibat cahaya petang itu mengosongkan
kepalanya dari segala macam pikiran lain.
Shinzo pun
kelihatannya sudah lupa akan percakapannya dengan Osugi.
Negeri Impian
IEYASU menyerahkan
kekuasaan ke-shogun-an kepada Hidetada pada tahun 1605, tapi ia masih terus
memerintah dari bentengnya di Suruga. Kini usaha meletakkan dasar-dasar bagi
kekuasaan baru sudah sebagian besar terlaksana, dan ia minta Hidetada mengambil
alih kewajiban-kewajiban yang memang menjadi haknya.
Ketika menyerahkan
kekuasaan itu, Ieyasu bertanya kepada anaknya, apa yang hendak dilakukannya.
Jawaban Hidetada,
"Saya akan membangun!" Kabarnya, jawaban tersebut sangat menyenangkan
hati shogun tua itu.
Berlawanan dengan di
Edo, Osaka masih sibuk melakukan persiapan-persiapan menghadapi pertempuran
terakhir. Jenderal-jenderal terkenal menyusun persekongkolan-persekongkolan
rahasia, kurir-kurir membawa pesan ke tanah-tanah perdikan tertentu,
pemimpin-pemimpin militer dan para ronin yang sudah dipecat, diberi tempat
berlindung dan upah. Amunisi ditimbun, lembing-lembing dipoles, dan parit-parit
didalamkan.
Makin lama makin
banyak orang kota meninggalkan kota-kota di barat, menuju kota yang sedang
menanjak di timur itu. Mereka acap kali berganti kesetiaan, karena takut
kemenangan Toyotomi akan berarti kembalinya permusuhan yang tak henti-hentinya.
Bagi para daimyo dan
pengikut yang tinggi kedudukannya, yang harus menentukan sikap apakah mereka
mempercayakan nasib anak cucu mereka kepada Edo atau Osaka, progam pembangunan
yang mengesankan di Edo itu merupakan alasan kuat untuk mendukung Keluarga
Tokugawa.
Hari ini, seperti
hari-hari lainnya, Hidetada sedang sibuk dengan hiburan yang disukainya. Dengan
pakaian seperti hendak pesiar ke pedesaan, ia tinggalkan daerah lingkaran
utama, dan pergi ke bukit di Fukiage untuk memeriksa pekerjaan pembangunan.
Kira-kira waktu
shogun beserta pengiringnya yang terdiri atas para menteri, ajudan pribadi, dan
para pendeta Budha berhenti untuk beristirahat, pecah keributan di kaki Bukit
Momiji.
"Hentikan
bajingan itu!"
"Tangkap
dia!"
Seorang penggali
sumur berlari berputar-putar, mencoba melepaskan diri dari beberapa tukang kayu
yang mengejarnya. la meluncur seperti kelinci di antara timbunan balok. Sejenak
ia bersembunyi di belakang gubuk para tukang plester, kemudian melejit ke arah
perancah dinding luar, dan mulai memanjat.
Sambil memaki
keras-keras, beberapa tukang kayu ikut memanjat dan berhasil menangkap kakinya.
Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, dengan kalut penggali sumur itu
menjatuhkan diri ke dalam onggokan serutan.
Tukang-tukang
menerkamnya, menendangi, dan memukulinya dari segala penjuru. Sungguh
mengherankan, ia tidak berteriak atau melawan, tapi mencengkeram erat-erat ke
tanah, seakan-akan hanya itulah harapan satusatunya.
Samurai yang
bertanggung jawab atas para tukang dan pengawas buruh datang berlari-lari.
"Ada apa di
sini?" tanya samurai itu.
"Dia menginjak
siku-siku saya, babi kotor ini!" dengking seorang tukang kayu.
"Siku-siku itu jiwa tukang kayu!"
"Sabar
kamu!"
"Coba, apa
tindakan Bapak, misalnya dia menginjak pedang Bapak?" tanya si tukang
kayu.
"Baiklah, cukup!
Shogun sedang beristirahat di bukit sana."
Mendengar kata
shogun, tukang kayu yang pertama pun tenang, tapi yang lain mengatakan,
"Dia mesti membersihkan diri. Dan dia mesti membungkuk kepada siku-siku,
minta maafl"
"Kami nanti yang
akan mengurus hukumannya," kata si pengawas. "Kalian kembali kerja di
sana!"
Kemudian ditangkapnya
kerah orang yang sudah letih itu, dan katanya, "Perlihatkan mukamu!"
"Ya, Pak."
"Kau salah
seorang penggali sumur, kan?"
"Betul,
Pak."
"Apa kerjamu di
sini? Ini bukan tempat kerjamu."
"Kemarin juga
dia di sini!" kata tukang kayu.
"Betul?"
tanya si pengawas, sambil menatap wajah pucat Matahachi. Dilihatnya wajah itu
terlalu lembut, terlalu halus untuk seorang tukang gali sumur.
Ia berunding dengan
si samurai sebentar, kemudian membawa Matahachi pergi. Matahachi disekap dalam
gudang kayu di belakang Kantor Pengawas Buruh, dan selama beberapa hari sesudah
itu, tak ada yang dilihatnya kecuali kayu api, sekarung-dua karung arang, dan
tong-tong pembuat acar. Kemungkinan terbongkarnya komplotan itu segera
membuatnya ketakutan.
Sebetulnya, begitu
berada di dalam benteng, ia telah menimbang-nimbang dan memutuskan bahwa
kalaupun mesti menjadi penggali sumur sepanjang sisa hidupnya, ia tak akan menjadi
pembunuh. Ia sudah melihat Shogun dan rombongannya beberapa kali, namun tidak
melakukan apa-apa.
Yang mendorongnya
datang ke kaki Bukit Momiji, setiap kali ada kesempatan di tengah waktu
istirahat, adalah kerumitan yang tak terduga-duga. Menurut rencana, sebuah
perpustakaan mesti dibangun, dan kalau selesai dibangun, pohon lokus itu akan
disingkirkan. Matahachi, dengan perasaan bersalah, menduga senapan itu pasti
akan ditemukan orang, dan itu berarti dirinya akan langsung dilibatkan dalam
komplotan. Namun ia belum mendapatkan waktu yang tepat—yaitu ketika tak ada
orang di sana—untuk menggali senapan dan menyingkirkannya.
Sedang tidur pun
keringatnya bercucuran. Sekali ia bermimpi berada di negeri orang mati, dan ke
mana pun ia memandang, yang tampak olehnya adalah pohon lokus. Beberapa malam
sesudah disekap dalam gudang kayu itu, ia bermimpi ibunya. Begitu nyata mimpi
itu, seperti siang hari. Osugi bukannya kasihan kepadanya, melainkan berteriak
marah dan melemparkan sekeranjang kepompong ke arahnya. Ketika kepompong itu
menghujani kepalanya, ia mencoba melarikan diri. Osugi mengejarnya, dan secara
ajaib rambutnya berubah menjadi kepompong-kepompong putih. la berlari terus,
tapi Osugi selalu ada di belakangnya. Basah kuyup oleh keringat, ia meloncat dari
karang terjal dan jatuh menembus kegelapan neraka, menuju kegelapan yang tak
ada akhirnya.
"Ibu! Maafkan
aku!" teriaknya seperti anak terluka, dan la terbangun oleh suaranya
sendiri. Kini kenyataan yang dihadapinya, yaitu kemungkinan datangnya maut, terasa
lebih mengerikan daripada mimpi itu sendiri.
Ia mencoba membuka
pintu, meskipun tahu pintu itu terkunci. Dengan putus asa ia panjat tong acar,
ia pecahkan jendela kecil di dekat atap, lalu menerobos ke luar. Ia menyelinap
di antara timbunan kayu, batu, dan onggok-onggokan tanah galian, lalu lari ke
dekat gerbang belakang sebelah barat. Pohon lokus itu masih ada! la menarik
napas puas.
Kebetulan ia
menemukan sebuah cangkul, dan ia pun mulai menggali, seakan-akan di situ la
berharap akan menemukan hidupnya sendiri. Gentar oleh bunyi yang
ditimbulkannya, ia berhenti dan memandang ke sekitar. Melihat tak ada orang,
mulai lagi ia menggali.
Kuatir orang lain
telah menemukan senapan itu, cangkul diayunkannya dengan kalut. Napasnya
menderu dan tidak tetap. Keringat dan debu bercampur menjadi satu, membuatnya
tampak seakan baru mandi lumpur. la mulai pening, tapi ia tak dapat berhenti.
Mata cangkul terantuk
suatu benda panjang. Cangkul ditepiskannya, lalu ia mengulurkan tangan untuk
mengeluarkan benda itu, dan pikirnya, "Kutemukan!"
Tapi perasaan lega
itu hanya berlangsung singkat. Benda itu ternyata tidak dibungkus kertas
minyak, tanpa kotak, dan tidak dingin seperti logam. la pegang benda itu, ia
angkat, kemudian ia jatuhkan. Cuma tulang lengan atau tulang kering yang putih
ramping.
Matahachi tak punya
semangat lagi untuk mengangkat cangkul. Rasanya seperti mimpi buruk lain lagi.
Padahal ia tahu dirinya sadar. Ia dapat menghitung seluruh daun yang ada di
pohon lokus itu.
"Untuk apa Daizo
berbohong?" pikirnya terheran-heran. la kitari pohon itu, sambil
menendang-nendang tanah.
Ia masih melingkari
pohon itu, ketika sesosok tubuh mendekatinya diam-diam dari belakang, dan
menepuk pelan punggungnya. Sambil tertawa keras, tepat di samping telinga
Matahachi, kata orang itu, "Tak bakal kau menemukannya!"
Sekujur tubuh
Matahachi lemas. Hampir ia jatuh ke dalam lubang. Sambil menoleh ke arah itu,
ia memandang kosong beberapa menit lamanya, kemudian memperdengarkan suara
parau heran.
"Ayo ikut
aku!" kata Takuan, menggandeng tangannya.
Matahachi tak dapat
bergerak. Jari-jarinya jadi mati rasa. Ia mencengkeram tangan pendeta itu.
Perasaan ngeri bercampur hina merayapi tubuhnya, dari tumit ke atas.
"Kau tidak
dengar, ya? Ayo ikut aku!" kata Takuan, memaki dengan matanya.
Lidah Matahachi
hampir sama kelunya dengan lidah orang bisu. "I-ni... saya bereskan...
tanah... saya..."
Tanpa nada kasihan,
Takuan berkata, "Tinggalkan! Buang-buang waktu. Apa yang dilakukan manusia
di bumi ini, baik atau buruk, seperti tinta di atas kertas. Semuanya itu tak
dapat dihapus, biar seribu tahun! Kaukira dengan menendang-nendang sedikit
tanah itu, apa yang telah kauperbuat akan hapus? Karena pikiran macam itulah,
hidupmu begitu berantakan. Sekarang ayo ikut aku. Kau ini penjahat, dan
kejahatanmu keji sekali. Akan kupotong kepalamu dengan gergaji bambu, dan
kulemparkan kau ke Kolam Darah di neraka." Ia jewer telinga Matahachi, dan
ia tarik pergi.
Takuan mengetuk pintu
gubuk tempat para pekerja dapur tidur.
"Coba satu orang
keluar sini!" katanya.
Seorang anak lelaki
keluar sambil menggosok matanya yang mengantuk. Ketika mengenali orang itu
sebagai pendeta yang tadi dilihatnya berbicara dengan shogun, barulah ia bangun
dan katanya, "Ya, Pak? Apa yang harus saya lakukan?"
"Buka gudang
kayu itu."
"Ada penggali
sumur yang disekap di sana."
"Tidak ada lagi
di sana. Dia ada di sini. Tak ada gunanya memasukkannya kembali lewat jendela,
karena itu buka pintunya."
Anak itu bergegas
memanggil pengawas. Pengawas berlari ke luar dan minta maaf, memohon Takuan
tidak melaporkan soal itu.
Takuan mendorong
Matahachi masuk gudang, kemudian ia sendiri masuk gudang juga, dan menutup
pintunya. Beberapa menit kemudian, ia menjulurkan kepala, katanya, "Kau
tentunya punya pisau cukur. Tajamkan pisau itu, dan bawa kemari."
Pengawas dan pekerja
dapur saling pandang, tak berani bertanya kepada pendeta, kenapa pendeta
menghendaki pisau cukur. Mereka mengasah pisau itu dan menyerahkannya kepada
pendeta.
"Terima
kasih," kata Takuan. "Sekarang kalian boleh kembali tidur."
Di dalam gudang itu
gelap gulita, hanya secercah cahaya bintang yang mengintip dari jendela yang
rusak. Takuan duduk di atas onggokan kayu bakar. Matahachi memerosotkan diri di
tikar bambu. Kepalanya tunduk penuh rasa malu. Lama tak ada yang berbicara. Karena
tak melihat pisau cukur itu, Matahachi pun bertanya-tanya dengan gelisah,
apakah Takuan memegang pisau itu.
Akhirnya Takuan
membuka mulut. "Matahachi, apa yang kaugali di bawah pohon lokus
itu?"
Diam.
"Aku bisa
menunjukkan padamu, bagaimana cara menggali sesuatu. Artinya, mengambil sesuatu
dari ketiadaan, memperoleh kembali dunia nyata dari negeri impian."
"Ya, Pak."
"Kau sedikit pun
tak mengerti kenyataan yang kumaksud. Tak sangsi lagi, kau masih ada di dunia
khayalmu. Nah, karena kau ini sama naifnya dengan bayi, terpaksa aku
mengunyahkan makanan otak untukmu.... Berapa tahun umurmu?"
"Dua puluh
delapan."
"Sama dengan
Musashi."
Matahachi
menangkupkan tangan ke wajahnya, dan tersedu-sedu.
Takuan tidak bicara,
sampai Matahachi puas menangis. Kemudian katanya, "Sungguh mengerikan,
kalau dipikirkan bahwa pohon lokus itu hampir menjadi tanda kuburan seorang
tolol. Kau menggali kuburanmu sendiri. Kau betul-betul sudah hampir memasukkan
dirimu ke dalamnya."
Matahachi merangkul
kaki Takuan, dan mohonnya, "Selamatkan saya! Oh, selamatkan saya. Mata
saya... mata saya terbuka sekarang. Saya sudah ditipu Daizo dari Narai."
"Tidak, matamu
tidak terbuka. Daizo juga tidak menipumu. Dia cuma mencoba memanfaatkan orang
paling tolol di dunia ini, orang tolol yang serakah, tidak punya pengalaman,
berpikiran sempit, tapi berani-berani menerima tugas yang akan ditolak oleh
siapa pun yang berakal sehat."
"Ya... ya...
saya memang orang tolol."
"Lalu menurutmu
siapa Daizo itu?"
"Saya tidak
tahu."
"Nama aslinya
Mizoguchi Shinano. Dia abdi Otani Yoshitsugu, teman akrab Ishida Mitsunari. Kau
tentunya ingat bahwa Mitsunari adalah salah satu pihak yang kalah di
Sekigahara."
"Oh," gagap
Matahachi. "Jadi, salah seorang prajurit yang sedang dilacak shogun?"
"Siapa lagi
orang yang hendak membunuh shogun? Kebodohanmu betul-betul keterlaluan."
"Dia tidak
mengatakan begitu pada saya. Dia cuma mengatakan benci Keluarga Tokugawa.
Menurutnya, akan baik buat negeri ini kalau Keluarga Toyotomi pegang kekuasaan.
Yang dibicarakannya cuma kerja demi kepentingan semua orang."
"Dan kau tidak
lagi bertanya pada diri sendiri, siapa sesungguhnya dia, kan? Tanpa menggunakan
kepalamu lagi, dengan berani kau menerima tugas darinya, menggali kuburanmu
sendiri! Jenis keberanianmu itu mengerikan, Matahachi."
"Apa yang mesti
saya lakukan sekarang?"
"Lakukan?"
"Ayolah, Takuan,
ayolah, tolong saya!"
"Lepaskan
aku!"
"Tapi... tapi
saya tidak benar-benar menggunakan senapan itu. Saya bahkan tidak
menemukannya!"
"Tentu saja kau
tidak menemukannya. Senapan itu tidak datang pada waktunya. Kalau Jotaro, yang
dikecoh untuk menjadi bagian persekongkolan mengerikan ini, sudah sampai Edo
seperti direncanakan, senapan itu kemungkinan sudah dikuburkan di bawah pohon
itu."
"Jotaro? Maksud
Anda, anak lelaki..."
"Sudahlah! Tak
ada urusannya denganmu. Yang ada hubungannya denganmu adalah kejahatan
pengkhianatan yang telah kaulakukan dan tak dapat diampuni, termasuk oleh
dewa-dewa dan sang Budha. Dan tak perlu kau berpikir dapat diselamatkan."
"Apa tak ada
jalan...?"
"Tentu saja tak
ada!"
"Kasihani
saya," Matahachi tersedu-sedu sambil bergayut pada lutut Takuan.
Takuan berdiri dan
menendangnya. "Goblok!" bentaknya dengan suara seolah akan
menerbangkan atap gudang itu. Kegarangan matanya tak dapat dilukiskan
lagi-seperti Budha yang menolak digayuti, seorang Budha yang mengerikan dan tak
berkenan menyelamatkan manusia, walaupun manusia itu sudah menyesal.
Sekejap-dua kejap
Matahachi menatap pandangan itu dengan sikap benci. Kemudian kepalanya
tertunduk menverah, dan tubuhnya diguncang sedu-sedan.
Takuan mengambil
pisau cukur dari atas timbunan kavu, dan menyentuh kepala Matahachi sedikit
dengan pisau itu.
"Karena kau akan
mati, bolehlah kau mati seperti murid sang Budha. Atas dasar persahabatan, akan
kubantu kau melakukannya. Tutup matamu dan duduk diam dengan kaki disilangkan.
Garis yang membatasi hidup dan man tidak lebih tebal dari kelopak mata. Tak ada
yang menakutkan dalam kematian. Tak ada yang mesti ditangiskan. Jangan
menangis, Nak, jangan menangis. Takuan menyiapkan akhir hayatmu."
Ruang tempat
berkumpulnya Dewan Sesepuh Shogun untuk membicarakan soal-soal negara itu
letaknya terpencil dari bagian-bagian lain Benteng Edo. Ruang rahasia ini
sepenuhnya tertutup oleh ruangan-ruangan dan pendopo-pendopo lain. Apabila para
menteri diperlukan untuk menerima keputusan shogun, mereka menghadap ke ruang
audiensi atau mengirimkan petisi dalam kotak berpernis. Surat-surat dan
jawabannya terus mondar-mandir dengan kecepatan luar biasa, dan Takuan beserta
Yang Dipertuan Hojo sudah beberapa kali diizinkan masuk ruangan itu. Acap kali
mereka tinggal di sana sepanjang hari, kalau diperlukan menimbang-nimbang soal
secara mendalam.
Pada hari khusus itu,
di dalam ruangan lain yang tidak terlalu terpencil, namun tetap dijaga ketat,
para menteri mendengarkan laporan dari utusan yang dikirimkan ke Kiso.
Utusan itu mengatakan
bahwa sekalipun tidak ada penundaan dalam melaksanakan perintah untuk menangkap
Daizo, namun Daizo berhasil meloloskan diri sesudah menutup kediamannya di
Narai, dengan membawa serta seluruh rumah tangganya. Penggeledahan yang
dilakukan mengungkapkan adanya persediaan senjata dan amunisi dalam jumlah
besar, juga sejumlah dokumen yang lolos dari penghancuran. Termasuk juga dalam
dokumen itu surat-surat kepada dan dari para pendukung Toyotomi di Osaka.
Utusan itu telah mengatur pengapalan barang bukti tersebut ke ibu kota shogun,
dan kemudian lekas kembali ke Edo dengan kuda cepat.
Para menteri merasa
seperti nelayan yang telah menebarkan jaring besar, namun tak berhasil
menangkap ikan, kecuali seekor ikan teri.
Hari berikutnya,
seorang abdi Yang Dipertuan Sakai, yang menjadi anggota Dewan Sesepuh, membuat
laporan lain: "Sesuai dengan perintah Yang Dipertuan, Miyamoto Musashi
sudah dikeluarkan dari penjara. Ia diserahkan kepada orang bernama Muso
Gonnosuke. Kepada Gonnosuke telah kami jelaskan secara terperinci mengenai
salah pengertian yang telah terjadi."
Yang Dipertuan Sakai
segera memberitahukan hal itu kepada Takuan, dan Takuan menyahut ringan,
"Terima kasih atas kebaikan Anda."
"Anda mintalah
kepada sahabat Anda, Musashi itu, untuk tidak terlalu buruk sangka terhadap
kami," Yang Dipertuan Sakai meminta maaf. Ia merasa kurang enak melihat
kekeliruan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.
Salah satu masalah
yang cepat sekali dipecahkan adalah masalah pangkalan operasi Daizo di Edo.
Para pejabat, dengan pimpinan Komisaris Edo, turun ke toko gadai di Shibaura,
dan dengan gerak cepat menyita segalanya, baik berupa harta milik maupun
dokumen-dokumen rahasia. Dalam peristiwa itu, Akemi yang sial ditangkap,
sekalipun ia sepenuhnya buta mengenai rencana-rencana pengkhianatan
pelindungnya.
Pada suatu malam,
Takuan diterima untuk beraudiensi dengan shogun, dan kepada shogun ia
menguraikan segala peristiwa yang diketahuinya dan bagaimana kesudahannya. Ia
menutup uraiannya dengan mengatakan, "Hendaknya Anda tidak melupakan
sedikit pun, bahwa di dunia ini masih lebih banyak lagi Daizo dari Narai."
Hidetada menerima
peringatan itu dengan anggukan keras.
"Kalau Anda
mencoba mencari semua orang itu dan menyeretnya ke pengadilan," sambung
Takuan, "seluruh waktu dan usaha Anda akan habis hanya untuk urusan para
pembangkang itu. Anda takkan dapat melaksanakan kerja besar yang diharapkan
dari Anda sebagai pengganti ayah Anda."
Shogun dapat memahami
kebenaran kata-kata Takuan itu, dan memasukkannya ke dalam hati. "Biarlah
hukuman itu ringan saja," demikian ia memberikan pengarahan. "Karena
Anda yang telah melaporkan adanya persekongkolan itu, saya serahkan pada Anda
untuk memutuskan hukumannya."
Sesudah mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya, Takuan berkata, "Tanpa saya sadari,
sudah lebih dari sebulan saya tinggal di benteng ini. Sudah waktunya saya
meneruskan perjalanan. Saya akan pergi ke Koyagyu di Yamato, untuk menjenguk
Yang Dipertuan Sekishusai. Kemudian saya akan kembali ke Daitokuji, melalui
daerah Senshu."
Mendengar nama
Sekishusai agaknya menimbulkan kenangan yang menyenangkan pada Hidetada.
"Bagaimana dengan kesehatan Pak Tua Yagyu itu?" tanyanya.
"Sayang sekali,
saya mendapat berita bahwa menurut Yang Dipertuan Munenori, ajal sudah
dekat."
Hidetada mengenang
peristiwa ketika ia berada di perkemahan Shokokuji, dan Sekishusai diterima
oleh Ieyasu. Waktu itu Hidetada masih kanak-kanak, dan sikap Sekishusai yang
jantan menimbulkan kesan mendalam baginya.
Takuan memecahkan
kesunyian. "Ada satu hal lain," katanya. "Sesudah berunding
dengan Dewan Sesepuh, dan dengan izin para anggota Dewan, Yang Dipertuan Hojo
dari Awa dan saya mengusulkan samurai bernama Miyamoto Musashi untuk menjadi
guru dalam rumah tangga Yang Mulia. Saya berharap Anda akan memberikan
penilaian baik pada usul kami ini."
"Saya sudah
mendapat pemberitahuan teptang itu. Kabarnya Keluarga Hosokawa berminat juga
kepadanya, dan sangat cocok dengannya. Saya sudah memutuskan untuk menyetujui
pengangkatan seorang guru lagi."
Sehari-dua hari
sebelum Takuan meninggalkan benteng, ia memperoleh seorang murid baru. Ia pergi
ke gudang kayu di belakang kantor pengawas, dan minta salah seorang pekerja
dapur membukakan pintu baginya. Cahaya dari luar mengenai kepala yang baru
dicukur.
Untuk sesaat, murid
baru itu tak dapat melihat. Ia, yang merasa sebagai orang hukuman, pelan-pelan
mengangkat matanya yang sejak tadi menunduk, dan katanya,
"Ayo!" kata
Takuan.
Mengenakan jubah
pendeta kiriman Takuan, Matahachi berdiri gontai dengan kaki yang terasa seolah
mulai membusuk. Takuan pelan-pelan merangkul bahunya dan membantunya keluar
dari gudang.
Hari pembalasan telah
tiba. Dari balik kelopak matanya yang tertutup pasrah, Matahachi dapat melihat
tikar buluh. Di tikar itulah ia akan dipaksa berlutut, sebelum algojo
mengangkat pedang. Jelaslah, ia sudah lupa bahwa para pengkhianat biasanya
menjumpai maut secara memalukan, dengan digantung. Air mata bercucuran di
pipinya yang tercukur bersih.
"Kau bisa
jalan?" tanya Takuan.
Matahachi merasa
memberikan jawaban, padahal tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Secara
hampir tak sadar ia lewati gerbang-gerbang benteng, dan ia seberangi
jembatan-jembatan yang melengkungi parit-parit dalam dan luar. Murung, ia
melangkah di samping Takuan, persis seperti domba dituntun ke pembantaian.
"Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida..." Dengan
diam ia mengulang-ulang doa bagi sang Budha Terang Abadi itu.
Matahachi menyipitkan
mata, melihat ke seberang parit di luar, ke arah kediaman daimyo yang anggun.
Lebih jauh ke timur sana terletak Kampung Hibiya. Di sebelahnya tampak
jalan-jalan daerah pusat kota.
Dunia yang mengambang
itu kini serasa baru baginya, dan bersamaan dengan timbulnya hasrat akan dunia
itu, air matanya kembali bercucuran. Ia pejamkan kedua mata itu, dan ulangnya
cepat-cepat, "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha
Amida...." Permohonan itu mulai kedengaran oleh telinga, kemudian
terdengar makin keras, dan makin cepat.
"Lekas!"
kata Takuan garang.
Dari parit itu,
mereka membelok ke arah Otemachi dan melintasi sebuah tempat terbuka yang luas
dan kosong. Matahachi merasa sudah menempuh jarak seribu kilometer. Apakah
jalan ini akan terus begini sampai di neraka, sementara sinar terang
perlahan-lahan didesak gelap gulita?
"Tunggu di
sini!" perintah Takuan. Mereka berada di tengah tempat terbuka yang datar.
Di sebelah kiri, air berlumpur mengalir menuruni parit dari Jembatan Tokiwa.
Tepat di seberang
jalan, ada sebuah dinding tanah yang barn saja selesai diplester putih. Di
sebelahnya tembok penjara baru, dan sekelompok gedung hitam yang tampak seperti
rumah-rumah kota yang biasa, meskipun sebetulnya adalah kediaman resmi
Komisaris Edo.
Kaki Matahachi
gemetar, tak dapat lagi menopang tubuhnya. la roboh ke tanah. Di rumput, entah
di mana, terdengar suara burung yang seolah membayangkan jalan menuju negeri
orang mati.
Lari? Kedua kakinya
tak siap untuk itu, juga kedua tangannya. Tidak, ia tak dapat lari, pikirnya.
Kalau shogun sudah menetapkan ia perlu ditangkap, tak ada selembar daun atau
rumput pun yang bisa menjadi tempat ia menyembunyikan diri.
Dalam hati ia
berteriak memanggil ibunya, yang waktu itu terasa sangat dekat olehnya.
Sekiranya dulu ia tidak meninggalkan ibunya, ia tak akan ada di sini sekarang.
Ia teringat akan perempuan-perempuan lain: Oko, Akemi, Otsu, dan
perempuan-perempuan lain lagi yang disukainya, atau pernah diajaknya
bermain-main. Namun ibunyalah satu-satunya perempuan yang betul-betul ingin
dijumpainya. Sekiranya ia mendapat kesempatan hidup terus, ia tak man lagi
menentang kemauan ibunya, takkan lagi ia menjadi anak durhaka.
Tengkuknya terasa
dingin. Ia menengadah ke arah tiga ekor angsa liar yang sedang terbang ke arah
teluk, dan ia iri pada mereka.
Dorongan untuk lari
kini terasa sangat kuat. Kenapa tidak? Ia takkan kehilangan apa-apa. Kalau ia
tertangkap, nasibnya takkan lebih buruk daripada sekarang. Dengan pandangan
putus asa, ia menatap pintu gerbang di seberang jalan. Tak ada tanda-tanda
Takuan.
Maka ia lompat
berdiri dan lari.
"Berhenti!"
Kerasnya suara itu sudah cukup mematahkan semangatnya. Ia menoleh ke sekitar, dan
tampak olehnya salah seorang algojo komisaris. Orang itu melangkah maju dan
menjatuhkan tongkat panjangnya ke bahu Matahachi. Dengan satu pukulan saja ia
berhasil menjatuhkan Matahachi, kemudian mengimpitnya dengan tongkat, seperti
anak-anak mengimpit katak dengan kayu.
Takuan keluar dari
rumah kediaman komisaris, disertai beberapa pengawal, termasuk seorang kapten.
Mereka menuntun tahanan lain ke luar, dalam keadaan terikat tali.
Si kapten memilih
tempat untuk melaksanakan hukuman, dan dua lembar tikar buluh yang baru selesai
dianyam dihamparkan di tanah.
"Kita
mulai?" tanyanya pada Takuan, dan Takuan mengangguk tanda mengiakan.
Ketika si kapten dan
pendeta sudah duduk di bangku, algojo berteriak, "Berdiri!" dan
mengangkat tongkatnya. Matahachi mencoba sebisa-bisanya mengangkat dirinya,
tapi la terlampau lemah untuk berjalan. Algojo dengan marah menangkap bagian
belakang jubahnya, dan setengah menyeretnya ke salah satu tikar.
Ia duduk. Kepalanya
tertunduk. Ia tak dapat lagi mendengar suara burung itu. Ia sadar akan
suara-suara itu, tapi begitu tak jelas, seakan-akan terpisahkan oleh sebuah
dinding. Tiba-tiba terdengar olehnya namanya dibisikkan orang, dan ia
menengadah heran.
"Akemi!"
gagapnya. "Apa kerjamu di sini?"
Akemi berlutut di
tikar yang lain.
"Dilarang
bicara!" Dua pengawal menggunakan tongkat untuk memisahkan mereka.
Si kapten berdiri dan
mulai membacakan keputusan dan hukuman resmi dengan nada garang bermartabat.
Akemi menahan air matanya, tapi Matahachi menangis tanpa kenal malu. Kapten
selesai membaca, duduk, dan berseru, "Pukul!"
Dua pengawal
berpangkat rendah yang membawa bilah-bilah bambu panjang berjingkrak mengambil
posisi, dan mulai mencambuk punggung kedua tahanan itu.
"Satu. Dua.
Tiga," mereka menghitung. Matahachi merintih. Akemi, dengan muka tertunduk
pucat pasi, mengatupkan gigi sekuat-kuatnya untuk menahan rasa sakit.
"Tujuh. Delapan.
Sembilan." Cambuk bambu jadi berumbai-rumbai, dan asap seolah mengepul
dari ujung-ujungnya.
Beberapa pejalan kaki
berhenti di tepi lapangan, untuk melihat. "Ada apa?"
"Dua tahanan
sedang dihukum rupanya."
"Seratus
cambukan barangkali."
"Belum lagi lima
puluh."
"Tentunya
sakit."
Seorang pengawal
datang mendekat dan mengejutkan mereka dengan menghantamkan tongkat keras-keras
ke tanah. "Pergi sana! Dilarang berdiri di sini."
Orang-orang yang suka
ingin tahu itu pun mencari tempat yang lebih aman, dan ketika mereka menoleh ke
belakang, mereka lihat hukuman sudah selesai. Para pengawal membuang cambuk
yang kini tinggal lembar-lembar lembut, dan menghapus keringat dari wajah.
Takuan berdiri.
Kapten juga sudah berdiri. Mereka bertukar basa-basi, kemudian Kapten membawa
anak buahnya kembali ke kediaman komisaris. Takuan masih berdiri beberapa menit
lamanya, memandangi kedua tubuh yang membungkuk di tikar itu. Ia tidak
mengatakan apa-apa, dan pergi meninggalkan tempat itu.
Shogun memberikan
sejumlah hadiah kepadanya, yang kemudian disumbangkannya kepada berbagai kuil
Zen di kota itu. Namun gunjingan orang Edo segera mulai lagi. Menurut desas-desus,
ia pendeta ambisius yang suka ikut campur politik. Desas-desus lain mengatakan
ia orang yang ditugaskan Keluarga Tokugawa untuk memata-matai golongan Osaka.
Lain lagi mengatakan ia anggota komplotan "berjubah hitam".
Gunjingan-gunjingan
itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Takuan. Memang ia sangat prihatin
mengenai kesejahteraan bangsa, tapi tidak banyak bedanya baginya, apakah
bunga-bunga zaman yang sedang mencolok waktu itu-yaitu benteng di Edo dan
Osaka-berkembang atau gugur.
Beberapa berkas sinar
tipis menerobos awan, dan suara burung terdengar kembali. Kedua sosok itu tidak
juga bergerak, walau sudah beberapa waktu berlalu, dan mereka sedikit pun tidak
kehilangan kesadaran.
Akhirnya Akemi
bergumam, "Matahachi, lihat—air!" Di depan mereka terdapat dua ember
kayu berisi air, masing-masing ada ciduknya, suatu bukti bahwa kantor komisaris
itu tidak sepenuhnya kejam.
Akemi meminum
beberapa teguk air, kemudian menawarkan ciduk pada Matahachi. Tapi Matahachi
tidak menjawab, maka tanya Akemi, "Ada apa? Kau tidak mau?"
Pelan-pelan Matahachi
mengulurkan tangan dan menerima ciduk. Begitu ciduk menyentuh bibir, ia minum
dengan rakusnya.
"Matahachi, apa
kau menjadi pendeta?"
"Hah? ... Apa
sudah selesai?"
"Apanya yang
sudah selesai?"
"Hukuman itu?
Mereka belum memotong kepala kita."
"Bukan itu tugas
mereka. Apa kau tidak dengar orang itu membacakan hukumannya?"
"Apa katanya?"
"Katanya, kita
mesti dibuang dari Edo."
"Lho, aku
hidup!" jerit Matahachi. Ia hampir sinting karena gembira. Ia melompat
meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi pada Akemi.
Akemi memegang
kepalanya dan mulai sibuk dengan rambutnya. Kemudian ia membenahi kimono dan
mengetatkan obi-nya. "Tak kenal malu!" gumamnya dengan bibir perot.
Kini Matahachi hanya tampak sebagai titik di kaki langit.
0 komentar:
Posting Komentar