Sabtu, 15 Juli 2017




Buah Delima

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg



TAKUAN dan Iori tiba di tempat semayam Yang Dipertuan Hoko Ujikatsu di Ushigome, hari itu juga. Seorang abdi muda yang bertugas di pintu gerbang menyampaikan kedatangan Takuan, dan beberapa menit kemudian Shinzo keluar.

"Ayah saya sedang di Benteng Edo," kata Shinzo. "Apa tak ingin Anda masuk dan menunggu?"

"Di benteng?" tanya Takuan. "Kalau begitu saya terus saja, karena itulah tujuan saya. Bagaimana kalau saya tinggalkan Iori ini pada Anda?"

"Boleh saja," jawab Shinzo, disertai senyuman dan pandangan cepat ke arah Iori. "Boleh saya pesankan joli untuk Anda?"

"Kalau tidak keberatan."

Baru saja joli berpernis itu hilang dari pandangan, Iori sudah berada di kandang kuda, memperhatikan satu demi satu kuda-kuda cokelat dan kelabu berbintik-bintik yang terpelihara baik, milik Yang Dipertuan Ujikatsu. la terutama mengagumi wajah kuda-kuda itu. Menurut pendapatnya, wajah kuda-kuda itu jauh lebih bangsawan daripada wajah kuda-kuda kerja para kenalannya. Namun di sini tersembunyi tanda tanya besar; bagaimana mungkin golongan prajurit menyimpan kuda dalam jumlah besar, dan semua kuda itu hanya menganggur, dan tidak digunakan untuk kerja di ladang?

Baru saja ia mulai membayangkan tentara berkuda berbaris menuju pertempuran, suara Shinzo yang keras mengalihkan perhatiannya. Ia memandang ke arah rumah, dengan dugaan akan dicaci maki, tapi ternyata terlihat olehnya bahwa sasaran kemarahan Shinzo adalah seorang perempuan tua kurus yang bertongkat, dan wajahnya tampak keras kepala.

"Pura-pura keluar?" teriak Shinzo. "Buat apa ayah saya berpura-pura pada seorang perempuan tua yang jelek dan tak dikenalnya?"

"Oh, jadi Anda marah?" kata Osugi, menyindir tajam. "Kalau tak salah. Anda anak Yang Dipertuan. Apa Anda tahu, berapa kali sudah saya datang kemari untuk bertemu ayah Anda? Percayalah, bukan hanya beberapa kali, tapi tiap kali saya diberitahu dia pergi!"

Shinzo sedikit bingung, tapi katanya, "Tak peduli sudah berapa kali Nyonya datang. Ayah saya tak suka menerima tamu. Kalau dia tak suka menemui Nyonya, kenapa pula Nyonya terus datang?"

Tanpa rasa takut, Osugi mengoceh, "Tak suka menerima tamu! Kalau begitu, kenapa dia hidup di tengah orang banyak?" Dan ia menyeringai.

Terpikir oleh Shinzo untuk memaki-maki perempuan itu, dan memberikan kesempatan padanya mendengar detak pedang dilepas dari sarungnya, tapi ia tak ingin memperlihatkan kemarahan yang tidak pada tempatnya, lagi pula ia tak yakin sikap itu akan mencapai sasaran.

"Ayah saya tak ada di sini," katanya dengan nada biasa. "Bagaimana kalau Nyonya duduk di sini, dan menceritakan apa persoalannya?"

"Yah, saya pikir akan saya terima tawaran Anda yang baik itu. Sudah jauh saya berjalan, dan kaki saya sudah lelah." Ia duduk di ujung tangga dan mulai menggosok-gosok lututnya. "Karena Anda bicara lembut pada saya, saya jadi malu telah bicara keras. Nah, tolong sampaikan apa yang akan saya katakan pada ayah Anda, kalau dia pulang nanti."

"Dengan senang hati akan saya sampaikan."

"Saya datang untuk menceritakan kepadanya soal Miyamoto Musashi."

Dengan wajah bertanya-tanya, Shinzo berkata, "Ada apa dengannya?"

"Tidak, saya hanya ingin ayah Anda tahu, orang macam apa dia itu. Ketika berumur tujuh belas tahun, Musashi pergi ke Sekigahara dan ikut bertempur melawan orang Tokugawa. Melawan orang Tokugawa! Tuan dengar itu? Dan lebih dari itu, dia sudah melakukan banyak kejahatan di Mimasaka, sampai tak seorang pun di sana bicara baik tentangnya. Dia sudah membunuh beberapa orang, dan dia melarikan diri dari saya bertahun-tahun lamanya, karena itu saya berusaha membalas dendam kepadanya, yang memang menjadi hak sava. Musashi itu gelandangan yang tak ada gunanya, dan dia berbahava!"

"Tunggu..."

"Tidak, Anda dengarlah dulu! Musashi itu main-main dengan perempuan yang menjadi tunangan anak sava. Dia mencuri tunangan anak saya itu dan lari dengannya."

"Berhenti dulu," kata Shinzo, mengangkat satu tangan sebagai protes. "Buat apa Nyonya berkata begitu tentang Musashi?"'

"Saya lakukan ini untuk kepentingan negeri ini," kata Osugi puas diri.

"Apa gunanya memfitnah Musashi buat negeri ini?"

Osugi membenahi dirinya kembali, katanya, 'Saya dengar bajingan berlidah licin itu akan segera ditunjuk menjadi instruktur keluarga shogun."

"Di mana Nyonya dengar itu?"

"Dari seorang lelaki di dojo Ono. Saya dengar dengan telinga saya sendiri."

"Begitu?"

"Babi macam Musashi itu tidak boleh dibiarkan ada dekat shogun, apalagi ditunjuk jadi guru. Guru Keluarga Tokugawa berarti guru seluruh bangsa. Memikirkan hal itu saja saya sudah muak. Saya ada di sini buat memperingatkan Yang Dipertuan Hojo, karena saya dengar dia yang mengusulkan Musashi. Anda mengerti sekarang?" Ia mengisap air liur dari sudut-sudut mulutnya, dan lanjutnya, "Memperingatkan ayah Anda itu saya yakin balk buat negeri ini. Dan ada baiknya saya peringatkan Anda juga. Hati-hatilah, supaya Anda tidak terkecoh mulut manis Musashi."

Karena takut Osugi akan terus bicara seperti itu berjam-jam lamanva. Shinzo mengerahkan kesabarannya yang terakhir, kemudian menarik napas berat, dan katanya, "Terima kasih. Saya mengerti maksud Nyonya. Akan saya sampaikan semua itu pada ayah saya."

"Ya, tolonglah sampaikan!"

Dengan wajah puas, karena akhirnya mencapai tujuan yang diidamidamkan, Osugi pun bangkit dan menuju pintu gerbang dengan sandalnya yang mendetap-detap di jalan.

"Perempuan tua jelek kotor!" terdengar teriakan kekanak-kanakan.

Osugi terperanjat, dan langsung menyalak, "Apa?... Apa?" sambil menoleiu ke sekitar, hingga akhirnya ia melihat Iori di antara pepohonan, sedang menyeringai seperti kuda.

"Makan ini!" seru Iori, dan melemparkan buah delima ke Osugi. Buah itu begitu keras menghantamnva, hingga pecah.

"Ow-w-w!" jerit Osugi, mencengkeram dadanya.

Ia membungkuk memungut benda itu, untuk dilemparkan pada Iori. tapi Iori sudah lari dan tidak kelihatan lagi. Kini Osugi lari ke kandang. Baru saja ia memandang ke dalam, seonggok tahi kuda yang masih lunak tepat menimpa wajahnya.

Sambil menggerutu dan meludah, ia hapus kotoran itu dari mukanva dengan jari-jarinya. Air matanya mulai mengalir. Sungguh menyedihkan bahwa sesudah menjelajahi negeri untuk kepentingan anaknya, akhirnva beginilah kesudahannya!

Iori memperhatikan dari jarak yang cukup aman, di belakang sebatang pohon. Melihat Osugi menangis seperti anak kecil, tiba-tiba ia merasa malu sekali pada dirinya. Ia setengah ingin pergi meminta maaf kepada Osugi. sebelum Osugi keluar pintu gerbang, tapi rasa marah mendengar perempuan itu memfitnah Musashi belum lagi reda. Ia berdiri saja beberapa waktu lamanya, sambil menggigit kuku, terombang-ambing antara rasa kasihan dan dendam.

"Coba sini, Iori. Sekarang kau bisa lihat Gunung Fuji yang merah itu." Suara Shinzo datang dari sebuah ruangan di atas bukit.

Iori berlari ke sana dengan perasaan lega luar biasa. "Gunung Fuji." Bayangan tentang puncak gunung yang tercelup warna merah akibat cahaya petang itu mengosongkan kepalanya dari segala macam pikiran lain.

Shinzo pun kelihatannya sudah lupa akan percakapannya dengan Osugi.

Negeri Impian





IEYASU menyerahkan kekuasaan ke-shogun-an kepada Hidetada pada tahun 1605, tapi ia masih terus memerintah dari bentengnya di Suruga. Kini usaha meletakkan dasar-dasar bagi kekuasaan baru sudah sebagian besar terlaksana, dan ia minta Hidetada mengambil alih kewajiban-kewajiban yang memang menjadi haknya.

Ketika menyerahkan kekuasaan itu, Ieyasu bertanya kepada anaknya, apa yang hendak dilakukannya.

Jawaban Hidetada, "Saya akan membangun!" Kabarnya, jawaban tersebut sangat menyenangkan hati shogun tua itu.

Berlawanan dengan di Edo, Osaka masih sibuk melakukan persiapan-persiapan menghadapi pertempuran terakhir. Jenderal-jenderal terkenal menyusun persekongkolan-persekongkolan rahasia, kurir-kurir membawa pesan ke tanah-tanah perdikan tertentu, pemimpin-pemimpin militer dan para ronin yang sudah dipecat, diberi tempat berlindung dan upah. Amunisi ditimbun, lembing-lembing dipoles, dan parit-parit didalamkan.

Makin lama makin banyak orang kota meninggalkan kota-kota di barat, menuju kota yang sedang menanjak di timur itu. Mereka acap kali berganti kesetiaan, karena takut kemenangan Toyotomi akan berarti kembalinya permusuhan yang tak henti-hentinya.

Bagi para daimyo dan pengikut yang tinggi kedudukannya, yang harus menentukan sikap apakah mereka mempercayakan nasib anak cucu mereka kepada Edo atau Osaka, progam pembangunan yang mengesankan di Edo itu merupakan alasan kuat untuk mendukung Keluarga Tokugawa.

Hari ini, seperti hari-hari lainnya, Hidetada sedang sibuk dengan hiburan yang disukainya. Dengan pakaian seperti hendak pesiar ke pedesaan, ia tinggalkan daerah lingkaran utama, dan pergi ke bukit di Fukiage untuk memeriksa pekerjaan pembangunan.

Kira-kira waktu shogun beserta pengiringnya yang terdiri atas para menteri, ajudan pribadi, dan para pendeta Budha berhenti untuk beristirahat, pecah keributan di kaki Bukit Momiji.



"Hentikan bajingan itu!"

"Tangkap dia!"

Seorang penggali sumur berlari berputar-putar, mencoba melepaskan diri dari beberapa tukang kayu yang mengejarnya. la meluncur seperti kelinci di antara timbunan balok. Sejenak ia bersembunyi di belakang gubuk para tukang plester, kemudian melejit ke arah perancah dinding luar, dan mulai memanjat.

Sambil memaki keras-keras, beberapa tukang kayu ikut memanjat dan berhasil menangkap kakinya. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, dengan kalut penggali sumur itu menjatuhkan diri ke dalam onggokan serutan.

Tukang-tukang menerkamnya, menendangi, dan memukulinya dari segala penjuru. Sungguh mengherankan, ia tidak berteriak atau melawan, tapi mencengkeram erat-erat ke tanah, seakan-akan hanya itulah harapan satusatunya.

Samurai yang bertanggung jawab atas para tukang dan pengawas buruh datang berlari-lari.

"Ada apa di sini?" tanya samurai itu.

"Dia menginjak siku-siku saya, babi kotor ini!" dengking seorang tukang kayu. "Siku-siku itu jiwa tukang kayu!"

"Sabar kamu!"

"Coba, apa tindakan Bapak, misalnya dia menginjak pedang Bapak?" tanya si tukang kayu.

"Baiklah, cukup! Shogun sedang beristirahat di bukit sana."

Mendengar kata shogun, tukang kayu yang pertama pun tenang, tapi yang lain mengatakan, "Dia mesti membersihkan diri. Dan dia mesti membungkuk kepada siku-siku, minta maafl"

"Kami nanti yang akan mengurus hukumannya," kata si pengawas. "Kalian kembali kerja di sana!"

Kemudian ditangkapnya kerah orang yang sudah letih itu, dan katanya, "Perlihatkan mukamu!"

"Ya, Pak."

"Kau salah seorang penggali sumur, kan?"

"Betul, Pak."

"Apa kerjamu di sini? Ini bukan tempat kerjamu."

"Kemarin juga dia di sini!" kata tukang kayu.

"Betul?" tanya si pengawas, sambil menatap wajah pucat Matahachi. Dilihatnya wajah itu terlalu lembut, terlalu halus untuk seorang tukang gali sumur.

Ia berunding dengan si samurai sebentar, kemudian membawa Matahachi pergi. Matahachi disekap dalam gudang kayu di belakang Kantor Pengawas Buruh, dan selama beberapa hari sesudah itu, tak ada yang dilihatnya kecuali kayu api, sekarung-dua karung arang, dan tong-tong pembuat acar. Kemungkinan terbongkarnya komplotan itu segera membuatnya ketakutan.

Sebetulnya, begitu berada di dalam benteng, ia telah menimbang-nimbang dan memutuskan bahwa kalaupun mesti menjadi penggali sumur sepanjang sisa hidupnya, ia tak akan menjadi pembunuh. Ia sudah melihat Shogun dan rombongannya beberapa kali, namun tidak melakukan apa-apa.

Yang mendorongnya datang ke kaki Bukit Momiji, setiap kali ada kesempatan di tengah waktu istirahat, adalah kerumitan yang tak terduga-duga. Menurut rencana, sebuah perpustakaan mesti dibangun, dan kalau selesai dibangun, pohon lokus itu akan disingkirkan. Matahachi, dengan perasaan bersalah, menduga senapan itu pasti akan ditemukan orang, dan itu berarti dirinya akan langsung dilibatkan dalam komplotan. Namun ia belum mendapatkan waktu yang tepat—yaitu ketika tak ada orang di sana—untuk menggali senapan dan menyingkirkannya.

Sedang tidur pun keringatnya bercucuran. Sekali ia bermimpi berada di negeri orang mati, dan ke mana pun ia memandang, yang tampak olehnya adalah pohon lokus. Beberapa malam sesudah disekap dalam gudang kayu itu, ia bermimpi ibunya. Begitu nyata mimpi itu, seperti siang hari. Osugi bukannya kasihan kepadanya, melainkan berteriak marah dan melemparkan sekeranjang kepompong ke arahnya. Ketika kepompong itu menghujani kepalanya, ia mencoba melarikan diri. Osugi mengejarnya, dan secara ajaib rambutnya berubah menjadi kepompong-kepompong putih. la berlari terus, tapi Osugi selalu ada di belakangnya. Basah kuyup oleh keringat, ia meloncat dari karang terjal dan jatuh menembus kegelapan neraka, menuju kegelapan yang tak ada akhirnya.

"Ibu! Maafkan aku!" teriaknya seperti anak terluka, dan la terbangun oleh suaranya sendiri. Kini kenyataan yang dihadapinya, yaitu kemungkinan datangnya maut, terasa lebih mengerikan daripada mimpi itu sendiri.

Ia mencoba membuka pintu, meskipun tahu pintu itu terkunci. Dengan putus asa ia panjat tong acar, ia pecahkan jendela kecil di dekat atap, lalu menerobos ke luar. Ia menyelinap di antara timbunan kayu, batu, dan onggok-onggokan tanah galian, lalu lari ke dekat gerbang belakang sebelah barat. Pohon lokus itu masih ada! la menarik napas puas.

Kebetulan ia menemukan sebuah cangkul, dan ia pun mulai menggali, seakan-akan di situ la berharap akan menemukan hidupnya sendiri. Gentar oleh bunyi yang ditimbulkannya, ia berhenti dan memandang ke sekitar. Melihat tak ada orang, mulai lagi ia menggali.

Kuatir orang lain telah menemukan senapan itu, cangkul diayunkannya dengan kalut. Napasnya menderu dan tidak tetap. Keringat dan debu bercampur menjadi satu, membuatnya tampak seakan baru mandi lumpur. la mulai pening, tapi ia tak dapat berhenti.

Mata cangkul terantuk suatu benda panjang. Cangkul ditepiskannya, lalu ia mengulurkan tangan untuk mengeluarkan benda itu, dan pikirnya, "Kutemukan!"

Tapi perasaan lega itu hanya berlangsung singkat. Benda itu ternyata tidak dibungkus kertas minyak, tanpa kotak, dan tidak dingin seperti logam. la pegang benda itu, ia angkat, kemudian ia jatuhkan. Cuma tulang lengan atau tulang kering yang putih ramping.

Matahachi tak punya semangat lagi untuk mengangkat cangkul. Rasanya seperti mimpi buruk lain lagi. Padahal ia tahu dirinya sadar. Ia dapat menghitung seluruh daun yang ada di pohon lokus itu.

"Untuk apa Daizo berbohong?" pikirnya terheran-heran. la kitari pohon itu, sambil menendang-nendang tanah.

Ia masih melingkari pohon itu, ketika sesosok tubuh mendekatinya diam-diam dari belakang, dan menepuk pelan punggungnya. Sambil tertawa keras, tepat di samping telinga Matahachi, kata orang itu, "Tak bakal kau menemukannya!"

Sekujur tubuh Matahachi lemas. Hampir ia jatuh ke dalam lubang. Sambil menoleh ke arah itu, ia memandang kosong beberapa menit lamanya, kemudian memperdengarkan suara parau heran.

"Ayo ikut aku!" kata Takuan, menggandeng tangannya.

Matahachi tak dapat bergerak. Jari-jarinya jadi mati rasa. Ia mencengkeram tangan pendeta itu. Perasaan ngeri bercampur hina merayapi tubuhnya, dari tumit ke atas.

"Kau tidak dengar, ya? Ayo ikut aku!" kata Takuan, memaki dengan matanya.

Lidah Matahachi hampir sama kelunya dengan lidah orang bisu. "I-ni... saya bereskan... tanah... saya..."

Tanpa nada kasihan, Takuan berkata, "Tinggalkan! Buang-buang waktu. Apa yang dilakukan manusia di bumi ini, baik atau buruk, seperti tinta di atas kertas. Semuanya itu tak dapat dihapus, biar seribu tahun! Kaukira dengan menendang-nendang sedikit tanah itu, apa yang telah kauperbuat akan hapus? Karena pikiran macam itulah, hidupmu begitu berantakan. Sekarang ayo ikut aku. Kau ini penjahat, dan kejahatanmu keji sekali. Akan kupotong kepalamu dengan gergaji bambu, dan kulemparkan kau ke Kolam Darah di neraka." Ia jewer telinga Matahachi, dan ia tarik pergi.

Takuan mengetuk pintu gubuk tempat para pekerja dapur tidur.

"Coba satu orang keluar sini!" katanya.

Seorang anak lelaki keluar sambil menggosok matanya yang mengantuk. Ketika mengenali orang itu sebagai pendeta yang tadi dilihatnya berbicara dengan shogun, barulah ia bangun dan katanya, "Ya, Pak? Apa yang harus saya lakukan?"

"Buka gudang kayu itu."

"Ada penggali sumur yang disekap di sana."

"Tidak ada lagi di sana. Dia ada di sini. Tak ada gunanya memasukkannya kembali lewat jendela, karena itu buka pintunya."

Anak itu bergegas memanggil pengawas. Pengawas berlari ke luar dan minta maaf, memohon Takuan tidak melaporkan soal itu.

Takuan mendorong Matahachi masuk gudang, kemudian ia sendiri masuk gudang juga, dan menutup pintunya. Beberapa menit kemudian, ia menjulurkan kepala, katanya, "Kau tentunya punya pisau cukur. Tajamkan pisau itu, dan bawa kemari."

Pengawas dan pekerja dapur saling pandang, tak berani bertanya kepada pendeta, kenapa pendeta menghendaki pisau cukur. Mereka mengasah pisau itu dan menyerahkannya kepada pendeta.

"Terima kasih," kata Takuan. "Sekarang kalian boleh kembali tidur."

Di dalam gudang itu gelap gulita, hanya secercah cahaya bintang yang mengintip dari jendela yang rusak. Takuan duduk di atas onggokan kayu bakar. Matahachi memerosotkan diri di tikar bambu. Kepalanya tunduk penuh rasa malu. Lama tak ada yang berbicara. Karena tak melihat pisau cukur itu, Matahachi pun bertanya-tanya dengan gelisah, apakah Takuan memegang pisau itu.

Akhirnya Takuan membuka mulut. "Matahachi, apa yang kaugali di bawah pohon lokus itu?"

Diam.

"Aku bisa menunjukkan padamu, bagaimana cara menggali sesuatu. Artinya, mengambil sesuatu dari ketiadaan, memperoleh kembali dunia nyata dari negeri impian."

"Ya, Pak."

"Kau sedikit pun tak mengerti kenyataan yang kumaksud. Tak sangsi lagi, kau masih ada di dunia khayalmu. Nah, karena kau ini sama naifnya dengan bayi, terpaksa aku mengunyahkan makanan otak untukmu.... Berapa tahun umurmu?"

"Dua puluh delapan."

"Sama dengan Musashi."

Matahachi menangkupkan tangan ke wajahnya, dan tersedu-sedu.

Takuan tidak bicara, sampai Matahachi puas menangis. Kemudian katanya, "Sungguh mengerikan, kalau dipikirkan bahwa pohon lokus itu hampir menjadi tanda kuburan seorang tolol. Kau menggali kuburanmu sendiri. Kau betul-betul sudah hampir memasukkan dirimu ke dalamnya."

Matahachi merangkul kaki Takuan, dan mohonnya, "Selamatkan saya! Oh, selamatkan saya. Mata saya... mata saya terbuka sekarang. Saya sudah ditipu Daizo dari Narai."

"Tidak, matamu tidak terbuka. Daizo juga tidak menipumu. Dia cuma mencoba memanfaatkan orang paling tolol di dunia ini, orang tolol yang serakah, tidak punya pengalaman, berpikiran sempit, tapi berani-berani menerima tugas yang akan ditolak oleh siapa pun yang berakal sehat."

"Ya... ya... saya memang orang tolol."

"Lalu menurutmu siapa Daizo itu?"

"Saya tidak tahu."

"Nama aslinya Mizoguchi Shinano. Dia abdi Otani Yoshitsugu, teman akrab Ishida Mitsunari. Kau tentunya ingat bahwa Mitsunari adalah salah satu pihak yang kalah di Sekigahara."

"Oh," gagap Matahachi. "Jadi, salah seorang prajurit yang sedang dilacak shogun?"

"Siapa lagi orang yang hendak membunuh shogun? Kebodohanmu betul-betul keterlaluan."

"Dia tidak mengatakan begitu pada saya. Dia cuma mengatakan benci Keluarga Tokugawa. Menurutnya, akan baik buat negeri ini kalau Keluarga Toyotomi pegang kekuasaan. Yang dibicarakannya cuma kerja demi kepentingan semua orang."

"Dan kau tidak lagi bertanya pada diri sendiri, siapa sesungguhnya dia, kan? Tanpa menggunakan kepalamu lagi, dengan berani kau menerima tugas darinya, menggali kuburanmu sendiri! Jenis keberanianmu itu mengerikan, Matahachi."

"Apa yang mesti saya lakukan sekarang?"

 "Lakukan?"

"Ayolah, Takuan, ayolah, tolong saya!"

"Lepaskan aku!"

"Tapi... tapi saya tidak benar-benar menggunakan senapan itu. Saya bahkan tidak menemukannya!"

"Tentu saja kau tidak menemukannya. Senapan itu tidak datang pada waktunya. Kalau Jotaro, yang dikecoh untuk menjadi bagian persekongkolan mengerikan ini, sudah sampai Edo seperti direncanakan, senapan itu kemungkinan sudah dikuburkan di bawah pohon itu."

"Jotaro? Maksud Anda, anak lelaki..."

"Sudahlah! Tak ada urusannya denganmu. Yang ada hubungannya denganmu adalah kejahatan pengkhianatan yang telah kaulakukan dan tak dapat diampuni, termasuk oleh dewa-dewa dan sang Budha. Dan tak perlu kau berpikir dapat diselamatkan."

"Apa tak ada jalan...?"

"Tentu saja tak ada!"

"Kasihani saya," Matahachi tersedu-sedu sambil bergayut pada lutut Takuan.

Takuan berdiri dan menendangnya. "Goblok!" bentaknya dengan suara seolah akan menerbangkan atap gudang itu. Kegarangan matanya tak dapat dilukiskan lagi-seperti Budha yang menolak digayuti, seorang Budha yang mengerikan dan tak berkenan menyelamatkan manusia, walaupun manusia itu sudah menyesal.

Sekejap-dua kejap Matahachi menatap pandangan itu dengan sikap benci. Kemudian kepalanya tertunduk menverah, dan tubuhnya diguncang sedu-sedan.

Takuan mengambil pisau cukur dari atas timbunan kavu, dan menyentuh kepala Matahachi sedikit dengan pisau itu.

"Karena kau akan mati, bolehlah kau mati seperti murid sang Budha. Atas dasar persahabatan, akan kubantu kau melakukannya. Tutup matamu dan duduk diam dengan kaki disilangkan. Garis yang membatasi hidup dan man tidak lebih tebal dari kelopak mata. Tak ada yang menakutkan dalam kematian. Tak ada yang mesti ditangiskan. Jangan menangis, Nak, jangan menangis. Takuan menyiapkan akhir hayatmu."



Ruang tempat berkumpulnya Dewan Sesepuh Shogun untuk membicarakan soal-soal negara itu letaknya terpencil dari bagian-bagian lain Benteng Edo. Ruang rahasia ini sepenuhnya tertutup oleh ruangan-ruangan dan pendopo-pendopo lain. Apabila para menteri diperlukan untuk menerima keputusan shogun, mereka menghadap ke ruang audiensi atau mengirimkan petisi dalam kotak berpernis. Surat-surat dan jawabannya terus mondar-mandir dengan kecepatan luar biasa, dan Takuan beserta Yang Dipertuan Hojo sudah beberapa kali diizinkan masuk ruangan itu. Acap kali mereka tinggal di sana sepanjang hari, kalau diperlukan menimbang-nimbang soal secara mendalam.

Pada hari khusus itu, di dalam ruangan lain yang tidak terlalu terpencil, namun tetap dijaga ketat, para menteri mendengarkan laporan dari utusan yang dikirimkan ke Kiso.

Utusan itu mengatakan bahwa sekalipun tidak ada penundaan dalam melaksanakan perintah untuk menangkap Daizo, namun Daizo berhasil meloloskan diri sesudah menutup kediamannya di Narai, dengan membawa serta seluruh rumah tangganya. Penggeledahan yang dilakukan mengungkapkan adanya persediaan senjata dan amunisi dalam jumlah besar, juga sejumlah dokumen yang lolos dari penghancuran. Termasuk juga dalam dokumen itu surat-surat kepada dan dari para pendukung Toyotomi di Osaka. Utusan itu telah mengatur pengapalan barang bukti tersebut ke ibu kota shogun, dan kemudian lekas kembali ke Edo dengan kuda cepat.

Para menteri merasa seperti nelayan yang telah menebarkan jaring besar, namun tak berhasil menangkap ikan, kecuali seekor ikan teri.

Hari berikutnya, seorang abdi Yang Dipertuan Sakai, yang menjadi anggota Dewan Sesepuh, membuat laporan lain: "Sesuai dengan perintah Yang Dipertuan, Miyamoto Musashi sudah dikeluarkan dari penjara. Ia diserahkan kepada orang bernama Muso Gonnosuke. Kepada Gonnosuke telah kami jelaskan secara terperinci mengenai salah pengertian yang telah terjadi."

Yang Dipertuan Sakai segera memberitahukan hal itu kepada Takuan, dan Takuan menyahut ringan, "Terima kasih atas kebaikan Anda."

"Anda mintalah kepada sahabat Anda, Musashi itu, untuk tidak terlalu buruk sangka terhadap kami," Yang Dipertuan Sakai meminta maaf. Ia merasa kurang enak melihat kekeliruan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.



Salah satu masalah yang cepat sekali dipecahkan adalah masalah pangkalan operasi Daizo di Edo. Para pejabat, dengan pimpinan Komisaris Edo, turun ke toko gadai di Shibaura, dan dengan gerak cepat menyita segalanya, baik berupa harta milik maupun dokumen-dokumen rahasia. Dalam peristiwa itu, Akemi yang sial ditangkap, sekalipun ia sepenuhnya buta mengenai rencana-rencana pengkhianatan pelindungnya.

Pada suatu malam, Takuan diterima untuk beraudiensi dengan shogun, dan kepada shogun ia menguraikan segala peristiwa yang diketahuinya dan bagaimana kesudahannya. Ia menutup uraiannya dengan mengatakan, "Hendaknya Anda tidak melupakan sedikit pun, bahwa di dunia ini masih lebih banyak lagi Daizo dari Narai."

Hidetada menerima peringatan itu dengan anggukan keras.

"Kalau Anda mencoba mencari semua orang itu dan menyeretnya ke pengadilan," sambung Takuan, "seluruh waktu dan usaha Anda akan habis hanya untuk urusan para pembangkang itu. Anda takkan dapat melaksanakan kerja besar yang diharapkan dari Anda sebagai pengganti ayah Anda."

Shogun dapat memahami kebenaran kata-kata Takuan itu, dan memasukkannya ke dalam hati. "Biarlah hukuman itu ringan saja," demikian ia memberikan pengarahan. "Karena Anda yang telah melaporkan adanya persekongkolan itu, saya serahkan pada Anda untuk memutuskan hukumannya."

Sesudah mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, Takuan berkata, "Tanpa saya sadari, sudah lebih dari sebulan saya tinggal di benteng ini. Sudah waktunya saya meneruskan perjalanan. Saya akan pergi ke Koyagyu di Yamato, untuk menjenguk Yang Dipertuan Sekishusai. Kemudian saya akan kembali ke Daitokuji, melalui daerah Senshu."

Mendengar nama Sekishusai agaknya menimbulkan kenangan yang menyenangkan pada Hidetada. "Bagaimana dengan kesehatan Pak Tua Yagyu itu?" tanyanya.

"Sayang sekali, saya mendapat berita bahwa menurut Yang Dipertuan Munenori, ajal sudah dekat."

Hidetada mengenang peristiwa ketika ia berada di perkemahan Shokokuji, dan Sekishusai diterima oleh Ieyasu. Waktu itu Hidetada masih kanak-kanak, dan sikap Sekishusai yang jantan menimbulkan kesan mendalam baginya.

Takuan memecahkan kesunyian. "Ada satu hal lain," katanya. "Sesudah berunding dengan Dewan Sesepuh, dan dengan izin para anggota Dewan, Yang Dipertuan Hojo dari Awa dan saya mengusulkan samurai bernama Miyamoto Musashi untuk menjadi guru dalam rumah tangga Yang Mulia. Saya berharap Anda akan memberikan penilaian baik pada usul kami ini."

"Saya sudah mendapat pemberitahuan teptang itu. Kabarnya Keluarga Hosokawa berminat juga kepadanya, dan sangat cocok dengannya. Saya sudah memutuskan untuk menyetujui pengangkatan seorang guru lagi."



Sehari-dua hari sebelum Takuan meninggalkan benteng, ia memperoleh seorang murid baru. Ia pergi ke gudang kayu di belakang kantor pengawas, dan minta salah seorang pekerja dapur membukakan pintu baginya. Cahaya dari luar mengenai kepala yang baru dicukur.

Untuk sesaat, murid baru itu tak dapat melihat. Ia, yang merasa sebagai orang hukuman, pelan-pelan mengangkat matanya yang sejak tadi menunduk, dan katanya,

"Ayo!" kata Takuan.

Mengenakan jubah pendeta kiriman Takuan, Matahachi berdiri gontai dengan kaki yang terasa seolah mulai membusuk. Takuan pelan-pelan merangkul bahunya dan membantunya keluar dari gudang.

Hari pembalasan telah tiba. Dari balik kelopak matanya yang tertutup pasrah, Matahachi dapat melihat tikar buluh. Di tikar itulah ia akan dipaksa berlutut, sebelum algojo mengangkat pedang. Jelaslah, ia sudah lupa bahwa para pengkhianat biasanya menjumpai maut secara memalukan, dengan digantung. Air mata bercucuran di pipinya yang tercukur bersih.

"Kau bisa jalan?" tanya Takuan.

Matahachi merasa memberikan jawaban, padahal tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Secara hampir tak sadar ia lewati gerbang-gerbang benteng, dan ia seberangi jembatan-jembatan yang melengkungi parit-parit dalam dan luar. Murung, ia melangkah di samping Takuan, persis seperti domba dituntun ke pembantaian. "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida..." Dengan diam ia mengulang-ulang doa bagi sang Budha Terang Abadi itu.

Matahachi menyipitkan mata, melihat ke seberang parit di luar, ke arah kediaman daimyo yang anggun. Lebih jauh ke timur sana terletak Kampung Hibiya. Di sebelahnya tampak jalan-jalan daerah pusat kota.

Dunia yang mengambang itu kini serasa baru baginya, dan bersamaan dengan timbulnya hasrat akan dunia itu, air matanya kembali bercucuran. Ia pejamkan kedua mata itu, dan ulangnya cepat-cepat, "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida...." Permohonan itu mulai kedengaran oleh telinga, kemudian terdengar makin keras, dan makin cepat.

"Lekas!" kata Takuan garang.

Dari parit itu, mereka membelok ke arah Otemachi dan melintasi sebuah tempat terbuka yang luas dan kosong. Matahachi merasa sudah menempuh jarak seribu kilometer. Apakah jalan ini akan terus begini sampai di neraka, sementara sinar terang perlahan-lahan didesak gelap gulita?

"Tunggu di sini!" perintah Takuan. Mereka berada di tengah tempat terbuka yang datar. Di sebelah kiri, air berlumpur mengalir menuruni parit dari Jembatan Tokiwa.






Tepat di seberang jalan, ada sebuah dinding tanah yang barn saja selesai diplester putih. Di sebelahnya tembok penjara baru, dan sekelompok gedung hitam yang tampak seperti rumah-rumah kota yang biasa, meskipun sebetulnya adalah kediaman resmi Komisaris Edo.

Kaki Matahachi gemetar, tak dapat lagi menopang tubuhnya. la roboh ke tanah. Di rumput, entah di mana, terdengar suara burung yang seolah membayangkan jalan menuju negeri orang mati.

Lari? Kedua kakinya tak siap untuk itu, juga kedua tangannya. Tidak, ia tak dapat lari, pikirnya. Kalau shogun sudah menetapkan ia perlu ditangkap, tak ada selembar daun atau rumput pun yang bisa menjadi tempat ia menyembunyikan diri.

Dalam hati ia berteriak memanggil ibunya, yang waktu itu terasa sangat dekat olehnya. Sekiranya dulu ia tidak meninggalkan ibunya, ia tak akan ada di sini sekarang. Ia teringat akan perempuan-perempuan lain: Oko, Akemi, Otsu, dan perempuan-perempuan lain lagi yang disukainya, atau pernah diajaknya bermain-main. Namun ibunyalah satu-satunya perempuan yang betul-betul ingin dijumpainya. Sekiranya ia mendapat kesempatan hidup terus, ia tak man lagi menentang kemauan ibunya, takkan lagi ia menjadi anak durhaka.

Tengkuknya terasa dingin. Ia menengadah ke arah tiga ekor angsa liar yang sedang terbang ke arah teluk, dan ia iri pada mereka.

Dorongan untuk lari kini terasa sangat kuat. Kenapa tidak? Ia takkan kehilangan apa-apa. Kalau ia tertangkap, nasibnya takkan lebih buruk daripada sekarang. Dengan pandangan putus asa, ia menatap pintu gerbang di seberang jalan. Tak ada tanda-tanda Takuan.

Maka ia lompat berdiri dan lari.

"Berhenti!" Kerasnya suara itu sudah cukup mematahkan semangatnya. Ia menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya salah seorang algojo komisaris. Orang itu melangkah maju dan menjatuhkan tongkat panjangnya ke bahu Matahachi. Dengan satu pukulan saja ia berhasil menjatuhkan Matahachi, kemudian mengimpitnya dengan tongkat, seperti anak-anak mengimpit katak dengan kayu.

Takuan keluar dari rumah kediaman komisaris, disertai beberapa pengawal, termasuk seorang kapten. Mereka menuntun tahanan lain ke luar, dalam keadaan terikat tali.

Si kapten memilih tempat untuk melaksanakan hukuman, dan dua lembar tikar buluh yang baru selesai dianyam dihamparkan di tanah.

"Kita mulai?" tanyanya pada Takuan, dan Takuan mengangguk tanda mengiakan.

Ketika si kapten dan pendeta sudah duduk di bangku, algojo berteriak, "Berdiri!" dan mengangkat tongkatnya. Matahachi mencoba sebisa-bisanya mengangkat dirinya, tapi la terlampau lemah untuk berjalan. Algojo dengan marah menangkap bagian belakang jubahnya, dan setengah menyeretnya ke salah satu tikar.

Ia duduk. Kepalanya tertunduk. Ia tak dapat lagi mendengar suara burung itu. Ia sadar akan suara-suara itu, tapi begitu tak jelas, seakan-akan terpisahkan oleh sebuah dinding. Tiba-tiba terdengar olehnya namanya dibisikkan orang, dan ia menengadah heran.

"Akemi!" gagapnya. "Apa kerjamu di sini?"

Akemi berlutut di tikar yang lain.

"Dilarang bicara!" Dua pengawal menggunakan tongkat untuk memisahkan mereka.

Si kapten berdiri dan mulai membacakan keputusan dan hukuman resmi dengan nada garang bermartabat. Akemi menahan air matanya, tapi Matahachi menangis tanpa kenal malu. Kapten selesai membaca, duduk, dan berseru, "Pukul!" 

Dua pengawal berpangkat rendah yang membawa bilah-bilah bambu panjang berjingkrak mengambil posisi, dan mulai mencambuk punggung kedua tahanan itu.

"Satu. Dua. Tiga," mereka menghitung. Matahachi merintih. Akemi, dengan muka tertunduk pucat pasi, mengatupkan gigi sekuat-kuatnya untuk menahan rasa sakit.

"Tujuh. Delapan. Sembilan." Cambuk bambu jadi berumbai-rumbai, dan asap seolah mengepul dari ujung-ujungnya.

Beberapa pejalan kaki berhenti di tepi lapangan, untuk melihat. "Ada apa?"

"Dua tahanan sedang dihukum rupanya."

"Seratus cambukan barangkali."

"Belum lagi lima puluh."

"Tentunya sakit."

Seorang pengawal datang mendekat dan mengejutkan mereka dengan menghantamkan tongkat keras-keras ke tanah. "Pergi sana! Dilarang berdiri di sini."

Orang-orang yang suka ingin tahu itu pun mencari tempat yang lebih aman, dan ketika mereka menoleh ke belakang, mereka lihat hukuman sudah selesai. Para pengawal membuang cambuk yang kini tinggal lembar-lembar lembut, dan menghapus keringat dari wajah.

Takuan berdiri. Kapten juga sudah berdiri. Mereka bertukar basa-basi, kemudian Kapten membawa anak buahnya kembali ke kediaman komisaris. Takuan masih berdiri beberapa menit lamanya, memandangi kedua tubuh yang membungkuk di tikar itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, dan pergi meninggalkan tempat itu.

Shogun memberikan sejumlah hadiah kepadanya, yang kemudian disumbangkannya kepada berbagai kuil Zen di kota itu. Namun gunjingan orang Edo segera mulai lagi. Menurut desas-desus, ia pendeta ambisius yang suka ikut campur politik. Desas-desus lain mengatakan ia orang yang ditugaskan Keluarga Tokugawa untuk memata-matai golongan Osaka. Lain lagi mengatakan ia anggota komplotan "berjubah hitam".

Gunjingan-gunjingan itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Takuan. Memang ia sangat prihatin mengenai kesejahteraan bangsa, tapi tidak banyak bedanya baginya, apakah bunga-bunga zaman yang sedang mencolok waktu itu-yaitu benteng di Edo dan Osaka-berkembang atau gugur.

Beberapa berkas sinar tipis menerobos awan, dan suara burung terdengar kembali. Kedua sosok itu tidak juga bergerak, walau sudah beberapa waktu berlalu, dan mereka sedikit pun tidak kehilangan kesadaran.

Akhirnya Akemi bergumam, "Matahachi, lihat—air!" Di depan mereka terdapat dua ember kayu berisi air, masing-masing ada ciduknya, suatu bukti bahwa kantor komisaris itu tidak sepenuhnya kejam.

Akemi meminum beberapa teguk air, kemudian menawarkan ciduk pada Matahachi. Tapi Matahachi tidak menjawab, maka tanya Akemi, "Ada apa? Kau tidak mau?"

Pelan-pelan Matahachi mengulurkan tangan dan menerima ciduk. Begitu ciduk menyentuh bibir, ia minum dengan rakusnya.

"Matahachi, apa kau menjadi pendeta?"

"Hah? ... Apa sudah selesai?"

"Apanya yang sudah selesai?"

"Hukuman itu? Mereka belum memotong kepala kita."

"Bukan itu tugas mereka. Apa kau tidak dengar orang itu membacakan hukumannya?"

"Apa katanya?"

"Katanya, kita mesti dibuang dari Edo."

"Lho, aku hidup!" jerit Matahachi. Ia hampir sinting karena gembira. Ia melompat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi pada Akemi.

Akemi memegang kepalanya dan mulai sibuk dengan rambutnya. Kemudian ia membenahi kimono dan mengetatkan obi-nya. "Tak kenal malu!" gumamnya dengan bibir perot. Kini Matahachi hanya tampak sebagai titik di kaki langit.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP