Pembantaian di Tepi
Sungai
HIDUP di bawah atap
setengah genting Yajibei itu sangat cocok untuk Osugi, hingga satu setengah
tahun kemudian ia masih tinggal di sana. Beberapa minggu pertama
dipergunakannya untuk beristirahat dan menyembuhkan badan. Sesudah itu, hampir
tak pernah ada hari lewat tanpa ia menyatakan ingin pergi meninggalkan tempat
itu.
Setiap kali ia
memulai pembicaraan tentang itu, Yajibei yang tidak sering dilihatnya,
mendesaknya untuk tinggal lebih lama. "Untuk apa tergesa-gesa?"
tanyanya. "Tak ada alasan buat Ibu pergi ke mana-mana. Tunggu kesempatan
dulu, sampai kami menemukan Musashi. Waktu itulah kami akan bertindak sebagai
pendukung Ibu." Yajibei tak tahu apa-apa tentang musuh Osugi, kecuali dari
yang telah diceritakan Osugi sendiri kepadanya. Musashi, menurut Osugi, adalah
orang paling jahat dari seluruh orang jahat, dan itu diuraikannya sampai bertele-tele.
Semenjak kedatangannya, semua bawahan Yajibei mendapat perintah untuk segera
melaporkan apa pun yang mereka dengar tentang Musashi, atau apabila mereka
melihatnva.
Semula Osugi membenci
Edo, tapi kemudian sikapnya melunak, sampai akhirnya ia mau mengakui bahwa
orang-orang itu "bersahabat, periang, dan betul-betul baik hati".
Rumah tangga
Hangawara adalah tempat yang sangat gampang, dan merupakan semacam pelabuhan
bagi orang-orang buangan. Pemuda-pemuda desa yang terlampau malas untuk
bertani, ronin yang tersingkir, orang-orang jangak yang telah menghabiskan uang
orangtua mereka, dan bekas-bekas narapidana bertato, di tempat itu membentuk
persekutuan orang kasar dan aneka warna. Semangat korps yang menyatukan mereka
anehnya mirip dengan semangat perguruan prajurit yang terurus baik. Namun yang
menjadi ideal di situ adalah kejantanan penuh gertakan, bukan kelelakian
spiritual. Tempat ini betul-betul dojo untuk para penjahat kejam.
Sebagaimana dalam
dojo seni perang, di situ terdapat struktur kelas yang ketat. Di bawah majikan
yang merupakan penguasa spiritual dan yang sangat sementara sifatnya, terdapat
kelompok senior yang biasanya disebut "kakak". Di bawah mereka terdapat
bawahan atau kobun, yang kedudukannya sangat ditentukan oleh panjangnya masa
dinas. Ada juga kelas khusus berupa "tamu". Status tamu tergantung
pada faktor-faktor seperti kecakapan mereka menggunakan senjata. Organisasi
hierarki ini didukung kode sopan santun yang asal-usulnya tidak jelas, namun
dianut dengan tegas.
Suatu kali, karena
menduga Osugi merasa bosan, Yajibei menyarankan agar Osugi mau mengurusi
orang-orang muda itu. Semenjak itu, hari-hari Osugi disibukkan sepenuhnya oleh
kerja menjahit, menambal, mencuci, dan mengatur para kobun. Kebiasaan ceroboh
mereka memberikan banyak kesibukan kepadanya.
Meskipun tidak
berpendidikan, para kobun itu bisa menghargai kualitas kalau mereka
menyaksikannya. Mereka umumnya mengagumi kebiasaan-kebiasaan hidup Osugi yang sederhana
dan keras, serta efisiensi kerjanya. "Dia betul-betul wanita
samurai," demikian kata mereka. "Keluarga Hon'iden itu pasti memiliki
darah yang sangat balk."
Tuan rumah yang lain
dari yang lain itu memperlakukan Osugi dengan penuh perhatian. Ia bahkan
membangun ruang tinggal terpisah untuk Osugi, di tanah kosong di belakang
rumahnya. Kalau sedang berada di rumah, ia selalu pergi menyatakan hormat
kepada Osugi, tiap pagi dan petang. Tatkala salah seorang anak buahnya
bertanya, kenapa ia begitu hormat pada seorang asing, Yajibei mengakui bahwa
dulu ia memperlakukan ayah dan ibunya dengan sangat buruk, selagi mereka masih
hidup. "Pada umurku sekarang," katanya, "aku merasa berkewajiban
sebagai anak pada semua orang tua."
Musim semi tiba, dan
kembang-kembang prem liar sudah berjatuhan, tapi di kota itu sendiri, hingga
waktu itu hampir belum ada bunga sakura. Selain beberapa pohon di bukit-bukit
barat yang hanya di sana-sini dihuni orang, hanya terdapat pohon-pohon muda
yang ditanam orang-orang Budhis sepanjang jalan menuju Sensoji, di Asakusa.
Orang mengatakan tahun ini pohon-pohon itu akan berkuncup dan berkembang untuk
pertama kali.
Pada suatu hari,
Yajibei datang ke kamar Osugi, katanya, "Saya akan pergi ke Sensoji.
Barangkali Ibu mau ikut?"
"Senang sekali.
Kuil itu dipersembahkan pada Kanzeon, dan saya percaya sekali pada kekuatannya.
Dia bodhisatwa yang sama dengan Kannon yang saya puja di Kuil Kiyomizudera,
Kyoto."
Bersama Yajibei dan
Osugi ikut dua dari antara para kobun, Juro dan Koroku. Jutu mempunyai nama
panggilan "Tikar Buluh", yang asalnya tak ada yang mengetahui;
sebaliknya, jelas kenapa Koroku disebut "Akolit". Ia bertubuh kecil,
berbadan pejal, wajahnya sangat ramah, kalau orang tidak menghiraukan tiga
bekas luka jelek pada dahinya, yang menjadi bukti kecenderungannya bertengkar
di jalan-jalan.
Pertama, mereka pergi
ke parit di Kyobashi, tempat penyewaan perahu.
Koroku dengan
terampil mengayuh keluar dari parit, dan masuk Sungai Sumida, kemudian Yajibei
memerintahkan membuka bekal perjalanan.
"Saya pergi ke
kuil itu hari ini," jelasnya, "sebab hari ini ulang tahun
meninggalnya ibu saya. Sebetulnya saya mesti pulang berziarah ke makamnya, tapi
tempatnya terlalu jauh, karena itu saya ambil jalan tengah pergi ke Sensoji dan
memberikan sumbangan. Tapi sebetulnya itu serbatanggung jadinya. Anggap sajalah
ini piknik." Ia menjangkau tepi perahu, membasuh mangkuk sake dengan air
sungai, dan menawarkannya pada Osugi.
"Bagus sekali
Anda ingat pada ibu," kata Osugi ketika menerima mangkuk: sesuai dengan
sifatnya yang suka bertingkah, ia bertanya-tanya apakah Matahachi akan berbuat
demikian juga bila nanti ia sudah mati. "Tapi terpikir juga oleh saya, apa
pantas minum sake pada ulang tahun meninggalnya ibu Anda yang malang itu?"
"Ah, tapi saya
lebih baik melakukan ini daripada mengadakan upacara yang muluk-muluk. Biar
bagaimana, saya percaya kepada sang Budha. Itulah yang penting untuk orang udik
bebal macam saya. Ibu kenal dengan peribahasa ini, kan? Barang siapa beriman,
dia tidak membutuhkan pengetahuan'."
Osugi tidak
mengganggu-gugat lagi soal itu, dan minta tambah sake beberapa kali lagi.
Beberapa waktu kemudian, ia menyatakan, "Lama sekali saya tidak minum
macam ini. Saya merasa seperti mengapung di udara."
"Minumlah,"
desak Yajibei. "Sake-nya enak, kan? Jangan kuatir akan jatuh ke air. Kami
di sini menjaga Ibu."
Sungai yang mengalir
ke selatan dari Sumida itu lebar dan tenang. Di tepian Shimosa, yaitu tepi
timur yang berhadap-hadapan dengan Edo, terdapat hutan subur. Akar-akar pohon yang
menjulur ke dalam air membentuk sarang. mengelilingi kolam-kolam jernih
bersinar seperti batu safir di sinar matahari.
"Oh," kata
Osugi. "Dengarkan burung bulbul itu."
"Kalau musim
hujan datang, kita dapat mendengar burung kukuk berbunyi sepanjang hari."
"Mari saya
tuangkan lagi. Saya harap Anda tidak keberatan saya ikut dalam perayaan
ini."
"Oh, saya senang
kalau Ibu senang."
Dari buritan perahu,
Koroku berseru keras, "Bagaimana kalau sake diedarkan, Bos?"
"Perhatikan dulu
kerjamu. Kalau kau mulai minum sekarang, kita semua bisa tenggelam. Waktu
pulang nanti, kau boleh minum sesukamu."
"Beres. Tapi
sebaiknya Anda tahu, sungai ini seluruhnya mulai kelihatan seperti sake."
"Jangan pikirkan
lagi soal itu. Nah, bawa perahu ini ke perahu dekat tepi itu, supaya kita dapat
membeli ikan segar."
Koroku memenuhi
perintah. Sesudah sedikit tawar-menawar, memperlihatkan senyuman senang, si
nelayan membuka tangki yang ditanam di dek dan mempersilakan mereka mengambil
sesuka mereka. Belum pernah Osugi melihat pemandangan macam itu. Tangki itu
penuh dengan ikan yang menggelepar-gelepar dan mengepak-ngepak, sebagian dari
laut, sebagian lagi dari sungai: ikan gurame, udang, ikan berkumis, porgi
hitam, dan ikan gobi. Bahkan ikan forrel dan bandeng ada juga.
Yajibei menuangkan
kecap pada beberapa ikan umpan putih dan mulai melahapnya mentah-mentah. Ia
menawarkannya juga pada Osugi, tapi Osugi menolak dengan wajah ngeri.
Ketika mereka merapat
ke tepi barat dan turun, Osugi kelihatan sedikit goyah kakinya.
"Hati-hati,"
Yajibei mengingatkan. "Pegang tangan saya ini."
"Terima kasih.
Saya tak perlu bantuan," katanya sambil melambaikan satu tangan ke depan
mukanya sendiri dengan sikap marah.
Sesudah Juro dan
Koroku menambatkan perahu, keempat orang itu melintasi padang batu dan kubangan
air yang luas, menuju tepi sungai yang bersih.
Serombongan anak
kecil sibuk membalik-balik batu, tapi ketika melihat keempat orang yang tidak
biasa mereka lihat itu, mereka pun berhenti dan segera mengelilingi dan
berceloteh dengan riuhnya.
"Beli ini, Pak.
Beli, Pak."
"Mau beli,
Nek?"
Yajibei rupanya suka
anak-anak. Setidaknya, ia tidak memperlihatkan tanda-tanda kesal. "Apa
yang kaujual itu-kepiting?"
"Bukan kepiting,
mata panah," seru mereka sambil mengeluarkan sejumlah besar barang itu
dari dalam kimono.
"Mata
panah?"
"Betul, Pak.
Banyak orang dan kuda dikubur di bukit dekat kuil itu. Orang datang kemari beli
mata panah buat sesajen orang yang meninggal. Bapak perlu juga?"
"Aku barangkali
tidak butuh mata panah, tapi akan kuberi kau uang. Bagaimana kalau
begitu?"
Pilihan baik sekali.
Begitu Yajibei selesai membagikan beberapa mata uang, anak-anak itu berlarian
pergi dan kembali menggali. Tapi, selagi ia masih memperhatikan, seorang lelaki
keluar dari sebuah rumah beratap lalang, tidak jauh dari sana, mengambil mata
uang itu dari tangan anak-anak, dan masuk kembali ke dalam rumah. Yajibei
mendecapkan lidah dan membuang muka dengan sikap muak.
Osugi melayangkan
pandang ke seberang sungai, dengan mata tampak terpesona. "Kalau di sini
banyak mata panah," ujarnya, "tentunya di sini pernah terjadi
pertempuran besar."
"Saya tidak tahu
benar, tapi rupanya memang terjadi sejumlah pertempuran di sini, ketika Edo
cuma sebuah tanah milik provinsi, empat atau lima ratus tahun yang lalu. Saya
pernah mendengar, Minamoto no Yoritomo datang kemari dari Izu, untuk menyusun
pasukan pada abad dua belas.
Ketika istana Kaisar
terpecah-kapan itu, ya, pada abad empat belas?Yang Dipertuan Nitta dari Musashi
dikalahkan oleh Keluarga Ashikaga di sekitar daerah ini. Beberapa abad
terakhir, Ota Dokan dan jenderal setempat lainnya kabarnya melakukan banyak
pertempuran di arah udik."
Sementara mereka
bercakap-cakap, Juro dan Koroku pergi menyiapkan tempat duduk bagi mereka di
beranda kuil.
Sensoji ternyata
sangat mengecewakan Osugi. Di matanya, kuil itu tidak lebih dari rumah besar
yang sudah tidak terpelihara, sedangkan tempat tinggal pendeta hanya sebuah
gubuk. "Apa ini yang namanya Sensoji?" tanyanya dengan nada lebih
dari sekadar mencela. "Sesudah begitu banyak saya mendengar tentang
Sensoji..."
Lingkungan kuil itu
berupa hutan kuno yang indah, dengan pohon-pohon besar tua, tapi kekurangannya
tidak hanya karena ruang Kanzeon itu tampak kotor. Apabila sungai banjir, air
naik dari hutan, langsung ke beranda. Pada waktu lain pun, air anak-anak sungai
kecil melimpahi pekarangan itu.
"Selamat datang.
Saya senang bertemu lagi dengan Bapak."
Osugi menengadah
keheranan, dan melihat seorang pendeta berlutut di atas atap.
"Mengerjakan
atap?" tanya Yajibei ramah.
"Terpaksa,
gara-gara burung. Makin sering saya memperbaikinya, makin sering dia mencuri
lalang untuk membuat sarang. Selalu saja ada yang bocor. Silakan, Pak. Sebentar
lagi saya turun."
Yajibei dan Osugi
mengambil lilin nazar dan masuk ke dalam ruangan yang remang-remang.
"Tidak heran kalau bocor," pikir Osugi, yang melihat lubang-lubang
seperti bintang di atas kepalanya.
Sambil berlutut di
samping Yajibei, Osugi mengeluarkan tasbihnya dan dengan pandangan menerawang
ia menyanyikan Sumpah Kanzeon dari kitab Sutra Teratai.
Engkau bersemayam di
langit seperti matahari
Dan kalau engkau
dikejar orang-orang jahat.
Dan ditolakkan dari
Gunung Berlian.
Kenangkan olehmu
kuasa Kanzeon.
Dan engkau takkan
kehilangan selembar pun rambut kepalamu.
Dan kalau
bandit-bandit mengepungmu.
Dan mengancammu
dengan pedang
Kalau engkau
kenangkan kuasa Kanzeon,
Bandit-bandit akan
kasihan kepadamu.
Dan kalau raja
menghukum mati engkau
Dan pedang akan
memenggal kepalamu,
Kenangkan olehmu
kuasa Kanzeon
Pedang akan patah
berkeping-keping
Semula ia membacakan
lagu itu pelan-pelan, tapi ketika ia sudah lupa akan hadirnya Yajibei, Juro,
dan Koroku, suaranya pun naik dan jadi bergaung; wajahnya tampak asyik.
Delapan puluh empat
makhluk perkasa
Mulai dengan sepenuh
hati menghasratkan Amuttara-samyak-sambodhi
Kebijaksanaan sang
Budha yang tak ada bandingannya.
Tasbih menggeletar
dalam jemarinya; tanpa berhenti, Osugi beralih dari pembacaan ke permohonan
pribadinya sendiri.
Hidup Kanzeon Maha
Terhormat!
Hidup Bodhisatwa
Keampunan Tak terbatas dan
Belas kasihan Tak
terbatas!
Kabulkanlah harapan
perempuan tua ini.
Izinkan aku
menjatuhkan Musashi, segera sekali!
Izinkan aku
menjatuhkannya!
Izinkan aku
menjatuhkannya!
Tiba-tiba ia
menurunkan suaranya dan membungkuk ke lantai.
"Dan jadikan
Matahachi anak yang baik!
Datangkan
kesejahteraan kepada Keluarga Hon'iden!"
Sesudah doa panjang
itu berakhir, menyusul saat tenang dan pendeta mengundang mereka ke luar untuk
minum teh. Yajibei dan kedua orang muda yang berlutut tertib selama berlangsung
pembacaan doa itu bangkit sambil menggosok-gosok kaki yang kesemutan, dan
keluar menuju beranda.
"Sekarang boleh
minum sake, kan?" tanya Juro. Begitu diberi izin, ia bergegas menuju rumah
pendeta dan menyiapkan makan slang di serambi. Ketika orang-orang lain
menggabungkan diri dengannya, ia sedang menghirup sake dengan satu tangan, dan
dengan tangan satunya memanggang ikan yang tadi mereka beli. "Siapa yang
peduli, ada bunga sakura atau tidak?" ucapnya. "Rasanya sekarang ini
saja sudah seperti piknik sambil meninjau bunga-bunga."
Yajibei menyerahkan
kepada pendeta persembahan yang dengan rapi dibungkus kertas, dan ia minta agar
uang itu digunakan untuk membetulkan atap. Saat melakukan itu, kebetulan ia
melihat sebaris piagam dari kayu, yang memuat nama-nama para penyumbang dan
jumlah yang mereka sumbangkan. Hampir semuanya sama dengan jumlah yang
diberikan Yajibei. Beberapa orang kurang jumlahnya, tapi ada satu yang
mencolok. Sepuluh mata uang emas, Daizo dari Narai, Provinsi Shinano.
Sambil menoleh kepada
pendeta, Yajibei menyatakan dengan sedikit malu-malu. "Barangkali kasar
saya menyatakan ini, tapi sepuluh mata uang emas adalah jumlah yang besar. Apa
Daizo dari Narai itu memang kaya?"
"Tak bisa saya
mengatakan itu. Dia muncul entah dari mana, pada suatu hari menjelang akhir
tahun lalu, dan mengatakan sungguh memalukan bahwa kuil paling terkenal di
daerah Kanto ini dalam keadaan begini jelek. Dia minta saya menambahkan uang
itu kepada dana kami, untuk membeli kayu."
"Kedengarannya
seperti orang yang patut dikagumi."
"Dia juga
menyumbangkan tiga keping mata uang emas kepada Tempat Suci Yushima, dan tak
kurang dari dua puluh keping kepada Tempat Suci Kanda Myojin. Dia minta agar
yang terakhir itu disimpan baik-baik, karena dia mengabdikan semangat Taira no
Masakado. Daizo menekankan bahwa Masakado bukan seorang pemberontak.
Menurutnya, Masakado mesti dipuja sebagai perintis yang telah membuka bagian
timur negeri ini. Anda lihat ada beberapa penyumbang yang sangat luar biasa di
dunia ini."
Belum lagi selesai ia
berbicara, segerombolan anak-anak datang berlari, berebut-rebut mendekati
mereka.
"Apa kerja
kalian di sini?" teriak si pendeta dengan garang. "Kalau kalian mau
main, turun sana ke sungai. Kalian jangan lari-lari tak keruan di pekarangan
kuil."
Tetapi anak-anak itu
terus juga berlari seperti kawanan ikan mino, sampai mereka mencapai beranda.
"Cepat ke
sana!" teriak salah satu dari mereka. "Bukan main!"
"Ada samurai di
sana. Lagi berkelahi!"
"Satu orang
lawan empat."
"Pedang
betulan!"
"Terpujilah sang
Budha, jangan lagi terjadi!" rintih si pendeta sambil bergegas mengenakan
sandalnya. Sebelum berlari pergi, ia berhenti dulu sebentar, memberi
penjelasan. "Maafkan saya. Terpaksa saya meninggalkan Anda sekalian
sebentar. Tapi sungai ini tempat yang disenangi orang buat berkelahi. Tiap kali
saya keliling, ada saja orang di sana memotong-motong yang lain atau
memukulinya sampai tinggal jadi daging. Kemudian petugas kantor hakim datang
menemui saya dan minta laporan tertulis. Terpaksa sekarang saya pergi melihat
apa yang terjadi."
"Perkelahian?"
tanya Yajibei dan orang-orangnya serempak, dan segera ikut lari. Osugi ikut
juga, tapi karena jauh lebih lambat jalannya, ketika ia sampai di sana,
perkelahian sudah selesai. Anak-anak dan beberapa penonton dari desa nelayan
sekitar situ berdiri diam berkeliling. Mereka semua menelan ludah dengan
susah-payah, muka mereka pucat.
Semula Osugi merasa
suasana diam itu aneh, tapi kemudian ia ikut tergagap dan matanya melotot.
Bayangan seekor burung layang-layang melintas di tanah. Seorang samurai muda
berwajah puas diri, berpakaian jubah prajurit warna merah keunguan, berjalan ke
arah mereka. Entah ia melihat para penonton atau tidak, tapi yang jelas ia
tidak memperhatikan mereka.
Pandangan Osugi
berpindah kepada empat tubuh yang tergeletak tumpang tindih sekitar dua puluh
langkah di belakang samurai itu.
Si pemenang itu
berhenti. Begitu ia berhenti, beberapa mulut tergagap, karena seorang dari
orang-orang yang kalah itu bergerak. Mati-matian ia berusaha tegak berdiri,
lalu berteriak, "Tunggu! Tak bisa kau lari!"
Samurai itu mengambil
jurus menanti, dan orang yang luka itu berlari ke depan, terengah-engah,
"Pertempuran... ini... belum selesai!"
Ketika orang itu
melompat lemah untuk menyerang, si samurai mundur setapak, hingga orang itu
terhuyung ke depan, kemudian ia menebas, dan kepala orang itu pun terbelah dua.
"Nah, selesai
sekarang?" teriaknya kejam.
Bahkan tak seorang
pun melihat kapan Galah Pengering itu dihunus.
Sesudah menghapus
mata pedang, ia membungkuk untuk mencuci tangannya di sungai. Sekalipun
orang-orang desa itu sudah terbiasa dengan perkelahian, mereka terpana melihat
sikap darah dingin samurai itu. Kematian orang terakhir itu tidak hanya
bersifat seketika, tapi juga kejam tak berperikemanusiaan. Tak satu patah kata
pun terucapkan.
Samurai itu berdiri
meregangkan badan. "Ini seperti Sungai Iwakuni," katanya. "Dan
mengingatkan aku pada rumah." Beberapa saat lamanya ia iseng memandang
sungai lebar dan sekawanan burung layang-layang berdada putih yang menukik dan
menyambar air. Kemudian ia membalik dan berjalan cepat menghilir.
Ia langsung menuju
perahu Yajibei, tapi ketika ia baru mulai melepaskan tambatannya, Juro dan
Koroku datang berlari-lari dari hutan.
"Tunggu! Apa
maksudmu?" teriak Juro yang kini sudah cukup dekat, hingga melihat darah
pada hakama samurai itu dan tali sandalnya, tapi tidak mengacuhkannya.
Sambil menjatuhkan
tali perahu, samurai itu menyeringai, tanyanya, "Apa tak boleh aku pakai
perahu ini?"
"Tentu saja tak
boleh," sahut Juro.
"Dan kalau
kubayar untuk kugunakan?"
"Jangan omong
kosong." Suara kasar menolak permintaan samurai itu datang dari Juro, tapi
sepertinya seluruh kota Edo yang baru dan kurang ajar itulah yang bicara tanpa
kenal takut melalui mulutnya.
Samurai itu tidak
minta maaf, tapi tidak juga hendak menggunakan kekerasan. Ia hanya membalik dan
pergi tanpa mengatakan sesuatu.
"Kojiro! Kojiro!
Tunggu!" panggil Osugi sekuat paru-parunya.
Ketika Kojiro melihat
siapa yang memanggilnya, kegarangan pada mukanya pun lenyap, dan tersungginglah
senyuman ramah. "Lho, apa yang Ibu kerjakan di sini? Sebenarnya ingin tahu
juga saya, apa yang terjadi dengan Ibu."
"Saya di sini
menyatakan hormat pada Kanzeon. Saya datang dengan Hangawara Yajibei dan dua
pemuda itu. Yajibei memperkenankan saya tinggal di rumahnya, di
Bakurocho."
"Kapan terakhir
kali kita bertemu, ya? Coba saya ingat-ingat-oh, Gunung Hiei. Waktu itu Ibu
mengatakan akan pergi ke Edo, karena itu saya sudah pikir mungkin akan ketemu
Ibu. Tak disangka bisa ketemu Ibu di sini." Ia memandang Juro dan Koroku
yang waktu itu sedang tercengang-cengang. "Maksud Ibu dua pemuda di sana
itu?"
"Ah, mereka itu
cuma sepasang bajingan, tapi majikan mereka orang yang baik sekali."
Sama dengan semua
orang, Yajibei seperti disambar petir ketika melihat tamunya mengobrol ramah
dengan samurai mengerikan itu. Dalam sekejap ia sudah tiba di tempat itu dan
membungkuk pada Kojiro, katanya, "Barangkali anak-anak buah saya bersikap
sangat kasar pada Anda. Saya harap Anda mau memaafkan mereka. Kami sudah siap
untuk pergi. Barangkali Anda mau menghilir bersama kami?"
0 komentar:
Posting Komentar