Rabu, 12 Juli 2017







Kecapi Rusak


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






EMPAT-lima batang kayu di perapian menyala lembut, menyebarkan aroma menyegarkan Dan menerangi kamar kecil itu seakan tengah hari. Asap lembut itu tidak menyebabkan mata sakit. Asapnya seperti daun-daur, peoni terbawa angin, sekali-sekali dinodai bunga-bunga api warna emas lembayung dan merah tua. Manakali api menunjukkan tanda-tanda akar. mati, Yoshino menambahkan potongan-potongan ranting api sepanjang tiga puluh sentimeter yang diambil dari bak.

Orang-orang itu terlampau terpikat oleh keindahan nyala api, hingga tidak bertanya tentang kayu api, tapi akhirnya Mitsuhiro mengatakan "Kayu apa yang kaupergunakan itu? Itu bukan kayu pinus."

"Bukan," jawab Yoshino. "Ini kayu peoni."

Mereka agak heran, karena peoni dengan ranting-rantingnya yang pipih dan rimbun itu rasanya tidak begitu cocok untuk kayu api. Yoshino mengambil bilah yang baru sedikit hangus dan menyerahkannya pada Mitsuhiro.

Ia mengatakan tunggul-tunggul peoni di kebun itu sudah ditanam lebildari seratus tahun yang lalu. Pada awal musim dingin, tukang-tukang kebun memangkasnya rendah-rendah dan membuang bagian atasnya yang dimakan cacing. Hasil pangkasan itu disimpan untuk kayu api. Jumlahnva kecil, tapi cukup untuk Yoshino.

Menurut Yoshino, bunga peoni adalah raja bunga. Barangkali masuk akal bahwa cabang-cabangnya yang layu memiliki mutu yang tak ditemukan pada kayu biasa, tepat seperti orang-orang tertentu memiliki nilai yang tidak dipunyai orang lain. "Tak banyak orang yang jasanya dapat diberitahu sesudah kembangnya layu dan mati," demikian renungnya. Dan dengan senyum sendu ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Kita manusia ini berkembang hanya selama kita muda, kemudian menjadi kering, menjadi kerangka tak berbau, malahan bisa juga sebelum kita mati."

Sebentar kemudian Yoshino berkata, "Saya minta maaf karena tak ada lagi yang dapat saya suguhkan kecuali sake dan api, tapi setidaknya ini cukup untuk sampai matahari terbit."

"Engkau tak perlu minta maaf. Ini hidangan yang cocok untuk seorang pangeran." Shoyu memang tulus dalam memuji, sekalipun ia terbiasa dengan kemewahan.

"Ada satu hal lagi yang saya inginkan dari Bapak-bapak," kata Yoshino. "Sudikah Bapak-bapak menulis kenangan tentang malam ini?"

Ia menggosok batu tinta, dan gadis-gadis menghamparkan babut wol di kamar sebelah, serta meletakkan beberapa carik kertas tulis Cina. Kertas itu ulet dan menyerap, karena terbuat dari bambu dan kayu arbei bahan kertas, tepat sekali untuk tulisan kaligrafi.

Mitsuhiro mengambil alih peranan tuan rumah, dan menoleh kepada Takuan, katanya, "Pak pendeta yang baik, karena Nyonya memintanya, silakan Bapak menulis sesuatu yang cocok. Atau barangkali kita mesti bertanya dulu pada Koetsu?"

Koetsu beringsut dengan lututnya. Ia mengambil kuas, berpikir sejenak, lalu menggambar kembang peoni.

Di atas kembang itu Takuan menulis:



Kenapakah aku bergayut

Pada hidup yang begini jauh Dari kecantikan dan nafsu? Peoni yang cantik pun

Membuang daun bunganya dan mati.



Sajak Takuan itu bergaya Jepang. Mitsuhiro memilih menulis dalam gaya Cina dan menurunkan baris-baris sajak Tsai Wen:



Apabila aku sibuk, gunung memandangku Apabila aku senggang, aku memandang gunung Walau kelihatannya sama, tapi tak sama

Karena kesibukan lebih rendah dari kesenggangan.



Di bawah sajak Takuan, Yoshino menulis:



Sekalipun kala berkembang

Napas kesedihan mengapung Di atas bunga-bungaan

Apakah bunga memikirkan masa depannya Ketika daun bunganya hilang?



Shoyu dan Musashi memperhatikan tanpa mengatakan sesuatu. Musashi lega karena tak seorang pun memaksanya menuliskan sesuatu.

Mereka kembali ke perapian dan mengobrol beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya Shoyu melihat sebuah biwa, sejenis kecapi, di samping ceruk dalam kamar, dan minta kepada Yoshino untuk bermain bagi mereka. Yang lain-lain mendukung saran itu.

Tanpa sikap malu-malu Yoshino mengambil alat musik itu dan duduk di tengah kamar dalam yang remang-remang cahayanya. Ia menunjukkan sikap seorang empu yang bangga akan keterampilannya, tapi ia pun tidak berusaha menunjukkan sikap terlalu rendah hati. Semua orang membersihkan diri dari pikiran-pikiran sampingan agar dapat mencurahkan perhatian kepada usaha Yoshino membawakan petikan dari Dongeng tentang Heike. Nada-nada lembut dan halus digantikan dengan nada-nada menggelora, kemudian oleh paduan nada patah-patah. Api mati, dan kamar menjadi gelap. Karena terpesona oleh musik, tak seorang pun bergerak, sampai akhirnya letusan kecil bunga api membawa mereka kembali ke bumi.

Ketika musik berhenti, Yoshino berkata disertai senyum selintas, "Saya takut permainan saya tidak begitu bagus." Ia simpan kembali kecapinya dan kembali ke dekat api. Ketika orang-orang berdiri untuk pulang, Musashilah yang pertama menuju pintu dengan senangnya, karena selamat dari kebosanan lebih lanjut. Yoshino mengucapkan selamat jalan kepada yang lain-lain satu per satu, tapi tidak mengatakan sesuatu pun kepadanya. Baru ketika ia hendak meninggalkan tempat itu, Yoshino diam-diam mencekal lengan kimononya.

"Menginaplah di sini, Musashi. Aku... takkan membiarkan engkau pulang." Wajah seorang perawan yang sedang diganggu pun tidak mungkin lebih merah daripada wajah Musashi waktu itu. Musashi mencoba menutupinya dengan berpura-pura tidak mendengar, tapi semua yang lain tahu bahwa Musashi terlampau bingung untuk berbicara.

Sambil menoleh pada Shoyu, Yoshino berkata, "Tak apa-apa kalau dia saya tahan di sini, kan?"

Musashi melepaskan tangan Yoshino dari lengan kimononya. "Tidak, saya pergi dengan Koetsu."

Tapi ketika Musashi bergegas menuju pintu, Koetsu menghentikannya. "Jangan seperti itu, Musashi. Apa salahnya engkau menginap di sini malam ini? Kau bisa pulang ke rumahku besok. Biar bagaimana, Nyonya sudah berbaik hati menunjukkan perhatiannya padamu." Dan secara mencolok ia pun pergi meng-gabungkan diri dengan kedua orang lainnya.

Sikap hati-hati Musashi mengingatkannya bahwa orang-orang itu dengan sengaja mencoba memperdayakannya agar mau tinggal, tapi kemudian mereka akan menertawakannya. Namun sikap sungguh-sungguh yang ia baca pada wajah Yoshino dan Koetsu menyatakan bahwa ajakan itu tidak sekadar lelucon.

Shoyu dan Mitsuhiro senang sekali melihat kikuknya Musashi dan terus menggodanya. Seorang dari mereka berkata, "Kau orang yang paling beruntung di negeri ini," dan yang lain menyatakan bersedia menggantikannya.

Kelakar berhenti dengan datangnya seorang lelaki yang oleh Yoshino telah disuruh mengawasi sekitar tempat kediamannya. Orang itu datang dengan napas terengah-engah, giginya gemeletuk karena ngeri.

"Bapak-bapak dapat meninggalkan tempat ini," katanya, "tapi Musashi barangkali tak mungkin. Cuma gerbang utama yang sekarang terbuka. Kedua sisi gerbang, sekitar Warung Teh Amigasa dan sepanjang jalan, penuh samurai bersenjata lengkap, berkeliaran dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka dari Perguruan Yoshioka. Pedagang-pedagang kuatir akan terjadi sesuatu yang mengerikan, karena itu mereka semua menutup pintu lebih awal. Sebelah sana, arah ke lapangan berkuda, kata orang paling tidak ada seratus orang."

Orang-orang itu kagum bukan main, tidak hanya oleh laporan itu, melainkan juga oleh tindakan berjaga-jaga yang telah diambil Yoshino. Hanya Koetsu yang mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi.

Yoshino telah menduga ada sesuatu yang telah terjadi ketika ia melihat noda darah pada lengan kimono Musashi.

"Musashi," kata Yoshino, "kau sudah mendengar sendiri bagaimana keadaan di luar. Sekarang mungkin kau bisa lebih mantap lagi untuk pergi dari sini, cuma untuk membuktikan dirimu tidak takut. Tapi kuminta kau tidak melakukan sesuatu yang gegabah. Kalau musuh-musuhmu menganggapmu pengecut, kau bisa membuktikan pada mereka besok bahwa kau bukan pengecut. Malam ini di sini saja kau bersantai. Menyenangkan diri sepuas-puasnya adalah tanda seorang lelaki sejati. Orang-orang Yoshioka mau membunuhmu. Pasti bukan hat memalukan kalau kau menghindarinya. Tapi banyak orang akan mengutukmu kalau penilaianmu tidak tepat, yaitu jika kau berkeras masuk dalam perangkap mereka.

"Tentu saja persoalan utama di sini adalah kehormatan pribadimu, tapi kuminta kau mempertimbangkan kesulitan yang akan menimpa orang-orang di tempat ini, akibat timbulnya perkelahian. Hidup teman-temanmu akan berada dalam bahaya juga. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya yang paling bijaksana bagimu adalah tinggal di sini."

Tanpa menanti jawaban Musashi, Yoshino menoleh kepada orang-orang lain, dan katanya, "Saya kira Bapak-bapak bisa pergi sekarang, asal saja berhati-hati di perjalanan."

Beberapa jam kemudian, lonceng berbunyi empat kali. Bunyi musik dan nyanyian di kejauhan sudah lenyap. Musashi duduk di ambang kamar perapian, bagai tawanan yang sedang kesepian menantikan fajar. Yoshino tinggal di dekat api.

"Kau tidak kedinginan di situ?" tanyanya. "Datanglah kemari, di sini hangat."

"Jangan pikirkan aku. Pergilah tidur. Kalau matahari terbit nanti, aku akan mencoba keluar."

Kata-kata itu sudah berkali-kali diucapkan, tapi tak ada hasilnya sama sekali.

Biarpun Musashi tidak pandai berbasa-basi, Yoshino merasa tertarik kepadanya. Orang mengatakan perempuan yang dapat menilai lelaki sebagai lelaki, dan bukan sebagai sumber pendapatan, tidak mungkin mencari keria di daerah pelesiran. Ucapan ini cuma klise yang diulang-ulang oleh pars pengunjung rumah-rumah pelacuran, yaitu orang-orang yang hanya mengenal pelacur biasa dan tak ada hubungannya dengan pelacur-pelacur besar. Perempuan-perempuan dengan tingkat pendidikan dan latihan sepeni Yoshino, mampu sekali merasa jatuh cinta. Umur Yoshino hanya setahun atau dua tahun lebih tua dari Musashi, tapi alangkah berlainan pengalaman mereka dalam cinta. Melihat Musashi duduk kaku, mengendalikan perasaannya, dan menghindari wajahnya, seakan-akan memandang dirinya itu akan membuatnya buta, Yoshino sekali lagi merasa seperti perawan yang masih polos dan sedang dirundung cinta pertama.

Para pelayan, yang tidak memahami adanya ketegangan psikologis itu. menghamparkan kasur yang cocok untuk anak lelaki atau anak perempuan daimyo di kamar sebelah. Lonceng-lonceng kecil keemasan berkilau lembut di sudut-sudut bantal satin.

Bunyi salju yang meluncur dari atap bukan tidak mirip dengan bunyi orang meloncat dari pagan ke halaman. Setiap kali mendengarnya, rambut Musashi tegak seperti landak. Sarafnya seakan mencapai ujung-ujung rambut itu.

Yoshino bergidik di sekujur tubuhnya. Itulah waktu terdingin pada malam hari, yaitu tepat sebelum fajar merekah. Namun perasaan tak enak yang diderita Yoshino bukanlah akibat dingin. Perasaan itu diakibatkan karena melihat lelaki ganas itu, dan perasaan itu berbenturan menjadi suatu irama yang ruwet dengan rasa tertariknya yang wajar kepada Musashi.

Ketel di atas api mulai bersiul dan bunyi riang itu menenangkannya. Diam-diam dituangkannya teh.

"Sebentar lagi pagi. Minumlah secangkir teh dan hangatkan dirimu dekat api."

"Terima kasih," kata Musashi tanpa bergerak.

"Sudah siap sekarang," kata Yoshino lagi, kemudian berhenti mencoba. Ia tak ingin Musashi merasa jengkel terhadap dirinya. Namun ia sedikit tersinggung juga melihat teh itu terbuang sia-sia. Sesudah teh terlalu dingin untuk diminum, dituangkannya ke dalam ember kecil yang memang tersedia untuk itu. Apa gunanya menawarkan teh pada orang kasar macam ini, yang tak dapat menilai sama sekali keelokan minum teh? demikian pikirnya.

Sekalipun Musashi membelakanginya, Yoshino dapat melihat bahwa tubuh Musashi sekencang ketopong baja. Dan mata Yoshino jadi tampak bersimpati.

"Musashi."

"Apa?"

"Kau ini berjaga terhadap siapa?"

"Tidak terhadap siapa-siapa. Aku mencoba untuk tidak terlalu bersantai."

"Justru karena musuh-musuhmu?"

"Tentu saja."

"Dalam keadaan sekarang, kalau engkau tiba-tiba diserang dengan keras, kau akan segera terbunuh. Aku yakin, dan itu membuatku sedih." Musashi tidak menjawab.

"Seorang perempuan macam diriku tidak tahu apa-apa tentang Seni Perang, tapi dari mengamatimu malam ini, aku mendapat perasaan yang mengerikan, seolah aku sedang melihat orang yang akan dirobohkan pedang. Terasa ada bayangan maut pada dirimu. Apakah seorang prajurit betul-betul dapat merasa aman, kalau setiap saat dia menghadapi berlusin-lusin pedang? Dapatkah orang seperti itu mengharapkan kemenangan?"

Pertanyaan itu terdengar simpatik, tapi justru mengganggu ketenangan Musashi. Dengan cepat ia memutar badan, beranjak ke perapian, dan duduk menghadapi Yoshino.

"Jadi, menurut pendapatmu, aku belum matang?"

"Oh, aku sudah membuatmu marah, ya?"

"Tak pernah aku bisa marah oleh kata-kata perempuan. Tapi aku ingin tahu, kenapa menurutmu kelakuanku seperti orang yang akan terbunuh?"

Dengan perasaan tak senang ia menyadari bahwa oleh orang-orang Yoshioka ia telah dijerat dengan jaringan pedang, strategi, dan kutukan. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa ia akan menghadapi usaha balas dendam, dan di halaman Rengeoin pun ia sudah bermaksud pergi menyembunyikan diri. Tapi perbuatan demikian akan terasa kasar oleh Koetsu dan akan berarti menyalahi janji kepada Rin'ya. Namun yang lebih menentukan persoalan adalah keinginan untuk tidak dituduh lari karena takut.

Sesudah kembali ke Ogiya, menurutnya ia sudah memperlihatkan kesabaran yang mengagumkan. Tapi sekarang Yoshino menertawakan ketidakmatangannya. Ia sebetulnya takkan terganggu sekiranya Yoshino mengolok-oloknya dengan cara pelacur, tapi Yoshino kelihatannya serius sekali.

Ia menyatakan tidak marah, tapi kenyataannya matanya setajam ujung pedang, dan ia langsung menatap wajah Yoshino yang putih. "Jelaskan kata-katamu itu." Dan ketika Yoshino tidak segera menjawab, katanya, "Atau barangkali kau cuma berkelakar?"

Lesung pipit Yoshino yang sejenak tadi hilang kini muncul lagi. "Bagaimana mungkin kau mengatakan begitu?" Ia tertawa sambil menggoyangkan kepala. "Apa menurutmu aku akan berkelakar tentang soal yang begitu serius untuk seorang prajurit?"

"Nah, lalu apa maksudmu? Coba ceritakan!"

"Baik. Karena kau kelihatannya ingin sekali tahu, akan kucoba menjcukan. Apa kau mendengarkan waktu aku main kecapi?"

"Ada hubungan apa dengan kecapi?"

"Barangkali sinting juga aku menanyakan itu. Tapi karena sedang tegar. telingamu tentunya tak mungkin menangkap nada-nada musik yang halus dan indah."

"Tidak benar. Aku tadi mendengarkan."

"Dan apa sempat engkau bertanya di dalam hati, bagaimana mungkin gabungan nada-nada lunak dan keras, dan kalimat-kalimat lemah dan kuat yang demikian rumit itu dapat dihasilkan oleh empat senar?"

"Aku mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang mesti didengarkan?"

"Banyak orang memang begitu sikapnya, tapi aku ingin membuat perbandingan antara kecapi dan manusia sebagai makhluk. Aku takkan membicarakan teknik bermain, tapi akan kubacakan sekarang sajak Po Chu-i, di mana ia melukiskan bunyi-bunyi kecapi. Aku yakin engkau kenal sajak itu."

Yoshino mengerutkan dahinya sedikit ketika membawakan sajak itu dengan suara rendah dan dengan gaya antara menyanyi dan berbicara.



Dawai-dawai besar mendengung seperti hujan, Dawai-dawai kecil berbisik seperti rahasia, Mendengung, berbisik... dan kemudian berbaur Seperti mencurahkan mutiara besar-kecil ke dalam piring baru jadi. Kita mendengar kepodang yang berkilauan, walau tersembunyi dalam bunga. Kita mendengar kali tersedu sedih di sepanjang tepian pasir... Kalau dihentikan sentuhan dinginnya, dawai itu bagai putus

Seakan tidak terus, tapi nada-nada yang menghilang ke dasar kesedihan dan persembunyian ratapan

Lebih dapat ia bercerita dalam diam daripada dalam bunyi...

Sebuah jambangan tiba-tiba pecah dan airnya tumpah, Dan kuda-kuda berketopong melompat dan senjata-senjata membentur dan menghantam Dan sebelum ia menjatuhkan beliungnya, ia akhiri permainan dengan satu pukulan,

Dan keempat dawai pun memperdengarkan satu bunyi, seperti kain sutra yang koyak.

"Ya begitulah, sebuah kecapi sederhana dapat menghasilkan aneka nada yang tak terbatas jumlahnya. Semenjak aku menjadi magang, hal itu sudah mengherankan diriku. Akhirnya kupecahkan kecapi untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kemudian kucoba membuat sendiri. Dan sesudah mencoba macam-macam hal, akhirnya aku mengerti bahwa rahasia alat itu terletak di hatinya."

Ia berhenti dan pergi mencari kecapi dari kamar sebelah. Kembali ke tempat semula, ia pegang alat musik itu pada lehernya dan ia dirikan di depan Musashi.

"Kalau kauperiksa hati di dalamnya, engkau dapat melihat kenapa berbagai variasi nada itu mungkin dihasilkan." Ia ambil sebuah pisau yang bagus dan tajam dengan tangannya yang luwes, kemudian ia torehkan pisau itu cepat dan tajam ke bagian belakang kecapi yang berbentuk buah pir itu. Dengan tiga-empat torehan cekatan, pekerjaan itu selesai, demikian cepat dan menentukan, hingga Musashi hampir-hampir mengharap melihat darah menyembur dari alat musik itu. Ia bahkan merasakan denyut nyeri, seolah-olah mata pisau itu menoreh dagingnya sendiri. Sambil menyembunyikan pisau di belakang dirinya, Yoshino mengangkat kecapi itu agar Musashi dapat melihat susunannya.

Musashi memandang wajah Yoshino, kemudian memandang kecapi yang sudah rusak itu, dan bertanya dalam hati apakah Yoshino sebenarnya memiliki juga sifat keras seperti dinyatakan dengan cara memainkan pisau itu. Rasa nyeri akibat jerit torehan itu membekas.

"Seperti kaulihat," kata Yoshino. "Bagian dalam kecapi ini hampir seluruhnya bolong. Segala variasi datangnya dari benda melintang di bagian tengah ini. Potongan kayu inilah tulang-belulang alat musik ini, alat vitalnya, hatinya. Kalau bentuknya lurus betul dan kaku, bunyinya monoton, tapi kenyataannya barang itu dibentuk melengkung. Tapi itu saja tak cukup untuk menciptakan variasi nada yang tanpa batas itu. Variasi itu dapat diciptakan dengan membiarkan benda melintang itu mendapat kebebasan bergetar ke sana kemari. Dengan kata lain, kekayaan nada itu ada karena adanya kebebasan gerak tertentu, dan karena ada kelenturan tertentu pada ujung-ujung intinya.

"Ini sama saja dengan manusia. Dalam kehidupan ini kita mesti memiliki keluwesan. Semangat kita harus dapat bergerak bebas. Terlampau kaku dan keras berarti rapuh dan tak memiliki daya tanggap."

Mata Musashi tak bergerak menatap kecapi, dan bibirnya tidak terbuka.

"Soal ini seharusnya jelas bagi semua orang," lanjut Yoshino, "tapi keistimewaan manusia adalah menjadi kaku, kan? Dengan satu sentilan alat pemetik aku dapat membuat keempat dawai kecapi ini terdengar seperti kmbing, seperti pedang, atau seperti koyakan kain, karena adanya keseimbangan yang baik antara kemantapan dan keluwesan dalam inti kayu. Malam ini, ketika pertama kali aku melihatmu, aku dapat merasakan tidak adanva keluwesan padamu, yang ada cuma kekerasan kaku dan pantang menyerah. Kalau benda melintang itu sama tegang dan kakunya dengan engkau, satu sentilan alat pemetik saja akan memutuskan dawai, barangkali termasuk juga papan suaranya sendiri. Mungkin kelihatannya congkak bahwa aku mengatakan semua ini, tapi aku menguatirkanmu. Aku tidak berkelakar atau menertawakanmu. Mengerti?"

Ayam jantan berkokok di kejauhan. Sinar matahari yang dipantulkan salju menembus celah-celah tirai hujan. Musashi duduk menatap kecapi yang telah cacat itu dan remah-remah kayu di lantai. Kokok ayam jantan tidak terdengar olehnya. Ia tak melihat sinar matahari.

"Oh," kata Yoshino, "sudah pagi." Ia kelihatan merasa sayang bahwa malam telah lewat. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil lagi kayu api, tapi ternyata kayu api telah habis.

Bunyi-bunyi pagi hari-pintu yang berderak membuka dan kicau burungburung-masuk ke dalam kamar, tapi Yoshino tak juga bergerak membuka tirai hujan. Walaupun api sudah dingin, darah mengalir hangat di dalam nadinya.

Gadis-gadis muda yang meladeninya cukup paham dan tidak membuka pintu rumah kecilnya sebelum mereka dipanggil.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP