Sabtu, 15 Juli 2017



Mata

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





"SENSEI!" panggil Iori, yang belum cukup tinggi untuk melihat lewat atas rumput tinggi itu. Mereka berada di Dataran Musashino, yang kata orang meliputi sepuluh kabupaten.

"Aku di sini," jawab Musashi. "Kenapa kau begitu lama?"

"Saya pikir ada jalan, tapi saya tersesat terus. Berapa jauh lagi kita mesti jalan?"

"Sampai kita menemukan tempat yang baik untuk tinggal."

"Tinggal? Kita akan tinggal di sekitar sini?"

"Kenapa tidak?"

Iori menatap langit. Ia memikirkan keluasan dan kekosongan tanah di sekitarnya itu, dan katanya, "Heran."

"Tapi coba bayangkan keadaannya waktu musim gugur. Langit jernih indah, embun segar di rumput. Apa memikirkannya saja tidak membuatmu merasa lebih jernih?"

"Barangkali juga, tapi saya tidak antihidup di kota seperti Bapak."

"Sebetulnya aku tidak anti.. Dalam hat tertentu, sungguh senang hidup di antara orang banyak, tapi biarpun dengan kulit tebal, tidak tahan aku tinggal di sana, kalau papan-papan itu dipasang. Kaulihat sendiri apa yang mereka katakan."

Ion menyeringai. "Memikirkannya saja saya jadi gila."

"Tapi kenapa pula kau marah?"

"Saya tidak tahan. Ke mana pun saya pergi, tak ada yang bicara baik tentang Bapak."

"Tak ada yang dapat kuperbuat dalam hat itu."

"Bapak dapat merobohkan orang-orang yang menyebarkan desas-desus

itu. Bapak dapat memasang papan-papan sendiri buat menantang mereka."

"Tak ada gunanya memulai perkelahian yang tak dapat kita menangkan."

"Bapak takkan kalah dari sampah masyarakat itu. Tak mungkin."

"Tidak, kau keliru. Aku akan kalah."

"Bagaimana mungkin?"

"Karena jumlah. Kalau kupukul sepuluh, akan datang seratus lagi. Kalau kukalahkan seratus, akan datang seribu. Tak ada kemungkinan menang dalam keadaan macam itu."

"Berarti Bapak akan terus ditertawakan orang selama hidup?"

"Tentu saja tidak. Seperti semua orang lain, aku bertekad memiliki nama harum. Aku berutang budi pada nenek moyangku. Dan aku bermaksud menjadi orang yang tak pernah ditertawakan. Itulah yang mau kupelajari di stnt.

"Kita bisa saja berjalan terus, tapi saya kira kita takkan menemukan rumah. Bagaimana kalau kita mencoba mencari kuil buat tinggal lagi?"

"Itu bukan gagasan jelek, tapi sebenarnya yang kuinginkan adalah menemukan tempat yang banyak pohonnya, dan membangun rumah kita sendiri."

"Macam Hotengahara lagi, ya?"

"Tidak. Kali ini kita takkan bertani. Kupikir, barangkali aku akan melakukan semadi Zen tiap hari. Kau bisa membaca buku-buku, dan aku memberikan pelajaran main pedang padamu."

Mereka memasuki dataran itu dari desa Kashiwagi, pintu masuk Koshu menuju Edo. Mereka menuruni lereng panjang itu dari Junisho Gongen, kemudian menelusuri jalan sempit yang berkali-kali seakan menghilang di antara rumput musim panas yang mengombak. Ketika akhirnya mereka sampai di bukit kecil yang ditumbuhi pinus, Musashi melakukan pengamatan cepat atas dataran itu, dan katanya, "Ini cocok sekali." Baginya, tempat mana pun bisa menjadi rumahnya-bahkan lebih dari itu: di mana pun ia berada, itulah alam semesta.

Mereka meminjam peralatan dan menggaji seorang buruh dari rumah pertanian terdekat. Cara Musashi membangun rumah sama sekali tidak canggih: sesungguhnya la masih dapat belajar cukup banyak dengan mengamati burung-burung yang sedang membuat sarang. Hasilnya, yang selesai beberapa hari kemudian, tampak aneh. Rumah itu kurang kokoh dibandingkan rumah pertapa di gunung, tapi tidak sekasar gubuk. Tiang-tiangnya dari balok yang masih berkulit, sedangkan sisanya dari gabungan kasar papan, kulit kayu, bambu, dan miskantus.

Musashi mundur untuk memperhatikan rumah itu balk-balk, kemudian ujarnya sambil berpikir, "Rumah ini tentunya mirip rumah yang didiami orang banyak pada zaman dewa-dewa." Satu-satunya yang mengimbangi keprimitifan rumah itu adalah lembar-lembar kertas yang ditata sedemikian rupa dengan penuh cinta, menjadi shoji kecil.

Hari-hari berikutnya, suara Iori sudah mengalun dari belakang kerai buluh. la mengulang-ulang pelajarannya, suaranya menggema mengatasi bunyi jangkrik. Latihan yang ditempuhnya dalam segala hal sangat keras.

Kepada Jotaro, Musashi tidak menekankan disiplin, karena menurut pendapatnya waktu itu, yang terbaik adalah membiarkan anak-anak yang sedang tumbuh itu berkembang secara alamiah. Tapi, sejalan dengan berlalunya waktu, ia melihat bahwa sifat-sifat jelek cenderung berkembang dan sifat-sifat balk tertekan. Dan ia melihat bahwa pohon dan tanaman yang hendak ditanaminya tak mau tumbuh, sementara rumput liar dan semaksemak tumbuh pesat, tak peduli berapa sering ia menebasnya.

Selama beberapa ratus tahun sesudah Perang Onin, bangsa ini seperti massa tanaman rami yang tumbuh liar dan kacau. Kemudian Nobunaga menebasi semuanya itu, Hideyoshi mengikatnya, dan Ieyasu telah membuka serta melembutkan tanahnya untuk membangun dunia baru. Musashi melihat bahwa kaum prajurit yang hanya menjunjung tinggi praktekpraktek perang, kini tidak lagi merupakan unsur dominan dalam masyarakat. Ciri mereka yang paling menonjol adalah ambisi yang tak terbatas. Tapi Sekigahara sudah mengakhiri semua itu.

Musashi sudah mendapat keyakinan, biarpun bangsa ini tetap berada di tangan Keluarga Tokugawa, atau kembali kepada Keluarga Toyotomi, tapi rakyat pada umumnya sudah tahu, ke arah mana mereka ingin bergerak: dari kemelut menuju ketertiban, dan dari kehancuran menuju pembangunan.

Kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu terlambat dilahirkan. Begitu kebesaran Hideyoshi masuk ke daerah-daerah pedesaan terpencil dan menggugah hati anak-anak lelaki seperti Musashi, maka kemungkinan untuk mengikuti langkah-langkah Hideyoshi sudah menguap.

Jadi, pengalaman sendirilah yang menuntun Musashi mengambil keputusan untuk menekankan disiplin dalam pendidikan Iori. Kalau ia hendak menciptakan seorang samurai, ia mesti menciptakannya untuk masa mendatang. Bukan untuk masa lalu.

"Iori."

"Ya, Pak." Anak itu langsung saja berlutut di depan Musashi, sebelum kata-kata itu selesai diucapkan.

"Sudah hampir senja. Waktunya belajar. Ambil pedang-pedang itu."

"Baik, Pak." Ketika pedang-pedang sudah diletakkannya di hadapan Musashi, ia berlutut dan secara resmi memohon pelajaran.

Pedang Musashi panjang, sedangkan pedang Iori pendek, tapi keduanya pedang latihan dari kayu. Guru dan murid saling berhadapan, diam kaku, pedang dipegang setinggi mata. Seberkas sisa sinar matahari mengambang di kaki langit. Rumpun pohon kriptomeria di belakang pondok sudah terbenam dalam kegelapan, tapi kalau orang melihat ke arah bunyi jangkrik, akan tampak sepotong bulan lewat rerantingan.

"Mata," kata Musashi.

Iori membuka matanya lebar-lebar. "Mataku. Lihat mataku."

Iori berusaha sebaik-baiknya, tapi pandangan matanya rupanya selalu mental sama sekali dari mata Musashi. Bukannya menatap, tapi langsung kalah oleh mata lawannya. Ketika mencoba lagi, ia bahkan merasa pusing.

Mulai terasa olehnya, kepala itu seakan-akan bukan lagi kepalanya sendiri. Tangannya, kakinya, seluruh tubuhnya terasa goyah.

"Lihat mataku!" perintah Musashi dengan garang, segarang-garangnya. Tapi pandangan mata Iori mengembara lagi. Kemudian, ketika ia dapat memusatkan perhatian ke mata gurunya, ia lupa akan pedang di tangannya. Kayu melengkung yang pendek itu terasa seberat batangan baja.

"Mata, mata!" kata Musashi sambil maju sedikit.

Iori berusaha untuk tidak rebah ke belakang. Untuk itu, sampai berlusin-lusin kali ia dicerca. Begitu ia berusaha mengikuti gerak lawannya dan bergerak maju, kakinya seperti terpaku ke bumi. Tak dapat ia maju atau mundur, dan terasa olehnya suhu badannya naik. "Apa yang terjadi dengan diriku?" Pikiran itu meledak seperti bunga api di dalam dirinya.

Merasakan terjadinya ledakan kekuatan mental ini, Musashi memekik, "Serang!" Pada saat itu juga, ia merendahkan bahunya, mundur, dan mengelak dengan kecekatan seekor ikan.

Sambil terengah, Iori meloncat ke depan, memutar badan, tapi Musashi sudah berdiri di tempat tadi ia berdiri. Konfrontasi pun dimulai, tepat seperti tadi, guru dan murid diam tanpa suara.

Tak lama kemudian, rumput basah oleh embun, dan alis bulan bergantung di atas pepohonan kriptomeria. Setiap kali angin bertiup, serangga-serangga seketika berhenti bernyanyi. Musim gugur tiba, sekalipun tidak menakjubkan di siang hari, bunga-bunga liar kini berayun-ayun dengan anggunnya, seperti jubah bulu dewa yang sedang menari.

"Cukup," kata Musashi sambil menurunkan pedang.

Ia serahkan pedang itu kepada Iori, tapi waktu itu juga terdengar oleh mereka suara dari arah rumpun pohon. "Siapa pula itu?" kata Musashi.

"Barangkali musafir tersesat yang ingin bermalam."

"Lari sana, lihat."

Iori berlari ke sisi rumah, dan Musashi mendudukkan diri di beranda bambu, memandang ke arah dataran. Pohon-pohon elalia sudah tinggi, puncaknya berkembang halus. Rumput bermandikan cahaya, menampilkan kemilau musim gugur yang khas.

Ketika Iori kembali, Musashi bertanya, "Musafir, ya?"

"Bukan, tamu."

"Tamu? Di sini?"

"Hojo Shinzo. Dia sudah menambatkan kudanya, dan sekarang menunggu Bapak di belakang."

"Rumah ini tak ada depan atau belakangnya, tapi kupikir lebih baik kuterima dia di sini."

Iori berlari memutar lewat sisi pondok, dan teriaknya, "Silakan jalan lewat sini."

"Oh, menyenangkan sekali," kata Musashi. Matanya menyatakan kegembiraan ketika melihat Shinzo sudah sembuh sama sekali.

"Maaf, begitu lama saya tidak menghubungi. Saya kira Anda tinggal di sini supaya jauh dari orang banyak? Saya harap Anda memaafkan saya, karena saya singgah tanpa diduga-duga macam ini."

Mereka bertukar salam, kemudian Musashi mengajak Shinzo ikut dengannya ke beranda.

"Bagaimana Anda bisa menemukan tempat saya? Tak seorang pun saya beritahu bahwa saya ada di sini."

"Zushino Kosuke. Dia bilang, Anda menyelesaikan Kannon yang Anda janjikan kepadanya, dan menyuruh Iori mengirimkannya."

"Ha, ha. Kalau begitu, Iori yang membongkar rahasia itu. Tidak apalah. Saya belum cukup tua untuk meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri. Tapi saya pikir, kalau saya menghilang beberapa bulan lamanya, desasdesus jahat itu akan mereda. Dan akan berkurang bahaya pembalasan terhadap Kosuke dan teman-teman saya yang lain."

Shinzo menundukkan kepala. "Saya mesti minta maaf pada Anda. Semua kesulitan ini, sayalah penyebabnya."

"Tidak sepenuhnya begitu. Itu soal kecil. Akar sesungguhnya dari persoalan ini ada kaitannya dengan urusan antara Kojiro dan saya."

"Apa Anda tahu dia sudah membunuh Obata Yogoro?"

"Tidak."

"Ketika mendengar tentang diri saya, Yogoro memutuskan membalas dendam sendiri. Dia bukan tandingan Kojiro."

"Saya sudah memperingatkan dia...." Bayangan Yogoro yang berdiri di pintu masuk rumah ayahnya masih jelas dalam pikiran Musashi. "Sayang sekali," pikirnya.

"Saya bisa mengerti perasaannya," sambung Shinzo. "Semua murid sudah pergi, dan ayahnya sudah meninggal. Dia tentunya berpikir, dialah satu-satunya yang dapat melakukan pembalasan. Paling tidak, rupanya dia sudah pergi ke rumah Kojiro. Tapi tak seorang pun melihat mereka bersama-sama, tak ada bukti yang nyata."

"Mm. Barangkali peringatan itu berakibat sebaliknya dari yang saya maksud-justru menggugah rasa harga dirinya, hingga dia merasa mesti berkelahi. Sayang!"

"Memang. Yogoro satu-satunya orang sedarah dengan Sensei. Dengan kematiannya, Keluarga Obata tak ada lagi. Namun ayah saya sudah membicarakan persoalan ini dengan Yang Dipertuan Munenori, yang kemudian berhasil menempuh prosedur pemungutan anak. Saya akan menjadi ahli waris dan pengganti Kagenori, dan menggunakan nama Obata.... Memang saya belum yakin bahwa saya sudah cukup matang. Saya pun kuatir akan mengakhiri semua ini dengan mendatangkan aib lebih lanjut kepada beliau. Bagaimanapun, beliau penganjur terbesar tradisi militer Koshu."

"Ayah Anda adalah Yang Dipertuan dari Awa. Apakah tradisi militer Hojo tidak dianggap sama dengan Perguruan Koshu? Dan ayah Anda guru yang sama besarnya dengan Kagenori?"

"Itu kata orang. Nenek moyang kami berasal dari Provinsi Totomi. Kakek saya mengabdi pada Hojo Ujitsuna dan Ujiyasu dari Odawara, dan ayah saya dipilih oleh Ieyasu sendiri untuk menggantikan mereka sebagai kepala keluarga."

"Sebagai orang yang berasal dari keluarga militer terkenal, apakah tidak luar biasa bahwa Anda menjadi murid Kagenori?"

"Ayah saya mempunyai murid sendiri, dan dia memberikan kuliah pada shogun tentang ilmu pengetahuan militer. Tapi dia bukannya mengajarkan sesuatu pada saya, sebaliknya dia suruh saya pergi dan belajar dari orang lain. Carl jalan yang keras! Itulah ayah saya."

Musashi merasakan kesopanan, dan bahkan keagungan yang wajar, pada sikap Shinzo itu. Dan itu barangkali memang sudah sewajarnya, pikirnya, karena ayah Shinzo, Ujikatsu, adalah seorang jenderal terkemuka, dan ibunya, putri Hojo Ujiyasu.

"Saya takut sudah terlalu banyak bicara," kata Shinzo. "Sesungguhnya, ayah saya yang menyuruh saya kemari. Tentu saja wajar sekali kalau beliau yang datang menyatakan terima kasih pada Anda, tapi sekarang beliau sedang menerima tamu yang ingin sekali bertemu dengan Anda. Ayah minta saya pulang bersama Anda. Maukah Anda datang?" Dan ia memandang wajah Musashi penuh tanya.

"Tamu ayah Anda ingin bertemu dengan saya?"

"Betul."

"Siapa dia? Saya hampir tak kenal siapa pun di Edo."

"Orang yang Anda kenal sejak kecil."

Musashi tak dapat membayangkan, siapa orangnya. Matahachi barangkali? Samurai dari Benteng Takeyama? Seorang teman ayahnya?

Barangkali bahkan Otsu.... Tapi Shinzo menolak membuka rahasianya. "Saya dilarang mengatakannya. Dan tamu itu mengatakan lebih baik memberikan kejutan pada Anda. Maukah Anda datang?"

Rasa ingin tahu Musashi pun bangkit. Ia mengatakan pada diri sendiri, tak mungkin itu Otsu, tapi dalam hati ia berharap demikian.

"Mari," katanya sambil berdiri. "Iori, jangan tunggu aku."

Shinzo senang misinya berhasil, dan ia pergi ke belakang rumah, membawa kudanya. Pelana dan sanggurdinya meneteskan air embun. Sambil memegang kekang, ia menawarkannya kepada Musashi, yang tanpa banyak bicara langsung menaikinya.

Ketika mereka berangkat, kata Musashi pada Iori, "Jaga dirimu, aku mungkin tidak kembali sampai besok." Tak lama kemudian, sosoknya sudah lenyap ditelan kabut malam.

Iori duduk tenang di beranda, tenggelam dalam lamunan.

"Mata," pikirnya. "Mata." Tak terhitung sudah berapa kali ia diperintahkan menatap ke mata lawan, namun ia belum dapat memahami maksud perintah itu, maupun menghilangkannya dari pikiran. la menatap kosong ke Sungai Surga.

Apa yang salah dengannya? Kenapa kalau Musashi menatapnya, ia tak dapat balas menatap? Ia lebih jengkel akan kegagalannya itu daripada orang dewasa, dan ketika sedang berusaha keras menemukan penjelasan tentang soal itu, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata. Mata itu tertuju kepadanya dari antara ranting-ranting tanaman anggur yang membelit sebuah pohon di depan pondok.

"Apa itu?" pikirnya.

Mata yang bersinar cemerlang itu mengingatkannya pada mata Musashi selagi berlangsung pelajaran praktek.

"Tentunya seekor kuskus." Sudah beberapa kali ia melihat binatang itu sedang makan anggur liar. Mata itu seperti barn akik, mata hantu ganas.

"Binatang!" teriak Iori. "Kaupikir aku tak punya keberanian? Kaupikir dapat menundukkan aku dengan pandangan mata? Akan kutunjukkan padamu! Tak bakal aku kalah darimu."

Dengan tekad teguh ia ketatkan alisnya, dan ia menatap balik. Kuskus itu tak bergerak untuk melarikan diri, mungkin karena keras kepala, mungkin juga karena rasa ingin tahu. Matanya begitu cemerlang.

Iori begitu serius dengan usahanya itu, hingga ia lupa bernapas. la bersumpah untuk tidak kalah. la tak mau kalah oleh binatang hina itu. Setelah beberapa waktu yang terasa seperti beberapa jam, ia tiba-tiba sadar bahwa ia menang. Daun-daun anggur itu bergoyang, dan kuskus pun lenyap.

"Nah, tahu rasa kau!" kata Iori girang. Badannya basah oleh keringat, tapi la merasa lega dan segar kembali. Ia berharap dapat mengulangi perbuatannya itu, kalau nanti berhadapan lagi dengan Musashi.

Ia turunkan kerai buluh di jendela dan ia matikan lampu, kemudian ia pergi tidur. Cahaya putih kebiruan memantul dari rumput di luar. Ia tertidur, tapi di dalam kepalanya la seolah melihat satu titik kecil yang bersinar seperti permata. Pada waktunya, titik itu tumbuh menjadi bentuk samar wajah kuskus itu.

Dalam tidurnya ia berguling ke sana kemari dan mengeluh, dan tiba-tiba ia merasa yakin bahwa di kaki kasurnya terdapat sepasang mata yang memandanginya. Dengan susah payah ia bangun. "Bajingan!" teriaknya sambil menjangkau pedangnya. la ayunkan pedang itu sehebat-hebatnya, tapi akibatnya la jadi jungkir-balik. Bayangan kuskus itu menjadi titik yang bergerak di kerai. Ia tebas binatang itu dengan kejam, kemudian ia berlari ke luar, dan ia tetak tanaman anggur dengan ganas. Matanya menengadah ke langit, mencari mata kuskus.

Dan pelan-pelan, tampak jelas olehnya dua bintang besar kebiruan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP