Cinta Seorang Ibu
OTSU menurunkan
jahitannya dan berseru, "Siapa itu?"
Dibukanya shoji yang
menghadap beranda, tapi tak seorang pun kelihatan Semangatnya terbang. Tadinya
ia mengharap orang itu Jotaro. Sekarang in: ia butuh sekali anak itu, lebih
butuh dari kapan pun.
Lagi satu hari yang
penuh kesepian. la tak dapat mencurahkan perhatiannya kepada kerja menjahit
itu.
Di bawah Kiyomizudera
ini, di kaki Bukit Sannen, jalan-jalan kotor sekali, tetapi di belakang
rumah-rumah dan warung terdapat rumpunrumpun bambu dan ladang-ladang kecil,
bunga-bunga kamelia yang sedang berkembang, prem yang mulai berjatuhan. Osugi
suka sekali penginapan khusus ini. Ia selalu tinggal di situ bila berada di
Kyoto, dan pemilik penginapan selalu menyediakan baginya rumah kecil, terpisah,
dan tenang ini. Di belakangnya terdapat petak pohon-pohon, bagian dari kebun
rumah sebelah. Di depan terdapat kebun sayuran kecil dan di sebelahnya dapur
penginapan yang selalu sibuk.
"Otsu!"
terdengar suara dari dapur. "Sudah waktunya makan siang. Boleh kubawa
masuk sekarang?"
"Makan
siang?" tanya Otsu. "Aku akan makan dengan nyonya tua itu saja, kalau
nanti dia kembali."
"Dia sudah
bilang takkan lekas pulang. Barangkali sampai malam."
"Aku tidak
lapar."
"Tak mengerti
aku, bagaimana engkau bisa tahan, makan begitu sedikit. "
Asap kayu pinus
mengepul masuk ruangan dari tempat pembakaran tembikar di sekitar tempat itu.
Pada hari-hari pembakaran selamanya banyak asap. Tetapi sesudah udara bersih,
langit awal musim semi itu lebih biru daripada biasa.
Dari jalan terdengar
suara kuda, langkah kaki, dan suara para peziarah yang sedang dalam perjalanan
ke kuil. Dari orang-orang lewat itulah cerita tentang kemenangan Musashi atas
Seijuro sampai di telinga Otsu. Wajah Musashi terbayang di depan matanya.
"Jotaro tentunya ada di Rendaiji hari itu," pikirnya. "Oh, coba
kalau dia datang dan menceritakannya padaku."
Ia tak yakin anak itu
mencarinya dan tak dapat menemukannya. Dua puluh hari telah berlalu, dan Jotaro
tahu ia tinggal kaki Bukit Sannen itu. Jotaro kemungkinan sakit, tapi ia tak
yakin Jotaro sakit. Jotaro bukan jenis orang yang biasa sakit. "Barangkali
dia sedang main layang-layang menyenangkan diri," katanya pada diri
sendiri. Pikiran itu membuatnya sedikit kesal.
Mungkin Jotaro-lah
yang justru menunggu. Memang Otsu tidak kembali ke rumah Karasumaru, walaupun
ia berjanji kepada Jotaro akan segera kembali.
Sekarang Otsu tak
dapat pergi ke mana-mana, karena dilarang meninggalkan penginapan tanpa izin
Osugi. Osugi rupanya minta kepada pemilik penginapan dan para pembantu untuk
mengawasinya. Baru ia memandang ke jalan saja orang sudah bertanya,
"Engkau akan pergi, Otsu?" Pertanyaan dan nada pertanyaan itu terasa
polos, tapi ia mengerti maknanya. Satu-satunya jalan baginya untuk mengirimkan
surat adalah dengan mempercayakannya kepada orang-orang penginapan, yang sudah
diberi instruksi untuk menyimpan baik-baik surat apa saja yang mungkin hendak
dikirimnya.
Osugi cukup terkenal
di wilayah itu, dan orang di situ gampang disuruh melaksanakan perintahnya.
Sebagian pemilik warung, pemikul tandu, dan kusir gerobak di sekitar tempat itu
ikut menyaksikan aksi Osugi tahun lalu ketika ia menantang Musashi di
Kiyomizudera. Melihat sifatnya yang gampang marah itu, mereka memandangnya
dengan perasaan kagum bercampur kasihan.
Ketika Otsu sekali
lagi hendak menyelesaikan jahitan pakaian perjalanan Osugi yang telah dilepas
jahitannya untuk dicuci, sebuah bayangan muncul di luar. Ia mendengar suara
yang tak dikenalnya mengatakan, "Ah, apa saya keliru?"
Seorang perempuan
muda masuk gang dari jalan, dan waktu itu sedang berdiri di bawah potion prem
antara dua petak tanaman bawang. la kelihatan bingung, sedikit malu, tapi
enggan kembali.
"Apa ini bukan
penginapan? Ada lentera di pintu masuk gang, menyatakan ini penginapan,"
katanya kepada Otsu.
Hampir Otsu tak dapat
mempercayai matanya, dan demikian menyakitkan kenangan yang tiba-tiba timbul
padanya.
Dengan nada bersalah,
Akemi bertanya malu-malu, "Boleh tanya, yang mana yang penginapan?"
Kemudian, ketika ia menoleh ke sekitar, terlihat olehnya kembang prem dan ia
berseru, "Aduh, bukan main bagusnya!"
Otsu memandang saja
gadis itu tanpa menjawab.
Seorang pegawai yang
dipanggil salah seorang gadis dapur datang terburuburu melewati sudut
penginapan. "Engkau mencari jalan masuk?" tanyanya.
"Ya."
"Di sudut situ,
sebelah kanan gang."
"Penginapan ini
langsung menghadap jalan itu?"
"Betul, tapi
kamar-kamarnya tenang."
"Saya ingin
tempat yang dapat dipakai keluar-masuk tanpa dilihat orang. Saya pikir tadinya
penginapan ini jauh dari jalan. Apa rumah kecil itu bukan bagian dari
penginapan?"
"Ya."
"Kelihatannya
tenang dan enak."
"Kami ada juga
kamar-kamar yang sangat enak di bangunan utama."
"Kelihatannya
ada perempuan yang meninggalinya, tapi apa tak bisa saya tinggal di sana
juga?"
"Tapi di situ
ada lagi seorang nyonya. Dia sudah tua dan agak penggugup.
"Ah, tak
apa-apa, asal dia mau."
"Akan saya tanya
dia, kalau nanti kembali. Lagi pergi sekarang."
"Boleh saya
minta kamar buat istirahat sambil menanti?"
"Tentu
saja."
Pegawai itu mengantar
Akemi turun gang, meninggalkan Otsu. Otsu menyesal kenapa ia tidak menggunakan
kesempatan tadi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Alangkah baiknya kalau
ia bisa sedikit lebih agresif pikirnya sedih.
Untuk meredakan rasa
cemburunya, berkali-kali Otsu mencoba meyakinkan dirinya bahwa Musashi bukan
jenis lelaki yang biasa main-main dengan perempuan lain. Tetapi sejak hari itu
ia jadi kecil hati. "Dia lebih banyak punya kesempatan berada dekat
Musashi.... Barangkali dia jauh lebih pandai dari aku, dan lebih tahu bagaimana
merebut hati lelaki."
Sebelum hari itu,
kemungkinan adanya perempuan lain tidak terlintas dalam pikirannya. Sekarang ia
sibuk memikirkan hal yang menurut anggapannya merupakan kelemahannya sendiri.
"Aku tidak cantik.... Dan tidak cemerlang.... Aku tak punya orangtua atau
sanak keluarga yang menunjangku dalam perkawinan." Kalau ia membandingkan
dirinya dengan perempuan lain, terasa olehnya cita-cita hidupnya itu
sesungguhnya berada di luar jangkauannya. Adalah suatu kesombongan memimpikan
Musashi sebagai miliknya. Dan ia tak dapat lagi mengarahkan keberanian seperti
yang pernah memungkinkannya memanjat pohon kriptomeria tua di tengah badai
besar itu.
"Alangkah
baiknya kalau aku mendapat bantuan Jotaro!" demikian sesalnya. Ia bahkan
membayangkan dirinya telah kehilangan kemudaannya. "DI Shippoji itu aku
masih memiliki sebagian dari kepolosan yang sekarang ada pada Jotaro. Itu
sebabnya waktu itu aku dapat membebaskan Musashi." Dan ia menangis bersama
jahitannya.
"Kamu di situ,
Otsu?" tanya Osugi angkuh. "Apa kerjamu duduk dalam gelap itu?"
Senja telah turun,
tapi gadis itu tidak menyadarinya, "Oh, akan saya menyalakan lampu
sekarang juga," katanya minta maaf sambil bangkit dan kemudian pergi ke
kamar kecil di belakang.
Ketika akhirnya ia
masuk dan duduk, Osugi melemparkan pandangan dingin ke punggung Otsu.
Otsu meletakkan lampu
di samping Osugi dan membungkuk. "Nenek tentunya lelah," katanya.
"Apa yang Nenek lakukan tadi?"
"Kau mestinya
tahu, tanpa mesti tanya."
“Bagaimana kalau saya
pijat kaki Nenek?"
"Kakiku tidak
begitu capek, tapi bahuku kaku sudah empat atau lima hari terakhir ini. Barangkali
karena udara. Kalau mau pijatlah sedikit." Kepada diri sendiri ia
menyatakan ia mesti bersabar menghadapi gadis mengerikan ini sebentar lagi,
sampai nanti ia bertemu Matahachi dan menyuruhnya membereskan cacat cela masa
lalu itu.
Otsu berlutut di
belakangnya dan mulai memijat bahunya. "Memang kaku bahunya. Tentunya
sakit buat bernapas."
"Kadang-kadang
rasanya dadaku tersumbat. Tapi aku memang sudah tua. Tak lama lagi barangkali
aku dapat serangan jantung dan mati."
"Ah, tak akan
terjadi. Nenek punya lebih banyak semangat hidup daripada kebanyakan orang
muda."
"Mungkin juga,
tapi aku teringat Paman Gon. Dia masih segar bugar waktu itu, tapi kemudian
semua itu lewat dalam sedetik. Manusia memang tak tahu apa yang akan terjadi
dengan dirinya. Tapi tak ada yang keliru tentang satu hal itu. Supaya aku tetap
menjadi diriku, aku mesti berpikir tentang Musashi."
"Dugaan Nenek
tentang Musashi itu keliru. Dia bukan orang jahat."
"Ya, ya,
betul," kata perempuan tua itu, mendengus sedikit. "Biar bagaimana,
dia lelaki yang begitu kaucintai, sampai kau meninggalkan anakku. Sudahlah, aku
takkan bicara jelek tentang dia padamu."
“Oh, bukan itu maksud
saya!"
“Bukan, begitu? Kau
lebih cinta pada Musashi daripada pada Matahachi, kan? Kenapa tidak diakui
saja?"
Otsu terdiam, dan
perempuan itu melanjutkan, "Kalau nanti kita temukan Matahachi, aku akan
bicara dengan dia dan memutuskan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Tapi
kukira sesudah itu kau akan langsung lari kepada Musashi dan selanjutnya kalian
berdua memfitnah kami."
"Kenapa Nenek
berpikir begitu? Saya bukan manusia macam itu. Saya takkan melupakan banyak hal
yang telah Nenek lakukan untuk saya di walau lalu."
“Begitulah cara
gadis-gadis muda sekarang bicara! Tak tahulah bagaimana kamu bisa bicara begitu
manis. Aku sendiri orang jujur. Aku tak dapat menvembunyikan perasaanku dengan
kata-kata halus. Kau tahu, kalau kau kawin dengan Musashi, kau jadi musuhku.
Ha, ha, ha! Tentunya menjengkelkan memijat bahuku ini."
Otsu tak menjawab.
"Kenapa kau
menangis?"
"Saya tidak
menangis."
"Air apa yang
jatuh ke leherku?"
"Maaf. Saya tak
tahan."
"Hentikan!
Rasanya seperti bangsat merayap ke sana kemari. Tak usah lagi merana karena
Musashi dan keraskan pijatanmu!"
Di halaman tampak
cahaya. Otsu mengira itu pelayan yang biasanya membawa makan malam mereka
sekitar waktu itu, tapi ternyata seorang pendeta.
"Maaf,"
katanya sambil masuk beranda. "Apa ini kamar Nyonya Hon' iden? Oh, Nyonya
sendiri." Lentera yang dibawanya bertulisan "Kiyomizudera di Gunung
Otowa".
"Baiklah saya
jelaskan," mulainya. "Saya pendeta dari Shiando, di atas bukit
sana." Ia turunkan lentera dan ia ambil surat dari dalam kimononya.
"Saya tak kenal orang itu, tapi petang tadi, sebelum matahari terbenam,
seorang ronin datang ke kuil dan bertanya apakah seorang wanita tua dari
Mimasaka ada di sana. Saya katakan tidak, tapi seorang pemuja taat menjawab
bahwa Anda kadang-kadang memang datang. Dia lalu minta kuas dan menulis surat
ini. Dia minta saya menyerahkannya pada wanita itu kalau datang. Saya mendengar
Nyonya tinggal di sini, dan karena saya dalam perjalanan ke Jalan Gojo, saya
singgah menyampaikannya kepada Nyonya."
"Terima kasih
banyak," kata Osugi hormat. Ia menawarkan bantal kepada tamu itu, tapi
pendeta itu langsung minta diri.
"Apa pula
ini?" pikir Osugi. Ia buka surat itu. Sementara membaca, warna mukanya
berubah.
"Otsu,"
panggilnya.
"Ada apa,
Nek?" jawab gadis itu dari kamar belakang.
"Tak usah
menyuguhkan teh. Dia sudah pergi."
"Sudah? Kalau
begitu Nenek saja yang minum."
"Berani-berani
kamu menyuguhi aku teh yang kamu buat untuk dia! Aku bukan comberan. Lupakan
teh itu, dan sekarang berpakaian!"
"Apa kita akan
pergi?"
"Ya. Malam ini
kita akan sampai di tempat yang kamu harapkan."
"Oh, kalau
begitu surat itu dari Matahachi."
"Bukan
urusanmu."
"Baiklah, saya
akan minta orang menyiapkan makan malam."
"Apa kamu belum
makan?"
"Belum, saya
menanti Nenek datang tadi."
"Kamu memang
tolol. Aku sudah makan waktu pergi tadi. Nah, makanlah nasi dan acar. Tapi
cepat!"
Ketika Otsu berangkat
ke dapur, kata perempuan tua itu, "Di gunung akan dingin nanti malam. Apa
kamu sudah selesai menjahit jubahku?"
"Sedikit lagi
saya selesaikan jahitan kimono Nenek."
"Yang
kubicarakan bukan kimono, tapi jubah. Sudah kuminta tadi kamu mengerjakannya
juga. Dan apa sudah kaucuci kausku? Tali sandalku itu kendur. Ambil yang
baru."
Perintah-perintah itu
datang begitu bertubi-tubi, hingga tak sempat Otsu menjawab, apalagi menuruti,
namun ia merasa tak berdaya untuk berontak.
Semangatnya seperti
runtuh, takut, dan putus asa menghadapi perempuan tua jelek itu. Makanan tak
sempat pula dimakan. Dalam beberapa menit saja Osugi sudah menyatakan siap
berangkat.
Sambil meletakkan
sandal baru di beranda, kata Otsu, "Nenek berangkat saja dulu. Saya
menyusul."
"Kamu bawa
lentera?"
"Tidak."
"Dungu! Jadi,
maumu aku tersandung-sandung di sisi glinting itu tanpa lampu? Pinjam sana sama
penginapan."
"Maaf, saya tak
ingat."
Otsu ingin tahu ke
mana mereka akan pergi, tapi ia tidak bertanya, karena tahu hal itu akan
membangkitkan kemarahan Osugi. Ia mengambil lentera, lalu berjalan diam
mendahului di muka, mendekati Bukit Sannen. Walaupun mendapat macam-macam hal
menjengkelkan, ia tetap merasa riang. Surat itu tentunya dari Matahachi, dan
ini berarti masalah yang telah mengganggunya bertahun-tahun lamanya akan
terpecahkan malam itu. "Begitu semuanya sudah dibicarakan," demikian
pikirnya, "aku akan pergi ke rumah Karasumaru. Aku mesti ketemu
Jotaro."
Mendaki bukit itu
bukan pekerjaan ringan. Mereka harus berjalan hatihati menghindari batu-batu
jatuhan dan lubang-lubang di tengah jalan. Di tengah ketenangan alam itu, air
terjun terdengar lebih keras daripada di slang hari.
Beberapa waktu
kemudian Osugi berkata, "Aku yakin ini tempat suci buat dewa gunung ini.
Oh, ini papan namanya, 'Pohon Ceri Dewa Gunung'."
"Matahachi!"
panggilnya ke tengah kegelapan. "Matahachi! Ibu di sini!" Suara yang
gemetar dan wajah yang penuh ungkapan kecintaan ibu itu terasa bagai wahyu bagi
Otsu. Ia tak pernah menduga akan melihat Osugi demikian tenggelam dalam
keprihatinan terhadap anaknya.
"Jangan sampai
lentera itu mati!" bentak Osugi.
"Akan saya
jaga," jawab Otsu penuh tanggung jawab.
Perempuan tua itu
menggerutu dan terengah-engah. "Dia tak ada. Dia betul-betul tak
ada." Ia sudah mengelilingi pekarangan kuil, tapi dikelilinginya sekali
lagi.
"Dalam surat dia
bilang aku mesti datang ke aula Dewa Gunung."
"Apa
dikatakannya malam ini?"
"Dia tidak
bilang malam ini atau besok atau kapan lagi yang lain. Aku ingin lihat juga,
apa dia jadi lebih besar. Heran juga, kenapa dia tidak datang ke penginapan.
Barangkali dia malu karena kejadian di Osaka itu.'
Otsu menarik lengan
kimononya, katanya, "Ssst! Barangkali itu dia. Ada orang naik bukit."
"Kamu itu,
Matahachi?" tanya Osugi.
Orang itu melewati
mereka tanpa menoleh dan langsung menuju belakang kuil kecil itu. Tapi sebentar
kemudian ia kembali dan berhenti di samping mereka dan menatap muka Otsu dengan
terang-terangan. Ketika ia lewat tadi, Otsu tak mengenalinya, tapi sekarang ia
ingat-dialah samurai yang dulu duduk di bawah jembatan pada Hari Tahun Baru.
"Kalian berdua
baru saja naik?" kata Kojiro.
Pertanyaan itu
demikian mendadak, hingga baik Otsu atau Osugi tak menjawab. Keheranan mereka
menjadi lengkap melihat pakaian Kojiro yang sangat mencolok itu.
Sambil menudingkan
jari ke wajah Otsu, lanjut Kojiro, "Aku mencari gadis yang seumurmu.
Namanya Akemi. Lebih kecil daripada kau, dan wajahnva sedikit lebih bundar. Dia
terlatih kerja di warung teh, dan tingkahnya sedikit lebih dewasa dari umurnya.
Apa kalian melihat dia di sekitar sini?"
Mereka menggelengkan
kepala, tak menjawab.
"Aneh sekali.
Ada yang bilang dia kelihatan di tempat ini. Aku yakin dia menginap di salah
satu ruangan kuil." Ia menunjukkan perhatian pada mereka, tapi sepertinya
ia bicara kepada diri sendiri. Kemudian ia menggumamkan beberapa kata lagi dan
pergi.
Osugi mendecapkan
lidahnya. "Satu lagi manusia sampah. Pedangnya dua, jadi mestinya samurai,
tapi coba kaulihat pakaiannya! Dan mencari perempuan pula malam begini!
Mestinya dia sudah melihat sendiri, kita bukan orang yang dicarinya."
Otsu tidak
mengatakannya kepada Osugi, tapi ia menduga keras gadis yang dicari orang itu
adalah yang tersesat di penginapan sore tadi. Hubungan apakah yang ada antara
Musashi dan gadis itu dengan orang ini?
"Mari kita
pulang," kata Osugi, suaranya terdengar kecewa dan pasrah.
Di depan Hongando, di
mana pernah terjadi konfrontasi antara Osugi dan Musashi, mereka berpapasan
lagi dengan Kojiro. Kojiro memandang mereka dan mereka memandangnya, tapi tak
terjadi percakapan. Osugi melihat orang itu naik ke Shiando, kemudian membelok
dan berjalan langsung turun Bukit Sannen.
"Mata orang itu
menakutkan," bisik Osugi. "Macam mata Musashi.Justru pada waktu itu
mata Osugi melihat gerakan samar, dan bahunya yang bungkuk itu tersentak tegak.
"Oww!" pekiknya seperti burung hantu. Dari belakang pohon kriptomeria
besar kelihatan tangan memanggil.
"Matahachi,"
bisik Osugi. Terpikir olehnya, sungguh mengharukan bahwa Matahachi tak mau
dilihat orang lain kecuali ibunya sendiri.
Ia berseru kepada
Otsu yang sekarang delapan belas atau dua puluh meter di bawahnya. "Kamu
jalan saja terus, Otsu. Tapi jangan jauh-jauh. Tunggu aku di tempat yang
namanya Chirimazuka. Beberapa menit lagi aku datang."
"Baik,"
kata Otsu.
"Tapi jangan
pergi ke mana-mana! Aku melihatmu. Tak perlu kamu lari."
Osugi cepat-cepat
lari ke pohon itu. "Matahachi, apa itu kamu?"
"Ya, Bu."
Tangan Matahachi keluar dari kegelapan dan menggenggarn tangan ibunya,
seakan-akan sudah bertahun-tahun ia menantikan pertemuan itu.
"Apa kerjamu di
belakang pohon itu? Oh, tanganmu dingin seperti es!" Hampir ia mencucurkan
air mata merasakan kekuatirannya sendiri.
"Aku mesti
sembunyi," kata Matahachi, sedangkan matanya gugup memandang ke sana
kemari. "Orang yang lewat tempat ini semenit yang lalu, Ibu lihat,
kan?"
"Orang yang pakai
pedang panjang itu?"
"Ya."
"Apa kamu kenal
dia?"
"Boleh dibilang
begitu. Orang itu Sasaki Kojiro."
"Apa? Bukan kamu
yang Sasaki Kojiro?"
"Hah?"
"Di Osaka
kautunjukkan padaku sertifikat. Nama itu tertulis di sertifikat itu. Itu nama
yang kaupakai, kan?"
"Begitu, ya? Ah,
tidak benar itu.... Tadi, ketika dia naik, kulihat dia. Kojiro sudah bikin aku
susah beberapa hari yang lalu, karena itu aku sembunyi menghindari dia. Kalau
dia kembali lewat jalan ini, aku bisa kesulitan."
Osugi demikian terguncang,
hingga tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ia lihat Matahachi lebih
kurus daripada sebelumnya. Hal itu, dan ditambah lagi kegelisahan anaknya,
membuatnya lebih mencintainya lagisetidaknya untuk sementara waktu.
Dengan pandangan yang
menyatakan tak ingin mendengar cerita seluruhnya, katanya, "Semua itu tak
apa-apa. Sekarang coba katakan, Nak, apa kau sudah tahu Paman Gon
meninggal?"
"Paman Gon...?
"Ya, Paman Gon.
Dia meninggal di sana itu, di Pantai Sumiyoshi, tepat sesudah engkau
meninggalkan kami."
"Aku belum
dengar."
"Yah, begitulah
kejadiannya. Persoalannya sekarang, apa engkau memahami kematiannya yang tragis
itu, dan kenapa aku meneruskan misi yang panjang dan sedih ini, biarpun umurku
sudah setua ini."
"Ya, hal itu
sudah terukir dalam pikiranku sejak malam di Osaka, ketika Ibu... mengingatkan
aku tentang kekurangan-kekuranganku."
"Jadi, engkau
ingat, ya? Nah, sekarang aku punya berita untukmu, berita yang akan bikin kau
senang."
"Berita apa
itu?"
"Otsu."
"Oh! Gadis yang
dengan Ibu itu!"
Matahachi mulai
berjalan mengitari ibunya, tetapi Osugi menghadang jalannya dan tanyanya
mencela, "Ke mana engkau pergi?"
"Kalau dia Otsu,
ingin aku bertemu dengan dia. Begitu lama sudah." Osugi mengangguk.
"Kubawa dia kemari dengan maksud menyuruhmu bertemu dengannya. Tapi coba
katakan pada ibumu ini, apa rencanamu?"
"Akan
kusampaikan kepadanya aku menyesal. Aku sudah memperlakukan dia dengan buruk sekali,
dan kuharap dia memaafkan aku."
"Sudah
itu?"
"Kemudian...
nah, kemudian akan kukatakan aku takkan berbuat kesalahan macam itu lagi. Ibu
katakanlah juga begitu padanya atas namaku."
"Lalu apa
lagi?"
"Lalu akan
seperti sebelumnya."
"Apa yang akan
seperti sebelumnya?"
"Aku dan Otsu.
Aku ingin bertemu lagi dengan dia. Aku ingin mengawini dia. Oh, ibu, apa
menurut Ibu dia masih..."
"Anak
tolol!" Dan ditamparnya Matahachi keras-keras.
Matahachi rebah dan
memegang pipinya yang pedas. "K—Kenapa, Bu, ada apa?" gagapnya.
Osugi tampak lebih
marah dari yang pernah ia lihat semenjak ia disapih. Geramnya, "Baru saja
engkau meyakinkan ibumu takkan melupakan apa yang kukatakan di Osaka,
kan?"
Matahachi menundukkan
kepala.
"Apa pernah aku
bicara tentang minta maaf kepada anjing yang tak ada gunanya itu? Bagaimana
mungkin engkau mohon maaf kepada setan perempuan itu, sesudah dia membuang
dirimu dan lari dengan lelaki lain? Kau akan bertemu dengan dia, bolehlah, tapi
kau tak boleh minta maaf! Sekarang dengarkan aku!" Osugi menangkap
Matahachi dengan kedua tangannya dan mengguncangkannya. Dengan kepala
terombang-ambing, Matahachi menutup matanya, dan dengan takut-takut
mendengarkan cacian yang panjang sekali.
"Apa ini?"
jerit Osugi. "Kau nangis? Kau masih cinta pada pelacur itu, sampai engkau
menangisinya? Kalau betul begitu, engkau bukan anakku!" Dibantingnya
Matahachi ke tanah, kemudian ia sendiri pun rebah.
Beberapa menit
lamanya keduanya duduk menangis.
Tetapi kesedihan
Osugi tak dapat lama berada di permukaan. Ia berdiri, katanya, "Sudah
saatnya kau mengambil keputusan. Aku takkan lama lagi hidup. Dan kalau aku
mati, kau takkan dapat bicara denganku macam ini, biarpun kau ingin.
"Pikirkan,
Matahachi. Otsu bukan satu-satunya gadis di dunia ini." Kemudian suaranya
menjadi lebih tegang. "Kau tak boleh membiarkan dirimu merasa terikat
kepada orang yang sudah berbuat seperti dia itu. Cari gadis yang kau sukai dan
aku akan menjemputnya untukmu, biarpun aku terpaksa mengunjungi orangtuanya
sampai seratus kali—biarpun akan bikin aku lelah dan mati."
Matahachi tetap
murung dan diam.
"Lupakan Otsu,
demi nama Hon'iden. Apa pun jalan pikiranmu, dia tak dapat diterima dari sudut
keluarga. Jadi, kalau engkau sama sekali tak dapat lepas dari dia, potong saja
kepalaku yang sudah tua ini. Sudah itu kau dapat berbuat semaumu. Tapi selama
aku masih hidup..."
"Sudah,
Bu!"
Dahsyatnya nada
Matahachi itu membuat bulu kuduk Osugi meremang. "Kau berani sekali
membentakku!"
"Coba sekarang
Ibu jawab: perempuan yang akan kukawini itu akan menjadi istriku atau istri
Ibu?"
"Tolol sekali
omonganmu itu!"
"Tapi kenapa aku
tak boleh memilih sendiri?"
"Nah, nah. Sejak
dulu kau memang keras kepala. Kaupikir berapa umurmu itu? Kau bukan lagi
anak-anak, atau kau sudah lupa?"
"Tapi... yah,
memang betul Ibu ini ibuku, tapi Ibu terlalu banyak menuntut dariku. Itu tak
adil."
Perbedaan pendapat di
antara mereka memang sering kali seperti itu, dimulai dengan bentrokan perasaan
keras, diikuti oleh bergulatnya perlawanan yang keras pula. Saling pengertian
sudah runtuh sebelum sempat tumbuh.
"Itu tak
adil?" desis Osugi. "Kau pikir kau itu anak siapa? Kau pikir dari
perut siapa engkau lahir?"
"Tak ada gunanya
bicara macam itu, Bu. Aku mau kawin dengan Otsu! Dialah orang yang
kucintai!" Karena tak tahan melihat kerutan dahi ibunya yang kelabu itu,
Matahachi menujukan kata-katanya ke langit.
"Anakku, apa
betul yang kau katakan itu?" Osugi menarik pedang pendeknya dan
mengacungkan mata pedang itu ke tenggorokannya sendiri.
"Bu, apa yang
Ibu lakukan ini?"
"Cukuplah.
Jangan coba mencegahku! Sekarang tunjukkan kesopananmu dan berikan padaku
tusukan terakhir."
"Jangan lakukan
itu di depanku! Aku anakmu! Aku tak bisa berdiri di sini membiarkan Ibu berbuat
begitu!"
"Baik. Mau tidak
kau meninggalkan Otsu-sekarang juga?'
"Kalau itu yang
Ibu inginkan dariku, kenapa Ibu bawa dia kemari? Kenapa Ibu menggodaku dengan
memamerkannya di depanku? Tak mengerti aku."
"Coba dengar,
buatku gampang sekali membunuh dia, tapi kau yang rugi. Sebagai ibumu, kupikir
lebih baik kuserahkan padamu pelaksanaan hukuman itu. Menurutku, engkau pasti
berterima kasih karenanya."
"Ibu minta aku
membunuh Otsu?"
"Kau tidak mau,
ya? Kalau memang tidak mau, katakan tak mau! Tapi bulatkan pikiranmu!"
"Tapi... tapi,
Bu..."
"Jadi, kau masih
tak dapat meninggalkan dia, kan? Baik, kalau memang begitu perasaanmu, engkau
bukan anakku, dan aku bukan ibumu. Kalau kau tak bisa memotong kepala perempuan
nakal itu, paling tidak penggal kepalaku ini! Jatuhkan tebasan terakhir!"
Anak-anak memang bisa
merepotkan orangtuanya, tapi kadang-kadang sebaliknya yang terjadi, demikian
renung Matahachi. Osugi tidak hanya membuatnya takut, melainkan juga telah
menempatkannya pada kedudukan yang paling sukar dalam hidupnya. Pandangan liar
pada wajah ibunya itu sungguh mengguncangkannya.
"Bu, berhenti!
Jangan lakukan! Baik, akan kulakukan kemauan Ibu. Akan kulupakan Otsu!"
"Cuma itu?"
"Aku akan
menghukum dia. Aku berjanji akan menghukum dia dengan tanganku sendiri."
"Kau akan
membunuhnya?"
"Ah, ya, aku
akan membunuhnya."
Dengan penuh
kemenangan Osugi menangis gembira. Sambil menyingkirkan pedangnya, ia mencekal
tangan anaknya. "Bagus! Sekarang kau sudah kelihatan seperti calon kepala
Keluarga Hon'iden. Leluhurmu akan bangga denganmu."
"Apa betul
begitu menurut Ibu?"
"Pergi
laksanakan sekarang! Otsu menunggu di bawah sana, di Chirimazuka. Cepat!"
Mm.
"Akan kita
kirimkan surat ke Shippoji bersama kepalanya. Dari situ semua orang di kampung
akan tahu aib kita sudah berkurang separuh. Dan kalau Musashi mendengar Otsu
mati, harga dirinya memaksanya datang pada kita. Betapa hebat!... Matahachi,
cepat!"
"Ibu tunggu aku
di sini, kan?"
"Tidak. Aku ikut
kamu, tapi dari tempat yang tidak kelihatan. Kalau nanti Otsu melihatku, dia
akan merengek supaya aku ingat janjiku. Kalau begitu bisa kikuk."
"Ah, dia kan
cuma perempuan tak berdaya," kata Matahachi sambil bangkit pelan-pelan.
"Tak ada susahnya membereskan dia, jadi lebih baik Ibu tinggal di sini
saja. Akan kubawa ke sini kepalanya. Tak perlu kuatir. Takkan kubiarkan dia
lolos."
"Tapi bisa saja
kau kurang hati-hati. Memang dia cuma perempuan, tapi kalau melihat mata
pedangmu, dia bisa melawan."
"Tak usah
kuatir. Ini soal gampang."
Sambil menguatkan
hatinya, berangkatlah Matahachi turun bukit; ibunya berjalan di belakang dengan
wajah kuatir. "Ingat," katanya, "jangan sampai kurang
waspada!"
"Ibu masih ikut?
Kupikir Ibu akan tinggal di tempat yang kelihatan." "Chirimazuka
masih jauh di bawah sana."
"Aku tahu, Bu!
Kalau Ibu mau terus juga, pergi saja sendiri. Aku tunggu di sini."
"Kenapa pula
kamu ragu-ragu?"
"Dia manusia.
Kan sukar aku menyerangnya kalau aku merasa seperti membunuh anak kucing tak
berdosa?"
"Aku mengerti
perasaanmu. Walaupun tidak setia, dia dulu tunanganmu. Baiklah, kalau kau tak
ingin kuawasi, pergilah sendiri. Aku tinggal di sini." Matahachi pergi
tanpa mengucapkan apa pun.
Otsu semula bermaksud
melarikan diri, tapi kalau ia melarikan diri, segala kesabaran yang telah
ditahankannya selama dua puluh hari itu akan sia-sia. Ia memutuskan bertahan
sebentar lagi. Untuk melewatkan waktu, ia memikirkan Musashi, kemudian Jotaro.
Cintanya kepada Musashi menyalakan berjuta-juta bintang terang dalam hatinya.
Ia menghitung berbagai harapan yang dicita-citakannya bagi masa depannya,
seakan dalam mimpi. Dan terkenang olehnya janji-janji Musashi kepadanya-di
Celah Nakayama, di Jembatan Hanada. Sekalipun bertahun-tahun telah berlalu, ia
percaya dengan segenap hatinya bahwa Musashi takkan meninggalkannya.
Kemudian bayangan
Akemi datang mengganggunya, menggelapkan harapan-harapannya dan membuatnya
gelisah. Tapi cuma sesaat. Rasa takutnya pada Akemi tidak berarti dibandingkan
dengan kepercayaannya yang tak terbatas kepada Musashi. Ia ingat pula, Takuan
pernah mengatakan ia mesti dikasihani. Tapi itu tak ada artinya. Bagaimana
mungkin Takuan memandang kegembiraannya yang abadi itu dalam arti demikian?
Sekarang pun, ketika
ia berada di tempat sepi menantikan orang yang tak ingin ia lihat, impiannya
yang mengasyikkan mengenai masa depan tetap menguatkannya agar dapat menahan
derita macam apa pun.
"Otsu!"
"Siapa...
itu?" kata Otsu.
"Hon'iden
Matahachi."
"Matahachi?"
gagap Otsu.
"Kau sudah lupa
suaraku?"
"Tidak, aku
ingat lagi sekarang. Kau sudah ketemu ibumu?"
"Ya, dia
menungguku. Kau tidak berubah, ya? Kau kelihatan seperti waktu di
Mimasaka."
"Kau di mana?
Begini gelap, sampai aku tak lihat."
"Boleh aku lebih
dekat? Aku berdiri di sini. Aku malu sekali berhadapan denganmu. Apa yang
kaupikirkan tadi?"
"Oh, tidak ada,
tak ada yang khusus."
"Kau memikirkan
aku, ya? Aku tak pernah tidak memikirkan engkau." Ketika Matahachi
pelan-pelan mendekatinya, Otsu merasa sedikit kuatir.
"Matahachi, apa
ibumu sudah menjelaskan semuanya?"
"Sudah."
"Nah, karena
engkau sudah mendengar semuanya," kata Otsu puas sekali, "cobalah kau
memahami perasaanku, tapi aku sendiri minta kau meninjau soal-soal itu dari
sudut pandangku. Mari kita lupakan masa lalu. Semua itu tak disengaja."
"Ah, jangan
seperti itu, Otsu." Matahachi menggeleng. Walaupun ia tak tahu apa yang
disampaikan ibunya pada Otsu, tapi ia merasa cukup yakin hal itu dimaksudkan
untuk menipu Otsu. "Sakit rasanya kalau masa lalu disebut-sebut. Sukar
bagiku menegakkan kepala di depanmu. Tapi karena sebab-sebab tertentu, tak
mungkin aku berpikir akan melepaskan engkau."
"Matahachi,
gunakan akalmu. Tak ada apa pun sekarang antara hatimu dan hatiku. Kita
dipisahkan oleh lembah yang besar."
"Betul. Dan
lebih dari lima tahun lewat lembah itu."
"Tepat.
Tahun-tahun itu tak akan kembali lagi. Tak ada jalan untuk menangkap kembali
perasaan yang pernah kita punyai."
"Oh, tidak! Kita
dapat menangkapnya kembali! Kita dapat!"
"Tidak, semuanya
sudah hilang buat selamanya."
Matahachi menatapnya,
takjub oleh dinginnya wajah Otsu dan tandasnya nada bicaranya. Ia bertanya pada
diri sendiri, apakah itu gadis yang dahulu seperti sinar matahari musim semi
apabila sudah mau mengungkapkan perasaan cintanya? Kini ia merasa seperti
sedang mengusap batu pualam putih yang bersalju. Di manakah sikap keras ini
tersembunyi di masa lalu?
Teringat olehnya
beranda Shippoji. Teringat olehnya Otsu duduk di sana dengan mata jernih
melamun, sering sampai setengah hari atau lebih, diam meninjau ke ruang kosong.
Seakan di tengah awan-awan itu ia melihat ayah-ibunya, melihat
saudara-saudaranya.
Matahachi lebih
mendekat lagi. Dengan sikap takut-takut, seperti sedang berada di tengah duri
ketika memetik kuncup mawar putih, bisiknya, "Mari kita coba lagi, Otsu.
Memang tak ada jalan mengembalikan lima tahun yang sudah lewat itu, tapi
marilah kita mulai lagi, sekarang ini, kita berdua."
"Matahachi,"
kata Otsu tenang, "apa engkau berkhayal? Aku bukan bicara tentang
panjangnya waktu, aku bicara tentang jurang yang memisahkan hati kita, hidup
kita."
"Aku tahu. Tapi
yang kumaksud adalah mulai sekarang ini juga aku hendak merebut kembali cintamu.
Barangkali tak perlu aku mengatakan hal itu, tapi apakah kesalahan yang
kuperbuat bukan kesalahan hampir setiap pemuda?"
"Bicaralah
semaumu, tapi aku tak akan dapat lagi menerima kata-katamu dengan
sungguh-sungguh."
"Otsu, aku tahu
aku salah! Aku lelaki, tapi lihatlah, aku minta maaf pada seorang perempuan.
Apa engkau tak mengerti, betapa berat ini bagiku?"
"Hentikan! Kalau
kau seorang lelaki, kau mesti berbuat seperti lelaki."
"Tapi tak ada di
dunia ini yang lebih penting bagiku. Kalau kau mau, aku akan berlutut dan
memohon maaf padamu. Aku berikan sumpahku. Aku mau bersumpah demi apa pun yang
kausukai."
"Tak peduli aku,
apa yang kaulakukan!"
"Kuminta jangan
engkau marah. Lihatlah, ini bukan tempat buat bicara. Mari kita pergi ke tempat
lain."
"Tidak."
"Aku tak mau
ibuku melihat kita. Mari kita pergi. Aku tak dapat membunuhmu. Mana bisa aku
membunuhmu."
Matahachi memegang
tangannya, tapi Otsu melepaskannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya
marah. "Lebih baik aku dibunuh daripada hidup denganmu!"
"Kau tak mau
pergi denganku?"
"Tidak, tidak,
tidak."
"Itu keputusan
terakhir?"
"Ya!"
"Artinya kau
masih cinta pada Musashi?"
"Ya, aku cinta
padanya. Aku akan mencintainya dalam hidup ini dan hidup yang akan
datang."
Tubuh Matahachi
menggeletar. "Bukan begitu mestinya kau bicara, Otsu."
"Ibumu sudah
tahu. Dan dia bilang akan menyampaikannya padamu. Dia berjanji kita akan
membicarakan ini bersama-sama dan mengakhiri masa lalu itu."
"Oh, begitu. Dan
kukira Musashi memerintahkan engkau menemuiku dan menyampaikan semua itu!
Begitu, kan?"
"Tidak, tidak
begitu! Musashi tak perlu menyuruhku melakukan apa pun."
"Kau tahu aku
punya harga diri. Semua lelaki punya harga diri. Kalau memang begitu perasaanmu
terhadapku..."
"Apa yang akan
kaulakukan?" teriak Otsu.
"Aku lelaki juga
seperti Musashi. Kalau soal ini menyeret seluruh hidupku, akan kucegah kau
bersatu dengan dia. Takkan kuizinkan!"
"Memangnya kau
siapa, sampai mesti memberi izin?"
"Takkan
kubiarkan kau kawin dengan Musashi! Ingat, Otsu, bukan Musashi
tunanganmu."
"Kau bukan orang
yang mesti mengemukakan hal itu."
"Kenapa tidak?
Engkau dijanjikan jadi istriku. Tak bisa kau kawin dengan siapa pun, kalau aku
tidak menyetujui."
"Kau pengecut,
Matahachi! Aku kasihan padamu. Bagaimana kau bisa menurunkan derajat seperti
itu? Sudah lama aku menerima surat darimu dan dari perempuan yang namanya Oko
itu, yang isinya memutuskan pertunangan."
"Aku tidak tahu
apa-apa tentang itu. Aku tidak mengirimkan surat itu. Oko mestinya yang
melakukannya, atas namanya sendiri."
"Bohong. Satu
surat ditulis dengan tulisanmu sendiri, dan mengatakan aku mesti melupakanmu
dan mencari orang lain sebagai suami."
"Mana surat itu?
Tunjukkan itu padaku!"
"Tak ada lagi.
Ketika Takuan membacanya, dia tertawa dan membuang ingus dengannya, dan
membuangnya."
"Dengan kata
lain, engkau tak punya bukti, dan tak seorang pun akan mempercayaimu. Semua
orang di kampung tahu kau tunanganku. Aku punya segala bukti untuk itu,
sedangkan kau tidak. Ingat. Otsu, kalau kau memutuskan diri dari semua orang
agar dapat bersatu dengan Musashi, kau takkan pernah bahagia. Rupanya Oko
mengganggumu, tapi aku bersumpah, tak ada lagi sama sekali hubunganku dengan
dia."
"Kau buang-buang
waktu saja."
"Kau tak mau
mendengarkan, biarpun aku minta maaf?"
"Matahachi, apa
tadi kau tidak menyombongkan diri sebagai lelaki? Kenapa kau tidak berbuat
sebagai lelaki? Tak ada perempuan yang mau menyerahkan hatinya kepada orang
yang lemah, tak tahu malu, dan pengecut yang suka berbohong. Perempuan tidak
kagum pada orang lemah."
"Jaga
kata-katamu!"
"Lepaskan aku!
Lengan kimonoku sobek nanti!"
"Sundal
plin-plan... kamu!"
"Hentikan!"
"Kalau kau
sayang hidupmu, berjanjilah akan meninggalkan Musashi!" Matahachi
melepaskan lengan kimono Otsu untuk menarik pedangnya. Dan sekali sudah
ditarik, pedang itu seperti menguasainya. Ia seperti kesetanan, matanya
memancarkan sinar liar. Otsu menjerit, bukan karena senjata itu, melainkan
karena pandangan Matahachi.
"Anjing!"
teriak Matahachi ketika Otsu membalik untuk lari. Pedangnya menebas,
menyerempet simpul obi Otsu. "Tak boleh lolos!" pikirnya, lalu
mengejar sambil memanggil ibunya.
Osugi datang
berlari-lari turun bukit. "Apa dia berbuat ceroboh?" pikir ibunya
sambil mencabut pedangnya sendiri.
"Dia di sana.
Tangkap dia, Bu!" seru Matahachi. Tapi segera kemudian ia berlari balik
dan berhenti mendadak ketika hampir bertubrukan dengan perempuan tua itu.
Dengan mata membelalak, tanyanya, "Ke mana tadi larinya?"
"Kau tidak
membunuh dia?"
"Tidak, dia
lari."
"Tolol!"
"Lihat, dia di
bawah itu. Itu dia. Itu!"
Otsu yang berlari
menuruni tepi curam itu terpaksa berhenti untuk melepaskan lengan kimononya
dari sangkutan ranting pohon. Ia tahu ia sudah dekat dengan air terjun, karena
suaranya terdengar keras sekali. Ketika ia berlari lagi sambil memegang lengan
kimononya yang sobek, Matahachi dan Osugi menghampirinya, dan ketika Osugi
berteriak, "Kita berhasil menjebaknya," maka kata-kata itu terdengar
persis di belakangnya.
Di dasar lembah itu
kegelapan merajalela seperti dinding, mengepung Otsu.
"Matahachi,
bunuh dia! Itu dia di situ, berbaring di tanah."
Matahachi menyerahkan
diri seluruhnya kepada pedang sekarang. Sambil melompat ke muka, ia membidik
sosok hitam itu dan menjatuhkan mata pedangnya dengan kejam. "Setan
perempuan!" jeritnya.
Bersama gemertaknya
ranting dan cabang pohon terdengar pula jeritan maut.
"Terima ini,
terima ini!" Matahachi menebas tiga kali, empat kaliberulang-ulang, sampai
kedengarannya pedang membelah menjadi dua. Ia jadi mabuk darah, matanya
memancarkan api.
Kemudian lewat sudah
segalanya. Menyusul ketenangan.
Dengan lesu ia
memegang pedangnya yang berdarah. Sedikit demi sedikit ia sadar kembali akan
dirinya, dan wajahnya jadi hampa. Ia pandangi kedua tangannya dan ia melihat
darah di situ. Ia raba wajahnya. Di situ ada darah juga, begitu pula di seluruh
pakaiannya. Ia jadi pucat pasi dan pening. Terpikir olehnya setiap tetes darah
itu adalah darah Otsu.
"Bagus, Nak!
Akhirnya engkau melaksanakannya." Dengan napas terengah-engah, yang lebih
disebabkan kegembiraan daripada pengerahan tenaga, Osugi berdiri di belakang
Matahachi, dan sambil melongok dari atas bahu Matahachi ia pandangi daun-daun
yang sudah rusak terobrak-abrik. "Sungguh senang aku melihat ini,"
katanya gembira. "Sudah kita laksanakan, Nak. Sudah terangkat separuh
bebanku, dan sekarang aku dapat menegakkan kepala lagi di kampung. Ada apa
denganmu? Lekas! Potong kepalanya!"
Melihat anaknya mau
muntah, Osugi tertawa. "Kau ini tak punya nyali. Kalau kau tak sampai hati
memotong kepalanya, aku akan melakukannya untukmu. Menyingkir kamu."
Matahachi berdiri
diam, sampai perempuan tua itu berjalan menuju semak. Waktu itulah ia
mengangkat pedangnya dan menjotoskan gagangnya ke bahu ibunya.
"Apa pula
ini!" teriak Osugi sambil terhuyung ke depan. "Apa kau sudah
gila?"
"Ibu!"
"Apa?"
Dari tenggorokan
Matahachi terdengar bunyi aneh berceguk-ceguk. Ia menghapus mata dengan
tangannya yang berlumuran darah. "Aku sudah... sudah membunuh dia. Aku
sudah membunuh Otsu!"
"Dan itu
tindakan yang patut dipuji! Oh, kau menangis."
"Aku tak tahan.
Oh, orang sinting, orang tua sinting, gila, fanatik!"
"Kau
menyesal?"
"Ya... ya! Kalau
bukan karena Ibu, mestinya aku dapat membawa Otsu kembali. Ibu mestinya sudah
mati sekarang ini! Persetanlah dengan kehormatan keluarga itu!"
"Hentikan ocehan
itu. Kalau dia memang begitu tinggi harganya di matamu, kenapa tidak kaubunuh
saja aku dan kaulindungi dia?"
"Seandainya
dapat aku melakukan itu, aku... oh, apakah ada yang lebih menyedihkan selain
punya ibu yang jadi maniak keras kepala?"
"Berhenti! Dan
berani amat kau bicara begitu padaku!"
"Mulai sekarang
aku mau hidup menurut kemauanku sendiri. Kalaupun ngawur, itu bukan urusan
orang lain, tapi urusanku sendiri."
"Itulah selalu
kelemahanmu, Matahachi. Kau gelisah, lalu bikin gaduh, cuma untuk bikin sulit
ibumu."
"Memang aku akan
bikin sulit, babi betina tua! Kau ini tukang sihir! Aku benci padamu!"
"Oh, oh! Bukan
main marahnya dia... Menyingkir! Akan kuambil dulu kepala Otsu, sudah itu
kuberi kau sedikit pelajaran!"
"Omong lagi? Aku
takkan mendengarkan."
"Aku ingin kau
melihat dengan kepalamu sendiri, bagaimana macamnya perempuan kalau sudah mati.
Tak lain dari tulang. Aku ingin kau memahami bodohnya nafsu itu."
"Tutup
mulut!" Matahachi menggeleng-geleng hebat. "Kalau dipikir-pikir, yang
kuinginkan itu Otsu. Ketika aku mengambil kesimpulan tak bisa terus hidup
seperti yang sudah-sudah, ketika aku mencoba mencari jalan untuk berhasil dan
mulai menempuh jalan benar kembali, semua itu karena aku ingin mengawini dia
bukan demi kehormatan keluarga, dan bukan demi perempuan tua yang
mengerikan!"
"Berapa lama kau
akan menyesali hal yang sudah terjadi? Akan lebih bermanfaat kalau kau
menyanyikan kitab-kitab sutra. Hidup Amida Budha!"
Osugi meraba-raba di
antara ranting-ranting patah dan rumput kering yang penuh percikan darah,
kemudian membungkuk ke rumput dan berlutut di atasnya. "Otsu,"
katanya, "jangan kamu membenci aku. Sekarang tak ada lagi dendamku padamu,
karena kau sudah mati. Semua yang lalu itu suatu keharusan. Istirahatlah kamu
dalam damai."
Ia meraba-raba dengan
tangan kirinya dan mencekam rambut yang hitam itu.
Suara Takuan
terdengar berderai-derai. "Otsu!" Terbawa angin gelap ke dalam ceruk
itu, terdengar seolah sumber suara itu pohon-pohon dan bintang-bintang sendiri.
"Belum juga Anda
temukan?" tanyanya dengan suara agak tegang.
"Belum, dia tak
ada di sekitar tempat ini." Pemilik penginapan tempat Osugi dan Otsu
tinggal itu menghapus keringat dari keningnya.
"Anda yakin apa
yang Anda dengar itu betul?"
"Yakin betul.
Sesudah kedatangan pendeta dari Kiyomizudera tadi, nyonya itu mendadak pergi,
katanya akan ke aula Dewa Gunung. Gadis itu ikut." Keduanya melipat tangan
di dada sambil berpikir.
"Barangkali
mereka naik terus, atau menyimpang ke tempat yang jauh dari jalan," kata
Takuan.
"Kenapa Bapak
begitu kuatir?"
"Saya kira Otsu
telah diperdayakan."
"Apa betul
perempuan tua itu begitu jahat?"
"Tidak,"
kata Takuan bingung. "Dia orang yang baik sekali."
"Oh, tidak,
kalau mendengar apa yang baru Bapak ceritakan itu. Sekarang saya ingat
sesuatu."
"Apa itu?"
"Tadi saya lihat
gadis itu menangis di kamarnya."
"Tapi itu
mungkin tak banyak artinya."
"Perempuan tua
itu bilang gadis itu tunangan anaknya."
"Tentu dia akan
bilang begitu."
"Dari cerita
Bapak, kelihatannya dendam kesumat yang membuat perempuan tua itu menyiksa
gadis itu."
"Itu satu hal.
Tap hal lain adalah kenapa dia membawa gadis itu ke gunung pada malam gelap
begini. Saya takut Osugi berencana membunuhnya."
"Membunuh? Lalu
bagaimana Bapak bisa mengatakan tadi dia perempuan baik?"
"Sebab dialah
yang disebut baik oleh dunia ini. Dia sering pergi memuja di Kiyomizudera, kan?
Pada waktu dia duduk di hadapan Kannon sambil memegang tasbih, tentunya jiwanya
dekat sekali dengan Kannon."
"Saya dengar dia
berdoa juga untuk Budha Amida."
"Di dunia ini
banyak orang Budhis seperti itu. Mereka disebut orang-orang yang percaya.
Mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka pergi ke
kuil dan berdoa untuk Amida. Mereka rupanya memikirkan perbuatan-perbuatan
setani untuk dapat diampuni Amida. Dengan senang hati mereka membunuh orang,
dan yakin benar bahwa kalau sesudah itu mereka datang kepada Amida, dosa-dosa
mereka akan dihapuskan dan sesudah mati mereka masuk -Surga- Barat. Orang-orang
baik macam ini memang jadi masalah."
Matahachi menoleh
ngeri ke sekitar, dan bertanya-tanya dalam hati dari mana datangnya suara itu.
"Dengar itu,
Bu?" tanyanya gelisah.
"Kau kenal suara
itu?" Osugi mengangkat kepala, tapi gangguan itu tak begitu merisaukannya.
Tangannya masih mencengkeram rambut itu, dan pedangnya tetap dalam kedudukan
siap membabat.
"Dengar!
Lagi!"
"Aneh. Kalau ada
yang mencari Otsu, tentunya anak yang namanya Jotaro."
"Itu suara
lelaki."
"Ya, aku tahu, dan
kupikir sudah pernah aku mendengar suara itu."
"Berat ini
kelihatannya. Sekarang lupakan kepala itu, Bu. Bawa lentera itu. Ada orang
datang!"
"Kemari?"
"Ya, dua orang.
Ayo kita lari."
Bahaya menyatukan ibu
dan anak itu seketika, tapi Osugi tidak juga dapat melepaskan diri dari
tugasnya yang berlumuran darah itu.
"Tunggu
sebentar," katanya. "Aku tak bisa kembali tanpa kepala ini, padahal
sudah pergi sejauh ini. Kalau tidak kubawa, bagaimana aku bisa membuktikan
sudah membalas dendam? Sebentar lagi aku menyusul."
"Oh!" keluh
Matahachi gemas.
Tiba-tiba dari bibir
Osugi tercetus teriakan ngeri. Ia jatuhkan kepala itu. Ia setengah berdiri,
terhuyung-huyung, dan rebah di tanah.
"Bukan dia!"
jeritnya. la menebas-nebaskan tangannya dan mencoba berdiri, tapi jatuh
kembali.
Matahachi melompat
mendekat untuk melihat, dan gagapnya, "A-a-apa?"
"Lihat, ini
bukan Otsu! Ini lelaki... pengemis... cacat..."
"Lho,
mustahil," seru Matahachi. "Aku kenal orang ini."
"Apa?
Temanmu?"
"Bukan! Dia yang
memperdayakan aku supaya menyerahkan semua uangku padanya," ucapnya.
"Apa kerja penipu kotor macam Akakabe Yasoma ini di dekat-dekat
kuil?"
"Siapa di
sana?" seru Takuan. "Otsu, kamu, ya?" Tiba-tiba ia sudah berdiri
di belakang mereka.
Kaki Matahachi lebih
cekatan daripada kaki ibunya. Cepat ia berlari dan hilang dari pandangan, tapi
Takuan berhasil mengejar ibunya dan mencengkeram kerahnya.
"Tepat seperti
dugaanku. Dan aku yakin, anakmu tercinta yang lari itu. Matahachi! Apa maksudmu
lari meninggalkan ibumu? Orang udik tak kenal terima kasih! Balik sini!"
Osugi
menggeliat-geliat sengsara di lutut Takuan, tapi tak sedikit pun ia kehilangan
keberanian. "Siapa kamu?" tanyanya marah. "Apa maumu?"
Takuan melepaskannya,
dan katanya, "Lupa padaku, Nek? Nenek sudah pikun tentunya."
"Takuan!"
"Heran,
ya?"
"Kenapa mesti
heran. Pengemis macam kamu dapat pergi ke mana kau suka. Cepat atau lambat kau pasti
hanyut ke Kyoto."
"Betul,
Nek," sahut Takuan menyeringai. "Tepat seperti yang Nenek katakan.
Aku sudah mengembara ke Lembah Koyagyu dan Provinsi Izumi, tapi kemudian tiba
di ibu kota, dan semalam di rumah seorang teman aku mendengar berita yang menguatirkan.
Kusimpulkan berita itu penting sekali dan aku harus bertindak."
"Apa hubungannya
itu denganku?"
"Kukira Otsu
bersamamu, dan aku sedang mencarinya."
"Huh!"
"Nek!"
"Apa?"
"Di mana
Otsu?"
"Aku tak
tahu."
"Tak
percaya."
"Pak," kata
pemilik warung. "Ada darah tumpah di sini. Masih segar." Dan ia
mendekatkan lenteranya ke mayat itu.
Kening Takuan
mengerut kaku. Melihat ia sibuk berpikir, Osugi bangkit dan melarikan diri.
Tanpa bergerak sedikit pun pendeta itu berseru, "Tunggu, Nek! Nenek
tinggalkan rumah buat membersihkan nama, kan? Apa Nenek mau pulang sekarang
dengan nama yang lebih kotor lagi? Nenek bilang sayang anak. Apa Nenek mau
meninggalkan dia padahal sudah bikin dia sengsara?" Daya suaranya yang
menggelegar itu melingkupi Osugi, membuat ia berhenti seketika.
Dengan wajah buruk
akibat kerut-merut menantang, Osugi berteriak, "Menodai nama keluarga dan
bikin anak tidak bahagia? Apa maksudmu?"
"Tepat seperti
yang kukatakan ini."
"Sinting!"
Dan ia tertawa singkat mencemooh. "Siapa kau ini? Kau ke sana kemari makan
makanan orang lain, hidup di kuil-kuil orang lain, buang air di lapangan
terbuka. Apa yang kauketahui tentang kehormatan keluarga? Apa pengetahuanmu
tentang cinta ibu pada anaknya? Pernah kau menanggung derita seperti yang
dipikul orang biasa? Sebelum menasihati orang lain apa yang mesti
dikerjakannya, coba dulu kerja dan beri makan dirimu sendiri, seperti semua
orang lain."
"Ucapan Nenek
mengena sekali, dan aku memang merasakannya. Ada memang pendeta-pendeta lain di
dunia ini yang mesti kukatai demikian juga. Tapi aku sudah mengatakan, aku
bukan tandingan Nenek dalam perang kata-kata, dan kulihat lidah Nenek masih
tajam seperti dulu."
"Dan masih ada
hal-hal penting lain yang mesti kulakukan di dunia ini. Tak usah kau menduga
bahwa satu-satunya kebiasaanku ini cuma ngomong."
"Sudah. Sekarang
aku mau bicara tentang yang lain-lain dengan Nenek."
"Soal apa
itu?"
"Malam ini Nenek
suruh Matahachi membunuh Otsu, kan? Dan kuduga kalian berdua sudah
membunuhnya."
Sambil menjulurkan
lehernya yang sudah berkerut, Osugi tertawa menghina. "Takuan, kau boleh
saja terus membawa lentera dalam hidup ini, tapi tak ada faedahnya buatmu kalau
kau tidak membuka matamu. Apa artinya mata itu? Apa sekadar lubang di kepalamu
atau hiasan lucu?"
Takuan, yang merasa
sedikit tidak enak, akhirnya memperhatikan tempat terjadinya pembunuhan.
Selagi ia menengadah
lega, perempuan tua itu berkata, kali ini dengan sikap benci, "Kukira kau
senang yang terbunuh bukan Otsu. Tapi jangan kira aku lupa, kaulah comblang
kotor yang mempertemukan Otsu dan Musashi, dan menyebabkan kesulitan ini."
"Kalau begitu
perasaan Nenek, bagus. Tapi aku tahu Nenek orang saleh, dan menurutku Nenek tak
boleh pergi meninggalkan tubuh ini tergeletak di sini."
"Tadi orang itu
sudah hampir mati dan menggeletak di situ. Matahachi membunuhnya, tapi itu
bukan kesalahan Matahachi."
"Ronin ini
memang agak sinting," kata pemilik warung. "Beberapa hari terakhir
dia sempoyongan di kota, mulutnya mengeluarkan air liur. Di kepalanya ada
benjolan besar sekali."
Osugi tak
memperlihatkan peduli sama sekali, dan membalikkan tubuh untuk pergi. Takuan
minta pemilik warung mengurus mayat itu, lalu mengikuti Osugi. Osugi jengkel
sekali karenanya, tapi ketika ia menoleh untuk melecutkan lagi lidahnya yang
berbisa, Matahachi memanggilnya pelan, "Ibu."
Ia mendekati suara
itu dengan gembira. Bagaimanapun, Matahachi anak baik. Ia tetap tinggal di situ
untuk meyakinkan dirinya bahwa ibunya selamat. Mereka berbisik-bisik, dan
agaknya mengambil kesimpulan bahwa mereka belum sama sekali lepas dari bahaya
akibat hadirnya si pendeta, karena itu mereka lari secepat-cepatnya ke kaki
bukit.
"Tak ada
gunanya," bisik Takuan. "Melihat perbuatannya, mereka takkan
mendengarkan apa pun yang kukatakan. Oh, sekiranya dunia dapat dilepaskan dari
macam-macam salah pengertian yang tolol, orang yang menderita tidak akan
sebanyak ini."
Tapi sekarang ini ia
mesti menemukan Otsu. Otsu berhasil meloloskan diri. Semangat Takuan meningkat
sedikit, tapi ia belum dapat benar-benar merasa tenang sebelum yakin Otsu
selamat. Ia memutuskan meneruskan pencarian, sekalipun suasana gelap.
Pemilik warung sudah
lebih dahulu mendaki bukit, dan kini ia turun kembali disertai tujuh atau
delapan orang yang membawa lentera. Para penjaga malam di kuil itu datang
membawa sekop, siap membantu penguburan. Tak lama kemudian Takuan mendengar bunyi
galian kubur yang tak menyenangkan itu.
Ketika kira-kira
lubang sudah cukup dalam, ada orang berteriak, "Hai, lihat, di sini ada
tubuh lain! Tubuh gadis manis!" Orang itu sekitar sepuluh meter jauhnya
dari kuburan, di ujung sebuah paya.
"Mati?"
"Tidak, cuma
tidak sadar."
0 komentar:
Posting Komentar