Rabu, 12 Juli 2017




Cinta Seorang Ibu


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






OTSU menurunkan jahitannya dan berseru, "Siapa itu?"

Dibukanya shoji yang menghadap beranda, tapi tak seorang pun kelihatan Semangatnya terbang. Tadinya ia mengharap orang itu Jotaro. Sekarang in: ia butuh sekali anak itu, lebih butuh dari kapan pun.

Lagi satu hari yang penuh kesepian. la tak dapat mencurahkan perhatiannya kepada kerja menjahit itu.

Di bawah Kiyomizudera ini, di kaki Bukit Sannen, jalan-jalan kotor sekali, tetapi di belakang rumah-rumah dan warung terdapat rumpunrumpun bambu dan ladang-ladang kecil, bunga-bunga kamelia yang sedang berkembang, prem yang mulai berjatuhan. Osugi suka sekali penginapan khusus ini. Ia selalu tinggal di situ bila berada di Kyoto, dan pemilik penginapan selalu menyediakan baginya rumah kecil, terpisah, dan tenang ini. Di belakangnya terdapat petak pohon-pohon, bagian dari kebun rumah sebelah. Di depan terdapat kebun sayuran kecil dan di sebelahnya dapur penginapan yang selalu sibuk.

"Otsu!" terdengar suara dari dapur. "Sudah waktunya makan siang. Boleh kubawa masuk sekarang?"

"Makan siang?" tanya Otsu. "Aku akan makan dengan nyonya tua itu saja, kalau nanti dia kembali."

"Dia sudah bilang takkan lekas pulang. Barangkali sampai malam."

"Aku tidak lapar."

"Tak mengerti aku, bagaimana engkau bisa tahan, makan begitu sedikit. "

Asap kayu pinus mengepul masuk ruangan dari tempat pembakaran tembikar di sekitar tempat itu. Pada hari-hari pembakaran selamanya banyak asap. Tetapi sesudah udara bersih, langit awal musim semi itu lebih biru daripada biasa.

Dari jalan terdengar suara kuda, langkah kaki, dan suara para peziarah yang sedang dalam perjalanan ke kuil. Dari orang-orang lewat itulah cerita tentang kemenangan Musashi atas Seijuro sampai di telinga Otsu. Wajah Musashi terbayang di depan matanya. "Jotaro tentunya ada di Rendaiji hari itu," pikirnya. "Oh, coba kalau dia datang dan menceritakannya padaku."

Ia tak yakin anak itu mencarinya dan tak dapat menemukannya. Dua puluh hari telah berlalu, dan Jotaro tahu ia tinggal kaki Bukit Sannen itu. Jotaro kemungkinan sakit, tapi ia tak yakin Jotaro sakit. Jotaro bukan jenis orang yang biasa sakit. "Barangkali dia sedang main layang-layang menyenangkan diri," katanya pada diri sendiri. Pikiran itu membuatnya sedikit kesal.

Mungkin Jotaro-lah yang justru menunggu. Memang Otsu tidak kembali ke rumah Karasumaru, walaupun ia berjanji kepada Jotaro akan segera kembali.

Sekarang Otsu tak dapat pergi ke mana-mana, karena dilarang meninggalkan penginapan tanpa izin Osugi. Osugi rupanya minta kepada pemilik penginapan dan para pembantu untuk mengawasinya. Baru ia memandang ke jalan saja orang sudah bertanya, "Engkau akan pergi, Otsu?" Pertanyaan dan nada pertanyaan itu terasa polos, tapi ia mengerti maknanya. Satu-satunya jalan baginya untuk mengirimkan surat adalah dengan mempercayakannya kepada orang-orang penginapan, yang sudah diberi instruksi untuk menyimpan baik-baik surat apa saja yang mungkin hendak dikirimnya.

Osugi cukup terkenal di wilayah itu, dan orang di situ gampang disuruh melaksanakan perintahnya. Sebagian pemilik warung, pemikul tandu, dan kusir gerobak di sekitar tempat itu ikut menyaksikan aksi Osugi tahun lalu ketika ia menantang Musashi di Kiyomizudera. Melihat sifatnya yang gampang marah itu, mereka memandangnya dengan perasaan kagum bercampur kasihan.

Ketika Otsu sekali lagi hendak menyelesaikan jahitan pakaian perjalanan Osugi yang telah dilepas jahitannya untuk dicuci, sebuah bayangan muncul di luar. Ia mendengar suara yang tak dikenalnya mengatakan, "Ah, apa saya keliru?"

Seorang perempuan muda masuk gang dari jalan, dan waktu itu sedang berdiri di bawah potion prem antara dua petak tanaman bawang. la kelihatan bingung, sedikit malu, tapi enggan kembali.

"Apa ini bukan penginapan? Ada lentera di pintu masuk gang, menyatakan ini penginapan," katanya kepada Otsu.

Hampir Otsu tak dapat mempercayai matanya, dan demikian menyakitkan kenangan yang tiba-tiba timbul padanya.

Dengan nada bersalah, Akemi bertanya malu-malu, "Boleh tanya, yang mana yang penginapan?" Kemudian, ketika ia menoleh ke sekitar, terlihat olehnya kembang prem dan ia berseru, "Aduh, bukan main bagusnya!"

Otsu memandang saja gadis itu tanpa menjawab.

Seorang pegawai yang dipanggil salah seorang gadis dapur datang terburuburu melewati sudut penginapan. "Engkau mencari jalan masuk?" tanyanya.

"Ya."

"Di sudut situ, sebelah kanan gang."

"Penginapan ini langsung menghadap jalan itu?"

"Betul, tapi kamar-kamarnya tenang."

"Saya ingin tempat yang dapat dipakai keluar-masuk tanpa dilihat orang. Saya pikir tadinya penginapan ini jauh dari jalan. Apa rumah kecil itu bukan bagian dari penginapan?"

"Ya."

"Kelihatannya tenang dan enak."

"Kami ada juga kamar-kamar yang sangat enak di bangunan utama."

"Kelihatannya ada perempuan yang meninggalinya, tapi apa tak bisa saya tinggal di sana juga?"

"Tapi di situ ada lagi seorang nyonya. Dia sudah tua dan agak penggugup.

"Ah, tak apa-apa, asal dia mau."

"Akan saya tanya dia, kalau nanti kembali. Lagi pergi sekarang."

"Boleh saya minta kamar buat istirahat sambil menanti?"

"Tentu saja."

Pegawai itu mengantar Akemi turun gang, meninggalkan Otsu. Otsu menyesal kenapa ia tidak menggunakan kesempatan tadi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Alangkah baiknya kalau ia bisa sedikit lebih agresif pikirnya sedih.

Untuk meredakan rasa cemburunya, berkali-kali Otsu mencoba meyakinkan dirinya bahwa Musashi bukan jenis lelaki yang biasa main-main dengan perempuan lain. Tetapi sejak hari itu ia jadi kecil hati. "Dia lebih banyak punya kesempatan berada dekat Musashi.... Barangkali dia jauh lebih pandai dari aku, dan lebih tahu bagaimana merebut hati lelaki."

Sebelum hari itu, kemungkinan adanya perempuan lain tidak terlintas dalam pikirannya. Sekarang ia sibuk memikirkan hal yang menurut anggapannya merupakan kelemahannya sendiri. "Aku tidak cantik.... Dan tidak cemerlang.... Aku tak punya orangtua atau sanak keluarga yang menunjangku dalam perkawinan." Kalau ia membandingkan dirinya dengan perempuan lain, terasa olehnya cita-cita hidupnya itu sesungguhnya berada di luar jangkauannya. Adalah suatu kesombongan memimpikan Musashi sebagai miliknya. Dan ia tak dapat lagi mengarahkan keberanian seperti yang pernah memungkinkannya memanjat pohon kriptomeria tua di tengah badai besar itu.

"Alangkah baiknya kalau aku mendapat bantuan Jotaro!" demikian sesalnya. Ia bahkan membayangkan dirinya telah kehilangan kemudaannya. "DI Shippoji itu aku masih memiliki sebagian dari kepolosan yang sekarang ada pada Jotaro. Itu sebabnya waktu itu aku dapat membebaskan Musashi." Dan ia menangis bersama jahitannya.



"Kamu di situ, Otsu?" tanya Osugi angkuh. "Apa kerjamu duduk dalam gelap itu?"

Senja telah turun, tapi gadis itu tidak menyadarinya, "Oh, akan saya menyalakan lampu sekarang juga," katanya minta maaf sambil bangkit dan kemudian pergi ke kamar kecil di belakang.

Ketika akhirnya ia masuk dan duduk, Osugi melemparkan pandangan dingin ke punggung Otsu.

Otsu meletakkan lampu di samping Osugi dan membungkuk. "Nenek tentunya lelah," katanya. "Apa yang Nenek lakukan tadi?"

"Kau mestinya tahu, tanpa mesti tanya."

“Bagaimana kalau saya pijat kaki Nenek?"

"Kakiku tidak begitu capek, tapi bahuku kaku sudah empat atau lima hari terakhir ini. Barangkali karena udara. Kalau mau pijatlah sedikit." Kepada diri sendiri ia menyatakan ia mesti bersabar menghadapi gadis mengerikan ini sebentar lagi, sampai nanti ia bertemu Matahachi dan menyuruhnya membereskan cacat cela masa lalu itu.

Otsu berlutut di belakangnya dan mulai memijat bahunya. "Memang kaku bahunya. Tentunya sakit buat bernapas."

"Kadang-kadang rasanya dadaku tersumbat. Tapi aku memang sudah tua. Tak lama lagi barangkali aku dapat serangan jantung dan mati."

"Ah, tak akan terjadi. Nenek punya lebih banyak semangat hidup daripada kebanyakan orang muda."

"Mungkin juga, tapi aku teringat Paman Gon. Dia masih segar bugar waktu itu, tapi kemudian semua itu lewat dalam sedetik. Manusia memang tak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Tapi tak ada yang keliru tentang satu hal itu. Supaya aku tetap menjadi diriku, aku mesti berpikir tentang Musashi."

"Dugaan Nenek tentang Musashi itu keliru. Dia bukan orang jahat."

"Ya, ya, betul," kata perempuan tua itu, mendengus sedikit. "Biar bagaimana, dia lelaki yang begitu kaucintai, sampai kau meninggalkan anakku. Sudahlah, aku takkan bicara jelek tentang dia padamu."

“Oh, bukan itu maksud saya!"

“Bukan, begitu? Kau lebih cinta pada Musashi daripada pada Matahachi, kan? Kenapa tidak diakui saja?"

Otsu terdiam, dan perempuan itu melanjutkan, "Kalau nanti kita temukan Matahachi, aku akan bicara dengan dia dan memutuskan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Tapi kukira sesudah itu kau akan langsung lari kepada Musashi dan selanjutnya kalian berdua memfitnah kami."

"Kenapa Nenek berpikir begitu? Saya bukan manusia macam itu. Saya takkan melupakan banyak hal yang telah Nenek lakukan untuk saya di walau lalu."

“Begitulah cara gadis-gadis muda sekarang bicara! Tak tahulah bagaimana kamu bisa bicara begitu manis. Aku sendiri orang jujur. Aku tak dapat menvembunyikan perasaanku dengan kata-kata halus. Kau tahu, kalau kau kawin dengan Musashi, kau jadi musuhku. Ha, ha, ha! Tentunya menjengkelkan memijat bahuku ini."

Otsu tak menjawab.

"Kenapa kau menangis?"

"Saya tidak menangis."

"Air apa yang jatuh ke leherku?"

"Maaf. Saya tak tahan."

"Hentikan! Rasanya seperti bangsat merayap ke sana kemari. Tak usah lagi merana karena Musashi dan keraskan pijatanmu!"

Di halaman tampak cahaya. Otsu mengira itu pelayan yang biasanya membawa makan malam mereka sekitar waktu itu, tapi ternyata seorang pendeta.

"Maaf," katanya sambil masuk beranda. "Apa ini kamar Nyonya Hon' iden? Oh, Nyonya sendiri." Lentera yang dibawanya bertulisan "Kiyomizudera di Gunung Otowa".

"Baiklah saya jelaskan," mulainya. "Saya pendeta dari Shiando, di atas bukit sana." Ia turunkan lentera dan ia ambil surat dari dalam kimononya. "Saya tak kenal orang itu, tapi petang tadi, sebelum matahari terbenam, seorang ronin datang ke kuil dan bertanya apakah seorang wanita tua dari Mimasaka ada di sana. Saya katakan tidak, tapi seorang pemuja taat menjawab bahwa Anda kadang-kadang memang datang. Dia lalu minta kuas dan menulis surat ini. Dia minta saya menyerahkannya pada wanita itu kalau datang. Saya mendengar Nyonya tinggal di sini, dan karena saya dalam perjalanan ke Jalan Gojo, saya singgah menyampaikannya kepada Nyonya."

"Terima kasih banyak," kata Osugi hormat. Ia menawarkan bantal kepada tamu itu, tapi pendeta itu langsung minta diri.

"Apa pula ini?" pikir Osugi. Ia buka surat itu. Sementara membaca, warna mukanya berubah.

"Otsu," panggilnya.

"Ada apa, Nek?" jawab gadis itu dari kamar belakang.

"Tak usah menyuguhkan teh. Dia sudah pergi."

"Sudah? Kalau begitu Nenek saja yang minum."

"Berani-berani kamu menyuguhi aku teh yang kamu buat untuk dia! Aku bukan comberan. Lupakan teh itu, dan sekarang berpakaian!"

"Apa kita akan pergi?"

"Ya. Malam ini kita akan sampai di tempat yang kamu harapkan."

"Oh, kalau begitu surat itu dari Matahachi."

"Bukan urusanmu."

"Baiklah, saya akan minta orang menyiapkan makan malam."

"Apa kamu belum makan?"

"Belum, saya menanti Nenek datang tadi."

"Kamu memang tolol. Aku sudah makan waktu pergi tadi. Nah, makanlah nasi dan acar. Tapi cepat!"

Ketika Otsu berangkat ke dapur, kata perempuan tua itu, "Di gunung akan dingin nanti malam. Apa kamu sudah selesai menjahit jubahku?"

"Sedikit lagi saya selesaikan jahitan kimono Nenek."

"Yang kubicarakan bukan kimono, tapi jubah. Sudah kuminta tadi kamu mengerjakannya juga. Dan apa sudah kaucuci kausku? Tali sandalku itu kendur. Ambil yang baru."

Perintah-perintah itu datang begitu bertubi-tubi, hingga tak sempat Otsu menjawab, apalagi menuruti, namun ia merasa tak berdaya untuk berontak.

Semangatnya seperti runtuh, takut, dan putus asa menghadapi perempuan tua jelek itu. Makanan tak sempat pula dimakan. Dalam beberapa menit saja Osugi sudah menyatakan siap berangkat.

Sambil meletakkan sandal baru di beranda, kata Otsu, "Nenek berangkat saja dulu. Saya menyusul."

"Kamu bawa lentera?"

"Tidak."

"Dungu! Jadi, maumu aku tersandung-sandung di sisi glinting itu tanpa lampu? Pinjam sana sama penginapan."

"Maaf, saya tak ingat."

Otsu ingin tahu ke mana mereka akan pergi, tapi ia tidak bertanya, karena tahu hal itu akan membangkitkan kemarahan Osugi. Ia mengambil lentera, lalu berjalan diam mendahului di muka, mendekati Bukit Sannen. Walaupun mendapat macam-macam hal menjengkelkan, ia tetap merasa riang. Surat itu tentunya dari Matahachi, dan ini berarti masalah yang telah mengganggunya bertahun-tahun lamanya akan terpecahkan malam itu. "Begitu semuanya sudah dibicarakan," demikian pikirnya, "aku akan pergi ke rumah Karasumaru. Aku mesti ketemu Jotaro."

Mendaki bukit itu bukan pekerjaan ringan. Mereka harus berjalan hatihati menghindari batu-batu jatuhan dan lubang-lubang di tengah jalan. Di tengah ketenangan alam itu, air terjun terdengar lebih keras daripada di slang hari.

Beberapa waktu kemudian Osugi berkata, "Aku yakin ini tempat suci buat dewa gunung ini. Oh, ini papan namanya, 'Pohon Ceri Dewa Gunung'."

"Matahachi!" panggilnya ke tengah kegelapan. "Matahachi! Ibu di sini!" Suara yang gemetar dan wajah yang penuh ungkapan kecintaan ibu itu terasa bagai wahyu bagi Otsu. Ia tak pernah menduga akan melihat Osugi demikian tenggelam dalam keprihatinan terhadap anaknya.

"Jangan sampai lentera itu mati!" bentak Osugi.

"Akan saya jaga," jawab Otsu penuh tanggung jawab.

Perempuan tua itu menggerutu dan terengah-engah. "Dia tak ada. Dia betul-betul tak ada." Ia sudah mengelilingi pekarangan kuil, tapi dikelilinginya sekali lagi.

"Dalam surat dia bilang aku mesti datang ke aula Dewa Gunung."

"Apa dikatakannya malam ini?"

"Dia tidak bilang malam ini atau besok atau kapan lagi yang lain. Aku ingin lihat juga, apa dia jadi lebih besar. Heran juga, kenapa dia tidak datang ke penginapan. Barangkali dia malu karena kejadian di Osaka itu.'

Otsu menarik lengan kimononya, katanya, "Ssst! Barangkali itu dia. Ada orang naik bukit."

"Kamu itu, Matahachi?" tanya Osugi.

Orang itu melewati mereka tanpa menoleh dan langsung menuju belakang kuil kecil itu. Tapi sebentar kemudian ia kembali dan berhenti di samping mereka dan menatap muka Otsu dengan terang-terangan. Ketika ia lewat tadi, Otsu tak mengenalinya, tapi sekarang ia ingat-dialah samurai yang dulu duduk di bawah jembatan pada Hari Tahun Baru.

"Kalian berdua baru saja naik?" kata Kojiro.

Pertanyaan itu demikian mendadak, hingga baik Otsu atau Osugi tak menjawab. Keheranan mereka menjadi lengkap melihat pakaian Kojiro yang sangat mencolok itu.

Sambil menudingkan jari ke wajah Otsu, lanjut Kojiro, "Aku mencari gadis yang seumurmu. Namanya Akemi. Lebih kecil daripada kau, dan wajahnva sedikit lebih bundar. Dia terlatih kerja di warung teh, dan tingkahnya sedikit lebih dewasa dari umurnya. Apa kalian melihat dia di sekitar sini?"

Mereka menggelengkan kepala, tak menjawab.

"Aneh sekali. Ada yang bilang dia kelihatan di tempat ini. Aku yakin dia menginap di salah satu ruangan kuil." Ia menunjukkan perhatian pada mereka, tapi sepertinya ia bicara kepada diri sendiri. Kemudian ia menggumamkan beberapa kata lagi dan pergi.

Osugi mendecapkan lidahnya. "Satu lagi manusia sampah. Pedangnya dua, jadi mestinya samurai, tapi coba kaulihat pakaiannya! Dan mencari perempuan pula malam begini! Mestinya dia sudah melihat sendiri, kita bukan orang yang dicarinya."

Otsu tidak mengatakannya kepada Osugi, tapi ia menduga keras gadis yang dicari orang itu adalah yang tersesat di penginapan sore tadi. Hubungan apakah yang ada antara Musashi dan gadis itu dengan orang ini?

"Mari kita pulang," kata Osugi, suaranya terdengar kecewa dan pasrah.

Di depan Hongando, di mana pernah terjadi konfrontasi antara Osugi dan Musashi, mereka berpapasan lagi dengan Kojiro. Kojiro memandang mereka dan mereka memandangnya, tapi tak terjadi percakapan. Osugi melihat orang itu naik ke Shiando, kemudian membelok dan berjalan langsung turun Bukit Sannen.

"Mata orang itu menakutkan," bisik Osugi. "Macam mata Musashi.Justru pada waktu itu mata Osugi melihat gerakan samar, dan bahunya yang bungkuk itu tersentak tegak. "Oww!" pekiknya seperti burung hantu. Dari belakang pohon kriptomeria besar kelihatan tangan memanggil.

"Matahachi," bisik Osugi. Terpikir olehnya, sungguh mengharukan bahwa Matahachi tak mau dilihat orang lain kecuali ibunya sendiri.

Ia berseru kepada Otsu yang sekarang delapan belas atau dua puluh meter di bawahnya. "Kamu jalan saja terus, Otsu. Tapi jangan jauh-jauh. Tunggu aku di tempat yang namanya Chirimazuka. Beberapa menit lagi aku datang."

"Baik," kata Otsu.

"Tapi jangan pergi ke mana-mana! Aku melihatmu. Tak perlu kamu lari."

Osugi cepat-cepat lari ke pohon itu. "Matahachi, apa itu kamu?"

"Ya, Bu." Tangan Matahachi keluar dari kegelapan dan menggenggarn tangan ibunya, seakan-akan sudah bertahun-tahun ia menantikan pertemuan itu.

"Apa kerjamu di belakang pohon itu? Oh, tanganmu dingin seperti es!" Hampir ia mencucurkan air mata merasakan kekuatirannya sendiri.

"Aku mesti sembunyi," kata Matahachi, sedangkan matanya gugup memandang ke sana kemari. "Orang yang lewat tempat ini semenit yang lalu, Ibu lihat, kan?"

"Orang yang pakai pedang panjang itu?"

"Ya."

"Apa kamu kenal dia?"

"Boleh dibilang begitu. Orang itu Sasaki Kojiro."

"Apa? Bukan kamu yang Sasaki Kojiro?"

"Hah?"

"Di Osaka kautunjukkan padaku sertifikat. Nama itu tertulis di sertifikat itu. Itu nama yang kaupakai, kan?"

"Begitu, ya? Ah, tidak benar itu.... Tadi, ketika dia naik, kulihat dia. Kojiro sudah bikin aku susah beberapa hari yang lalu, karena itu aku sembunyi menghindari dia. Kalau dia kembali lewat jalan ini, aku bisa kesulitan."

Osugi demikian terguncang, hingga tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ia lihat Matahachi lebih kurus daripada sebelumnya. Hal itu, dan ditambah lagi kegelisahan anaknya, membuatnya lebih mencintainya lagisetidaknya untuk sementara waktu.

Dengan pandangan yang menyatakan tak ingin mendengar cerita seluruhnya, katanya, "Semua itu tak apa-apa. Sekarang coba katakan, Nak, apa kau sudah tahu Paman Gon meninggal?"

"Paman Gon...?

"Ya, Paman Gon. Dia meninggal di sana itu, di Pantai Sumiyoshi, tepat sesudah engkau meninggalkan kami."

"Aku belum dengar."

"Yah, begitulah kejadiannya. Persoalannya sekarang, apa engkau memahami kematiannya yang tragis itu, dan kenapa aku meneruskan misi yang panjang dan sedih ini, biarpun umurku sudah setua ini."

"Ya, hal itu sudah terukir dalam pikiranku sejak malam di Osaka, ketika Ibu... mengingatkan aku tentang kekurangan-kekuranganku."

"Jadi, engkau ingat, ya? Nah, sekarang aku punya berita untukmu, berita yang akan bikin kau senang."

"Berita apa itu?"

"Otsu."

"Oh! Gadis yang dengan Ibu itu!"

Matahachi mulai berjalan mengitari ibunya, tetapi Osugi menghadang jalannya dan tanyanya mencela, "Ke mana engkau pergi?"

"Kalau dia Otsu, ingin aku bertemu dengan dia. Begitu lama sudah." Osugi mengangguk. "Kubawa dia kemari dengan maksud menyuruhmu bertemu dengannya. Tapi coba katakan pada ibumu ini, apa rencanamu?"

"Akan kusampaikan kepadanya aku menyesal. Aku sudah memperlakukan dia dengan buruk sekali, dan kuharap dia memaafkan aku."

"Sudah itu?"

"Kemudian... nah, kemudian akan kukatakan aku takkan berbuat kesalahan macam itu lagi. Ibu katakanlah juga begitu padanya atas namaku."

"Lalu apa lagi?"

"Lalu akan seperti sebelumnya."

"Apa yang akan seperti sebelumnya?"

"Aku dan Otsu. Aku ingin bertemu lagi dengan dia. Aku ingin mengawini dia. Oh, ibu, apa menurut Ibu dia masih..."

"Anak tolol!" Dan ditamparnya Matahachi keras-keras.

Matahachi rebah dan memegang pipinya yang pedas. "K—Kenapa, Bu, ada apa?" gagapnya.

Osugi tampak lebih marah dari yang pernah ia lihat semenjak ia disapih. Geramnya, "Baru saja engkau meyakinkan ibumu takkan melupakan apa yang kukatakan di Osaka, kan?"

Matahachi menundukkan kepala.

"Apa pernah aku bicara tentang minta maaf kepada anjing yang tak ada gunanya itu? Bagaimana mungkin engkau mohon maaf kepada setan perempuan itu, sesudah dia membuang dirimu dan lari dengan lelaki lain? Kau akan bertemu dengan dia, bolehlah, tapi kau tak boleh minta maaf! Sekarang dengarkan aku!" Osugi menangkap Matahachi dengan kedua tangannya dan mengguncangkannya. Dengan kepala terombang-ambing, Matahachi menutup matanya, dan dengan takut-takut mendengarkan cacian yang panjang sekali.

"Apa ini?" jerit Osugi. "Kau nangis? Kau masih cinta pada pelacur itu, sampai engkau menangisinya? Kalau betul begitu, engkau bukan anakku!" Dibantingnya Matahachi ke tanah, kemudian ia sendiri pun rebah.

Beberapa menit lamanya keduanya duduk menangis.

Tetapi kesedihan Osugi tak dapat lama berada di permukaan. Ia berdiri, katanya, "Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Aku takkan lama lagi hidup. Dan kalau aku mati, kau takkan dapat bicara denganku macam ini, biarpun kau ingin.

"Pikirkan, Matahachi. Otsu bukan satu-satunya gadis di dunia ini." Kemudian suaranya menjadi lebih tegang. "Kau tak boleh membiarkan dirimu merasa terikat kepada orang yang sudah berbuat seperti dia itu. Cari gadis yang kau sukai dan aku akan menjemputnya untukmu, biarpun aku terpaksa mengunjungi orangtuanya sampai seratus kali—biarpun akan bikin aku lelah dan mati."

Matahachi tetap murung dan diam.

"Lupakan Otsu, demi nama Hon'iden. Apa pun jalan pikiranmu, dia tak dapat diterima dari sudut keluarga. Jadi, kalau engkau sama sekali tak dapat lepas dari dia, potong saja kepalaku yang sudah tua ini. Sudah itu kau dapat berbuat semaumu. Tapi selama aku masih hidup..."

"Sudah, Bu!"

Dahsyatnya nada Matahachi itu membuat bulu kuduk Osugi meremang. "Kau berani sekali membentakku!"

"Coba sekarang Ibu jawab: perempuan yang akan kukawini itu akan menjadi istriku atau istri Ibu?"

"Tolol sekali omonganmu itu!"

"Tapi kenapa aku tak boleh memilih sendiri?"

"Nah, nah. Sejak dulu kau memang keras kepala. Kaupikir berapa umurmu itu? Kau bukan lagi anak-anak, atau kau sudah lupa?"

"Tapi... yah, memang betul Ibu ini ibuku, tapi Ibu terlalu banyak menuntut dariku. Itu tak adil."

Perbedaan pendapat di antara mereka memang sering kali seperti itu, dimulai dengan bentrokan perasaan keras, diikuti oleh bergulatnya perlawanan yang keras pula. Saling pengertian sudah runtuh sebelum sempat tumbuh.

"Itu tak adil?" desis Osugi. "Kau pikir kau itu anak siapa? Kau pikir dari perut siapa engkau lahir?"

"Tak ada gunanya bicara macam itu, Bu. Aku mau kawin dengan Otsu! Dialah orang yang kucintai!" Karena tak tahan melihat kerutan dahi ibunya yang kelabu itu, Matahachi menujukan kata-katanya ke langit.

"Anakku, apa betul yang kau katakan itu?" Osugi menarik pedang pendeknya dan mengacungkan mata pedang itu ke tenggorokannya sendiri.

"Bu, apa yang Ibu lakukan ini?"

"Cukuplah. Jangan coba mencegahku! Sekarang tunjukkan kesopananmu dan berikan padaku tusukan terakhir."

"Jangan lakukan itu di depanku! Aku anakmu! Aku tak bisa berdiri di sini membiarkan Ibu berbuat begitu!"

"Baik. Mau tidak kau meninggalkan Otsu-sekarang juga?'

"Kalau itu yang Ibu inginkan dariku, kenapa Ibu bawa dia kemari? Kenapa Ibu menggodaku dengan memamerkannya di depanku? Tak mengerti aku."

"Coba dengar, buatku gampang sekali membunuh dia, tapi kau yang rugi. Sebagai ibumu, kupikir lebih baik kuserahkan padamu pelaksanaan hukuman itu. Menurutku, engkau pasti berterima kasih karenanya."

"Ibu minta aku membunuh Otsu?"

"Kau tidak mau, ya? Kalau memang tidak mau, katakan tak mau! Tapi bulatkan pikiranmu!"

"Tapi... tapi, Bu..."

"Jadi, kau masih tak dapat meninggalkan dia, kan? Baik, kalau memang begitu perasaanmu, engkau bukan anakku, dan aku bukan ibumu. Kalau kau tak bisa memotong kepala perempuan nakal itu, paling tidak penggal kepalaku ini! Jatuhkan tebasan terakhir!"

Anak-anak memang bisa merepotkan orangtuanya, tapi kadang-kadang sebaliknya yang terjadi, demikian renung Matahachi. Osugi tidak hanya membuatnya takut, melainkan juga telah menempatkannya pada kedudukan yang paling sukar dalam hidupnya. Pandangan liar pada wajah ibunya itu sungguh mengguncangkannya.

"Bu, berhenti! Jangan lakukan! Baik, akan kulakukan kemauan Ibu. Akan kulupakan Otsu!"

"Cuma itu?"

"Aku akan menghukum dia. Aku berjanji akan menghukum dia dengan tanganku sendiri."

"Kau akan membunuhnya?"

"Ah, ya, aku akan membunuhnya."

Dengan penuh kemenangan Osugi menangis gembira. Sambil menyingkirkan pedangnya, ia mencekal tangan anaknya. "Bagus! Sekarang kau sudah kelihatan seperti calon kepala Keluarga Hon'iden. Leluhurmu akan bangga denganmu."

"Apa betul begitu menurut Ibu?"

"Pergi laksanakan sekarang! Otsu menunggu di bawah sana, di Chirimazuka. Cepat!"

Mm.

"Akan kita kirimkan surat ke Shippoji bersama kepalanya. Dari situ semua orang di kampung akan tahu aib kita sudah berkurang separuh. Dan kalau Musashi mendengar Otsu mati, harga dirinya memaksanya datang pada kita. Betapa hebat!... Matahachi, cepat!"

"Ibu tunggu aku di sini, kan?"

"Tidak. Aku ikut kamu, tapi dari tempat yang tidak kelihatan. Kalau nanti Otsu melihatku, dia akan merengek supaya aku ingat janjiku. Kalau begitu bisa kikuk."

"Ah, dia kan cuma perempuan tak berdaya," kata Matahachi sambil bangkit pelan-pelan. "Tak ada susahnya membereskan dia, jadi lebih baik Ibu tinggal di sini saja. Akan kubawa ke sini kepalanya. Tak perlu kuatir. Takkan kubiarkan dia lolos."

"Tapi bisa saja kau kurang hati-hati. Memang dia cuma perempuan, tapi kalau melihat mata pedangmu, dia bisa melawan."

"Tak usah kuatir. Ini soal gampang."

Sambil menguatkan hatinya, berangkatlah Matahachi turun bukit; ibunya berjalan di belakang dengan wajah kuatir. "Ingat," katanya, "jangan sampai kurang waspada!"

"Ibu masih ikut? Kupikir Ibu akan tinggal di tempat yang kelihatan." "Chirimazuka masih jauh di bawah sana."

"Aku tahu, Bu! Kalau Ibu mau terus juga, pergi saja sendiri. Aku tunggu di sini."

"Kenapa pula kamu ragu-ragu?"

"Dia manusia. Kan sukar aku menyerangnya kalau aku merasa seperti membunuh anak kucing tak berdosa?"

"Aku mengerti perasaanmu. Walaupun tidak setia, dia dulu tunanganmu. Baiklah, kalau kau tak ingin kuawasi, pergilah sendiri. Aku tinggal di sini." Matahachi pergi tanpa mengucapkan apa pun.

Otsu semula bermaksud melarikan diri, tapi kalau ia melarikan diri, segala kesabaran yang telah ditahankannya selama dua puluh hari itu akan sia-sia. Ia memutuskan bertahan sebentar lagi. Untuk melewatkan waktu, ia memikirkan Musashi, kemudian Jotaro. Cintanya kepada Musashi menyalakan berjuta-juta bintang terang dalam hatinya. Ia menghitung berbagai harapan yang dicita-citakannya bagi masa depannya, seakan dalam mimpi. Dan terkenang olehnya janji-janji Musashi kepadanya-di Celah Nakayama, di Jembatan Hanada. Sekalipun bertahun-tahun telah berlalu, ia percaya dengan segenap hatinya bahwa Musashi takkan meninggalkannya.

Kemudian bayangan Akemi datang mengganggunya, menggelapkan harapan-harapannya dan membuatnya gelisah. Tapi cuma sesaat. Rasa takutnya pada Akemi tidak berarti dibandingkan dengan kepercayaannya yang tak terbatas kepada Musashi. Ia ingat pula, Takuan pernah mengatakan ia mesti dikasihani. Tapi itu tak ada artinya. Bagaimana mungkin Takuan memandang kegembiraannya yang abadi itu dalam arti demikian?

Sekarang pun, ketika ia berada di tempat sepi menantikan orang yang tak ingin ia lihat, impiannya yang mengasyikkan mengenai masa depan tetap menguatkannya agar dapat menahan derita macam apa pun.

"Otsu!"

"Siapa... itu?" kata Otsu.

"Hon'iden Matahachi."

"Matahachi?" gagap Otsu.

"Kau sudah lupa suaraku?"

"Tidak, aku ingat lagi sekarang. Kau sudah ketemu ibumu?"

"Ya, dia menungguku. Kau tidak berubah, ya? Kau kelihatan seperti waktu di Mimasaka."

"Kau di mana? Begini gelap, sampai aku tak lihat."

"Boleh aku lebih dekat? Aku berdiri di sini. Aku malu sekali berhadapan denganmu. Apa yang kaupikirkan tadi?"

"Oh, tidak ada, tak ada yang khusus."

"Kau memikirkan aku, ya? Aku tak pernah tidak memikirkan engkau." Ketika Matahachi pelan-pelan mendekatinya, Otsu merasa sedikit kuatir.

"Matahachi, apa ibumu sudah menjelaskan semuanya?"

"Sudah."

"Nah, karena engkau sudah mendengar semuanya," kata Otsu puas sekali, "cobalah kau memahami perasaanku, tapi aku sendiri minta kau meninjau soal-soal itu dari sudut pandangku. Mari kita lupakan masa lalu. Semua itu tak disengaja."

"Ah, jangan seperti itu, Otsu." Matahachi menggeleng. Walaupun ia tak tahu apa yang disampaikan ibunya pada Otsu, tapi ia merasa cukup yakin hal itu dimaksudkan untuk menipu Otsu. "Sakit rasanya kalau masa lalu disebut-sebut. Sukar bagiku menegakkan kepala di depanmu. Tapi karena sebab-sebab tertentu, tak mungkin aku berpikir akan melepaskan engkau."

"Matahachi, gunakan akalmu. Tak ada apa pun sekarang antara hatimu dan hatiku. Kita dipisahkan oleh lembah yang besar."

"Betul. Dan lebih dari lima tahun lewat lembah itu."

"Tepat. Tahun-tahun itu tak akan kembali lagi. Tak ada jalan untuk menangkap kembali perasaan yang pernah kita punyai."

"Oh, tidak! Kita dapat menangkapnya kembali! Kita dapat!"

"Tidak, semuanya sudah hilang buat selamanya."

Matahachi menatapnya, takjub oleh dinginnya wajah Otsu dan tandasnya nada bicaranya. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah itu gadis yang dahulu seperti sinar matahari musim semi apabila sudah mau mengungkapkan perasaan cintanya? Kini ia merasa seperti sedang mengusap batu pualam putih yang bersalju. Di manakah sikap keras ini tersembunyi di masa lalu?

Teringat olehnya beranda Shippoji. Teringat olehnya Otsu duduk di sana dengan mata jernih melamun, sering sampai setengah hari atau lebih, diam meninjau ke ruang kosong. Seakan di tengah awan-awan itu ia melihat ayah-ibunya, melihat saudara-saudaranya.

Matahachi lebih mendekat lagi. Dengan sikap takut-takut, seperti sedang berada di tengah duri ketika memetik kuncup mawar putih, bisiknya, "Mari kita coba lagi, Otsu. Memang tak ada jalan mengembalikan lima tahun yang sudah lewat itu, tapi marilah kita mulai lagi, sekarang ini, kita berdua."

"Matahachi," kata Otsu tenang, "apa engkau berkhayal? Aku bukan bicara tentang panjangnya waktu, aku bicara tentang jurang yang memisahkan hati kita, hidup kita."

"Aku tahu. Tapi yang kumaksud adalah mulai sekarang ini juga aku hendak merebut kembali cintamu. Barangkali tak perlu aku mengatakan hal itu, tapi apakah kesalahan yang kuperbuat bukan kesalahan hampir setiap pemuda?"

"Bicaralah semaumu, tapi aku tak akan dapat lagi menerima kata-katamu dengan sungguh-sungguh."

"Otsu, aku tahu aku salah! Aku lelaki, tapi lihatlah, aku minta maaf pada seorang perempuan. Apa engkau tak mengerti, betapa berat ini bagiku?"

"Hentikan! Kalau kau seorang lelaki, kau mesti berbuat seperti lelaki."

"Tapi tak ada di dunia ini yang lebih penting bagiku. Kalau kau mau, aku akan berlutut dan memohon maaf padamu. Aku berikan sumpahku. Aku mau bersumpah demi apa pun yang kausukai."

"Tak peduli aku, apa yang kaulakukan!"

"Kuminta jangan engkau marah. Lihatlah, ini bukan tempat buat bicara. Mari kita pergi ke tempat lain."

"Tidak."

"Aku tak mau ibuku melihat kita. Mari kita pergi. Aku tak dapat membunuhmu. Mana bisa aku membunuhmu."

Matahachi memegang tangannya, tapi Otsu melepaskannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya marah. "Lebih baik aku dibunuh daripada hidup denganmu!"

"Kau tak mau pergi denganku?"

"Tidak, tidak, tidak."

"Itu keputusan terakhir?"

"Ya!"

"Artinya kau masih cinta pada Musashi?"

"Ya, aku cinta padanya. Aku akan mencintainya dalam hidup ini dan hidup yang akan datang."

Tubuh Matahachi menggeletar. "Bukan begitu mestinya kau bicara, Otsu."

"Ibumu sudah tahu. Dan dia bilang akan menyampaikannya padamu. Dia berjanji kita akan membicarakan ini bersama-sama dan mengakhiri masa lalu itu."

"Oh, begitu. Dan kukira Musashi memerintahkan engkau menemuiku dan menyampaikan semua itu! Begitu, kan?"

"Tidak, tidak begitu! Musashi tak perlu menyuruhku melakukan apa pun."

"Kau tahu aku punya harga diri. Semua lelaki punya harga diri. Kalau memang begitu perasaanmu terhadapku..."

"Apa yang akan kaulakukan?" teriak Otsu.

"Aku lelaki juga seperti Musashi. Kalau soal ini menyeret seluruh hidupku, akan kucegah kau bersatu dengan dia. Takkan kuizinkan!"

"Memangnya kau siapa, sampai mesti memberi izin?"

"Takkan kubiarkan kau kawin dengan Musashi! Ingat, Otsu, bukan Musashi tunanganmu."

"Kau bukan orang yang mesti mengemukakan hal itu."

"Kenapa tidak? Engkau dijanjikan jadi istriku. Tak bisa kau kawin dengan siapa pun, kalau aku tidak menyetujui."

"Kau pengecut, Matahachi! Aku kasihan padamu. Bagaimana kau bisa menurunkan derajat seperti itu? Sudah lama aku menerima surat darimu dan dari perempuan yang namanya Oko itu, yang isinya memutuskan pertunangan."

"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak mengirimkan surat itu. Oko mestinya yang melakukannya, atas namanya sendiri."

"Bohong. Satu surat ditulis dengan tulisanmu sendiri, dan mengatakan aku mesti melupakanmu dan mencari orang lain sebagai suami."

"Mana surat itu? Tunjukkan itu padaku!"

"Tak ada lagi. Ketika Takuan membacanya, dia tertawa dan membuang ingus dengannya, dan membuangnya."

"Dengan kata lain, engkau tak punya bukti, dan tak seorang pun akan mempercayaimu. Semua orang di kampung tahu kau tunanganku. Aku punya segala bukti untuk itu, sedangkan kau tidak. Ingat. Otsu, kalau kau memutuskan diri dari semua orang agar dapat bersatu dengan Musashi, kau takkan pernah bahagia. Rupanya Oko mengganggumu, tapi aku bersumpah, tak ada lagi sama sekali hubunganku dengan dia."

"Kau buang-buang waktu saja."

"Kau tak mau mendengarkan, biarpun aku minta maaf?"

"Matahachi, apa tadi kau tidak menyombongkan diri sebagai lelaki? Kenapa kau tidak berbuat sebagai lelaki? Tak ada perempuan yang mau menyerahkan hatinya kepada orang yang lemah, tak tahu malu, dan pengecut yang suka berbohong. Perempuan tidak kagum pada orang lemah."

"Jaga kata-katamu!"

"Lepaskan aku! Lengan kimonoku sobek nanti!"

"Sundal plin-plan... kamu!"

"Hentikan!"

"Kalau kau sayang hidupmu, berjanjilah akan meninggalkan Musashi!" Matahachi melepaskan lengan kimono Otsu untuk menarik pedangnya. Dan sekali sudah ditarik, pedang itu seperti menguasainya. Ia seperti kesetanan, matanya memancarkan sinar liar. Otsu menjerit, bukan karena senjata itu, melainkan karena pandangan Matahachi.

"Anjing!" teriak Matahachi ketika Otsu membalik untuk lari. Pedangnya menebas, menyerempet simpul obi Otsu. "Tak boleh lolos!" pikirnya, lalu mengejar sambil memanggil ibunya.

Osugi datang berlari-lari turun bukit. "Apa dia berbuat ceroboh?" pikir ibunya sambil mencabut pedangnya sendiri.

"Dia di sana. Tangkap dia, Bu!" seru Matahachi. Tapi segera kemudian ia berlari balik dan berhenti mendadak ketika hampir bertubrukan dengan perempuan tua itu. Dengan mata membelalak, tanyanya, "Ke mana tadi larinya?"

"Kau tidak membunuh dia?"


"Tidak, dia lari."

"Tolol!"

"Lihat, dia di bawah itu. Itu dia. Itu!"

Otsu yang berlari menuruni tepi curam itu terpaksa berhenti untuk melepaskan lengan kimononya dari sangkutan ranting pohon. Ia tahu ia sudah dekat dengan air terjun, karena suaranya terdengar keras sekali. Ketika ia berlari lagi sambil memegang lengan kimononya yang sobek, Matahachi dan Osugi menghampirinya, dan ketika Osugi berteriak, "Kita berhasil menjebaknya," maka kata-kata itu terdengar persis di belakangnya.

Di dasar lembah itu kegelapan merajalela seperti dinding, mengepung Otsu.

"Matahachi, bunuh dia! Itu dia di situ, berbaring di tanah."

Matahachi menyerahkan diri seluruhnya kepada pedang sekarang. Sambil melompat ke muka, ia membidik sosok hitam itu dan menjatuhkan mata pedangnya dengan kejam. "Setan perempuan!" jeritnya.

Bersama gemertaknya ranting dan cabang pohon terdengar pula jeritan maut.

"Terima ini, terima ini!" Matahachi menebas tiga kali, empat kaliberulang-ulang, sampai kedengarannya pedang membelah menjadi dua. Ia jadi mabuk darah, matanya memancarkan api.

Kemudian lewat sudah segalanya. Menyusul ketenangan.

Dengan lesu ia memegang pedangnya yang berdarah. Sedikit demi sedikit ia sadar kembali akan dirinya, dan wajahnya jadi hampa. Ia pandangi kedua tangannya dan ia melihat darah di situ. Ia raba wajahnya. Di situ ada darah juga, begitu pula di seluruh pakaiannya. Ia jadi pucat pasi dan pening. Terpikir olehnya setiap tetes darah itu adalah darah Otsu.

"Bagus, Nak! Akhirnya engkau melaksanakannya." Dengan napas terengah-engah, yang lebih disebabkan kegembiraan daripada pengerahan tenaga, Osugi berdiri di belakang Matahachi, dan sambil melongok dari atas bahu Matahachi ia pandangi daun-daun yang sudah rusak terobrak-abrik. "Sungguh senang aku melihat ini," katanya gembira. "Sudah kita laksanakan, Nak. Sudah terangkat separuh bebanku, dan sekarang aku dapat menegakkan kepala lagi di kampung. Ada apa denganmu? Lekas! Potong kepalanya!"

Melihat anaknya mau muntah, Osugi tertawa. "Kau ini tak punya nyali. Kalau kau tak sampai hati memotong kepalanya, aku akan melakukannya untukmu. Menyingkir kamu."

Matahachi berdiri diam, sampai perempuan tua itu berjalan menuju semak. Waktu itulah ia mengangkat pedangnya dan menjotoskan gagangnya ke bahu ibunya.

"Apa pula ini!" teriak Osugi sambil terhuyung ke depan. "Apa kau sudah gila?"

"Ibu!"

"Apa?"

Dari tenggorokan Matahachi terdengar bunyi aneh berceguk-ceguk. Ia menghapus mata dengan tangannya yang berlumuran darah. "Aku sudah... sudah membunuh dia. Aku sudah membunuh Otsu!"

"Dan itu tindakan yang patut dipuji! Oh, kau menangis."

"Aku tak tahan. Oh, orang sinting, orang tua sinting, gila, fanatik!"

"Kau menyesal?"

"Ya... ya! Kalau bukan karena Ibu, mestinya aku dapat membawa Otsu kembali. Ibu mestinya sudah mati sekarang ini! Persetanlah dengan kehormatan keluarga itu!"

"Hentikan ocehan itu. Kalau dia memang begitu tinggi harganya di matamu, kenapa tidak kaubunuh saja aku dan kaulindungi dia?"

"Seandainya dapat aku melakukan itu, aku... oh, apakah ada yang lebih menyedihkan selain punya ibu yang jadi maniak keras kepala?"

"Berhenti! Dan berani amat kau bicara begitu padaku!"

"Mulai sekarang aku mau hidup menurut kemauanku sendiri. Kalaupun ngawur, itu bukan urusan orang lain, tapi urusanku sendiri."

"Itulah selalu kelemahanmu, Matahachi. Kau gelisah, lalu bikin gaduh, cuma untuk bikin sulit ibumu."

"Memang aku akan bikin sulit, babi betina tua! Kau ini tukang sihir! Aku benci padamu!"

"Oh, oh! Bukan main marahnya dia... Menyingkir! Akan kuambil dulu kepala Otsu, sudah itu kuberi kau sedikit pelajaran!"

"Omong lagi? Aku takkan mendengarkan."

"Aku ingin kau melihat dengan kepalamu sendiri, bagaimana macamnya perempuan kalau sudah mati. Tak lain dari tulang. Aku ingin kau memahami bodohnya nafsu itu."

"Tutup mulut!" Matahachi menggeleng-geleng hebat. "Kalau dipikir-pikir, yang kuinginkan itu Otsu. Ketika aku mengambil kesimpulan tak bisa terus hidup seperti yang sudah-sudah, ketika aku mencoba mencari jalan untuk berhasil dan mulai menempuh jalan benar kembali, semua itu karena aku ingin mengawini dia bukan demi kehormatan keluarga, dan bukan demi perempuan tua yang mengerikan!"

"Berapa lama kau akan menyesali hal yang sudah terjadi? Akan lebih bermanfaat kalau kau menyanyikan kitab-kitab sutra. Hidup Amida Budha!"

Osugi meraba-raba di antara ranting-ranting patah dan rumput kering yang penuh percikan darah, kemudian membungkuk ke rumput dan berlutut di atasnya. "Otsu," katanya, "jangan kamu membenci aku. Sekarang tak ada lagi dendamku padamu, karena kau sudah mati. Semua yang lalu itu suatu keharusan. Istirahatlah kamu dalam damai."

Ia meraba-raba dengan tangan kirinya dan mencekam rambut yang hitam itu.



Suara Takuan terdengar berderai-derai. "Otsu!" Terbawa angin gelap ke dalam ceruk itu, terdengar seolah sumber suara itu pohon-pohon dan bintang-bintang sendiri.

"Belum juga Anda temukan?" tanyanya dengan suara agak tegang.

"Belum, dia tak ada di sekitar tempat ini." Pemilik penginapan tempat Osugi dan Otsu tinggal itu menghapus keringat dari keningnya.

"Anda yakin apa yang Anda dengar itu betul?"

"Yakin betul. Sesudah kedatangan pendeta dari Kiyomizudera tadi, nyonya itu mendadak pergi, katanya akan ke aula Dewa Gunung. Gadis itu ikut." Keduanya melipat tangan di dada sambil berpikir.

"Barangkali mereka naik terus, atau menyimpang ke tempat yang jauh dari jalan," kata Takuan.

"Kenapa Bapak begitu kuatir?"

"Saya kira Otsu telah diperdayakan."

"Apa betul perempuan tua itu begitu jahat?"

"Tidak," kata Takuan bingung. "Dia orang yang baik sekali."

"Oh, tidak, kalau mendengar apa yang baru Bapak ceritakan itu. Sekarang saya ingat sesuatu."

"Apa itu?"

"Tadi saya lihat gadis itu menangis di kamarnya."

"Tapi itu mungkin tak banyak artinya."

"Perempuan tua itu bilang gadis itu tunangan anaknya."

"Tentu dia akan bilang begitu."

"Dari cerita Bapak, kelihatannya dendam kesumat yang membuat perempuan tua itu menyiksa gadis itu."

"Itu satu hal. Tap hal lain adalah kenapa dia membawa gadis itu ke gunung pada malam gelap begini. Saya takut Osugi berencana membunuhnya."

"Membunuh? Lalu bagaimana Bapak bisa mengatakan tadi dia perempuan baik?"

"Sebab dialah yang disebut baik oleh dunia ini. Dia sering pergi memuja di Kiyomizudera, kan? Pada waktu dia duduk di hadapan Kannon sambil memegang tasbih, tentunya jiwanya dekat sekali dengan Kannon."

"Saya dengar dia berdoa juga untuk Budha Amida."

"Di dunia ini banyak orang Budhis seperti itu. Mereka disebut orang-orang yang percaya. Mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka pergi ke kuil dan berdoa untuk Amida. Mereka rupanya memikirkan perbuatan-perbuatan setani untuk dapat diampuni Amida. Dengan senang hati mereka membunuh orang, dan yakin benar bahwa kalau sesudah itu mereka datang kepada Amida, dosa-dosa mereka akan dihapuskan dan sesudah mati mereka masuk -Surga- Barat. Orang-orang baik macam ini memang jadi masalah."



Matahachi menoleh ngeri ke sekitar, dan bertanya-tanya dalam hati dari mana datangnya suara itu.

"Dengar itu, Bu?" tanyanya gelisah.

"Kau kenal suara itu?" Osugi mengangkat kepala, tapi gangguan itu tak begitu merisaukannya. Tangannya masih mencengkeram rambut itu, dan pedangnya tetap dalam kedudukan siap membabat.

"Dengar! Lagi!"

"Aneh. Kalau ada yang mencari Otsu, tentunya anak yang namanya Jotaro."

"Itu suara lelaki."

"Ya, aku tahu, dan kupikir sudah pernah aku mendengar suara itu."

"Berat ini kelihatannya. Sekarang lupakan kepala itu, Bu. Bawa lentera itu. Ada orang datang!"

"Kemari?"

"Ya, dua orang. Ayo kita lari."

Bahaya menyatukan ibu dan anak itu seketika, tapi Osugi tidak juga dapat melepaskan diri dari tugasnya yang berlumuran darah itu.

"Tunggu sebentar," katanya. "Aku tak bisa kembali tanpa kepala ini, padahal sudah pergi sejauh ini. Kalau tidak kubawa, bagaimana aku bisa membuktikan sudah membalas dendam? Sebentar lagi aku menyusul."

"Oh!" keluh Matahachi gemas.

Tiba-tiba dari bibir Osugi tercetus teriakan ngeri. Ia jatuhkan kepala itu. Ia setengah berdiri, terhuyung-huyung, dan rebah di tanah.

"Bukan dia!" jeritnya. la menebas-nebaskan tangannya dan mencoba berdiri, tapi jatuh kembali.

Matahachi melompat mendekat untuk melihat, dan gagapnya, "A-a-apa?"

"Lihat, ini bukan Otsu! Ini lelaki... pengemis... cacat..."

"Lho, mustahil," seru Matahachi. "Aku kenal orang ini."

"Apa? Temanmu?"

"Bukan! Dia yang memperdayakan aku supaya menyerahkan semua uangku padanya," ucapnya. "Apa kerja penipu kotor macam Akakabe Yasoma ini di dekat-dekat kuil?"

"Siapa di sana?" seru Takuan. "Otsu, kamu, ya?" Tiba-tiba ia sudah berdiri di belakang mereka.

Kaki Matahachi lebih cekatan daripada kaki ibunya. Cepat ia berlari dan hilang dari pandangan, tapi Takuan berhasil mengejar ibunya dan mencengkeram kerahnya.

"Tepat seperti dugaanku. Dan aku yakin, anakmu tercinta yang lari itu. Matahachi! Apa maksudmu lari meninggalkan ibumu? Orang udik tak kenal terima kasih! Balik sini!"

Osugi menggeliat-geliat sengsara di lutut Takuan, tapi tak sedikit pun ia kehilangan keberanian. "Siapa kamu?" tanyanya marah. "Apa maumu?"

Takuan melepaskannya, dan katanya, "Lupa padaku, Nek? Nenek sudah pikun tentunya."

"Takuan!"

"Heran, ya?"

"Kenapa mesti heran. Pengemis macam kamu dapat pergi ke mana kau suka. Cepat atau lambat kau pasti hanyut ke Kyoto."

"Betul, Nek," sahut Takuan menyeringai. "Tepat seperti yang Nenek katakan. Aku sudah mengembara ke Lembah Koyagyu dan Provinsi Izumi, tapi kemudian tiba di ibu kota, dan semalam di rumah seorang teman aku mendengar berita yang menguatirkan. Kusimpulkan berita itu penting sekali dan aku harus bertindak."

"Apa hubungannya itu denganku?"

"Kukira Otsu bersamamu, dan aku sedang mencarinya."

"Huh!"

"Nek!"

"Apa?"

"Di mana Otsu?"

"Aku tak tahu."

"Tak percaya."

"Pak," kata pemilik warung. "Ada darah tumpah di sini. Masih segar." Dan ia mendekatkan lenteranya ke mayat itu.

Kening Takuan mengerut kaku. Melihat ia sibuk berpikir, Osugi bangkit dan melarikan diri. Tanpa bergerak sedikit pun pendeta itu berseru, "Tunggu, Nek! Nenek tinggalkan rumah buat membersihkan nama, kan? Apa Nenek mau pulang sekarang dengan nama yang lebih kotor lagi? Nenek bilang sayang anak. Apa Nenek mau meninggalkan dia padahal sudah bikin dia sengsara?" Daya suaranya yang menggelegar itu melingkupi Osugi, membuat ia berhenti seketika.

Dengan wajah buruk akibat kerut-merut menantang, Osugi berteriak, "Menodai nama keluarga dan bikin anak tidak bahagia? Apa maksudmu?"

"Tepat seperti yang kukatakan ini."

"Sinting!" Dan ia tertawa singkat mencemooh. "Siapa kau ini? Kau ke sana kemari makan makanan orang lain, hidup di kuil-kuil orang lain, buang air di lapangan terbuka. Apa yang kauketahui tentang kehormatan keluarga? Apa pengetahuanmu tentang cinta ibu pada anaknya? Pernah kau menanggung derita seperti yang dipikul orang biasa? Sebelum menasihati orang lain apa yang mesti dikerjakannya, coba dulu kerja dan beri makan dirimu sendiri, seperti semua orang lain."

"Ucapan Nenek mengena sekali, dan aku memang merasakannya. Ada memang pendeta-pendeta lain di dunia ini yang mesti kukatai demikian juga. Tapi aku sudah mengatakan, aku bukan tandingan Nenek dalam perang kata-kata, dan kulihat lidah Nenek masih tajam seperti dulu."

"Dan masih ada hal-hal penting lain yang mesti kulakukan di dunia ini. Tak usah kau menduga bahwa satu-satunya kebiasaanku ini cuma ngomong."

"Sudah. Sekarang aku mau bicara tentang yang lain-lain dengan Nenek."

"Soal apa itu?"

"Malam ini Nenek suruh Matahachi membunuh Otsu, kan? Dan kuduga kalian berdua sudah membunuhnya."

Sambil menjulurkan lehernya yang sudah berkerut, Osugi tertawa menghina. "Takuan, kau boleh saja terus membawa lentera dalam hidup ini, tapi tak ada faedahnya buatmu kalau kau tidak membuka matamu. Apa artinya mata itu? Apa sekadar lubang di kepalamu atau hiasan lucu?"

Takuan, yang merasa sedikit tidak enak, akhirnya memperhatikan tempat terjadinya pembunuhan.

Selagi ia menengadah lega, perempuan tua itu berkata, kali ini dengan sikap benci, "Kukira kau senang yang terbunuh bukan Otsu. Tapi jangan kira aku lupa, kaulah comblang kotor yang mempertemukan Otsu dan Musashi, dan menyebabkan kesulitan ini."

"Kalau begitu perasaan Nenek, bagus. Tapi aku tahu Nenek orang saleh, dan menurutku Nenek tak boleh pergi meninggalkan tubuh ini tergeletak di sini."

"Tadi orang itu sudah hampir mati dan menggeletak di situ. Matahachi membunuhnya, tapi itu bukan kesalahan Matahachi."

"Ronin ini memang agak sinting," kata pemilik warung. "Beberapa hari terakhir dia sempoyongan di kota, mulutnya mengeluarkan air liur. Di kepalanya ada benjolan besar sekali."

Osugi tak memperlihatkan peduli sama sekali, dan membalikkan tubuh untuk pergi. Takuan minta pemilik warung mengurus mayat itu, lalu mengikuti Osugi. Osugi jengkel sekali karenanya, tapi ketika ia menoleh untuk melecutkan lagi lidahnya yang berbisa, Matahachi memanggilnya pelan, "Ibu."

Ia mendekati suara itu dengan gembira. Bagaimanapun, Matahachi anak baik. Ia tetap tinggal di situ untuk meyakinkan dirinya bahwa ibunya selamat. Mereka berbisik-bisik, dan agaknya mengambil kesimpulan bahwa mereka belum sama sekali lepas dari bahaya akibat hadirnya si pendeta, karena itu mereka lari secepat-cepatnya ke kaki bukit.

"Tak ada gunanya," bisik Takuan. "Melihat perbuatannya, mereka takkan mendengarkan apa pun yang kukatakan. Oh, sekiranya dunia dapat dilepaskan dari macam-macam salah pengertian yang tolol, orang yang menderita tidak akan sebanyak ini."

Tapi sekarang ini ia mesti menemukan Otsu. Otsu berhasil meloloskan diri. Semangat Takuan meningkat sedikit, tapi ia belum dapat benar-benar merasa tenang sebelum yakin Otsu selamat. Ia memutuskan meneruskan pencarian, sekalipun suasana gelap.

Pemilik warung sudah lebih dahulu mendaki bukit, dan kini ia turun kembali disertai tujuh atau delapan orang yang membawa lentera. Para penjaga malam di kuil itu datang membawa sekop, siap membantu penguburan. Tak lama kemudian Takuan mendengar bunyi galian kubur yang tak menyenangkan itu.

Ketika kira-kira lubang sudah cukup dalam, ada orang berteriak, "Hai, lihat, di sini ada tubuh lain! Tubuh gadis manis!" Orang itu sekitar sepuluh meter jauhnya dari kuburan, di ujung sebuah paya.

"Mati?"

"Tidak, cuma tidak sadar."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP