Sabtu, 15 Juli 2017



Lingkaran

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg










RENCANA perjalanan guru Zen itu eksentrik tak keruan. Suatu kali, di waktu hujan turun sepanjang hari, ia tinggal di penginapan dan minta Matahachi memberikan kepadanya pengobatan moxa. Di Provinsi Mino ia tinggal selama tujuh hari di Daisenji, kemudian singgah beberapa hari di kuil Zen di Hikone. Jadi, perjalanan keKyoto itu ditempuh lambat sekali.

Musashi tidur di tempat apa saja yang dapat ditemukannya. Kalau Gudo tinggal di penginapan, ia bermalam di luar, atau di penginapan lain. Kalau pendeta itu dan Matahachi menginap di kuil, ia berteduh di bawah gerbang. Kemelaratan bukan apa-apa baginya dibandingkan kebutuhannya akan perkataan Gudo.

Pada suatu malam, di luar sebuah kuil di tepi Danau Biwa, tiba-tiba ia tersadar akan datangnya musim gugur. Ia pandangi dirinya, dan dilihatnya dirinya sudah mirip peminta-minta. Rambutnya sudah seperti sarang tikus, karena ia memang sudah berketetapan untuk tidak bersisir sebelum pendeta itu melunak sikapnya. Berminggu-minggu ia tidak mandi dan bercukur. Pakaiannya dengan cepat berubah menjadi rombengan, dan terasa seperti kulit pohon pinus di kulitnya.

Bintang-bintang seperti akan jatuh dari langit. Ia pandangi tikar buluhnya, dan pikirnya, "Sungguh bodoh aku!" Seketika sadarlah ia, betapa sinting sikapnya selama itu. Ia tertawa pahit. Selama itu, dengan teguh dan diam ia berpegang pada tujuannya, tapi apa yang ia harapkan dari guru Zen itu? Apa tak mungkin ia menjalani hidup tanpa mesti menyiksa diri sedemikian rupa? Ia bahkan merasa kasihan pada kutu-kutu yang hidup di tubuhnya.

Gudo dengan tegas mengatakan bahwa ia tak punya "apa pun" untuk diberikan. Sungguh tidak beralasan mendesaknya memberikan sesuatu yang tak dimilikinya. Salahkah membencinya, sekalipun ia kurang menunjukkan perhatian dibanding perhatian yang diberikannya pada seekor anjing sesat di jalan?

Musashi memandang ke langit, lewat rambut yang meneduhi matanya. Tak sangsi lagi-itulah bulan musim gugur. Tapi nyamuk-nyamuk itu... Kulitnya yang sudah penuh bilur-bilur merah tidak lagi peka terhadap gigitannya.

Ia sudah siap untuk mengaku pada dirinya sendiri, bahwa ada hal yang tidak ia mengerti, tapi apakah itu? Kalau sekiranya ia dapat memahami apa gerangan hal itu, pedangnya akan terbebas dari ikatannya, dan segala yang lain pun akan terpecahkan dalam sesaat. Namun, begitu ia merasa akan dapat meraihnya, selalu saja hal itu lolos.

Kalau usahanya menempuh Jalan itu berakhir di sini, ia lebih suka mati, sebab untuk apa lagi  hidup ini? Selagi berbaring di bawah atap gerbang, dan kantuk tidak juga datang, ia bertanya apa gerangan yang belum dipahaminya selama ini. Teknik pedangkah? Tidak, lebih dari itu. Pemecahan masalah Otsu? Tidak, tak seorang lelaki pun dapat begini sengsara hanya karena cinta kepada seorang perempuan. Jawaban yang dicarinya pasti meliputi segalanya, namun dengan segala kebesarannya, jawaban itu bisa saja hanya sesuatu yang kecil, yang tak lebih dari biji madat.

Ia terbungkus dalam tikar, seperti ulat. Terpikir olehnya, apakah Matahachi tidur enak. Membandingkan dirinya dengan temannya, ia merasa iri. Masalah-masalah Matahachi agaknya tidak melumpuhkan. Musashi kelihatan selalu mencari masalah-masalah baru, dan dengan itu la menyiksa dirinya.

Matanya kini tertumpu pada sebuah piagam yang tergantung di tiang gerbang. Ia bangkit dan mendekatinya, agar dapat melihat lebih dekat. Dalam cahaya bulan ia membaca:


Saya mohon, cobalah temukan sumber asasi.

Pai yun tergerak oleh jasa Pai-ch'ang,

Hu-ch'iu kecewa atas ajaran peninggalan Pai yun.

Seperti para pendahulu kita yang agung, janganlah hanya memetiki dedaunan,

Atau menyibukkan diri dengan rerantingan.


Agaknya tulisan itu cuplikan dari Wasiat Daito Kokushi, pendiri Daitokuji.

Musashi membaca kembali dua baris terakhir. Dedaunan dan rerantingan.... Berapa banyak orang terlontar dari jalur hidupnya oleh hal-hal yang tak ada kaitannya? Apakah ia sendiri bukan contoh hal itu? Pikiran itu serasa meringankan bebannya, namun keraguannya tak juga hilang. Kenapa pedangnya tidak tunduk kepadanya? Kenapa matanya berpaling dari tujuannya? Apakah yang mencegahnya mencapai ketenteraman?

Bagaimanapun, semua ini terasa demikian sia-sia. Ia tahu apabila orang telah menempuh Jalan itu sejauh-jauhnya, maka ia mulai terombangambing dan terserang keresahan-dedaunan dan rerantingan. Bagaimana mungkin orang membebaskan diri dari lingkaran itu? Bagaimana orang dapat sampai kepada intinya dan menghancurkannya?


Kutertawakan ziarahku yang sepuluh tahun ini

Jubah yang lusuh, topi yang rombeng, ketukan di pintu Zen.

Sesungguhnya Hukum Budha itu sederhana:

Makan nasimu, minum tehmu, kenakan pakaianmu.


Musashi terkenang kembali akan sajak tulisan Gudo ini, yang dipakainya untuk mengejek diri sendiri. Gudo kira-kira sebaya Musashi ketika mengarang sajak itu.

Pada kunjungan Musashi yang pertama ke Kuil Myoshinji, pendeta itu hampir menendangnya dari pintu. "Jalan pikiran aneh apa pula yang mendorongmu datang ke rumahku?" begitu teriaknya. Tapi Musashi bersikeras, dan kemudian, sesudah ia memperoleh izin masuk, Gudo menyuguhinya sajak ironis itu. Dan ia menertawakan Musashi, seraya mengucapkan katakata yang telah diucapkannya beberapa minggu lalu, "Kau selalu bicara... Itu sia-sia!"

Dalam keadaan benar-benar putus asa, Musashi membuang sama sekali keinginan untuk tidur, dan la berjalan mengitari pintu gerbang. Justru pada waktu itu ia melihat dua orang muncul dari kuil.

Gudo dan Matahachi berjalan dengan langkah cepat luar biasa. Barangkali panggilan mendesak telah datang dari Kuil Myoshinji, kuil kepala sekte Gudo. Apa pun halnya, ia melewati begitu saja para biarawan yang telah berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya, dan langsung menuju Jembatan Kara di Seta.

Musashi mengikutinya melewati kota Sakamoto yang tertidur, melintasi toko-toko cetak kayu, toko-toko sayur dan buah, bahkan juga penginapanpenginapan ramai yang semuanya sudah terkunci rapat. Satu-satunya yang hadir adalah bulan yang pucat.

Mereka meninggalkan kota itu, mendekati Gunung Hiei, melewati Miidera dan Sekiji yang terselimut tirai kabut. Mereka hampir tak menjumpai siapa pun. Ketika mereka sampai di celah, Gudo berhenti dan mengatakan sesuatu pada Matahachi. Di bawah mereka terletak Kyoto, di arah lain keluasan Danau Biwa yang tenang. DI luar bulan, segala sesuatu tampak seperti mika, lautan kabut lunak keperakan.

Ketika beberapa waktu kemudian mereka sampai di celah itu, terkejutlah Musashi bahwa dirinya hanya beberapa kaki jaraknya dan sang guru. Dalam beberapa minggu ini, itulah pertama kali mereka bertemu pandang. Gudo tak mengatakan apa pun. Musashi pun tak mengatakan sesuatu.

"Sekarang... inilah waktunya!" pikir Musashi. Kalau pendeta itu nanti sampai sejauh Myoshinji, ia terpaksa menanti beberapa minggu sebelum sempat bertemu lagi dengannya.

"Saya mohon, Pak," katanya. Dadanya menggembung dan lehernya melipat. Suaranya seperti suara seorang anak yang dengan ketakutan mencoba menyampaikan sesuatu yang tak hendak dikatakannya. Ia beringsut maju dengan takut-takut.

Pendeta itu tidak berkenan menanyakan apa yang dikehendakinya. Wajahnya mirip wajah patung berpernis kering. Hanya matanya yang menonjol putih, menatap marah pada Musashi.

"Saya mohon, Pak," katanya. Tanpa menghiraukan apa pun, kecuali hasrat menyala-nyala yang mendesaknya maju, Musashi menjatuhkan diri berlutut dan menundukkan kepala. "Sepatah kata kebijaksanaan! Satu patah kata saja...!"

Ia merasa seperti sudah berjam-jam menanti. Ketika akhirnya ia tak dapat lagi mengendalikan diri, ia memperbarui permohonannya.

"Aku sudah dengar semuanya itu!" sela Gudo. "Matahachi bicara tentangmu tiap malam. Aku sudah tahu semua yang perlu kuketahui, bahkan juga tentang perempuan itu."

Kata-kata itu seperti kerat es. Andaikata pun Musashi ingin mengangkat kepalanya, ia tak dapat berbuat demikian.

"Matahachi, tongkat!"

Musashi menutup mata, menguatkan diri menanti pukulan. Namun Gudo bukannya memukul, melainkan menggambar lingkaran di sekitar dirinya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia lontarkan tongkat itu, dan katanya, "Ayo pergi, Matahachi!" Dan mereka pergi cepat-cepat.

Musashi jadi naik pitam. Sesudah berminggu-minggu menderita aib yang kejam, dalam usaha yang tulus untuk menerima ajaran, penolakan Gudo jauh lebih buruk daripada sekadar tiadanya rasa iba. Penolakan itu kejam, brutal! Pendeta itu mempermainkan manusia!

"Pendeta babi!"

Musashi menatap garang ke arah dua orang yang melangkah pergi itu. Bibirnya mengatup erat, membentuk berengut marah.

"Tak ada apa-apa." Mengenang kata-kata Gudo itu, ia menyimpulkan bahwa kata-kata itu hanya dusta, seolah-olah hendak menyatakan bahwa orang itu punya sesuatu yang bisa ditawarkan, padahal kenyataannya "tak ada apa-apa" dalam kepalanya yang tolol itu.

"Awas!" pikir Musashi. "Aku tidak butuh kau!" la takkan mengandalkan diri pada siapa pun. Analisis terakhirnya menyatakan tak seorang pun dapat diandalkan, kecuali diri sendiri. Ia seorang lelaki, seperti halnya Gudo dan guru-guru sebelumnya.

Ia berdiri, setengahnya digerakkan oleh kemarahan sendiri. Beberapa menit lamanya ia menatap bulan, tapi ketika kemarahannya mendingin, terpandang olehnya lingkaran itu. la masih berdiri di dalamnya, dan ia menoleh ke sekitar. Baru berbuat demikian, teringat olehnya tongkat yang tidak jadi memukulnya.

"Lingkaran? Apa pula artinya?" Dan ia biarkan pikirannya berkembang. Satu garis penuh, tanpa awal, tanpa akhir, tanpa penyimpangan. Kalau lingkaran itu diluaskan tanpa batas, akan menjadi alam semesta. Kalau dikerutkan, akan sama dengan titik kecil tempat jiwanya bersemayam. Jiwa itu bulat. Alam semesta ini bulat. Bukan dua. Satu! Satu ujud-dirinya dan alam semesta.

Dengan bunyi berdetak ia cabut pedangnya, dan ia acungkan dengan arah diagonal. Bayangan dirinya menyerupai lambang huruf "o". Lingkaran alam semesta ini tetap sama. Dengan tanda yang sama itu, ia sendiri tidak berubah. Hanya bayangannya yang berubah.

"Hanya bayangan," pikirnya. "Bayangan itu bukan diriku yang sebenarnya." Dinding tempat ia membenturkan kepalanya selama ini hanyalah bayangan, bayangan pikiran yang kacau.

Ia mengangkat kepalanya, dan pekik ganas pun meledak dari bibirnya.

Dengan tangan kiri ia acungkan pedang pendeknya. Bayangan itu berubah lagi, tapi citra alam semesta secuil pun tidak. Kedua pedang itu hanyalah satu pedang. Dan keduanya adalah bagian dari lingkaran itu.

Ia mengeluh dalam, matanya terbuka. Ketika ia memandang bulan lagi, terlihat olehnya lingkaran besar yang dapat dianggap serupa dengan pedang, atau dengan jiwa orang yang menginjak bumi.

"Sensei!" pekiknya sambil berlari mengejar Gudo. Memang tak ada lagi yang diharapkannya dari pendeta itu, tapi ia harus minta maaf karena telah demikian hebat membencinya.

Selusin langkah kemudian, ia berhenti. "Cuma dedaunan dan rerantingan," pikirnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP